"Jangan bicara omong kosong! Cepat usir dia!" tegur Sean yang mendengus."Ya, ya. Aku telepon dia. Omong-omong, mau dipecat nggak? Dia bilang padaku, dia dipecat karena menyinggung tokoh penting. Itu pasti kerjaanmu, 'kan?" Charles mengernyit."Aku nggak sesenggang itu. Paling-paling, rumah sakit yang memecatnya karena takut aku marah." Sean mengerlingkan matanya.Sean mengambil ponselnya, lalu berjeda sebelum meneruskan, "Biarkan saja dia. Aku nggak bakal melarang apa-apa. Tapi, ingat, kalau suatu hari Tiffany kenapa-napa, kamu yang harus turun tangan. Aku nggak mau dia ikut campur. Kalau nggak, kurobohkan rumah sakitmu ini!"Charles hampir jatuh pingsan mendengarnya.....Sesudah Garry selesai membalut luka Tiffany, Charles menelepon menyuruhnya cepat kembali. Ada hal penting yang harus dibicarakan.Garry melirik Tiffany sekilas, lalu berkata, "Aku dicari pihak rumah sakit. Aku balik dulu."Tiffany mengangguk dan melambaikan tangan. "Terima kasih untuk hari ini, Kak. Dah!""Dah!" Ket
Nada bicara Sean yang dipenuhi kasih sayang membuat wajah Tiffany memerah. Sean membenamkan wajah Tiffany ke pelukannya. Tiffany bergumam, "Aku bisa menjaga diriku kok. Aku juga bisa menjaga orang lain.""Kamu cuma bisa menjaga orang lain. Masih berani bilang bisa menjaga diri sendiri?" Suara rendah Sean dipenuhi cinta kasih.Julie yang duduk di samping pun tidak bisa berkata-kata melihat pemandangan ini. 'Sial! Aku mau pulang! Aku nggak mau jadi nyamuk di sini!'...."Sayang, terserah kamu mau melakukan apa pada Leslie. Nggak usah dihukum terlalu berat," ujar Tiffany saat dalam perjalanan pulang. Matanya tertuju pada pemandangan di luar. Dia takut Sean sekejam saat memberi pelajaran kepada Vernon.Ini bukan karena Tiffany adalah orang yang pemaaf, melainkan karena dia merasa ayah Leslie adalah orang yang bijaksana.Karena Leslie berkelahi dengannya, ayah Leslie langsung menyerahkan perusahaan kepada Tiffany. Jelas, dia takut Sean marah dan seluruh keluarganya akan hancur.Kini, Taufik
Tiffany bersandar di dinding, mengeluarkan ponsel untuk menelepon Garry. Sebelum panggilan tersambung, tubuhnya tiba-tiba ditabrak seseorang. Tiffany hampir terjatuh.Tiffany mendongak. Orang yang menabraknya tidak lain adalah ibu Leslie, Revina. Ketika Tiffany dan Leslie berkelahi waktu itu, Revina sempat datang ke kantor polisi.Revina meludah dan merutuk, "Cih! Sial sekali bertemu denganmu di sini!"Tiffany memicingkan mata, lalu berpindah tempat. Dia malas meladeni Revina.Ketika melihat Tiffany mengabaikannya, Revina merasa geram. Dia mengejar sambil bertanya, "Kamu nggak merasa bersalah sedikit pun?""Aku perlu merasa bersalah kalau melihatmu?" Tiffany merasa pertanyaan yang dilontarkan Revina sangat aneh. Bukankah mereka yang seharusnya merasa bersalah? Lagi pula, Leslie yang membuat onar tanpa henti. Sudah syukur Tiffany membantu Leslie bicara di hadapan Sean."Sepertinya kamu benaran nggak berhati nurani!" Revina memelototi Tiffany. Jika tidak ada Chaplin, Revina pasti sudah m
Tiffany dan Chaplin pulang dengan terburu-buru. Sepanjang perjalanan, Tiffany terus memikirkan sikap yang harus diambilnya nanti.Misalnya, menunjuk Sean dan menginterogasinya habis-habisan. Kenapa ingkar janji? Bukannya dia sudah setuju akan mengirim Leslie ke luar negeri untuk sekolah?Atau mungkin menangis sambil menginterogasi Sean. Kenapa dia memboikot Garry? Garry tidak membuat kesalahan apa pun.Amarah Tiffany berkecamuk. Dia ingin bertengkar hebat dengan Sean!Namun, setibanya di depan vila, jantung Tiffany malah berdetak kencang. Dia tidak pernah marah-marah pada orang. Dia harus bagaimana agar Sean tahu dirinya benar-benar murka? Apa Sean akan menganggapnya sedang bercanda? Namun, dia tidak bercanda!Leslie tidak sakit jiwa, tetapi Sean mengurungnya di bangsal. Garry adalah dokter yang begitu baik, tetapi Sean memboikotnya. Bagaimana bisa Sean melakukan hal seperti ini?Tiffany menarik napas dalam-dalam. Dia berdiri di depan pintu dan memberanikan dirinya, lalu melangkah masu
Tiffany memaksakan diri untuk tidak tertidur. Dia pulang untuk bertengkar! Bukan untuk tidur! Namun, pada akhirnya wajah mungil itu terkulai miring di sofa. Tiffany ketiduran!Sofyan masih membaca laporan. Beberapa tahun ini, Taufik membuat banyak prestasi. Tim elite yang diutus oleh Sean bekerja lembur sepanjang hari untuk merangkum data dan laporan perusahaan.Sebagai bos besar di balik Grup Maheswari, Sean harus memahami keseluruhan situasi dalam sehari. Dengan demikian, dia baru bisa membuat Grup Maheswari menonjol dalam tender melawan Grup Tanuwijaya."Sebentar." Sean tiba-tiba melambaikan tangan setelah Taufik selesai membacakan satu dokumen. Sofyan pun berhenti.Sean bangkit dari sofa dan mengambil selimut di samping untuk menyelimuti Tiffany. Kemudian, dia mengambil bantal dan menaruhnya di bawah kepala Tiffany.Setelah membereskan semua ini, Sean kembali ke sofa dan menginstruksi, "Pak Genta, tanya Chaplin kenapa Tiffany marah-marah."Chaplin terus menemani Tiffany, jadi tentu
Sean mengganti posisi sandarannya supaya lebih nyaman. Dia menatap wajah galak Tiffany dan tersenyum. "Aku jahat?"Sepertinya ini kata paling kejam yang bisa dilontarkan oleh Tiffany. Sungguh menggemaskan.Tiffany memanyunkan bibirnya. "Ya, kamu jahat! Kenapa nggak dengar saranku? Kenapa nggak kirim Leslie ke luar negeri saja dan malah mengurungnya di rumah sakit? Kenapa memboikot Kak Garry? Kenapa membuatnya kehilangan pekerjaan? Dia salah apa?"Jelas sekali, Tiffany menyalahkan Sean atas masalah yang menimpa kedua orang itu. Sean memijat pelipisnya dengan pusing. "Kenapa kamu merasa aku yang mencelakai mereka?"Tiffany memelototi Sean dan menyahut, "Kamu hampir membunuh Vernon waktu itu."Sean tersenyum getir. "Karena Vernon, kamu kira aku penjahat yang nggak berperikemanusiaan?"Sean mengakui bahwa tindakannya hari itu sangat kejam. Akan tetapi, semua itu konsekuensi yang harus ditanggung Vernon. Kalau dibandingkan dengan apa yang dilakukan Vernon terhadap Tiffany, Sean tidak merasa
Sean menoleh dan melirik Tiffany sekilas. Suaranya yang rendah mulai terdengar agak kesal. "Kita makan dulu."Tiffany masih duduk diam. "Sayang, kalau kamu nggak menyetujui permintaanku, aku nggak mau makan.""Permintaan apa? Melepaskan mereka? Masalah ini nggak ada kaitannya denganku. Gimana caraku membantu mereka?" Sean merasa lucu.Tiffany mengernyit. "Kamu pasti berkaitan dengan masalah ini. Kalau kamu nggak mau setuju, aku nggak mau makan."Sean tergelak saking kesalnya. Gadis ini masih keras kepala seperti dulu. Sean duduk di kursi roda dengan elegan, lalu menggerakkan kursi rodanya keluar. "Sepertinya kamu nggak lapar."Saat berikutnya, pintu kamar ditutup dengan kuat. Tiffany masih duduk diam. Hatinya terasa sakit melihat Sean meninggalkannya begitu saja. Sean tidak ingin memedulikannya lagi?Seketika, kesedihan membanjiri hati Tiffany. Tiffany berusaha keras menahan kesedihannya. Dia memaksakan diri untuk tidak menangis. Kenapa harus sedih? Dia jelas-jelas tahu mereka bersama
Tiffany benar-benar tidak makan. Keesokan pagi, Rika membawa turun makanan yang sama sekali tak tersentuh. Dengan wajah masam, dia melapor, "Tuan, Nyonya masih nggak mau makan."Sean mengernyit kuat. Gadis ini benar-benar keras kepala! Dia memicingkan mata sambil bertanya, "Apa yang dia bilang?""Katanya ...." Rika melapor dengan hati-hati, "Kalau Tuan nggak mengakui kesalahan dan nggak mau menyetujui permintaannya, dia mau mati kelaparan saja."Bam! Sean menggebrak meja. Seketika, seluruh vila menjadi sunyi senyap. Sean menggertakkan gigi dan memekik, "Ya sudah kalau nggak mau makan! Aku mau lihat, dia bisa bertahan sampai kapan!"Sean merasa dirinya harus memberi pelajaran kepada Tiffany supaya tidak begitu keras kepala lagi."Marah karena malu," gumam Chaplin yang memakai baju biru sambil mencebik. Sesudahnya, dia buru-buru menghabiskan makanannya.Sean menyipitkan matanya. Meskipun kesal, dia terkejut Chaplin berani bersuara di saat-saat seperti ini. Sepertinya, tidak sia-sia dia m