Ekspresi Tiffany berubah ketika mendengar omongan Julie. Sesaat kemudian, Tiffany merapatkan bibir dan bertanya, "Gimana kalau ... nggak minum anggur? Semuanya mahasiswa, nggak apa-apa kalau nggak minum anggur merah."Julie terdiam. Lalu, dia mengetuk kepala Tiffany dan menegurnya, "Dasar bodoh! Aku bilang uangmu nggak cukup untuk bayar satu botol anggur merah karena biaya di sana mahal! Satu botol bir sudah jutaan. Sekali makan bisa puluhan juta! Kalau kamu ajak satu kelas, kira-kira bisa ratusan juta! Dana beasiswamu yang hanya 20 juta itu nggak akan cukup!"Tiffany cemberut. Dia berkata, "Aku tahu ...."Tiffany mengira hanya bir yang mahal. Melihat reaksi Tiffany yang lugu, Julie mengerenyotkan bibir dengan tidak berdaya. Julie berucap, "Sudah begini, bisa nggak kamu panik? Sekarang sudah jam 4. Mereka semua akan pergi Restoran Violet jam 8 nanti malam! Gimana kamu bisa cari ratusan juta dalam 4 jam?"Setelah itu, Julie menjejalkan ponsel Tiffany ke tangan Tiffany. Dia menyuruhnya,
"Sayang .... " Tiffany berulang kali mencoba untuk merekam pesan suara, tetapi selalu menghapusnya. Dia merasa sangat malu. Tidak hanya malu, tetapi juga ... tidak berbobot.Empat menit setelah Tiffany mencoba untuk merekam suara, seorang gadis yang sedang menghafal kosakata di pojok tidak tahan lagi. Dia langsung menghampiri Tiffany dan berkata, "Buat apa sepusing itu untuk semangati pacarmu?"Gadis itu, meneruskan, "Dengarkan aku. Kalau kamu bilang 'Sayang, aku cinta kamu, semangat!', itu jauh lebih berguna dari yang kamu coba bilang dari tadi!"Tiffany terdiam. Dia menatap gadis itu dengan ragu dan bertanya, "Benaran?""Tentu saja!" Gadis itu memutar mata, lalu memberi tahu Tiffany, "Pacarku selalu bersemangat setiap kali dengar aku bilang aku cinta dia!"Mata Tiffany berbinar! Di bawah bantuan dan motivasi gadis itu, Tiffany akhirnya merekam pesan suara yang tepat dan mengirimnya. Pesan suara Tiffany sangat sederhana. Tiffany hanya mengatakan, "Sayang, aku cinta kamu. Semangat!"Ti
Saat ditarik ke dalam taksi oleh Julie, Tiffany masih memegang pen yang dia gunakan untuk menghitung. Tiffany menatap Julie dengan bingung dan bertanya, "Ada apa?""Pak, ke Restoran Violet!" kata Julie. Baru setelah mobil dijalankan, dia menghela napas lega. Dia menceritakan segalanya kepada Tiffany.Tiffany terdiam. Dia juga tidak menyangka ketua kelas akan benar-benar mengajak teman sekelas makan di Restoran Violet sebelum dia yang menjadi pembayar sampai. Mereka begitu percaya dia sangat kaya dan bersedia mentraktir mereka makan? Baiklah, dia memangnya seharusnya pergi. Akan tetapi, dia tidak menyangka ...."Cepat telepon Sean!" Julie mendorong Tiffany dan berkata lagi, "Sekarang masalahnya harus diselesaikan dengan uang. Suruh Sean transfer uang dulu!"Tiffany mengangguk. Alhasil, dia meraba sekujur tubuhnya dan memasang ekspresi tidak berdaya. "Terlalu buru-buru tadi, nggak bawa ponsel."Julie langsung menjejalkan ponselnya ke tangan Tiffany. Dia berujar, "Pakai punyaku!"Tiffany
Teman-teman sekelas langsung memprotes. "Bukannya kamu sudah janjikan kami ...."Tiffany membantah, "Aku memang janji akan traktir kalian makan, tapi nggak janji di tempat macam ini, 'kan? "Ketua kelas mengernyit dan sedikit jengkel. Dia berujar, "Tapi aku sudah kabari kamu di Restoran Violet tadi sore dan kamu juga sudah setuju!"Tiffany tersenyum. Dia mengejek, "Ketua kelas, kamu jelas pikir aku ini orang luar kota dan nggak tahu Restoran Violet itu tempat macam apa."Tiffany mengingat kembali kejadian tadi sore. Dia berkata, "Aku setuju saat kamu bilang di Restoran Violet. Lalu, kalian semua langsung menghilang. Sebenarnya, kalian nggak ada kesibukan. Kalian hanya takut aku tahu tempat macam apa Restoran Violet ini, 'kan? "Saat serius, otak Tiffany yang selalu bisa mendapat nilai maksimal dalam ujian menjadi sangat jernih. Tiffany berkata lagi, "Kalau aku yang traktir, harusnya aku yang tentukan standar dan jumlah pengeluaran transaksi."Tiffany melanjutkan, "Dengan kata lain, kal
Julie kegirangan sampai ingin bertepuk tangan untuk Tiffany! Benar saja. Meskipun Tiffany ceroboh dalam banyak hal, Tiffany memiliki pikiran yang jernih dalam masalah besar.Ekspresi ketua kelas menjadi sangat masam. Dia menatap Tiffany dengan agresif dan berkata, "Tiff, nggak bisa kamu hitung begitu. Ketua kelas melanjutkan, "Kami semua sudah bantu saat kamu kesulitan. Walau ... walau nggak banyak uangnya, itu juga berguna bagi kalian, 'kan? Kamu nggak bisa meremehkan kebaikan kami karena sumbangan kami terlalu sedikit!"Tiffany tersenyum padanya dan membantah, "Aku tahu berterima kasih, tapi kalian nggak bisa minta aku bayar seratusan juta untuk kalian karena sifatku yang setia kawan!" Tiffany melanjutkan, "Seratusan juta sudah bisa menyelamatkan dua anak yang menderita penyakit mematikan, bisa mendirikan sekolah dasar yang baik untuk kampung halaman kita. Jangankan aku nggak punya uang sebanyak itu. Kalaupun ada, aku hanya akan pakai untuk hal-hal yang lebih berarti, bukan untuk .
Di koridor, seorang wanita berpakaian merah lewat dan mengernyit mendengar keributan. "Ada apa?"Manajer umum restoran yang berdiri di samping segera menjelaskan, "Ada sekelompok mahasiswa yang datang makan. Mereka nggak bisa bayar, jadi buat keributan."Valerie bertanya sambil mengernyit, "Sudah lapor polisi?""Belum. Soalnya ada salah satu mahasiswa yang bisa bayar. Mereka lagi memaksanya bayar," balas manajer umum.Valerie terkejut mendengarnya. Mahasiswa sekarang benar-benar nakal. Dari celah pintu, Valerie mengintip ke dalam. Ketika melihat wanita yang ditodong pisau, Valerie memicingkan mata. Ternyata dia."Dia bukan orang yang bisa kita usik. Beri tahu manajer di dalam, mereka nggak usah bayar lagi." Valerie menyunggingkan senyuman mencela.Kemudian, Valerie melirik wanita yang ditodong pisau lagi dan merenung sejenak sebelum berujar, "Kalian provokasi mahasiswa yang pegang pisau itu. Setelah lihat darah, baru kasih mereka gratis. Jangan sampai ada korban. Kalau sudah beres, baw
"Kamu benaran pemilik Restoran Violet? Bos Restoran Violet semuda ini?" Julie yang berdiri di samping menatap Valerie dengan tercengang."Ya." Valerie menempelkan plester di leher Tiffany. "Nggak perlu terkejut. Semua yang kumiliki diberikan oleh ayahku. Aku berbeda dengan Pak Sean yang memulai semuanya dari nol."Tiffany mengernyit. Dia tahu yang disebut Valerie adalah suaminya. Hanya saja, bukankah suaminya pengangguran yang dicampakkan keluarga sendiri? Kenapa Valerie mengatakan Sean memulai semuanya dari nol?Julie yang bingung pun bertanya, "Pak Sean memulai semuanya dari nol?""Ya, suami Bu Tiffany, Pak Sean. Dia memulai semuanya dari nol," timpal Valerie sambil merapikan kerah baju Tiffany. Kemudian, dia tiba-tiba menutup mulutnya dengan kaget. "Jangan-jangan kamu nggak tahu identitas asli Pak Sean?"Tiffany makin bingung. "Identitas apa?"Valerie makin terkejut. "Kalau begitu, apa kamu tahu apa yang terjadi dengan mata Pak Sean?"Tiffany mengernyit saat berujar, "Dia nggak bisa
Tiffany memejamkan mata dan membalas, "Anggap saja aku baik hati. Aku nggak ingin Sean membalas dendam kepada para siswa di kelas kita."Julie menggigit bibirnya dan tahu Tiffany punya pemikiran lain. Namun, dia tidak berani menjamin bahwa Valerie hanya mengarang cerita. Dia sendiri bisa menilai bahwa Sean sangat misterius.Segera, taksi tiba di kampus. Tiffany dan Julie menuju ke perpustakaan. Sekarang sudah pukul 10 malam lewat. Tidak ada siapa pun di koridor. Hanya ada lampu yang menyinari.Begitu pintu terbuka, Tiffany melihat pria yang matanya ditutup sutra hitam, sedang duduk di kursi yang biasanya didudukinya. Tangan Sean memegang ponsel.Di sampingnya adalah Genta yang berdiri dengan patuh dan Chaplin yang bersandar di meja untuk tidur. Tadi tempat ini masih ramai, tetapi sekarang tersisa mereka bertiga.Mungkin karena mendengar suara, Sean mendongak dan bertanya, "Dari mana saja kamu?"Tiffany termangu sesaat sebelum tersenyum kaku. "Pergi makan dan karaoke sama teman.""Kenap
Julie melirik Samuel dengan dingin, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Mark yang berusaha menahan tawanya pun menatap Zara. Dia bertanya dengan santai, "Nona Zara, kamu nggak bisa makan sendiri ya?"Zara tetap bersandar lemah di sofa. Dia membalas dengan nada lembut, "Tubuhku nggak kuat. Bukannya kamu tahu kalau aku baru saja mengalami kebakaran tadi malam?"Usai berkata demikian, Zara melirik Samuel dengan ekspresi manis. Dia memuji, "Samuel, kamu benar-benar baik. Lihatlah, orang lain cuma bisa mengejekku. Tapi, kamu benar-benar peduli padaku."Tiffany kehabisan kata-kata. Kalau saja dia tidak tahu bahwa semua ini hanyalah kepura-puraan Zara, dia mungkin sudah muntah di tempat.Samuel malah terlihat salah tingkah. Wajahnya memerah saat dia menggeleng sambil menimpali, "Zara, jangan memujiku seperti itu. Ini memang kewajibanku."Julie langsung berdiri dengan raut wajah dingin. Dia pergi sambil membanting pintu dengan keras. Zara tersenyum puas dan bahkan sempat mengedipkan mata ke arah
"Jadi ...." Sean menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya memegang wajah Tiffany dengan lembut. Dia menatapnya penuh kesungguhan, lalu bertanya, "Kalau aku bilang, ke depannya aku akan kasih Zara lebih banyak perlindungan, apa kamu akan marah?"Tiffany tertegun sebelum bertanya, "Perlindungan yang kamu maksud itu apa?""Aku mau ... memperlakukannya seperti adik sendiri," jawab Sean.Sepasang mata Sean yang dalam menatap Tiffany dengan tulus dan serius. Dia melanjutkan, "Aku nggak bisa memikirkan cara lain yang lebih baik untuk menebusnya. Jadi aku berpikir, gimana kalau kita menganggapnya sebagai adik kita? Kita akan menjaga dan melindunginya sampai dia nikah.""Kerugian yang ditimbulkan kakakku padanya, memang seharusnya ditebus oleh diriku yang adalah adiknya," tambah Sean.Tiffany menggigit bibir dan tidak bisa langsung menjawab apa-apa. Sebenarnya dia bisa memahami keinginan Sean. Namun ... dia tidak bisa melupakan bagaimana dulu Zara sangat ingin mendekati Sean, bahkan berusaha
Tiffany duduk di ruang tamu. Dia menyaksikan Charles melakukan akupunktur pada Zara selama beberapa waktu sebelum akhirnya menguap kecil dan naik ke lantai atas.Saat itu sudah lewat pukul 1 dini hari. Berhubung siang tadi Tiffany tidur cukup lama di dalam bus, di waktu seperti ini barulah dia mulai merasa sedikit mengantuk.Pada jam seperti ini, Sean pasti sudah tertidur. Dengan perasaan sedikit bersalah, Tiffany membuka pintu kamar perlahan. Saat ini, dia sebenarnya tidak tahu bagaimana cara menghibur Sean atau membuatnya berhenti memikirkan banyak hal.Setelah menyelesaikan rutinitas malam dengan cepat, Tiffany berjalan menuju ranjang dengan langkah hati-hati dan memeluk pinggang pria itu yang kokoh dan berotot."Sayang ...," bisik Tiffany pelan sambil memejamkan mata, diikuti dengan sebuah helaan napas kecil.Selama ini, Sean selalu membantu Tiffany dan menyelesaikan semua masalah yang dihadapinya, baik yang besar maupun kecil. Sementara itu, bagian yang bisa dibantunya untuk Sean
Zara tersenyum manis dengan mata yang melengkung. Dia menambahkan, "Gimana kalau besok aku biarkan kamu menciumku di depan semua orang? Biar harga dirimu kembali deh."Sebenarnya, ini ide yang cukup bagus. Samuel masih ingat betapa memalukannya dia saat dihajar oleh Mark terakhir kali. Akhirnya dia hanya mendengus kesal, tanpa coba mendekat lagi.Charles sedang duduk di sofa. Dia menyilangkan kakinya sambil berkomentar, "Dasar penakut dan hidung belang." Setelah itu, Charles melirik Tiffany dan bertanya sambil mengangkat alis, "Selera temanmu cuma begini?"Tiffany hanya bisa terdiam. Dia tahu, Julie menjalin hubungan dengan Samuel mungkin hanya karena kesal atau ingin balas dendam.Namun, Tiffany baru menyadari bahwa Samuel ternyata orang yang begitu tidak bisa diandalkan .... Hanya dengan beberapa kata dari Zara, dia langsung luluh."Sudahlah, jangan marah lagi," ujar Zara sambil tersenyum lembut pada Samuel. Dia melanjutkan, "Kamu pulanglah dan istirahat. Aku jamin dia nggak akan mel
Seisi vila jatuh dalam keheningan. Tiffany, Zara, dan Charles yang menyaksikan kehebohan ini hanya bisa melongo. Di sisi lain, wajah Samuel sudah terlihat sangat masam.Julie menepis tangan Mark dan berseru, "Gila kamu! Aku hanya pacaran normal, apa maksudmu dengan merusak diri? Kamu sudah menolakku, kenapa aku nggak boleh ...."Mark menggertakkan gigi. Matanya terlihat berapi-api.Julie menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dia terlihat putus asa dan sedih saat berkata, "Mark, aku benar-benar nggak tahu apa maumu! Selama 19 tahun aku hidup, ada berbagai pemuda yang mengejarku. Tapi, aku nggak pernah meladeni mereka. Aku mengakukan cinta padamu karena ingin berada di sisimu dan menjagamu ...."Julie menarik ingusnya. Pada akhirnya, dia tidak menceritakan masalah ginjalnya.Air mata jatuh berderai di pipinya. Julie menggertakkan gigi dan melanjutkan, "Kamu menolakku. Kamu menyuruhku untuk menghargai orang yang ada di depanku."Julie melirik ke arah Samuel dan berucap lagi, "Jadi, aku men
Charles tertawa kecil dan berkata, "Aku bisa merias wajahmu. Kemampuanku lumayan oke, lho. Fitur wajahmu sekarang sudah lumayan bagus. Wajah seperti apa yang kamu inginkan? Aku bisa meriasnya untukmu."Charles memiliki banyak hobi. Belakangan ini, dia tertarik pada seni riasan, tetapi dia belum menemukan wanita yang pas untuk menjadi pasangan berlatihnya. Zara kebetulan bisa membantunya."Oke, sekarang sudah larut. Kalian semua istirahat dulu. Tiffany, aku tidur duluan," ucap Sean sambil berdiri.Sebelum Tiffany sempat menjawab, Sean sudah berbalik dan melangkah ke lantai atas. Punggung pria itu terlihat kesepian.Tiffany hendak menyusul Sean, tetapi Charles menahannya dan berkata, "Biarkan dia sendiri dulu. Dia butuh waktu untuk mencerna semua informasi yang diterimanya. Bagaimanapun, dia baru mendengar kalau kakak yang disayanginya itu sudah menyakiti Zara."Tiffany menghela napas dan memutuskan untuk tinggal sebentar di ruang tamu.Sekarang sudah lewat tengah malam. Samuel yang tadi
Saat Zara berusia tujuh tahun, keluarganya bertanya apakah dia ingin menjadi gadis yang lebih cantik dan hebat. Dia tentu saja mengiakan dengan gembira.Kala itu, Keluarga Winata hanyalah keluarga yang terpuruk dan tanpa pendukung. Ketika ayahnya bertanya apakah Zara ingin keluarganya hidup lebih baik, dia mengangguk. Ketika ayahnya bertanya lagi, apakah Zara rela menderita supaya semua orang bisa hidup lebih baik, dia tetap mengangguk.Lantaran wajahnya mirip dengan Sanny semasa kecil, sejak itu Zara "beruntung" terpilih sebagai pengganti S di masa depan.Masa kecil Zara dihabiskan dengan dikurung di sebuah ruangan bersama seorang wanita yang wajahnya sudah rusak. Dia dicambuk dan dicaci tanpa belas kasihan.Mereka menanamkan cip di tubuh Zara agar dia menurut dan berada dalam kendali penuh wanita itu. Mereka juga mengoperasi Zara hingga dia terlihat hampir identik dengan wanita itu sebelum wajahnya cacat.Semua orang berkata bahwa dirinya terlahir untuk menjadi Sanny yang kedua. Namu
"Kenapa kamu datang malam ini?" tanya Tiffany."Ada seseorang yang kelewat khawatir. Aku juga mencemaskanmu," sahut Sean sambil mengusap kepala istrinya.Tidak lama kemudian, api berhasil dipadamkan. Berhubung Tiffany masuk menerobos api dan menyelamatkan peralatan fotografi, kerugian mereka tidak terlalu besar.Namun, koper Tiffany, Julie, dan Samuel sudah hangus dimakan api. Mereka juga tidak punya tempat untuk tidur malam ini.Tiffany mengusulkan agar mereka tidur di vila yang disewa oleh Sean dan Mark. Mereka juga bisa membawa Zara yang pingsan ke sana.Setelah memeriksa Zara untuk beberapa saat di kamar, dokter desa keluar dengan membawa sebuah benda kecil berwarna putih. Dia berkata, "Kondisi gadis ini sedikit spesial."Dokter menaruh benda itu di atas meja kopi dan melanjutkan, "Aku menemukan benda ini di bawah kulit lehernya."Mark mengernyit dan mengangkat benda itu untuk mengamatinya. Dia bertanya, "Benda apa ini?""Alat penyadap," gumam Sean dengan alis berkerut."Alat penya
Saat ketiganya sudah menjauh dari lokasi kebakaran, warga desa sudah tiba. Orang-orang dari klub fotografi juga sudah kembali.Warga desa sibuk memadamkan api. Sementara itu, Julie bergegas mendekat dengan mata merah. "Tiffany!" panggilnya.Di belakang Tiffany, Sean menurunkan Zara yang pingsan karena menghirup asap ke tanah. Dia berkata, "Panggil dokter."Chelsea menyahut sambil mengangguk, "Dokter sudah dalam perjalanan!"Kobaran api kian membesar. Semua orang mundur ke jalan kecil di luar halaman. Tiffany masih memegang kamera berharga di tangannya."Kenapa bisa tiba-tiba kebakaran? Tanah di pegunungan lembap, seharusnya nggak mudah terbakar!" ucap Chelsea sambil mondar-mandir dengan gelisah.Sean mengambil handuk yang diberikan Julie dan menyeka noda jelaga di wajahnya sambil berkata, "Nggak aneh kalau ada seseorang yang sengaja menyulut api.""Zara!" Tepat ketika Sean selesai bicara, Penny menyeruak dari tengah kerumunan. Dia langsung menggenggam tangan Zara, cemas saat melihat ba