Sofyan mengangguk dan buru-buru keluar. "Baik, baik."Pukul 8 pagi, Rika memasuki kamar dengan membawa kue buah yang terlihat menggugah selera. "Nyonya, aku baru belajar buat kue buah. Ayo dicicipi."Tiffany menolak dengan wajah tersenyum, "Gigiku lagi sakit. Aku nggak bisa makan makanan manis."Pukul 8.10 pagi, Genta yang bertubuh gendut membawa sepiring buah potong untuk Tiffany sambil menyanjung, "Nyonya, ini dari Tuan Darmawan. Baru diimpor dari luar negeri. Ayo makan sedikit.""Taruh saja di kulkas. Aku nggak ingin makan," tolak Tiffany sambil mengernyit.Pukul 8.30 pagi, seorang pengawal yang cukup dekat dengan Tiffany masuk dengan wajah berlinang air mata. Dia memegang ayam panggang sambil berujar, "Nyonya, ayam peliharaanku yang paling kusayangi bunuh diri hari ini. Dia terbang sendiri ke oven. Aku nggak tega makan. Kamu saja yang makan."Tiffany termangu. "Kalian nggak punya alasan lain untuk membuatku makan ya?"....Beberapa jam kemudian, Sofyan masuk ke ruang kerja Sean den
Sean tertawa dengan pasrah. Dia menepuk punggung Tiffany dan berkata, "Ganti bajumu."Tiffany termangu. "Untuk apa?"Sean sengaja menggodanya, "Pergi makan."Tiffany segera menggeleng. "Sudah kubilang aku nggak mau makan.""Kamu yakin?""Yakin."Sean menghela napas. Dia berkata dengan kecewa, "Aku nggak bakal memaksamu. Kalau kamu benaran nggak ingin pergi ....""Aku bakal menyuruh Pak Sofyan menyuruh Taufik pulang. Kamu nggak mau pergi, 'kan?"Mata Tiffany sontak berbinar-binar. Taufik? Sean ingin membawanya makan bersama Taufik? Tiffany langsung melepaskan diri dari pelukan Sean. "Aku pergi ganti baju!""Yang pelan sedikit. Kakimu masih cedera." Sean memperingatkan dengan lembut.Tiffany tidak sempat memedulikan cederanya lagi. Dia langsung mengganti pakaian, lalu kembali ke hadapan Sean. "Sudah selesai. Ayo kita pergi!"Ketika melihat Tiffany kegirangan, Sean menggeleng dan merentangkan kedua lengannya. "Duduk di sini."Tiffany termangu, lalu menggeleng. "Nggak usah. Aku bisa jalan
Charles termangu. Dia tanpa sadar mendongak menatap Sean. "Kalian?""Ya." Sean menyesap tehnya lagi. "Aku dan Tiffany."Charles tidak bodoh. Setelah berpikir sesaat, dia memahami maksud Sean. Charles berdeham, lalu mendongak melirik Tiffany. "Tiff."Tiffany masih mengunyah apel. Dia mendongak menatap Charles. Charles menjelaskan dengan tidak berdaya, "Aku memecat Garry atas keinginanku sendiri. Nggak ada hubungannya dengan Sean."Charles merenung sesaat, lalu mengernyit dan menambahkan, "Sebenarnya ada sedikit kaitan dengan Sean, tapi cuma sedikit."Tiffany menatap Charles dengan terkejut. "Kamu yang memecat Kak Garry?"Sebelumnya di rumah sakit, suster memberi tahu Tiffany bahwa Garry bekerja di klinik setelah dipecat di rumah sakit. Kemudian, Garry dipecat klinik karena dipaksa Sean. Ternyata, pemilik klinik itu adalah Charles. Charles tidak mungkin memecat Garry karena takut pada Sean, 'kan?"Ya. Masalahnya begini. Waktu kakimu terluka hari itu, Pak Sofyan meneleponku dan menyuruhku
Sean menyunggingkan senyuman tipis. Suaranya terdengar dingin. "Menurutmu?"Seperti biasanya, sikap Sean tampak dingin, angkuh, dan mendominasi.Taufik menunduk dan hanya bisa menarik napas dalam-dalam. "Bu, jangan salah paham. Aku memasukkan Leslie ke rumah sakit jiwa bukan atas perintah Pak Sean.""Pak Sean menyuruhku mengirim Leslie ke luar negeri untuk belajar, tapi kami nggak ingin berpisah darinya. Anak ini jadi rusak karena terlalu dimanjakan. Dia berkali-kali bersikap lancang padamu.""Makanya, aku membuat keputusan sendiri. Aku membuat surat keterangan palsu dan mengurungnya di bangsal khusus di rumah sakit jiwa.""Dia nggak bakal menderita di dalam sana ataupun mencari masalah denganmu lagi. Aku dan istriku juga masih bisa melihatnya."Penjelasan Taufik membuat Tiffany terkejut hingga tidak bisa berkata-kata. Idiot dari mana ini? Demi bisa melihat putri mereka setiap hari, mereka lebih memilih mengurungnya di rumah sakit jiwa daripada mengirimnya ke luar negeri?Seolah-olah m
Sofyan termangu sesaat. Dia menunduk menatap Sean. Tiffany pun baru menyadari reaksinya terlalu berlebihan.Tiffany berdeham, lalu duduk kembali dengan hati-hati. Matanya yang hitam menatap Sean dengan tatapan sedih. "Sayang, kita pergi halangi Kak Garry ya?""Kak Garry adalah salah satu dari murid genius waktu SMA. Nilainya sangat bagus. Dia susah payah keluar dari desa. Kalau pulang begitu saja, dia bakal ditertawakan orang.""Selain itu, dia bisa jadi dokter hebat. Kita nggak boleh membiarkan bakatnya terpendam begitu saja."Ketika melihat ekspresi Tiffany begitu serius, Sean tersenyum dingin. Sean diam-diam tersenyum. Meskipun begitu, dia bertanya dengan dingin, "Kamu mau menghalanginya cuma karena ini?""Tentu saja." Tiffany meraih lengan Sean, lalu menggoyangkannya dan membujuk, "Sayang, kamu harus percaya padaku. Dulu aku memang mengagumi Kak Garry, tetapi dia cuma kakak kelasku. Aku benaran nggak ingin melihat dia menyia-nyiakan bakatnya." Sean tidak bisa menahan senyumannya."
Beberapa hari ini, Garry terus dipersulit oleh Sean. Dia tentu tahu alasannya. Meskipun begitu, Garry tidak pernah mencari Tiffany. Dia khawatir Sean menyulitkan Tiffany karena dirinya.Situasi Tiffany sudah termasuk berbahaya karena menikah dengan pria seperti Sean. Garry tidak ingin menambah masalah untuknya.Saat ini, ketika melihat Tiffany, Garry pun merasa senang. Dia bangkit dan hendak memeluk Tiffany saking bersemangatnya.Namun, Tiffany mundur selangkah untuk menghindar. Dia tersenyum manis menatap Garry. "Kak Garry, kamu nggak usah pulang ke kampung halamanmu. Suamiku bilang kamu bakal bekerja di lembaga penelitian terbaik di Kota Aven!"Suara Tiffany terdengar merdu. "Kamu sangat kompeten dan berbakat. Sudah seharusnya berkembang makin pesat. Jangan pulang ke kampung halamanmu. Nggak ada masa depan di sana."Garry terkejut mendengarnya. Dia tidak bisa memercayai pendengarannya. "Tiff, kamu bilang Sean menyuruhku bekerja di lembaga penelitian?"Garry tentu ingin bekerja di lem
Wajah Garry tampak muram. Tiffany mengerutkan kening sambil terus melambaikan tangan padanya. "Kak Garry, cepat kemari!"Bahkan, Tiffany mengejeknya sambil tersenyum, "Kamu nggak mau kerja di lembaga penelitian ya?"Garry mengepalkan tangannya dengan erat di kedua sisi tubuhnya. Dia tidak suka dengan orang-orang dari kalangan seperti Sean. Bagi Garry, Sean tidak ada apa-apanya dibanding dirinya.Sean tidak pernah bekerja keras dan tidak punya ambisi. Namun, berkat latar belakang keluarganya yang kuat, Sean bisa menikahi gadis yang disukainya, bisa seenaknya memboikot Garry, dan bahkan bisa membiarkan Garry masuk ke lembaga penelitian impiannya.Garry tahu, seharusnya dia menolak tawaran ini jika dirinya masih punya harga diri. Akan tetapi, harga diri tidak bisa menghidupi seseorang. Hanya dengan memiliki kekuasaan, seseorang baru akan memperoleh kehormatan.Setelah menarik napas dalam-dalam, dia berjalan perlahan ke arah Tiffany dan Sean. Semua gerakan dan ekspresi Garry, diamati oleh
Jelas sekali ini adalah sesuatu yang diatur oleh Sean, tapi dia bisa berpura-pura seolah-olah semua itu sama sekali tidak ada hubungannya?"Pak Sean, kalau memang ini adalah rencanamu, akui saja. Nggak usah menyangkal," Garry menggertakkan giginya, "Meskipun kamu mengakuinya, aku juga nggak bisa ngapa-ngapain!"Sean tersenyum tenang dan menjawab, "Kalau bukan aku yang melakukannya, kenapa aku harus mengakuinya?" Kemudian, dia menoleh ke arah Tiffany sambil tersenyum, "Menurutmu gimana?"Tiffany yang sebelumnya pernah salah paham pada Sean, kini benar-benar percaya padanya tanpa ragu. Dia pun menggigit bibirnya, lalu memandang Garry dengan tulus, "Kak, aku yakin ini pasti cuma salah paham. Mungkin saja mereka nggak mau merekrutmu dan menggunakan alasan itu sebagai dalih?"Jika suaminya telah mengatakan dia tidak melakukan hal itu, berarti memang seperti itulah kenyataannya. Sikap Tiffany ini membuat Garry kehabisan kata-kata. Akhirnya, dia hanya menggertakkan giginya. "Pak Sean memang l
Suara lembut Tiffany seperti suntikan adrenalin yang langsung membuat jantung Sean berdebar kencang.Pria itu mengatupkan bibirnya. Nada bicaranya rendah dan menyiratkan kelembutan saat dia meraih tangan Tiffany dengan jemarinya yang panjang dan kokoh. "Aku cuma mau nyalain panel listrik.""Aku nyalain dulu ya, tunggu di sini."Tiffany menggigit bibir, lalu mengangguk pelan sambil menggumam, "Iya ...." Namun, tangannya masih enggan melepaskan pinggang Sean.Dia menggigit bibir bawahnya sedikit lebih keras. "Bawa aku juga."Sean tersenyum tak berdaya. "Aku cuma turun satu lantai. Kamu tunggu sini sebentar, ya.""Nggak mau."Sejak mereka bertemu kembali, Tiffany sudah jarang bermanja-manja seperti ini pada Sean. "Aku mau ikut.""Aku ...."Di tengah kegelapan, wajah Tiffany mulai terasa panas.Di saat-saat seperti ini, dia justru merasa bersyukur karena listrik tidak menyala. Kalau Sean melihat wajahnya yang memerah, Tiffany pasti sudah diledek habis-habisan ....Suara manjanya membuat Se
"Dia itu pria idaman di Kota Aven, dari wanita usia 18 sampai 80 tahun semuanya ingin menikah sama dia!""Kalau aku tahu siapa yang dia suka, siapa yang mau dia tembak, aku pasti akan langsung wawancara wanita itu. Gimana caranya dia bisa mendapatkan Sean, si suami idaman!"Tiffany menirukan ucapan itu dengan begitu mirip, bahkan ekspresi wajah dan gayanya pun sama persis.Sean terdiam. "Sebenarnya aku nggak sampai segitu disukainya sama wanita, aku ....""Hentikan."Tiffany mengangkat tangan. "Disukai atau nggak, bukan kamu yang nentuin, tapi perempuan.""Pokoknya, aku putuskan mau izin besok, kerja di rumah urus urusan akademik. Nanti kalau situasi sudah mereda, baru aku masuk kerja lagi. Sekalian, aku akan terbitkan makalah terbaruku.""Sekarang antar aku ke lembaga penelitian untuk ambil datanya dulu."Sean menarik napas panjang, akhirnya hanya bisa pasrah dan mengangguk. Dia pun mengambil kunci mobil dari Genta dan resmi menjadi sopir pribadi Tiffany malam itu.Saat tiba di lembag
Tiffany membuka pintu ruang ICU. Dari luar, Lena langsung menerjang ke arahnya dan menatapnya dengan marah. "Kamu apakan kakakku?""Nggak ada." Tiffany melepas jas dokternya dengan anggun dan meletakkannya di kursi di samping. Kemudian, dia menoleh dengan tenang pada para dokter yang sedang menunggu dengan cemas di luar."Kalian boleh masuk. Dia seharusnya sebentar lagi sadar." Para dokter saling berpandangan, lalu buru-buru bergegas masuk ke dalam ruang ICU.Melihat para dokter sudah masuk, Lena juga cepat-cepat menyusul.Sesaat kemudian, terdengar suara Lena yang begitu emosional dari dalam ruangan, "Kak! Akhirnya kamu sadar juga! Huhu! Kamu bikin aku takut setengah mati!"Mendengar suara wanita itu dari dalam, Sean melirik sekilas ke arah Tiffany dan tersenyum tipis. "Hebat juga, ya?""Penyakit hati tentu harus disembuhkan dengan obat untuk hati."Tiffany mengangkat kepala dan tersenyum cerah padanya. "Mau masuk lihat-lihat?"Mata Sean sedikit memicing dan bibirnya mengangkat senyum
Setelah semua orang pergi, Tiffany yang mengenakan jas dokter putih dengan anggun berjalan ke pintu dan menutupnya, lalu mengambil ponselnya. Sambil memainkan ponsel, tanpa sadar dia melirik dingin ke arah Vivi yang masih "pingsan" di atas tempat tidur."Bu Vivi, sekarang cuma ada kita berdua. Kamu nggak usah pura-pura lagi."Wanita yang terbaring di tempat tidur tidak bergerak sedikit pun, seolah benar-benar pingsan. Namun, Tiffany tahu bahwa dia sebenarnya sadar. Sebab, waktu Tiffany baru saja berbicara tadi, dia melihat dengan jelas bahwa ritme pada monitor EKG Vivi menjadi kacau.Itu adalah tanda terkejut. Mungkin Vivi sama sekali tidak menyangka Tiffany akan tiba-tiba berbicara padanya, sehingga dia merasa agak panik."EKG-mu sudah membocorkan rahasiamu."Tiffany menguap, lalu tetap menatap Vivi dengan tenang. "Tapi kalau Bu Vivi mau terus akting, aku juga nggak akan membongkarnya.""Lagian kamu sudah berakting selama tiga tahun, bukan?"Begitu ucapan itu dilontarkan, Tiffany kemb
Lena tidak menyangka Tiffany akan bersikap seperti ini. Dia tertegun sejenak sebelum akhirnya sadar dan berteriak, "Tiffany, apa maksudmu?""Kamu nggak ngerti bahasaku?" Tiffany tersenyum sinis. "Harus aku ulang dalam bahasa lain? Tapi, dengan ijazah SMP-mu, sepertinya kamu tetap nggak akan paham ya?""Kalau bodoh, belajarlah lebih giat. Jangan cuma mengandalkan jasa kakakmu untuk bertindak sewenang-wenang. Memangnya kamu pantas?" Tatapan Tiffany sedingin suaranya.Lena terdiam, lalu menggertakkan gigi. "Apa maksudmu?"Sambil berkata, dia langsung maju, berniat menyerang Tiffany. Dia paling benci diejek soal pendidikannya! Ini bukan karena dia bodoh!Tahun itu saat orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan, dia tidak ingin menjadi beban bagi kakaknya. Makanya, dia sendiri yang meminta untuk berhenti sekolah.Dia sebenarnya anak yang sangat pengertian, tetapi banyak orang yang malah menjadikan hal itu sebagai bahan ejekan!"Maksudnya sesuai dengan yang kukatakan." Tiffany meliriknya s
"Saat Bu Vivi mengalami kecelakaan, Bu Lena memaksa kami mencari mawar untuk kakaknya di lantai bawah ...."Sean mengaktifkan pengeras suara sehingga suara pria di ujung telepon terdengar jelas oleh Tiffany.Sambil memegang anggur merah di satu tangan dan mengetuk meja pelan dengan tangan lainnya, Tiffany mencerna informasi itu.Dari penjelasan pria itu, dia bisa menebak apa yang baru saja terjadi di rumah sakit. Kemungkinan besar, Vivi dan Lena melihat video yang beredar di internet.Vivi mengeluh karena tidak mendapatkan mawar, jadi Lena yang tidak terima dengan hal itu pun memaksa para pengawal mengikutinya mencari mawar untuk kakaknya!Namun, seluruh mawar di kota sudah diborong oleh Sean. Hal ini jelas diketahui oleh Vivi. Meskipun demikian, dia tetap meminta adiknya membawa orang-orang untuk mencarikannya bunga.Alasannya hanya satu, yaitu menciptakan situasi di mana tidak ada yang bisa menjaganya, sehingga dia bisa terluka dengan sempurna.Trik ini memang sangat cerdik. Tiffany
Iring-iringan mobil berhias mawar melaju melewati sebagian besar kota sebelum akhirnya berhenti di depan Restoran Proper.Di sana, Mark, pemilik Restoran Proper, sudah berdiri di depan pintu bersama para manajer dan koki untuk menyambut kedatangan mereka.Melihat Mark yang biasanya tampil gagah dalam setelan jas kini berdiri seperti seorang pelayan hanya untuk menyambutnya, Tiffany merasa cukup puas.Terlebih setelah mengingat bagaimana Mark memperlakukan Julie dulu, kini melihatnya berdiri dengan patuh sesuai arahan Sean, membuat Tiffany merasa semakin puas.Pintu mobil terbuka. Dengan bantuan Sean, Tiffany turun dengan anggun layaknya seorang ratu.Begitu turun, dia melirik sekilas ke arah Mark yang berdiri di kejauhan. "Wah, sejak kapan pemilik restoran punya waktu luang untuk menyambutku secara langsung?"Mark memasang senyuman tipis. "Kenapa aku di sini? Orang lain mungkin nggak tahu alasannya, tapi kamu pasti tahu, 'kan?""Kamu pasti lebih paham bagaimana sifat tunanganmu ini. Ka
Namun, Tiffany benar-benar tidak menyangka Sean akan menggunakan lamaran seromantis ini untuk mengumumkan bahwa hubungan mereka telah kembali seperti semula.Dia tahu dengan lamaran sebesar ini, tak akan butuh waktu lama sebelum berita ini tersebar hingga ke luar negeri. Para senior Keluarga Japardi akan segera melihatnya.Mungkin Vivi dan Lena juga akan marah besar? Namun, apakah semua itu penting? Tidak ada yang lebih penting dibandingkan pria yang kini berada di hadapannya, Sean.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Sean. "Tebak, aku terima atau nggak?"Senyuman malu-malu di wajahnya sudah menjawab semuanya.Sean mengatupkan bibirnya, tak lagi meragu. Dia segera meraih tangan Tiffany dan menyematkan cincin di jarinya. "Aku tebak, kamu sangat ingin menikah denganku."Setelah mengatakan itu, Sean langsung menariknya ke dalam pelukan.Sorakan dan tepuk tangan dari kerumunan terdengar bergemuruh.Tiffany bersandar di dadanya, merasa malu
Ketika Tiffany baru saja selesai mengobrol dengan rekan kerjanya, di kejauhan Sean sudah melihat sosok mungil wanita itu.Dengan senyuman tipis di wajah, pria itu membawa sebuket besar mawar dan melangkah perlahan ke arah Tiffany.Tiffany mendengar jelas suara tarikan napas terkejut dari para rekan kerja wanita di sekitarnya. Dia menggigit bibirnya dan tetap berdiri di tempat, meskipun hatinya sudah penuh kegelisahan.Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, yang tidak pernah dia duga adalah Sean tiba-tiba berhenti dua langkah di depannya, lalu berlutut dengan satu kaki dan menatapnya sambil memegang buket.Di wajah Sean yang selalu terlihat tegas, kini penuh dengan kelembutan yang mendalam. "Tiff."Suara bariton yang dalam memanggil nama Tiffany dengan lembut. Nada penuh kasih itu seketika membuat kegelisahan Tiffany menghilang.Tiffany menunduk, menatap wajah pria itu. "Hmm."Teriakan dan gumaman dari rekan-rekan wanita kembali terdengar. Mereka mulai bergosip dengan heboh.