Tiffany dan Chaplin pulang dengan terburu-buru. Sepanjang perjalanan, Tiffany terus memikirkan sikap yang harus diambilnya nanti.Misalnya, menunjuk Sean dan menginterogasinya habis-habisan. Kenapa ingkar janji? Bukannya dia sudah setuju akan mengirim Leslie ke luar negeri untuk sekolah?Atau mungkin menangis sambil menginterogasi Sean. Kenapa dia memboikot Garry? Garry tidak membuat kesalahan apa pun.Amarah Tiffany berkecamuk. Dia ingin bertengkar hebat dengan Sean!Namun, setibanya di depan vila, jantung Tiffany malah berdetak kencang. Dia tidak pernah marah-marah pada orang. Dia harus bagaimana agar Sean tahu dirinya benar-benar murka? Apa Sean akan menganggapnya sedang bercanda? Namun, dia tidak bercanda!Leslie tidak sakit jiwa, tetapi Sean mengurungnya di bangsal. Garry adalah dokter yang begitu baik, tetapi Sean memboikotnya. Bagaimana bisa Sean melakukan hal seperti ini?Tiffany menarik napas dalam-dalam. Dia berdiri di depan pintu dan memberanikan dirinya, lalu melangkah masu
Tiffany memaksakan diri untuk tidak tertidur. Dia pulang untuk bertengkar! Bukan untuk tidur! Namun, pada akhirnya wajah mungil itu terkulai miring di sofa. Tiffany ketiduran!Sofyan masih membaca laporan. Beberapa tahun ini, Taufik membuat banyak prestasi. Tim elite yang diutus oleh Sean bekerja lembur sepanjang hari untuk merangkum data dan laporan perusahaan.Sebagai bos besar di balik Grup Maheswari, Sean harus memahami keseluruhan situasi dalam sehari. Dengan demikian, dia baru bisa membuat Grup Maheswari menonjol dalam tender melawan Grup Tanuwijaya."Sebentar." Sean tiba-tiba melambaikan tangan setelah Taufik selesai membacakan satu dokumen. Sofyan pun berhenti.Sean bangkit dari sofa dan mengambil selimut di samping untuk menyelimuti Tiffany. Kemudian, dia mengambil bantal dan menaruhnya di bawah kepala Tiffany.Setelah membereskan semua ini, Sean kembali ke sofa dan menginstruksi, "Pak Genta, tanya Chaplin kenapa Tiffany marah-marah."Chaplin terus menemani Tiffany, jadi tentu
Sean mengganti posisi sandarannya supaya lebih nyaman. Dia menatap wajah galak Tiffany dan tersenyum. "Aku jahat?"Sepertinya ini kata paling kejam yang bisa dilontarkan oleh Tiffany. Sungguh menggemaskan.Tiffany memanyunkan bibirnya. "Ya, kamu jahat! Kenapa nggak dengar saranku? Kenapa nggak kirim Leslie ke luar negeri saja dan malah mengurungnya di rumah sakit? Kenapa memboikot Kak Garry? Kenapa membuatnya kehilangan pekerjaan? Dia salah apa?"Jelas sekali, Tiffany menyalahkan Sean atas masalah yang menimpa kedua orang itu. Sean memijat pelipisnya dengan pusing. "Kenapa kamu merasa aku yang mencelakai mereka?"Tiffany memelototi Sean dan menyahut, "Kamu hampir membunuh Vernon waktu itu."Sean tersenyum getir. "Karena Vernon, kamu kira aku penjahat yang nggak berperikemanusiaan?"Sean mengakui bahwa tindakannya hari itu sangat kejam. Akan tetapi, semua itu konsekuensi yang harus ditanggung Vernon. Kalau dibandingkan dengan apa yang dilakukan Vernon terhadap Tiffany, Sean tidak merasa
Sean menoleh dan melirik Tiffany sekilas. Suaranya yang rendah mulai terdengar agak kesal. "Kita makan dulu."Tiffany masih duduk diam. "Sayang, kalau kamu nggak menyetujui permintaanku, aku nggak mau makan.""Permintaan apa? Melepaskan mereka? Masalah ini nggak ada kaitannya denganku. Gimana caraku membantu mereka?" Sean merasa lucu.Tiffany mengernyit. "Kamu pasti berkaitan dengan masalah ini. Kalau kamu nggak mau setuju, aku nggak mau makan."Sean tergelak saking kesalnya. Gadis ini masih keras kepala seperti dulu. Sean duduk di kursi roda dengan elegan, lalu menggerakkan kursi rodanya keluar. "Sepertinya kamu nggak lapar."Saat berikutnya, pintu kamar ditutup dengan kuat. Tiffany masih duduk diam. Hatinya terasa sakit melihat Sean meninggalkannya begitu saja. Sean tidak ingin memedulikannya lagi?Seketika, kesedihan membanjiri hati Tiffany. Tiffany berusaha keras menahan kesedihannya. Dia memaksakan diri untuk tidak menangis. Kenapa harus sedih? Dia jelas-jelas tahu mereka bersama
Tiffany benar-benar tidak makan. Keesokan pagi, Rika membawa turun makanan yang sama sekali tak tersentuh. Dengan wajah masam, dia melapor, "Tuan, Nyonya masih nggak mau makan."Sean mengernyit kuat. Gadis ini benar-benar keras kepala! Dia memicingkan mata sambil bertanya, "Apa yang dia bilang?""Katanya ...." Rika melapor dengan hati-hati, "Kalau Tuan nggak mengakui kesalahan dan nggak mau menyetujui permintaannya, dia mau mati kelaparan saja."Bam! Sean menggebrak meja. Seketika, seluruh vila menjadi sunyi senyap. Sean menggertakkan gigi dan memekik, "Ya sudah kalau nggak mau makan! Aku mau lihat, dia bisa bertahan sampai kapan!"Sean merasa dirinya harus memberi pelajaran kepada Tiffany supaya tidak begitu keras kepala lagi."Marah karena malu," gumam Chaplin yang memakai baju biru sambil mencebik. Sesudahnya, dia buru-buru menghabiskan makanannya.Sean menyipitkan matanya. Meskipun kesal, dia terkejut Chaplin berani bersuara di saat-saat seperti ini. Sepertinya, tidak sia-sia dia m
"Kenapa kamu nggak suruh istrimu nggak makan 20 jam lebih?" sindir Sean.Sofyan seketika tidak bisa berkata-kata. Dia terlalu bodoh dan polos. "Maaf, Tuan."Seingat Sofyan, majikannya punya pendirian kuat. Sean tidak pernah menelan ludahnya sendiri. Itu sebabnya, dia mengira Sean melarang Chaplin membawakan apa pun untuk Tiffany. Siapa sangka, pemikirannya malah salah? Ternyata manusia memang bisa berubah setelah jatuh cinta."Dasar nggak berguna." Sean mengerlingkan matanya. "Pikirkan cara supaya dia makan."Sofyan termangu sejenak sebelum mengiakan. "Baik."...."Kak, ayo minum susu." Chaplin membuka pintu kamar dengan membawakan segelas susu hangat.Tiffany menggigit bibirnya dan tidak berani melirik susu itu. Dia mengeluarkan iPad untuk mencari anime yang ingin ditonton Chaplin. "Kemari."Chaplin tersenyum dan meletakkan susu itu di atas meja, lalu menghampiri Tiffany. Tiba-tiba, perut Tiffany keroncongan. Chaplin mendengarnya dan menyodorkan susu itu. "Minum dulu, Kak."Tiffany me
Sofyan mengangguk dan buru-buru keluar. "Baik, baik."Pukul 8 pagi, Rika memasuki kamar dengan membawa kue buah yang terlihat menggugah selera. "Nyonya, aku baru belajar buat kue buah. Ayo dicicipi."Tiffany menolak dengan wajah tersenyum, "Gigiku lagi sakit. Aku nggak bisa makan makanan manis."Pukul 8.10 pagi, Genta yang bertubuh gendut membawa sepiring buah potong untuk Tiffany sambil menyanjung, "Nyonya, ini dari Tuan Darmawan. Baru diimpor dari luar negeri. Ayo makan sedikit.""Taruh saja di kulkas. Aku nggak ingin makan," tolak Tiffany sambil mengernyit.Pukul 8.30 pagi, seorang pengawal yang cukup dekat dengan Tiffany masuk dengan wajah berlinang air mata. Dia memegang ayam panggang sambil berujar, "Nyonya, ayam peliharaanku yang paling kusayangi bunuh diri hari ini. Dia terbang sendiri ke oven. Aku nggak tega makan. Kamu saja yang makan."Tiffany termangu. "Kalian nggak punya alasan lain untuk membuatku makan ya?"....Beberapa jam kemudian, Sofyan masuk ke ruang kerja Sean den
Sean tertawa dengan pasrah. Dia menepuk punggung Tiffany dan berkata, "Ganti bajumu."Tiffany termangu. "Untuk apa?"Sean sengaja menggodanya, "Pergi makan."Tiffany segera menggeleng. "Sudah kubilang aku nggak mau makan.""Kamu yakin?""Yakin."Sean menghela napas. Dia berkata dengan kecewa, "Aku nggak bakal memaksamu. Kalau kamu benaran nggak ingin pergi ....""Aku bakal menyuruh Pak Sofyan menyuruh Taufik pulang. Kamu nggak mau pergi, 'kan?"Mata Tiffany sontak berbinar-binar. Taufik? Sean ingin membawanya makan bersama Taufik? Tiffany langsung melepaskan diri dari pelukan Sean. "Aku pergi ganti baju!""Yang pelan sedikit. Kakimu masih cedera." Sean memperingatkan dengan lembut.Tiffany tidak sempat memedulikan cederanya lagi. Dia langsung mengganti pakaian, lalu kembali ke hadapan Sean. "Sudah selesai. Ayo kita pergi!"Ketika melihat Tiffany kegirangan, Sean menggeleng dan merentangkan kedua lengannya. "Duduk di sini."Tiffany termangu, lalu menggeleng. "Nggak usah. Aku bisa jalan
Lena tidak menyangka Tiffany akan bersikap seperti ini. Dia tertegun sejenak sebelum akhirnya sadar dan berteriak, "Tiffany, apa maksudmu?""Kamu nggak ngerti bahasaku?" Tiffany tersenyum sinis. "Harus aku ulang dalam bahasa lain? Tapi, dengan ijazah SMP-mu, sepertinya kamu tetap nggak akan paham ya?""Kalau bodoh, belajarlah lebih giat. Jangan cuma mengandalkan jasa kakakmu untuk bertindak sewenang-wenang. Memangnya kamu pantas?" Tatapan Tiffany sedingin suaranya.Lena terdiam, lalu menggertakkan gigi. "Apa maksudmu?"Sambil berkata, dia langsung maju, berniat menyerang Tiffany. Dia paling benci diejek soal pendidikannya! Ini bukan karena dia bodoh!Tahun itu saat orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan, dia tidak ingin menjadi beban bagi kakaknya. Makanya, dia sendiri yang meminta untuk berhenti sekolah.Dia sebenarnya anak yang sangat pengertian, tetapi banyak orang yang malah menjadikan hal itu sebagai bahan ejekan!"Maksudnya sesuai dengan yang kukatakan." Tiffany meliriknya s
"Saat Bu Vivi mengalami kecelakaan, Bu Lena memaksa kami mencari mawar untuk kakaknya di lantai bawah ...."Sean mengaktifkan pengeras suara sehingga suara pria di ujung telepon terdengar jelas oleh Tiffany.Sambil memegang anggur merah di satu tangan dan mengetuk meja pelan dengan tangan lainnya, Tiffany mencerna informasi itu.Dari penjelasan pria itu, dia bisa menebak apa yang baru saja terjadi di rumah sakit. Kemungkinan besar, Vivi dan Lena melihat video yang beredar di internet.Vivi mengeluh karena tidak mendapatkan mawar, jadi Lena yang tidak terima dengan hal itu pun memaksa para pengawal mengikutinya mencari mawar untuk kakaknya!Namun, seluruh mawar di kota sudah diborong oleh Sean. Hal ini jelas diketahui oleh Vivi. Meskipun demikian, dia tetap meminta adiknya membawa orang-orang untuk mencarikannya bunga.Alasannya hanya satu, yaitu menciptakan situasi di mana tidak ada yang bisa menjaganya, sehingga dia bisa terluka dengan sempurna.Trik ini memang sangat cerdik. Tiffany
Iring-iringan mobil berhias mawar melaju melewati sebagian besar kota sebelum akhirnya berhenti di depan Restoran Proper.Di sana, Mark, pemilik Restoran Proper, sudah berdiri di depan pintu bersama para manajer dan koki untuk menyambut kedatangan mereka.Melihat Mark yang biasanya tampil gagah dalam setelan jas kini berdiri seperti seorang pelayan hanya untuk menyambutnya, Tiffany merasa cukup puas.Terlebih setelah mengingat bagaimana Mark memperlakukan Julie dulu, kini melihatnya berdiri dengan patuh sesuai arahan Sean, membuat Tiffany merasa semakin puas.Pintu mobil terbuka. Dengan bantuan Sean, Tiffany turun dengan anggun layaknya seorang ratu.Begitu turun, dia melirik sekilas ke arah Mark yang berdiri di kejauhan. "Wah, sejak kapan pemilik restoran punya waktu luang untuk menyambutku secara langsung?"Mark memasang senyuman tipis. "Kenapa aku di sini? Orang lain mungkin nggak tahu alasannya, tapi kamu pasti tahu, 'kan?""Kamu pasti lebih paham bagaimana sifat tunanganmu ini. Ka
Namun, Tiffany benar-benar tidak menyangka Sean akan menggunakan lamaran seromantis ini untuk mengumumkan bahwa hubungan mereka telah kembali seperti semula.Dia tahu dengan lamaran sebesar ini, tak akan butuh waktu lama sebelum berita ini tersebar hingga ke luar negeri. Para senior Keluarga Japardi akan segera melihatnya.Mungkin Vivi dan Lena juga akan marah besar? Namun, apakah semua itu penting? Tidak ada yang lebih penting dibandingkan pria yang kini berada di hadapannya, Sean.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Sean. "Tebak, aku terima atau nggak?"Senyuman malu-malu di wajahnya sudah menjawab semuanya.Sean mengatupkan bibirnya, tak lagi meragu. Dia segera meraih tangan Tiffany dan menyematkan cincin di jarinya. "Aku tebak, kamu sangat ingin menikah denganku."Setelah mengatakan itu, Sean langsung menariknya ke dalam pelukan.Sorakan dan tepuk tangan dari kerumunan terdengar bergemuruh.Tiffany bersandar di dadanya, merasa malu
Ketika Tiffany baru saja selesai mengobrol dengan rekan kerjanya, di kejauhan Sean sudah melihat sosok mungil wanita itu.Dengan senyuman tipis di wajah, pria itu membawa sebuket besar mawar dan melangkah perlahan ke arah Tiffany.Tiffany mendengar jelas suara tarikan napas terkejut dari para rekan kerja wanita di sekitarnya. Dia menggigit bibirnya dan tetap berdiri di tempat, meskipun hatinya sudah penuh kegelisahan.Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, yang tidak pernah dia duga adalah Sean tiba-tiba berhenti dua langkah di depannya, lalu berlutut dengan satu kaki dan menatapnya sambil memegang buket.Di wajah Sean yang selalu terlihat tegas, kini penuh dengan kelembutan yang mendalam. "Tiff."Suara bariton yang dalam memanggil nama Tiffany dengan lembut. Nada penuh kasih itu seketika membuat kegelisahan Tiffany menghilang.Tiffany menunduk, menatap wajah pria itu. "Hmm."Teriakan dan gumaman dari rekan-rekan wanita kembali terdengar. Mereka mulai bergosip dengan heboh.
Jadi, ini bukan salah siapa-siapa. Ini salahnya sendiri yang buta, yang tidak pandai bicara!Saat Tiffany tiba di pintu depan, rombongan mobil panjang yang dipenuhi mawar itu sudah berhenti tepat di depan institut. Hampir semua karyawan wanita di institut sudah berkumpul di sana.Sebenarnya, semua orang punya satu pemikiran yang sama. Bagaimana kalau mereka adalah orang yang dicari? Kalaupun bukan, bisa berfoto dengan mobil yang dipenuhi mawar sebanyak ini juga sudah cukup pantas!Beberapa rekan wanita bahkan mengajak Tiffany mengobrol santai, "Dok Tiff, kamu masih lajang?"Tiffany menggigit bibirnya, berpikir sejenak sebelum menjawab, "Anakku sudah 5 tahun.""Begitu rupanya." Rekan kerja itu menghela napas dengan agak kecewa. "Aku pikir ini hari pertama kamu bekerja, jadi ada yang datang dengan rombongan mobil seperti ini untuk menyatakan cinta padamu."Setelah berkata begitu, dia menatap Tiffany dengan ekspresi agak malu. "Kalau anakmu sudah 5 tahun, berarti kamu dan suamimu termasuk
"Wah, wah, wah! Aku nggak salah lihat, 'kan? Rombongan mobil panjang itu benar-benar bergerak ke arah lembaga penelitian kita!""Ya ampun, apa ada yang ingin menyatakan cinta pada orang di institut ini? Ini terlalu mewah dan romantis!""Ya Tuhan, aku harus merekam ini dan mengunggahnya ke internet ...."....Tiffany keluar dari kamar mandi, lalu melihat seluruh jendela di sepanjang koridor sudah dipenuhi oleh orang-orang.Para rekan kerja perempuan tampak iri dan kagum, sementara para rekan pria hanya menatap dengan dingin. Tiffany ingin sekali bersembunyi.Ini baru hari pertamanya bekerja, tetapi dia sudah membuat seluruh institut memiliki "kesan mendalam" seperti ini. Bagaimana dia bisa menjalani hari-harinya nanti?Tiffany berniat menyelinap keluar melalui pintu belakang. Faktanya, dia sudah berkemas dan hanya perlu kabur.Namun, kebetulan sekali, dia malah bertemu dengan Risyad di pintu belakang. Risyad menatapnya sambil tersenyum ramah. "Tiff."Orang lain mungkin tidak tahu apa ma
"Dulu Julie sudah rela tinggalkan semuanya demi dia dan akhirnya malah dia yang mengusir Julie pergi. Dia sendiri yang bilang seumur hidup nggak mau lihat Julie lagi. Sekarang ... maksudnya apa coba?""Baru nyesal setelah putus?" Semakin berbicara, Tiffany semakin kesal. "Kalau dari awal memang nggak bisa benar-benar melepaskan, kenapa dulu tega melepaskan begitu saja!""Hmm." Sean menghela napas pelan. "Makanya, Tiff."Suara pria itu terdengar serius. "Aku benar-benar merasa sangat beruntung ... karena kamu bersedia menerimaku kembali."Tangan Tiffany yang menggenggam ponsel terhenti sejenak. Dia terpaku sejenak dan baru menyadari ucapan barusan membuat Sean mengingat kembali dirinya sendiri."Hari ketiga setelah kita berpisah ... aku sudah menyesal." Sean berdiri di puncak gedung tinggi milik Grup Tanuwijaya sambil menatap jalanan kota yang sibuk. Suaranya lembut dan penuh perasaan."Tapi waktu itu ... kamu sudah pergi. Aku pikir kamu pasti kecewa berat sama aku. Aku pikir ... mungki
"Baiklah." Julie menghela napas, "Lagian, sudah banyak rahasia yang kujaga, nggak masalah kalau nambah satu lagi."Sambil berbicara, Julie mengambil cangkir kopi dan menyesapnya. "Gimana kerjaan barumu?"Tiffany tersenyum. "Sejauh ini, pekerjaan baruku lumayan bagus. Di lembaga riset, nggak ada yang peduli soal masa laluku. Suasananya juga harmonis dan penuh pengertian. Aku baru kerja belum genap sehari, tapi sejauh ini rasanya menyenangkan."Julie mengangguk. "Syukurlah kalau begitu. Kamu 'kan orangnya lembut banget, aku sempat khawatir kamu bakal ditindas di sana.""Kebanyakan mikir!" Tiffany tersenyum lebar, lalu mengambil teko kopi dan menuangkan ke cangkirnya dan milik Julie. "Kalau kamu sendiri? Setelah balik ke Kota Aven, mau cari kerja apa?""Atau ... mau aku tanya ke kepala lembaga? Siapa tahu mereka lagi buka lowongan.""Jangan, jangan!" Julie cepat-cepat melambaikan tangannya. "Aku nggak cocok kerja di tempat seperti lembaga riset yang tiap hari cuma duduk diam di kantor. Bu