Saat Tiffany kembali ke kampus, Julie sedang bersandar di meja ruang kesehatan sambil sibuk bermain game di ponselnya. Tiffany mengernyitkan alis, lalu mengangkat tangan untuk menghalangi layar ponsel Julie. "Mana Kak Garry?"Julie meliriknya sejenak, lalu memindahkan posisi ponselnya agar bisa tetap bermain. "Dia sudah pergi.""Sudah pergi begitu saja?" Tiffany mengerucutkan bibir, merasa sedikit kecewa. Bagaimanapun, Garry terluka karena melindunginya dan dia belum sempat mengucapkan terima kasih."Kalau dia nggak pergi, itu sama saja mempermalukan diri sendiri," kata Julie sambil mengubah posisinya agar lebih nyaman di kursi. "Dia juga nggak mungkin benar-benar bisa merebut posisiku sebagai calon ibu angkat anakmu."Tiffany mengernyitkan dahi dengan bingung. "Apa maksudnya mempermalukan diri? Ibu angkat apanya?"Julie tampak tersentak karena baru sadar bahwa dia telah mengungkapkan pikirannya tanpa sadar. Dia berdeham kecil, lalu kembali fokus ke permainannya. "Nggak apa-apa. Kamu s
Tiffany mengangkat tasnya dan berbalik pergi.Julie mengerutkan kening, agak kesal dengan sikap Tiffany yang menurutnya terlalu polos sampai bodoh, "Untuk apa kamu nyari dia?""Setidaknya aku mau traktir dia makan sebagai tanda terima kasih," jawab Tiffany tanpa menoleh....."Kak, Julie mungkin salah paham sama Kakak. Jangan terlalu dimasukkan ke hati." Tiffany duduk di bangku di luar lembaga penelitian tempat Garry bekerja sambil menyerahkan segelas kopi dingin padanya. "Lutut Kakak sudah nggak apa-apa, 'kan?""Sudah membaik." Garry menerima kopi itu sambil menghela napas. "Sepertinya temanmu memang salah paham sama aku. Tapi nggak masalah, lagian kami juga nggak terlalu kenal. Yang penting kamu nggak salah paham."Tiffany menggelengkan kepala, "Aku nggak akan salah paham, Kak!"Dulu, mereka bersekolah di SMA yang sama di desa. Di sekolah itu, Garry adalah seorang panutan. Nilainya, kegigihannya, dan sifat baiknya selalu menjadi teladan. Pria yang rajin dan sempurna seperti itu tidak
Mata bundar Tiffany yang jernih langsung berbinar. Dia menatap Garry dengan membelalak. "Kak, benar juga katamu! Selama ini, suamiku selalu berobat sama Charles dan pakai pengobatan barat. Mungkin saja pengobatan tradisional bisa ada harapan!"Melihat wajahnya yang gembira, Garry tersenyum. "Aku cuma kasih saran, nggak berarti pengobatan tradisional bisa nyembuhin. Tapi mungkin kamu bisa bawa suamimu untuk mencobanya, siapa tahu bisa berhasil?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Oke! Kalau begitu, apa Kak Garry bisa beri aku alamat tabib itu? Biar aku bisa bawa suamiku ke sana!""Di sebuah gunung di dekat desa kita." Setelah berpikir sejenak, Garry melanjutkan, "Tapi, Tiff. Kusarankan sebaiknya kamu bawa suamimu ke sana dengan alasan untuk berlibur, sekalian berobat di tabib tua itu."Tiffany mengerutkan alisnya. "Kenapa?"Garry mulai meyakinkan Tiffany dengan lembut, "Pertama-tama, tabib tua itu ada hubungan keluarga denganku. Suamimu selalu merasa waswas padaku. Kalau kamu kasih tahu dul
Bahkan kepala pelayan yang berdiri di samping juga mulai mengantuk mendengarkan cerita Tiffany yang sepertinya tak akan berakhir. Mereka tidak kenal seorang pun di desa itu dan jelas tak ada yang peduli, bukan?Namun, Sean tetap mendengarkan dengan sabar sambil mengelus kepala Tiffany dengan lembut. Sesekali, dia bahkan bertanya dengan penasaran, "Lalu, apa Wenny akhirnya menikah?" atau "Apa anak pamanmu juga bisa manjat pohon?" Bahkan, dia sampai bertanya tentang usia nenek di desa yang sering diceritakan Tiffany.Rika dan Genta tak habis pikir. Apakah ini benar-benar tuan mereka? Sean yang biasanya terlalu cuek bahkan untuk mendengar gosip seputar saudaranya, kini duduk tenang mendengarkan cerita sehari-hari dari desa Tiffany?Memang benar, cinta bisa membuat orang kehilangan nalar sepenuhnya ....Tiffany yang berbaring di pangkuan Sean terus bercerita hingga akhirnya tertidur karena kelelahan. Sean menunduk dan membelai rambutnya yang hitam sambil tersenyum lembut. Lalu, dia mendong
"Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" Bagaimanapun, Rika adalah pelayan yang sudah bekerja selama bertahun-tahun di sini. Begitu melihat telepon Sean, dia langsung memahami maksudnya.Tiffany mengatupkan bibirnya, lalu berkata, "Aku ingin makan mie ...."Sambil bicara, dia mendongak melihat Sean sekilas. "Ya, tiga porsi mie."Rika yang berada di lantai bawah terkejut. Tiga porsi?"Nyonya, aku sangat paham dengan nafsu makan Tuan. Selelah apa pun, dia nggak akan makan dua porsi mie."Tiffany menggenggam erat telepon itu dengan wajah tersipu. "Itu ... aku yang mau makan dua porsi."Rika terdiam.Setengah jam kemudian, Rika mengantarkan tiga mangkuk mie kuah ke lantai atas. Sean menghabiskan jatahnya dalam sekejap. Setelah itu, Sofyan datang memberitahunya bahwa ada masalah di perusahaan yang harus ditanganinya, sehingga Sean langsung bergegas ke ruang kerja setelah selesai makan.Sementara itu, Tiffany bersantai di jendela dan mendengarkan musik sambil menikmati mangkuk kedua mie. Tiba-ti
Ucapan Julie membuat Tiffany ragu sejenak. Dia tertawa, lalu menimpali, "Aku tetap memilih untuk percaya sama Kak Garry. Bagaimanapun, suamiku berjasa terhadap Kak Garry. Kalaupun Kak Garry nggak suka sama dia, setidaknya dia nggak akan celakain suamiku."Julie mencibir. "Semoga saja dia memang sebaik yang kamu bilang ...."Setelah mengobrol sejenak, Julie baru mengakhiri panggilan itu karena masih ada urusan mendadak yang harus diurusnya. Tiffany pun menyimpan kembali ponselnya.Meski telah banyak "berolahraga" dengan Sean tadi pagi, energi Tiffany menjadi penuh lagi setelah menghabiskan dua mangkuk mie. Saking bersemangatnya, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menghabiskan energi ini.Tiffany keluar dari kamar tidur. Dia samar-samar mendengar suara Sean dan Sofyan sedang berbincang di ruang kerja. Sepertinya memang banyak urusan perusahaan yang harus ditangani Sean.Karena tidak ingin mengganggu Sean dan merasa sedikit bosan, Tiffany memutuskan untuk turun ke lantai baw
Mark seketika basah kuyup. Ini sungguh di luar dugaannya. Selama bertahun-tahun di luar negeri, Mark selalu dijunjung tinggi oleh orang-orang ke mana pun dia pergi. Alhasil, saat bertamu ke rumah teman baiknya, dia disiram oleh pelayan menggunakan selang air!Mark mengernyit karena jengkel. Dia bertanya, "Memangnya aku kelihatannya baik-baik saja?"Tiffany merapatkan bibir sambil mengamati Mark yang basah kuyup. Sepertinya tidak baik-baik saja ...."Ada baju ganti di mobilku," kata Mark sambil melirik Tiffany dengan jengkel. Dia menyerahkan kunci mobilnya kepada Tiffany, lalu memerintahkan, "Ambilkan."Untungnya, Mark memiliki kebiasaan untuk menyimpan pakaian ganti di mobil karena sering melakukan perjalanan bisnis mendadak pada sebelumnya."Oh," sahut Tiffany sambil mengambil kunci mobil. Dia pergi mencari di kursi belakang mobil. Benar saja, dia menemukan satu set pakaian pria, lengkap dengan dalaman dan luaran.Tiffany berlari kecil sepanjang jalan untuk membawakan pakaian itu pad
Mark duduk di ruang tamu Keluarga Tanuwijaya. Dia minum teh sambil bertanya, "Di mana istrimu?"Sean mengernyit saat menjawab, "Mungkin sedang kuliah."Saat makan mi barusan, Sofyan memberitahukan sepertinya ada kendala di Elupa sehingga Sean pergi ke ruang kerja. Sean benar-benar melupakan Tiffany. Akan tetapi, Tiffany seharusnya pergi ke kampus. Selain bersekolah dan belajar mandiri, Tiffany sepertinya tidak punya hiburan lain."Oh, ternyata masih kuliah," kata Mark.Mark sengaja melemparkan tatapan meledek pada Sean dan berkata, "Nggak nyangka Sean yang sudah jomblo bertahun-tahun ternyata suka yang muda?"Sean menyeringai sambil menuang segelas teh dan menyeruputnya. Dia menjawab, "Seingatku, aku sudah bilang ini. Meledek bos, potong setengah gaji.""Aku nggak peduli dengan gaji darimu ini," kata Mark sambil tersenyum. Lalu, dia merenggangkan pinggang.Mark berkata lagi, "Tapi kali ini kamu panggil aku pulang dengan cara begini agar kamu dan istrimu bisa bermain beberapa hari ke d
Setelah mendengar penjelasan Sean, Tiffany baru mengerti dia sudah terjebak dalam permainan Derek. Dia cemberut dan mengeluh, "Para pebisnis ini terlalu licik."Tiffany menggesekkan kepalanya ke pelukan Sean dengan ekspresi sedih. "Sayang, apa tadi aku salah bicara?"Sikap Tiffany yang manja membuat Sean menggelengkan kepala dengan tak berdaya. Dia pun mengangkat tangannya dan mengelus kepala Tiffany dengan lembut. "Ini juga bukan salahmu. Meskipun kamu nggak bicara, arti dari perkataan Derek pun tetap sama. Bedanya hanya ada yang mengiakan atau nggak saja."Tiffany cemberut karena hatinya masih terasa tidak nyaman. "Kalau begitu, kelak aku nggak akan sembarangan bicara lagi. Orang-orang kaya ini terlalu menakutkan."Sean tersenyum dan mencium bibir Tiffany yang lembut. "Aku juga orang kaya, apa aku menakutkan?"Saat mengatakan itu, tatapan mata Sean makin menggoda dan berbahaya. Tiffany yang ketakutan melihat tatapannya seperti itu segera bangkit dari pelukannya dan melangkah mundur s
"Bagaimana pendapat Pak Bronson tentang dirinya?" tanya Sean.Mendengar perkataan itu, tatapan Bronson langsung menjadi tajam.Namun, Derek yang berada di samping Bronson hanya tersenyum ramah. "Jangan emosi."Setelah mengatakan itu, Derek tersenyum pada Sean. "Aku yang meminta Cathy untuk mengundangmu menghadiri pesta ulang tahun Bronson kali ini. Sebenarnya masalah ini juga bukannya nggak ada jalan keluarnya. Beberapa hari lagi, kami akan mengumumkan sebuah rahasia Keluarga Japardi yang sudah kami simpan selama bertahun-tahun di pesta ulang tahun Bronson.""Siapa pun yang bisa membantu kami memecahkan rahasia ini, berarti sudah sangat membantu Keluarga Japardi. Kami akan memberikan hak istimewa pada orang itu untuk memerintah Keluarga Japardi melakukan satu hal yang kami mampu."Derek yang rambutnya sudah memutih semua itu mengelus janggutnya dan tersenyum pada Tiffany dan Sean, lalu melanjutkan, "Keluarga Japardi punya prinsip sendiri, uang dan relasi nggak bisa membuat kami melangg
Tiffany langsung tertegun sejenak saat ditanya tentang ibunya. Dia menatap Bronson dengan ekspresi bingung, "Kamu bertanya ... tentang ibuku?"Sean menerima cangkir teh yang dihidangkan pelayan, lalu tersenyum pada Bronson. "Pak Bronson, istriku ini yatim piatu. Dia dibesarkan oleh paman dan bibinya sejak kecil, dia nggak punya orang tua."Bronson langsung tertegun dan ekspresinya terlihat canggung. "Kalau begitu ... maaf, aku sudah terlalu lancang."Mendengar perkataan Bronson, Derek pun mengamati Tiffany dari atas ke bawah sambil mengelus janggutnya. "Hm. Memang sangat mirip."Tatapan dari kedua pria itu membuat Tiffany merasa tidak nyaman, tetapi dia hanya bisa menundukkan kepala dan tidak berani berbicara.Sean menganggukkan kepalanya sedikit dan tersenyum. "Apa yang Pak Derek katakan, aku nggak terlalu paham.""Nggak apa-apa. Haha."Derek tersenyum dan berkata, "Istrimu sangat mirip dengan seseorang yang pernah ada di Keluarga Japardi, jadi Bronson baru lancang menanyakan tentang
Tiffany yang memang sudah merasa malu, wajahnya makin memerah dan panas saat mendengar Sean memanggilnya dengan suara yang begitu memikat. Dia pun menundukkan kepala dengan malu-malu dan berkata dengan suara yang lembut, "Sayang ....""Hm ...."Sean mengernyitkan alis, lalu menyerahkan handuk pada Tiffany. "Kamu pergi memperbaikinya di kamar mandi."Tiffany langsung tertegun sejenak. Melihat ekspresi Sean yang agak aneh, dia langsung merasa ada yang tidak beres. Dia pun menatap Sean dengan ragu dan bertanya, "Sayang, kamu nggak ... membuatku terlihat sangat jelek, 'kan?"Sean menggelengkan kepalanya. "Nggak jelek."Bagi Sean, Tiffany adalah bidadarinya. Seperti apa pun penampilan Tiffany, dia tidak merasa Tiffany jelek.Tiffany mengambil handuk itu dan masuk ke kamar mandi. "Argh! Sean!"Mendengar suara Tiffany yang histeris dari kamar mandi, Sean berdeham pelan dan membuka pintu kamar. "Coba tanyakan apa ada pelayan di rumah Keluarga Japardi yang ahli dalam merias wajah."...."Kamu s
Tiffany tertegun sejenak, lalu segera mengerti. Dia biasanya memang hanya suka mengenakan celana jin dan kaus putih, tetapi sekarang dia sedang berada di luar. Dia datang untuk menemani Sean pesta keluarga bangsawan, pakaiannya tentu saja tidak boleh terlalu santai. Jika tidak, dia pasti akan menerima ejekan seperti yang dilakukan Cathy tadi.Dia menuangkan semua isi koper itu keluar dengan cemberut. Pakaiannya terlihat indah, jelas merupakan merek internasional yang dirancang dengan sangat cermat. Gaunnya juga cantik dan sepatunya berkilauan, tetapi hak sepatunya tidak terlalu tinggi. Kelihatan jelas, Sean juga menyadari dia jarang memakai sepatu hak tinggi.Namun, saat melihat tumpukan parfum dan kosmetik itu, Tiffany merasa ragu. Dia tidak berdandan. Dia menatap Sean dengan ekspresi meringis. "Aku agak menyesal nggak mengajak Kak Rika ke sini."Saat bepergian sebelumnya, Tiffany sudah berkata akan mengajak Rika jika mereka bepergian lagi. Sebelum datang berangkat ke sini, dia memang
Tiffany mengangguk, lalu turun dari mobil. Di luar mobil, suasananya sangat berbeda.Tiffany tidak menyangka, di tanah asing ini, dia bisa melihat bangunan yang begitu klasik dan penuh nuansa kuno. Bangunannya besar dan megah, seperti istana kuno, bahkan bisa dibilang seperti kastil. Gunung buatan, aliran sungai kecil, halaman, lorong berukir, dan taman yang hijau.Tiffany sampai curiga dia salah tempat. Tempat ini ... bukan lokasi syuting? Jika bukan karena orang-orang yang mengenakan setelan jas berlalu-lalang di dalam bangunan, dia pasti mengira dirinya telah melakukan perjalanan waktu!Seperti mengetahui pemikiran Tiffany, pelayan Keluarga Japardi mulai memberi penjelasan sambil memimpin jalan, "Tuan tua kami sangat menyukai benda-benda bergaya klasik, jadi tuan besar kami membangun rumah seperti ini untuknya."Tiffany terpana melihat semuanya, lalu berkata dengan takjub, "Tuan Besar Keluarga Japardi sangat berbakti ya?""Tentu saja!" Pelayan itu tersenyum lebar dan melanjutkan, "T
Sean menjulurkan tangan dan berjabat tangan dengan Cathy dengan ringan. "Halo.""Mobil kami di sana." Cathy menunjuk menunjuk ke mobil di belakangnya dengan anggun. Kemudian, dia berbalik dan memimpin jalan.Karena Chaplin dan Sofyan yang membawa koper agak lambat, Sean berbalik untuk membantu mereka. Jadi, Cathy berjalan di depan bersama Tiffany.Cathy tidak menyembunyikan kebenciannya kepada Tiffany. "Bisnis Pak Sean di Elupa begitu besar. Aku kira orang sukses seperti dia akan lebih mengikuti kata hati.""Tapi, ternyata Pak Sean sama seperti orang lain. Demi kepentingannya sendiri, dia memilih untuk bersama wanita sepertimu."Kemudian, Cathy memandang Tiffany dengan sinis dari atas hingga bawah. "Di kota kalian, kamu seharusnya termasuk sosok sosialita, 'kan? Kenapa pakaiannya begitu sembarangan?"Tiffany merasa bingung. Dia mengernyit dan bertanya, "Sosialita?""Ya." Cathy tersenyum dingin. "Kamu sangat kurus dan nggak punya daya tarik. Kamu bisa menikahi pria seperti Pak Sean past
Tiffany terkejut, lalu mendongak menatap Sean. "Dia bilang, kamu beli banyak. Banyak apa?"Sean meletakkan satu tangan di depan mulut, lalu batuk dengan pelan. "Waktunya berangkat."Tiffany menatapnya dengan curiga. Kemudian, dia menoleh menatap Rika yang masih mengemas barang.Rika menggelengkan kepalanya, menandakan bahwa dia tidak tahu apa-apa. Sean merasa agak canggung dan melirik Rika. "Aku panggil Pak Sofyan dulu untuk angkat koper."Setelah itu, Sean bergegas berbalik dan pergi. Tiffany hanya bisa merenung. Apa pria ini sedang menyembunyikan sesuatu darinya?....Sebelum berangkat, Tiffany memeriksa jarak dari Kota Aven ke Kota Idali di peta. Menurut perkiraannya, mereka seharusnya akan transit di Kota Sleba.Namun, Sean malah membawanya melalui jalur VIP dan naik pesawat pribadi. Ini pertama kalinya Tiffany naik pesawat, bahkan pesawat pribadi.Di dalam pesawat, Tiffany tidak bisa menutupi rasa senangnya. Dia mengenakan sabuk pengaman dengan kencang, lalu duduk di kursi sambil
Sebelum pergi ke Elupa, Tiffany menghadiri kelas dulu. Dia ingin meminta maaf kepada dosennya. Setengah bulan lalu, dia mengambil cuti karena kondisinya yang tidak sehat. Sekarang, dia harus mengambil cuti lagi selama satu minggu tiga hari.Dosen tidak terkejut lagi. "Tiffany, biar kuingatkan ya. Setelah cuti sepuluh hari ini, kamu akan langsung menghadapi ujian akhir. Semester lalu, kamu mendapat nilai sempurna di semua mata pelajaran. Kalau nilaimu turun kali ini, aku nggak bisa memaafkanmu lho!"Tiffany yang merasa malu hanya bisa tersenyum kepada dosennya."Ya, aku tahu.""Jangan cuma tahu!" Dosen meliriknya dengan tatapan tajam. "Jangan lupa bawa buku pelajaran supaya kamu bisa belajar!"Tiffany mengangguk serius dan mengingat semua nasihat dosennya. Setelah pulang dan mengemas barang, Tiffany pun memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam koper dengan patuh.Rika sampai heran melihatnya. "Nyonya, kamu ke Elupa untuk berlibur, 'kan? Kenapa ...." Kenapa harus bawa buku pelajaran? Apa n