Tiffany awalnya menatap Sean dengan kaget, kemudian tampak takjub dan akhirnya berubah menjadi tatapan kagum. Ternyata dia tidak salah pilih! Suaminya memang yang terbaik!Tanpa memedulikan tatapan dari para kandidat yang ada di ruangan itu, Tiffany langsung mengangkat wajah Sean dan mencium pipinya dengan penuh semangat berkali-kali. Suasana di ruang rapat menjadi sangat hening.Orang-orang yang dibawa oleh Sofyan sebenarnya bukanlah pelamar biasa, melainkan tim inti yang diperintahkan Sean untuk kembali dari luar negeri semalam. Mereka adalah para profesional yang sudah lama bekerja di perusahaan global Sean di luar negeri.Para elite ini memiliki kesan bahwa Sean adalah sosok yang dingin, angkuh, tak berperasaan, dan tak suka didekati oleh orang asing. Jadi, ketika melihat Sean diperlakukan seperti itu oleh Tiffany yang mencium wajahnya berkali-kali, semua orang langsung tercengang."Sudah, cukup."Sean tersenyum lembut sambil mengusap kepala Tiffany dengan penuh kasih sayang. "Oran
Sofyan mengerutkan alisnya, kemudian keluar dari ruang rapat dan menelepon Charles."Oke, aku mengerti!" Charles yang sedang berbaring di tempat tidur, memutar matanya sambil melirik Garry yang masih sibuk membersihkan klinik. "Di lantai satu gedung Grup Maheswari ada pasien yang mengalami luka bakar. Pergilah ke sana dan tangani."Sofyan memberi tahu Charles bahwa Tiffany yang mengalami cedera dan meminta Charles datang sendiri. Namun, Charles hanya mendengus. Dia tahu jika Tiffany benar-benar terluka, mengingat betapa Sean memanjakannya, reaksi pertamanya pasti langsung mengutus mobil untuk menjemput Charles langsung!Namun, kali ini Sean hanya meminta Sofyan menyampaikan pesan dan meminta Charles untuk menangani kasus ini? Charles merasa yakin bahwa yang terluka mungkin hanyalah salah satu kenalan Sofyan.Berhubung yang terluka hanya teman Sofyan, Charles merasa tidak perlu repot-repot datang sendiri. Mengirim Garry ke sana adalah pilihan terbaik.....Klinik Charles tidak terlalu j
"Tiff." Garry menundukkan kepalanya menatap Tiffany dengan serius. "Apa yang dibilang temanmu itu sungguhan?"Tiffany bersandar di sofa. Wajahnya pucat karena menahan rasa sakit hingga keringat dingin mengalir di dahinya. Saat Garry merawat lukanya tadi, sepertinya dia sempat melamun dan tidak sengaja menekan terlalu keras. Luka Tiffany yang tadinya memang sudah sakit, kini terasa semakin menyiksa.Namun, dia tetap berusaha menahan rasa sakitnya dan mencoba untuk terlihat tenang. Lantaran Tiffany tidak langsung menjawab, Garry kembali bertanya, "Apa benar suamimu bisa melihat?""Ah?" Tiffany tersadar dari lamunannya dan memaksakan senyuman, meski terlihat kaku. "Aku juga nggak tahu .... Seingatku, dia pernah bilang kalau matanya bisa melihat saat dia sangat cemas.""Tapi waktu itu aku agak linglung, jadi nggak bisa membedakan apakah aku sedang bermimpi atau kenyataan." Saat berkata demikian, tanpa sadar Tiffany melirik jarinya yang masih ditempeli plester.Sebenarnya dalam hatinya, dia
"Kamu bilang kalau aku yang pergi, suamimu pasti tahu kamu ada masalah. Tapi memangnya dia nggak tahu kalau kamu pergi ke sana dengan kaki pincang begini?"Tiffany tetap mengangguk tanpa menoleh. "Iya. Dia kan buta."Julie terdiam. Seketika, dia tidak tahu harus bagaimana membantahnya.Akhirnya, Tiffany tetap membawa kopi itu sendiri ke ruang rapat. Meski Sean tidak bisa melihat, ruangan itu penuh dengan orang lainnya. Dia tidak ingin membuat orang bergosip.Oleh karena itu, meskipun kakinya terasa sangat sakit, Tiffany berpura-pura tidak terjadi apa pun. Sambil membawa dua cangkir kopi, dia perlahan-lahan berjalan ke sisi Sean.Setiap langkah yang dia ambil membuat luka bakar di kakinya terasa semakin menusuk. Wajah Tiffany semakin pucat dan keringat dingin mengucur deras di dahinya. Dia bergerak selangkah demi selangkah dengan susah payah menuju ke sisi Sean.Dalam hati, dia bahkan merasa agak lega bahwa suaminya adalah seseorang yang tidak bisa melihat apa pun. Sean yang duduk di ku
Ruang rapat itu hening selama beberapa detik. Setelah itu, terdengar suara serempak yang bergemuruh, "Siap! Kami akan mengingatnya!"Tiffany tersentak kaget. Wajahnya langsung memerah karena bercampur antara malu dan terkejut. Dia mencoba melepaskan diri dari pelukan Sean."Jangan banyak bergerak!" seru Sean memperingatkannya.Namun, Tiffany masih berusaha keluar dari pelukannya. Ruangan ini penuh dengan orang! Ini benar-benar memalukan .... Dia berjuang beberapa kali, lalu tiba-tiba merasakan rasa sakit yang tajam di kakinya. Wajahnya pucat dan dia pun berhenti bergerak.Sean menunduk melihat keringat dingin di dahinya karena menahan rasa sakit. Tatapannya menjadi semakin suram. Dia langsung menggendong Tiffany, lalu mendorong kursi rodanya keluar dari ruang rapat."Rapat dibatalkan!" perintahnya.Sofyan buru-buru mengikuti mereka. Dia segera mencari ruangan medis agar Sean bisa membawa Tiffany ke sana.Dengan lembut, Sean meletakkan Tiffany di tempat tidur di ruangan medis tersebut,
"Jangan bicara omong kosong! Cepat usir dia!" tegur Sean yang mendengus."Ya, ya. Aku telepon dia. Omong-omong, mau dipecat nggak? Dia bilang padaku, dia dipecat karena menyinggung tokoh penting. Itu pasti kerjaanmu, 'kan?" Charles mengernyit."Aku nggak sesenggang itu. Paling-paling, rumah sakit yang memecatnya karena takut aku marah." Sean mengerlingkan matanya.Sean mengambil ponselnya, lalu berjeda sebelum meneruskan, "Biarkan saja dia. Aku nggak bakal melarang apa-apa. Tapi, ingat, kalau suatu hari Tiffany kenapa-napa, kamu yang harus turun tangan. Aku nggak mau dia ikut campur. Kalau nggak, kurobohkan rumah sakitmu ini!"Charles hampir jatuh pingsan mendengarnya.....Sesudah Garry selesai membalut luka Tiffany, Charles menelepon menyuruhnya cepat kembali. Ada hal penting yang harus dibicarakan.Garry melirik Tiffany sekilas, lalu berkata, "Aku dicari pihak rumah sakit. Aku balik dulu."Tiffany mengangguk dan melambaikan tangan. "Terima kasih untuk hari ini, Kak. Dah!""Dah!" Ket
Nada bicara Sean yang dipenuhi kasih sayang membuat wajah Tiffany memerah. Sean membenamkan wajah Tiffany ke pelukannya. Tiffany bergumam, "Aku bisa menjaga diriku kok. Aku juga bisa menjaga orang lain.""Kamu cuma bisa menjaga orang lain. Masih berani bilang bisa menjaga diri sendiri?" Suara rendah Sean dipenuhi cinta kasih.Julie yang duduk di samping pun tidak bisa berkata-kata melihat pemandangan ini. 'Sial! Aku mau pulang! Aku nggak mau jadi nyamuk di sini!'...."Sayang, terserah kamu mau melakukan apa pada Leslie. Nggak usah dihukum terlalu berat," ujar Tiffany saat dalam perjalanan pulang. Matanya tertuju pada pemandangan di luar. Dia takut Sean sekejam saat memberi pelajaran kepada Vernon.Ini bukan karena Tiffany adalah orang yang pemaaf, melainkan karena dia merasa ayah Leslie adalah orang yang bijaksana.Karena Leslie berkelahi dengannya, ayah Leslie langsung menyerahkan perusahaan kepada Tiffany. Jelas, dia takut Sean marah dan seluruh keluarganya akan hancur.Kini, Taufik
Tiffany bersandar di dinding, mengeluarkan ponsel untuk menelepon Garry. Sebelum panggilan tersambung, tubuhnya tiba-tiba ditabrak seseorang. Tiffany hampir terjatuh.Tiffany mendongak. Orang yang menabraknya tidak lain adalah ibu Leslie, Revina. Ketika Tiffany dan Leslie berkelahi waktu itu, Revina sempat datang ke kantor polisi.Revina meludah dan merutuk, "Cih! Sial sekali bertemu denganmu di sini!"Tiffany memicingkan mata, lalu berpindah tempat. Dia malas meladeni Revina.Ketika melihat Tiffany mengabaikannya, Revina merasa geram. Dia mengejar sambil bertanya, "Kamu nggak merasa bersalah sedikit pun?""Aku perlu merasa bersalah kalau melihatmu?" Tiffany merasa pertanyaan yang dilontarkan Revina sangat aneh. Bukankah mereka yang seharusnya merasa bersalah? Lagi pula, Leslie yang membuat onar tanpa henti. Sudah syukur Tiffany membantu Leslie bicara di hadapan Sean."Sepertinya kamu benaran nggak berhati nurani!" Revina memelototi Tiffany. Jika tidak ada Chaplin, Revina pasti sudah m