Beberapa hari ini, Garry terus dipersulit oleh Sean. Dia tentu tahu alasannya. Meskipun begitu, Garry tidak pernah mencari Tiffany. Dia khawatir Sean menyulitkan Tiffany karena dirinya.Situasi Tiffany sudah termasuk berbahaya karena menikah dengan pria seperti Sean. Garry tidak ingin menambah masalah untuknya.Saat ini, ketika melihat Tiffany, Garry pun merasa senang. Dia bangkit dan hendak memeluk Tiffany saking bersemangatnya.Namun, Tiffany mundur selangkah untuk menghindar. Dia tersenyum manis menatap Garry. "Kak Garry, kamu nggak usah pulang ke kampung halamanmu. Suamiku bilang kamu bakal bekerja di lembaga penelitian terbaik di Kota Aven!"Suara Tiffany terdengar merdu. "Kamu sangat kompeten dan berbakat. Sudah seharusnya berkembang makin pesat. Jangan pulang ke kampung halamanmu. Nggak ada masa depan di sana."Garry terkejut mendengarnya. Dia tidak bisa memercayai pendengarannya. "Tiff, kamu bilang Sean menyuruhku bekerja di lembaga penelitian?"Garry tentu ingin bekerja di lem
Wajah Garry tampak muram. Tiffany mengerutkan kening sambil terus melambaikan tangan padanya. "Kak Garry, cepat kemari!"Bahkan, Tiffany mengejeknya sambil tersenyum, "Kamu nggak mau kerja di lembaga penelitian ya?"Garry mengepalkan tangannya dengan erat di kedua sisi tubuhnya. Dia tidak suka dengan orang-orang dari kalangan seperti Sean. Bagi Garry, Sean tidak ada apa-apanya dibanding dirinya.Sean tidak pernah bekerja keras dan tidak punya ambisi. Namun, berkat latar belakang keluarganya yang kuat, Sean bisa menikahi gadis yang disukainya, bisa seenaknya memboikot Garry, dan bahkan bisa membiarkan Garry masuk ke lembaga penelitian impiannya.Garry tahu, seharusnya dia menolak tawaran ini jika dirinya masih punya harga diri. Akan tetapi, harga diri tidak bisa menghidupi seseorang. Hanya dengan memiliki kekuasaan, seseorang baru akan memperoleh kehormatan.Setelah menarik napas dalam-dalam, dia berjalan perlahan ke arah Tiffany dan Sean. Semua gerakan dan ekspresi Garry, diamati oleh
Jelas sekali ini adalah sesuatu yang diatur oleh Sean, tapi dia bisa berpura-pura seolah-olah semua itu sama sekali tidak ada hubungannya?"Pak Sean, kalau memang ini adalah rencanamu, akui saja. Nggak usah menyangkal," Garry menggertakkan giginya, "Meskipun kamu mengakuinya, aku juga nggak bisa ngapa-ngapain!"Sean tersenyum tenang dan menjawab, "Kalau bukan aku yang melakukannya, kenapa aku harus mengakuinya?" Kemudian, dia menoleh ke arah Tiffany sambil tersenyum, "Menurutmu gimana?"Tiffany yang sebelumnya pernah salah paham pada Sean, kini benar-benar percaya padanya tanpa ragu. Dia pun menggigit bibirnya, lalu memandang Garry dengan tulus, "Kak, aku yakin ini pasti cuma salah paham. Mungkin saja mereka nggak mau merekrutmu dan menggunakan alasan itu sebagai dalih?"Jika suaminya telah mengatakan dia tidak melakukan hal itu, berarti memang seperti itulah kenyataannya. Sikap Tiffany ini membuat Garry kehabisan kata-kata. Akhirnya, dia hanya menggertakkan giginya. "Pak Sean memang l
Dua hari kemudian, hasil ujian tengah semester akhirnya keluar. Sesuai aturan, biasanya Tiffany yang merupakan juara kelas sekaligus ketua kelompok belajar, seharusnya bertugas untuk membawakan lembar ujian ke kelas.Namun karena kaki Tiffany sedang terluka, Julie pun menggantikan tugas itu dengan suka rela."Tiff, kira-kira karma baik apa yang kamu buat di kehidupan sebelumnya sampai bisa ketemu sama pria sebaik Sean?"Julie yang berjalan di samping Tiffany, membawa tumpukan lembar ujian yang menggunung sambil mengunyah permen karet. "Dengan status seperti Sean, dia bukan cuma bisa boikot Garry. Bahkan kalau mau potong jari tangan atau kakinya pun, Sean cuma perlu sekali perintah saja.""Tapi demi menyenangkan gadis bodoh sepertimu ini, bukannya melawan saingannya, dia malah rekomendasiin pekerjaan buat Garry? Benar-benar suami idaman, lho!"Tiffany memutar mata ke arah sahabatnya, "Suamiku ngasih kamu uang, ya?"Baru dua hari berlalu, Julie sudah memuji Sean untuk ke-32 kalinya.Juli
"Dasar nggak tahu terima kasih!"Leslie memelototinya dengan marah. "Aku nggak tahu terima kasih? Bukannya aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena dia juga? Sekarang aku harus meninggalkan rumah dan pergi ke tempat asing selama empat tahun dan aku harus berterima kasih sama dia?"Julie mendengus, "Memang seharusnya kamu berterima kasih sama dia!"Kedua gadis itu terus saling beradu argumen, sehingga suasana makin panas dan tegang. Tiffany mengerutkan kening, lalu mengulurkan tangan untuk menahan Julie. "Sudahlah."Demi menghargai ayah Leslie, Tiffany tidak ingin memicu konflik lagi dengan Leslie."Kenapa harus sudahlah? Kenapa harus membiarkan si manusia nggak tahu terima kasih ini begitu saja?" balas Julie."Coba kamu ulangi sekali lagi?!" Leslie menggertakkan giginya, lalu memandang Julie dengan tatapan penuh amarah.Setelah kejadian sebelumnya, Leslie tahu bahwa Tiffany bukan orang yang mudah dihadapi. Namun jika dia tidak bisa menyentuh Tiffany, Julie pasti bisa dihadapinya, 'kan
Di ruang rapat Grup Maheswari, suasana saat ini terasa sangat serius dan mencekam. Setiap karyawan yang hadir menyimak laporan sambil membuat catatan dengan hati-hati agar tidak membuat kesalahan.Di kursi utama, Sean duduk mengenakan pakaian serba hitam. Matanya tertutup kain hitam, tetapi auranya yang kuat dan dingin tetap terasa mendominasi.Wanita yang sedang memberikan laporan melirik Sean untuk ketiga kalinya, lalu bertanya dengan suara bergetar, "Pak Sean ... apa rencana ini bisa dijalankan?"Tiba-tiba, ponsel yang tergeletak di depan Sean berdering. Dengan jemarinya yang ramping, dia mengangkat telepon itu. Saat melihat nama yang muncul di layar, terlintas sorot kelembutan di wajahnya. "Kenapa telepon di jam segini?"Dari seberang, Tiffany terdengar agak gugup, "Sayang, aku ... bikin masalah di kampus. Kata dosen, hari ini harus ada wali yang datang menjemputku .... Kamu bisa datang, 'kan?"Senyum tipis menghiasi wajah dingin Sean. "Menurutmu aku ini walimu?"Nada bicaranya yan
"Tiff, kamu bisa sendirian?" tanya Julie yang berdiri di depan gerbang dengan cemas kepada Tiffany.Tiffany tersenyum pada Julie dan ayahnya yang berdiri di belakang. "Nggak masalah, kok! Langit masih belum gelap. Suamiku seharusnya sudah hampir sampai!"Julie mengatupkan bibirnya sejenak. Setelah beberapa saat kemudian, Julie baru pulang setelah didesak oleh ayahnya.Tidak lama setelah Julie pulang, dosen kalkulus itu kembali ke ruangannya dan bertanya, "Tiffany, semua orang sudah pulang. Mana walimu?"Tiffany melirik jam tangannya dan bergumam, "Mungkin lagi terjebak macet?"Dari kediaman Sean, seharusnya tidak butuh waktu selama ini. Bahkan dari kantor Grup Maheswari sekalipun ....Belum sempat Tiffany selesai menggerutu dalam hati, pintu kantor tersebut telah diketuk. Dosen itu mengernyit dan memasang ekspresi serius, lalu berkata dengan dingin, "Masuk."Pintu terbuka dan Genta mendorong kursi roda Sean masuk ke ruangan. Dosen itu kembali mengerutkan alisnya dengan heran. "Anda ini
Suasana di kantor terasa hening seketika.Dosen kalkulus menatap Sean dengan penuh keterkejutan, "Kamu ... nggak lagi bercanda, 'kan?" Apakah mungkin "kakak" Tiffany ini benar-benar punya kemampuan sebesar itu?"Tentu saja nggak," jawab Sean dengan senyum tenang. "Kalau Ibu merasa aku cuma membual, aku bisa menyuruh anggotaku membawa Ibu untuk memastikan langsung. Tapi ...."Dengan nada agak menyindir, dia menambahkan, "Tapi, didengar dari suara Ibu, sepertinya usia Ibu nggak muda lagi. Anggotaku semuanya masih muda, takutnya Ibu akan kewalahan."Dosen kalkulus itu mengerutkan alisnya. Pria di hadapannya ini menebak usianya dari suara?Melihat kebingungan guru itu, Tiffany segera menjelaskan, "Bu, kakakku nggak bisa melihat."Dosen tersebut akhirnya menyadari hal itu, meskipun masih ada banyak hal yang membingungkannya. "Tapi Tiffany, bukankah kamu penerima bantuan? Kenapa bisa punya keluarga yang ... berpengaruh seperti ini?"Tiffany menggigit bibirnya, bingung harus menjawab apa."Ke
"Ahhhhh!!!""Sakit sekali!!!"Di ruang bawah tanah klinik Charles, Zara dikurung dalam ruangan sempit seperti penjara. Dia memegang kepalanya dengan kesakitan, berguling-guling di lantai.Meskipun dipisahkan oleh pintu besi yang tebal, Tiffany bisa merasakan keputusasaan dan penderitaan dalam jeritannya yang menyayat hati.Wajah Tiffany menjadi pucat. Dia menatap Charles dan bertanya, "Apa ... nggak ada cara lain?""Nggak ada." Charles memejamkan mata. Wajahnya terlihat agak pasrah. "Kita sudah melakukan banyak cara untuk memblokir sinyal di sini, tapi kita masih belum bisa memotong semua sinyal seperti yang kita lakukan di pegunungan."Dengan ekspresi serius, Charles membolak-balikkan dokumen di tangannya. "Cip yang ditanam di otaknya sudah terlalu lama hingga hampir menyatu dengan darahnya. Sangat sulit untuk dikeluarkan.""Satu-satunya cara untuk menghentikan rasa sakitnya dan membebaskannya dari kendali mereka ...." Charles menutup dokumen. "Adalah dengan menghancurkan terminal kon
Julie berlari ke depan dan meraih kerah baju Samuel, lalu mengayunkan tinjunya dengan keras.Samuel pun melawan dan menghindar. Julie terus mengikutinya dan terus menghujaninya dengan tinju."Awas!" Saat keduanya sudah dekat dengan tebing, Tiffany segera menarik lengan Julie. Sementara itu, Julie menarik Samuel. Keduanya tergantung di tebing.Di bawahnya adalah jurang yang curam. Namun, kekuatan Tiffany terlalu kecil. Dia sama sekali tidak bisa menarik kedua orang itu."Biar aku saja." Mark menggantikan posisi Tiffany. Dia memegang tangan Julie dan menariknya ke atas.Charles dan Zara juga membantu. Namun, Julie dan Samuel sama-sama terluka. Karena kejadian ini, acara terpaksa dihentikan lebih awal."Perjalanan kali ini benar-benar nggak lancar." Setelah duduk di bus yang akan kembali ke Kota Aven, Lucy bersandar di jendela sambil mengeluh.Hari pertama kebakaran. Hari kedua mendaki gunung, lalu Julie dan Samuel hampir jatuh dari tebing."Lain kali sebelum mengadakan acara, harus lihat
Suasana sunyi senyap. Semua orang yang ada di lereng gunung berhenti bergerak. Yang terdengar hanya suara angin dan kicauan burung.Julie membuka mulutnya, terkejut melihat Samuel yang berlutut di depan Zara. "Samuel, kamu....""Julie, maafkan aku." Samuel menatapnya dengan wajah penuh penyesalan."Dulu aku kira aku menyukaimu. Aku kira aku akan selalu menyukaimu dan menjagamu .... Sampai akhirnya aku bertemu Zara."Samuel menatap Zara dengan tatapan yang serius dan penuh ketulusan. "Setelah bertemu Zara, aku baru sadar, di dunia ini ada gadis yang begitu memesona. Dia cantik, imut, lembut. Julie, jangan salahkan aku karena nggak setia. Kamu benaran nggak mirip dengan wanita."Samuel bahkan enggan untuk menatap Julie lebih lama. "Selain cantik, sifat dan cara berpikirmu terlalu seperti pria. Mungkin ini karena kamu tumbuh tanpa didikan ibu.""Jangan bicara omong kosong!" Julie maju dengan cepat dan langsung meraih kerah baju Samuel. "Coba kamu ulangi perkataanmu lagi!"Kehilangan ibu se
Zara menatap Tiffany sambil tersenyum manis. Matanya melengkung karena bahagia. Dia memberi tahu, "Aku sudah dikendalikan orang selama 13 tahun. Selama ini, aku hampir nggak punya teman."Zara menjelaskan, "Aku berteman sama Penny juga karena S bilang dia orang yang pendendam dan suka memanfaatkan kekuasaan untuk menindas orang lain. Orang seperti itu lebih mudah dimanfaatkan dan bersedia bekerja keras untukku. Itu sebabnya aku berteman dengannya."Zara menghela napas, lalu menatap Tiffany dengan tatapan serius dan tulus. Dia melanjutkan, "Tiffany, kamu adalah orang pertama yang benar-benar ingin aku jadikan teman."Tiffany terpaku sejenak, lalu menggaruk kepalanya sambil tersenyum canggung. Dia membalas, "Haruskah aku bilang aku merasa sangat terhormat ...."Ketika kebakaran besar terjadi kemarin, sebenarnya Tiffany tidak berpikir apa-apa saat menyelamatkan Zara. Dia hanya merasa bahwa bagaimanapun juga, itu adalah nyawa seseorang.Sebagai seseorang yang bercita-cita menjadi dokter, j
Julie melirik Samuel dengan dingin, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Mark yang berusaha menahan tawanya pun menatap Zara. Dia bertanya dengan santai, "Nona Zara, kamu nggak bisa makan sendiri ya?"Zara tetap bersandar lemah di sofa. Dia membalas dengan nada lembut, "Tubuhku nggak kuat. Bukannya kamu tahu kalau aku baru saja mengalami kebakaran tadi malam?"Usai berkata demikian, Zara melirik Samuel dengan ekspresi manis. Dia memuji, "Samuel, kamu benar-benar baik. Lihatlah, orang lain cuma bisa mengejekku. Tapi, kamu benar-benar peduli padaku."Tiffany kehabisan kata-kata. Kalau saja dia tidak tahu bahwa semua ini hanyalah kepura-puraan Zara, dia mungkin sudah muntah di tempat.Samuel malah terlihat salah tingkah. Wajahnya memerah saat dia menggeleng sambil menimpali, "Zara, jangan memujiku seperti itu. Ini memang kewajibanku."Julie langsung berdiri dengan raut wajah dingin. Dia pergi sambil membanting pintu dengan keras. Zara tersenyum puas dan bahkan sempat mengedipkan mata ke arah
"Jadi ...." Sean menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya memegang wajah Tiffany dengan lembut. Dia menatapnya penuh kesungguhan, lalu bertanya, "Kalau aku bilang, ke depannya aku akan kasih Zara lebih banyak perlindungan, apa kamu akan marah?"Tiffany tertegun sebelum bertanya, "Perlindungan yang kamu maksud itu apa?""Aku mau ... memperlakukannya seperti adik sendiri," jawab Sean.Sepasang mata Sean yang dalam menatap Tiffany dengan tulus dan serius. Dia melanjutkan, "Aku nggak bisa memikirkan cara lain yang lebih baik untuk menebusnya. Jadi aku berpikir, gimana kalau kita menganggapnya sebagai adik kita? Kita akan menjaga dan melindunginya sampai dia nikah.""Kerugian yang ditimbulkan kakakku padanya, memang seharusnya ditebus oleh diriku yang adalah adiknya," tambah Sean.Tiffany menggigit bibir dan tidak bisa langsung menjawab apa-apa. Sebenarnya dia bisa memahami keinginan Sean. Namun ... dia tidak bisa melupakan bagaimana dulu Zara sangat ingin mendekati Sean, bahkan berusaha
Tiffany duduk di ruang tamu. Dia menyaksikan Charles melakukan akupunktur pada Zara selama beberapa waktu sebelum akhirnya menguap kecil dan naik ke lantai atas.Saat itu sudah lewat pukul 1 dini hari. Berhubung siang tadi Tiffany tidur cukup lama di dalam bus, di waktu seperti ini barulah dia mulai merasa sedikit mengantuk.Pada jam seperti ini, Sean pasti sudah tertidur. Dengan perasaan sedikit bersalah, Tiffany membuka pintu kamar perlahan. Saat ini, dia sebenarnya tidak tahu bagaimana cara menghibur Sean atau membuatnya berhenti memikirkan banyak hal.Setelah menyelesaikan rutinitas malam dengan cepat, Tiffany berjalan menuju ranjang dengan langkah hati-hati dan memeluk pinggang pria itu yang kokoh dan berotot."Sayang ...," bisik Tiffany pelan sambil memejamkan mata, diikuti dengan sebuah helaan napas kecil.Selama ini, Sean selalu membantu Tiffany dan menyelesaikan semua masalah yang dihadapinya, baik yang besar maupun kecil. Sementara itu, bagian yang bisa dibantunya untuk Sean
Zara tersenyum manis dengan mata yang melengkung. Dia menambahkan, "Gimana kalau besok aku biarkan kamu menciumku di depan semua orang? Biar harga dirimu kembali deh."Sebenarnya, ini ide yang cukup bagus. Samuel masih ingat betapa memalukannya dia saat dihajar oleh Mark terakhir kali. Akhirnya dia hanya mendengus kesal, tanpa coba mendekat lagi.Charles sedang duduk di sofa. Dia menyilangkan kakinya sambil berkomentar, "Dasar penakut dan hidung belang." Setelah itu, Charles melirik Tiffany dan bertanya sambil mengangkat alis, "Selera temanmu cuma begini?"Tiffany hanya bisa terdiam. Dia tahu, Julie menjalin hubungan dengan Samuel mungkin hanya karena kesal atau ingin balas dendam.Namun, Tiffany baru menyadari bahwa Samuel ternyata orang yang begitu tidak bisa diandalkan .... Hanya dengan beberapa kata dari Zara, dia langsung luluh."Sudahlah, jangan marah lagi," ujar Zara sambil tersenyum lembut pada Samuel. Dia melanjutkan, "Kamu pulanglah dan istirahat. Aku jamin dia nggak akan mel
Seisi vila jatuh dalam keheningan. Tiffany, Zara, dan Charles yang menyaksikan kehebohan ini hanya bisa melongo. Di sisi lain, wajah Samuel sudah terlihat sangat masam.Julie menepis tangan Mark dan berseru, "Gila kamu! Aku hanya pacaran normal, apa maksudmu dengan merusak diri? Kamu sudah menolakku, kenapa aku nggak boleh ...."Mark menggertakkan gigi. Matanya terlihat berapi-api.Julie menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dia terlihat putus asa dan sedih saat berkata, "Mark, aku benar-benar nggak tahu apa maumu! Selama 19 tahun aku hidup, ada berbagai pemuda yang mengejarku. Tapi, aku nggak pernah meladeni mereka. Aku mengakukan cinta padamu karena ingin berada di sisimu dan menjagamu ...."Julie menarik ingusnya. Pada akhirnya, dia tidak menceritakan masalah ginjalnya.Air mata jatuh berderai di pipinya. Julie menggertakkan gigi dan melanjutkan, "Kamu menolakku. Kamu menyuruhku untuk menghargai orang yang ada di depanku."Julie melirik ke arah Samuel dan berucap lagi, "Jadi, aku men