"Dasar nggak tahu terima kasih!"Leslie memelototinya dengan marah. "Aku nggak tahu terima kasih? Bukannya aku dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena dia juga? Sekarang aku harus meninggalkan rumah dan pergi ke tempat asing selama empat tahun dan aku harus berterima kasih sama dia?"Julie mendengus, "Memang seharusnya kamu berterima kasih sama dia!"Kedua gadis itu terus saling beradu argumen, sehingga suasana makin panas dan tegang. Tiffany mengerutkan kening, lalu mengulurkan tangan untuk menahan Julie. "Sudahlah."Demi menghargai ayah Leslie, Tiffany tidak ingin memicu konflik lagi dengan Leslie."Kenapa harus sudahlah? Kenapa harus membiarkan si manusia nggak tahu terima kasih ini begitu saja?" balas Julie."Coba kamu ulangi sekali lagi?!" Leslie menggertakkan giginya, lalu memandang Julie dengan tatapan penuh amarah.Setelah kejadian sebelumnya, Leslie tahu bahwa Tiffany bukan orang yang mudah dihadapi. Namun jika dia tidak bisa menyentuh Tiffany, Julie pasti bisa dihadapinya, 'kan
Di ruang rapat Grup Maheswari, suasana saat ini terasa sangat serius dan mencekam. Setiap karyawan yang hadir menyimak laporan sambil membuat catatan dengan hati-hati agar tidak membuat kesalahan.Di kursi utama, Sean duduk mengenakan pakaian serba hitam. Matanya tertutup kain hitam, tetapi auranya yang kuat dan dingin tetap terasa mendominasi.Wanita yang sedang memberikan laporan melirik Sean untuk ketiga kalinya, lalu bertanya dengan suara bergetar, "Pak Sean ... apa rencana ini bisa dijalankan?"Tiba-tiba, ponsel yang tergeletak di depan Sean berdering. Dengan jemarinya yang ramping, dia mengangkat telepon itu. Saat melihat nama yang muncul di layar, terlintas sorot kelembutan di wajahnya. "Kenapa telepon di jam segini?"Dari seberang, Tiffany terdengar agak gugup, "Sayang, aku ... bikin masalah di kampus. Kata dosen, hari ini harus ada wali yang datang menjemputku .... Kamu bisa datang, 'kan?"Senyum tipis menghiasi wajah dingin Sean. "Menurutmu aku ini walimu?"Nada bicaranya yan
"Tiff, kamu bisa sendirian?" tanya Julie yang berdiri di depan gerbang dengan cemas kepada Tiffany.Tiffany tersenyum pada Julie dan ayahnya yang berdiri di belakang. "Nggak masalah, kok! Langit masih belum gelap. Suamiku seharusnya sudah hampir sampai!"Julie mengatupkan bibirnya sejenak. Setelah beberapa saat kemudian, Julie baru pulang setelah didesak oleh ayahnya.Tidak lama setelah Julie pulang, dosen kalkulus itu kembali ke ruangannya dan bertanya, "Tiffany, semua orang sudah pulang. Mana walimu?"Tiffany melirik jam tangannya dan bergumam, "Mungkin lagi terjebak macet?"Dari kediaman Sean, seharusnya tidak butuh waktu selama ini. Bahkan dari kantor Grup Maheswari sekalipun ....Belum sempat Tiffany selesai menggerutu dalam hati, pintu kantor tersebut telah diketuk. Dosen itu mengernyit dan memasang ekspresi serius, lalu berkata dengan dingin, "Masuk."Pintu terbuka dan Genta mendorong kursi roda Sean masuk ke ruangan. Dosen itu kembali mengerutkan alisnya dengan heran. "Anda ini
Suasana di kantor terasa hening seketika.Dosen kalkulus menatap Sean dengan penuh keterkejutan, "Kamu ... nggak lagi bercanda, 'kan?" Apakah mungkin "kakak" Tiffany ini benar-benar punya kemampuan sebesar itu?"Tentu saja nggak," jawab Sean dengan senyum tenang. "Kalau Ibu merasa aku cuma membual, aku bisa menyuruh anggotaku membawa Ibu untuk memastikan langsung. Tapi ...."Dengan nada agak menyindir, dia menambahkan, "Tapi, didengar dari suara Ibu, sepertinya usia Ibu nggak muda lagi. Anggotaku semuanya masih muda, takutnya Ibu akan kewalahan."Dosen kalkulus itu mengerutkan alisnya. Pria di hadapannya ini menebak usianya dari suara?Melihat kebingungan guru itu, Tiffany segera menjelaskan, "Bu, kakakku nggak bisa melihat."Dosen tersebut akhirnya menyadari hal itu, meskipun masih ada banyak hal yang membingungkannya. "Tapi Tiffany, bukankah kamu penerima bantuan? Kenapa bisa punya keluarga yang ... berpengaruh seperti ini?"Tiffany menggigit bibirnya, bingung harus menjawab apa."Ke
Tiffany tidak merasa pernah bertemu dengan wanita ini sebelumnya."Namaku Valerie!" Wanita itu berlari ke sisi Tiffany, lalu memperkenalkan diri, "Aku putri dari Keluarga Sanskara di barat kota."Valerie? Nama ini sepertinya terdengar tidak asing.Tiffany mengerutkan alisnya untuk berpikir sejenak. Tiba-tiba, matanya berbinar dan berkata, "Kamu yang bermasalah dengan Michael sebelumnya, bukan?"Saat pertama kali Tiffany pergi ke rumah lama Keluarga Tanuwijaya bersama Sean untuk makan malam, sepertinya nama wanita yang menimbulkan keributan di sana adalah Valerie? Sebagai mahasiswi teladan, Tiffany memiliki ingatan yang sangat bagus.Saat mengungkit tentang hal itu, Valerie terbatuk dengan canggung, lalu menjawab, "Ya ... itu aku."Hanya dengan sepatah kalimat itu saja, Tiffany langsung memiliki kesan yang baik terhadap Valerie. Musuh dari musuh adalah teman! Valerie berhasil membuat si Michael berengsek itu terkena batunya. Bagus sekali!Karena alasan itulah, Tiffany mulai mengobrol de
Sean benar-benar menepati janjinya.Keesokan sore, ketika dosen kalkulus itu datang ke kelas, ternyata seluruh siswa benar-benar sudah hadir. Siswa yang hendak ke luar negeri tidak jadi berangkat dan yang di luar kota juga telah dibawa kembali.Bahkan, soal ujian telah dicetak ulang dengan materi yang baru.Dosen itu berdiri di depan kelas sambil melihat soal ujian dengan kagum. Soal-soal ini bahkan lebih menantang dibandingkan soal yang dibuatnya sebelumnya! Dia sampai tergoda ingin memberikan ujian ini ke seluruh siswa di sekolah.Ujian berjalan lancar, tanpa satu pun siswa yang mengeluh tentang kesalahan Tiffany.Seminggu kemudian, kaki Tiffany sudah hampir sembuh sepenuhnya."Tiffany, hati-hati!"Di kantor, dosen kalkulus memasukkan semua lembar ujian ke dalam kotak, lalu menutupnya dengan rapat menggunakan selotip sebelum menyerahkannya pada Tiffany. "Tenang saja, semua lembar ujian sudah disalin di sini. Jadi, kalau tercecer lagi juga semuanya tetap aman!"Tiffany hanya bisa terd
"Waktu nenekmu sakit beberapa bulan lalu juga kami melakukan penggalangan dana. Sekarang kamu sudah kembali ke keluargamu dan keluargamu juga kaya sekali ...."Julie yang berdiri di sampingnya mengerutkan alis dengan erat. "Maksud kalian, mau suruh Tiffany untuk traktir kalian makan dan karaoke?"Semua orang terdiam. Ketua kelas kemudian mengangguk dan berkata, "Benar. Masalah ujian ulang kemarin juga kesalahan Tiffany. Seharusnya nggak keterlaluan kalau kami memintanya untuk traktir makan, bukan? Lagi pula, dengan statusnya sekarang ... hal seperti ini pasti bukan masalah buatnya."Julie memutar matanya. "Uang Tiffany juga bukan sepenuhnya miliknya, kalian nggak merasa ini keterlaluan?"Sejak menikah dengan Sean, Tiffany yang keras kepala itu bahkan belum membeli apa pun dengan uangnya. Tidak mungkin dia akan memakai uang Sean untuk mentraktir semua orang makan dan karaoke.Ketua kelas menatap Julie dengan kesal, "Sekarang Tiffany sudah seperti seorang putri. Semua uang keluarganya pa
Ekspresi Tiffany berubah ketika mendengar omongan Julie. Sesaat kemudian, Tiffany merapatkan bibir dan bertanya, "Gimana kalau ... nggak minum anggur? Semuanya mahasiswa, nggak apa-apa kalau nggak minum anggur merah."Julie terdiam. Lalu, dia mengetuk kepala Tiffany dan menegurnya, "Dasar bodoh! Aku bilang uangmu nggak cukup untuk bayar satu botol anggur merah karena biaya di sana mahal! Satu botol bir sudah jutaan. Sekali makan bisa puluhan juta! Kalau kamu ajak satu kelas, kira-kira bisa ratusan juta! Dana beasiswamu yang hanya 20 juta itu nggak akan cukup!"Tiffany cemberut. Dia berkata, "Aku tahu ...."Tiffany mengira hanya bir yang mahal. Melihat reaksi Tiffany yang lugu, Julie mengerenyotkan bibir dengan tidak berdaya. Julie berucap, "Sudah begini, bisa nggak kamu panik? Sekarang sudah jam 4. Mereka semua akan pergi Restoran Violet jam 8 nanti malam! Gimana kamu bisa cari ratusan juta dalam 4 jam?"Setelah itu, Julie menjejalkan ponsel Tiffany ke tangan Tiffany. Dia menyuruhnya,
Tiffany mendongakkan pandangan ke arah Sean dan bertanya, "Kamu benaran suruh aku pergi main?""Iya," jawab Sean."Baiklah!" seru Tiffany. Dia memegang wajah Sean dan mengecup pipinya. "Aku pergi main, ya! Sayang, kamu duduk di sini dan jangan gerak!""Iya," sahut Sean.Setelah memastikan Sean tidak akan marah, Tiffany dengan girang menggulung kaki celana dan berlari ke dalam sungai. Tiffany berseru, "Chaplin, kamu nggak bisa tangkap ikan kalau begitu! Lihat aku!"....Sean duduk di pinggir sungai. Senyuman menghiasi wajahnya ketika melihat gadis bermata cerah itu asyik bermain dengan Chaplin. Sudah berapa lama dia tidak sesenang ini? Dia sendiri pun lupa.Sean sepertinya tidak pernah merasakan sensasi girang semacam ini lagi sejak kakak meninggal dalam kebakaran 13 tahun yang lalu. Tiffany-lah yang membuatnya merasa masih ada banyak kemungkinan yang ada jika kita masih hidup. Sean mengeluarkan ponselnya sambil tersenyum. Dia menelepon Sofyan untuk menanyakan kemajuan masalah."Pak Se
Indira melirik Sean yang berada di kejauhan. Ekspresi wajahnya agak suram. Dia merendahkan suara dan berkata, "Belakangan ini, Santo yang tinggal di sebelah bertengkar dengan pamanmu. Dia setiap hari bergosip di desa. Dia bilang pamanmu nggak berguna sampai harus nikahkan kamu dengan orang lumpuh baru bisa obati penyakit nenekmu."Indira menatap pada Tiffany dengan ekspresi menegur. Dia bertanya, "Kenapa kamu nggak kabari dulu sebelum kamu pulang? Orang-orang di desa tertawakan keluarga kita dalam beberapa hari terakhir. Akhir-akhir ini, pamanmu juga diam di rumah saja karena itu. Kamu malah bawa Pak Sean pulang sekarang. Mau tambah masalah?"Santo adalah ayahnya Wenda. Mendengar omongan Indira, Tiffany akhirnya paham mengapa Wenda sengaja mencari masalah dengannya di kota barusan. Ternyata karena konflik antara Santo dan pamannya.Tiffany merapatkan bibir dan bertanya, "Gimana ini ...."Tiffany terlalu girang karena Sean bisa meluangkan waktu untuk menemaninya. Dia sama sekali tidak m
Melihat rombongan itu memasuki kedai mi, bos buru-buru menyambut dengan antusias. Dia memuji, "Nak, kamu benar-benar hebat!"Bos mengambilkan buku menu untuk Tiffany dan berujar, "Suaminya Wenda sudah lama menjadi tiran di kota ini. Nggak nyangka akhirnya ketemu lawan tangguh juga!"Tiffany sering makan di kedai mi itu saat duduk di bangku SMA. Dia cukup akrab dengan bos. Sambil memesan makanan, Tiffany mengernyit dan menjawab, "Benaran?""Iya." Bos mengembuskan napas dan melanjutkan, "Wenda hamil. Beberapa waktu lalu, mereka bikin acara dan minta setiap keluarga pergi ke acara. Sebenarnya, bukan karena kami dekat, tapi minta kami kasih uang."Tiffany tercengang, lalu bertanya, "Bos pergi nggak?"Bos mengembuskan napas lagi. Dia menjawab, "Kalau berani nggak pergi, mampus nanti. Lebih baik kayak kamu, pergi dari kota ini. Dunia di luar lebih baik. Rumah makanku ini juga nggak tahu bisa bertahan sampai kapan ...."Setelah Tiffany memesan makanan, bos pergi ke dapur. Entah mengapa, Tiffa
Sean memicingkan mata. Orang lain berpikir dia tidak bisa melihat. Pada kenyataannya, dia dapat melihat gerakan semua orang dengan jelas dari balik kain hitam. Sean menarik Tiffany ke dalam pelukan untuk melindunginya. Dia berkata, "Ternyata warga desa terpencil memang biadab. Kalian semua punya orang tua dan anak, tapi kalian mengintimidasi kami. Kalian nggak takut karma?"Detik berikutnya, terdengar bunyi guntur nyaring dari langit yang mendung dari tadi, seolah-olah menjawab omongan Sean. Orang yang penakut tidak berani bergerak. Orang yang berani tetap mendekat ke arah Tiffany dan Sean. Akan tetapi, mereka hanya mengelilingi, tidak berani benar-benar memukul Sean. Suami Wenda yang bertubuh kekar pun dipelintir tangannya hingga terkilir."Hajar mereka! Aku traktir kalian minum nanti!" teriak Wenda. Dia memegang pergelangan tangan suaminya yang terkilir dan menangis karena sakit hati! Suaminya yang selalu mengintimidasi orang lain. Kapan suaminya pernah dikalahkan? Hajar! Harus ha
Tiffany melanjutkan, "Kalau kamu kebanyakan tenaga, rawat janin dalam kandunganmu saja. Nggak usah cari masalah di mana-mana, oke?"Kemarahan Tiffany sudah memuncak. Akan tetapi, Wenda tidak menyerah. Wenda memprovokasi, "Kenapa? Kamu mau pukul aku? Coba saja! Aku ini ibu hamil. Memangnya kamu bisa tanggung konsekuensinya?" Tiffany menarik napas dalam-dalam. Dia menggertakkan gigi dan mencibir, lalu berkata, "Kamu yang minta."Plak! Tiffany langsung menampar Wenda dengan keras. Tiffany berseru, "Aku tampar wajahmu. Kamu nggak bisa bilang janin dalam kandunganmu tersakiti, 'kan? Aku kuliah jurusan kedokteran. Kamu nggak bisa tipu aku."Wenda terbengong karena tamparan itu. Sama sekali tak terpikir olehnya ... Tiffany yang dulunya pasrah dia ejek dan marahi, yang hanya fokus belajar akhirnya melawan! Bahkan berani menamparnya!Tiffany mendongakkan kepala dan memelototi Wenda dengan ekspresi mata dingin. Dia mengangkat tangan untuk menampar lagi. Wenda mundur secara refleks. Seorang pri
Tiffany mengenal wanita itu. Dia adalah Wenda yang berasal dari desa yang sama dengannya. Saat mengungkit kampung halamannya pada Sean dua hari lalu, Tiffany sudah memberitahukan bahwa dia dan Wenda tidak akur sejak kecil. Wenda selalu ingin menjatuhkannya di setiap kesempatan yang ada.Untungnya, Tiffany diterima di Universitas Srinen karena nilai ujian nasionalnya yang tinggi. Sementara itu, Wenda tidak diterima di universitas mana pun. Setelah lulus SMA, Wenda langsung pulang ke rumah dan menikah dengan jodoh kencan buta. Sejak itu, dunia Tiffany menjadi jauh lebih tenang. Namun, Tiffany tidak menyangka ketika dia bisa bertemu dengan Wenda ketika dia mendadak membawa Sean keluar dari mobil untuk pergi makan. Benar-benar kebetulan.Pada saat ini, Wenda yang memakai gaun ibu hamil berjalan menuju Tiffany dengan sikap dingin. Sambil berjalan, Wenda mencibir dan mengejek, "Beberapa hari lalu, keluargaku bilang Tiffany nikah dengan orang lumpuh setelah masuk kuliah."Wenda menyindir, "L
Tiffany berjanji, "Sayang, jangan khawatir. Aku pasti akan jauh-jauh kalau ketemu dia lagi!"Sean tertawa dengan suara rendah. Dia berkata, "Oke."Usai sarapan, Tiffany mulai mengemas barang-barang yang akan dibawa pulang ke kampung halaman. Hadiah untuk keluarganya memenuhi satu mobil."Aku ikut," kata Chaplin yang sudah melihat Tiffany untuk waktu yang lama dari pintu.Tiffany tidak bisa menahan senyum ketika mendengar suara pemuda yang lantang itu. Dia berucap, "Kamu boleh ikut kalau nggak keberatan kampungku miskin!"Lebih banyak orang lebih ramai! Selain itu, ada banyak kamar di rumah paman, pasti muat! Oleh karena itu, pemuda berpakaian biru itu kembali ke kamar dengan girang untuk mengemas barang.Setelah barang-barang selesai dikemas, Tiffany mendorong Sean untuk naik ke mobil. Begitu mobil berjalan, Tiffany bahkan bersenandung karena girang.Mungkin karena kampung halamannya terpencil, lagu yang disenandungkan oleh Tiffany adalah lagu tren puluhan tahun yang lalu. Chaplin yan
Sean terbangun karena ditelepon oleh Mark. Dia menjawab telepon dengan mata terpejam. Dia bertanya, "Ada apa?""Sean, apa maksudmu?" bentak Mark dengan marah. "Aku suruh kamu kirimkan pelayan wanita paling muda di rumahmu. Kenapa kamu kirim Kak Rika?""Mungkin karena Kak Rika memang yang paling muda," jawab Sean sambil menguap. Dia tidak tahu-menahu soal umur pelayan di rumahnya."Omong kosong!" teriak Mark dengan galak di telepon. "Kemarin aku jelas lihat ada satu yang lebih muda lagi di rumahmu!""Seberapa muda?" tanya Sean. Dia turun dari ranjang dan pergi mandi. "Aku nggak ingat ada pelayan muda di rumahku.""Ada!" teriak Mark dengan marah. "Yang aku lihat di halaman kemarin, yang siram tanaman itu! Dia muda dan cantik, lugu, dan imut banget! Aku mau yang itu!"Sean mengernyit. Wanita yang muda, cantik, lugu, dan imut. Sean teringat akan gadis kemarin yang melempar diri ke dalam pelukannya dalam keadaan basah."Deskripsimu benar." Sean membuang air kumur. "Tapi dia bukan pelayan."
Tangan Sean yang memeluk Tiffany berangsur-angsur mengerat. Dia berkata, "Sebenarnya, yang penting hidupmu sendiri dijalani dengan baik."Tiffany menggelengkan kepala dan membantah, "Itu terlalu egois. Paman, Bibi, dan Nenek sudah besarkan aku. Aku harus rawat mereka dan beri kehidupan yang lebih baik pada mereka!"Tiffany melanjutkan, "Aku belum punya kemampuan besar sekarang, tapi kalau aku sudah jadi dokter hebat nanti, aku bisa menghidupi mereka!"Sean menatap wajah mungil Tiffany dan mengembuskan napas. Jika bukan karena Tiffany, anak orang kaya seperti Sean tidak akan pernah memahami betapa sukarnya kehidupan orang miskin.Belum pernah Sean bertemu dengan orang seperti Tiffany. Tiffany begitu gigih, mencintai kehidupan dan seluruh dunia. Sementara itu, kehidupan Sean dalam 13 tahun terakhir hanya dipenuhi kesepian dan kebencian.Sean membenci ketidakpedulian Keluarga Tanuwijaya terhadapnya. Sean membenci dirinya karena tidak bisa membunuh musuhnya. Sean membenci dunia ini yang te