"Kamu bilang kalau aku yang pergi, suamimu pasti tahu kamu ada masalah. Tapi memangnya dia nggak tahu kalau kamu pergi ke sana dengan kaki pincang begini?"Tiffany tetap mengangguk tanpa menoleh. "Iya. Dia kan buta."Julie terdiam. Seketika, dia tidak tahu harus bagaimana membantahnya.Akhirnya, Tiffany tetap membawa kopi itu sendiri ke ruang rapat. Meski Sean tidak bisa melihat, ruangan itu penuh dengan orang lainnya. Dia tidak ingin membuat orang bergosip.Oleh karena itu, meskipun kakinya terasa sangat sakit, Tiffany berpura-pura tidak terjadi apa pun. Sambil membawa dua cangkir kopi, dia perlahan-lahan berjalan ke sisi Sean.Setiap langkah yang dia ambil membuat luka bakar di kakinya terasa semakin menusuk. Wajah Tiffany semakin pucat dan keringat dingin mengucur deras di dahinya. Dia bergerak selangkah demi selangkah dengan susah payah menuju ke sisi Sean.Dalam hati, dia bahkan merasa agak lega bahwa suaminya adalah seseorang yang tidak bisa melihat apa pun. Sean yang duduk di ku
Ruang rapat itu hening selama beberapa detik. Setelah itu, terdengar suara serempak yang bergemuruh, "Siap! Kami akan mengingatnya!"Tiffany tersentak kaget. Wajahnya langsung memerah karena bercampur antara malu dan terkejut. Dia mencoba melepaskan diri dari pelukan Sean."Jangan banyak bergerak!" seru Sean memperingatkannya.Namun, Tiffany masih berusaha keluar dari pelukannya. Ruangan ini penuh dengan orang! Ini benar-benar memalukan .... Dia berjuang beberapa kali, lalu tiba-tiba merasakan rasa sakit yang tajam di kakinya. Wajahnya pucat dan dia pun berhenti bergerak.Sean menunduk melihat keringat dingin di dahinya karena menahan rasa sakit. Tatapannya menjadi semakin suram. Dia langsung menggendong Tiffany, lalu mendorong kursi rodanya keluar dari ruang rapat."Rapat dibatalkan!" perintahnya.Sofyan buru-buru mengikuti mereka. Dia segera mencari ruangan medis agar Sean bisa membawa Tiffany ke sana.Dengan lembut, Sean meletakkan Tiffany di tempat tidur di ruangan medis tersebut,
"Jangan bicara omong kosong! Cepat usir dia!" tegur Sean yang mendengus."Ya, ya. Aku telepon dia. Omong-omong, mau dipecat nggak? Dia bilang padaku, dia dipecat karena menyinggung tokoh penting. Itu pasti kerjaanmu, 'kan?" Charles mengernyit."Aku nggak sesenggang itu. Paling-paling, rumah sakit yang memecatnya karena takut aku marah." Sean mengerlingkan matanya.Sean mengambil ponselnya, lalu berjeda sebelum meneruskan, "Biarkan saja dia. Aku nggak bakal melarang apa-apa. Tapi, ingat, kalau suatu hari Tiffany kenapa-napa, kamu yang harus turun tangan. Aku nggak mau dia ikut campur. Kalau nggak, kurobohkan rumah sakitmu ini!"Charles hampir jatuh pingsan mendengarnya.....Sesudah Garry selesai membalut luka Tiffany, Charles menelepon menyuruhnya cepat kembali. Ada hal penting yang harus dibicarakan.Garry melirik Tiffany sekilas, lalu berkata, "Aku dicari pihak rumah sakit. Aku balik dulu."Tiffany mengangguk dan melambaikan tangan. "Terima kasih untuk hari ini, Kak. Dah!""Dah!" Ket
Nada bicara Sean yang dipenuhi kasih sayang membuat wajah Tiffany memerah. Sean membenamkan wajah Tiffany ke pelukannya. Tiffany bergumam, "Aku bisa menjaga diriku kok. Aku juga bisa menjaga orang lain.""Kamu cuma bisa menjaga orang lain. Masih berani bilang bisa menjaga diri sendiri?" Suara rendah Sean dipenuhi cinta kasih.Julie yang duduk di samping pun tidak bisa berkata-kata melihat pemandangan ini. 'Sial! Aku mau pulang! Aku nggak mau jadi nyamuk di sini!'...."Sayang, terserah kamu mau melakukan apa pada Leslie. Nggak usah dihukum terlalu berat," ujar Tiffany saat dalam perjalanan pulang. Matanya tertuju pada pemandangan di luar. Dia takut Sean sekejam saat memberi pelajaran kepada Vernon.Ini bukan karena Tiffany adalah orang yang pemaaf, melainkan karena dia merasa ayah Leslie adalah orang yang bijaksana.Karena Leslie berkelahi dengannya, ayah Leslie langsung menyerahkan perusahaan kepada Tiffany. Jelas, dia takut Sean marah dan seluruh keluarganya akan hancur.Kini, Taufik
Tiffany bersandar di dinding, mengeluarkan ponsel untuk menelepon Garry. Sebelum panggilan tersambung, tubuhnya tiba-tiba ditabrak seseorang. Tiffany hampir terjatuh.Tiffany mendongak. Orang yang menabraknya tidak lain adalah ibu Leslie, Revina. Ketika Tiffany dan Leslie berkelahi waktu itu, Revina sempat datang ke kantor polisi.Revina meludah dan merutuk, "Cih! Sial sekali bertemu denganmu di sini!"Tiffany memicingkan mata, lalu berpindah tempat. Dia malas meladeni Revina.Ketika melihat Tiffany mengabaikannya, Revina merasa geram. Dia mengejar sambil bertanya, "Kamu nggak merasa bersalah sedikit pun?""Aku perlu merasa bersalah kalau melihatmu?" Tiffany merasa pertanyaan yang dilontarkan Revina sangat aneh. Bukankah mereka yang seharusnya merasa bersalah? Lagi pula, Leslie yang membuat onar tanpa henti. Sudah syukur Tiffany membantu Leslie bicara di hadapan Sean."Sepertinya kamu benaran nggak berhati nurani!" Revina memelototi Tiffany. Jika tidak ada Chaplin, Revina pasti sudah m
Tiffany dan Chaplin pulang dengan terburu-buru. Sepanjang perjalanan, Tiffany terus memikirkan sikap yang harus diambilnya nanti.Misalnya, menunjuk Sean dan menginterogasinya habis-habisan. Kenapa ingkar janji? Bukannya dia sudah setuju akan mengirim Leslie ke luar negeri untuk sekolah?Atau mungkin menangis sambil menginterogasi Sean. Kenapa dia memboikot Garry? Garry tidak membuat kesalahan apa pun.Amarah Tiffany berkecamuk. Dia ingin bertengkar hebat dengan Sean!Namun, setibanya di depan vila, jantung Tiffany malah berdetak kencang. Dia tidak pernah marah-marah pada orang. Dia harus bagaimana agar Sean tahu dirinya benar-benar murka? Apa Sean akan menganggapnya sedang bercanda? Namun, dia tidak bercanda!Leslie tidak sakit jiwa, tetapi Sean mengurungnya di bangsal. Garry adalah dokter yang begitu baik, tetapi Sean memboikotnya. Bagaimana bisa Sean melakukan hal seperti ini?Tiffany menarik napas dalam-dalam. Dia berdiri di depan pintu dan memberanikan dirinya, lalu melangkah masu
Tiffany memaksakan diri untuk tidak tertidur. Dia pulang untuk bertengkar! Bukan untuk tidur! Namun, pada akhirnya wajah mungil itu terkulai miring di sofa. Tiffany ketiduran!Sofyan masih membaca laporan. Beberapa tahun ini, Taufik membuat banyak prestasi. Tim elite yang diutus oleh Sean bekerja lembur sepanjang hari untuk merangkum data dan laporan perusahaan.Sebagai bos besar di balik Grup Maheswari, Sean harus memahami keseluruhan situasi dalam sehari. Dengan demikian, dia baru bisa membuat Grup Maheswari menonjol dalam tender melawan Grup Tanuwijaya."Sebentar." Sean tiba-tiba melambaikan tangan setelah Taufik selesai membacakan satu dokumen. Sofyan pun berhenti.Sean bangkit dari sofa dan mengambil selimut di samping untuk menyelimuti Tiffany. Kemudian, dia mengambil bantal dan menaruhnya di bawah kepala Tiffany.Setelah membereskan semua ini, Sean kembali ke sofa dan menginstruksi, "Pak Genta, tanya Chaplin kenapa Tiffany marah-marah."Chaplin terus menemani Tiffany, jadi tentu
Sean mengganti posisi sandarannya supaya lebih nyaman. Dia menatap wajah galak Tiffany dan tersenyum. "Aku jahat?"Sepertinya ini kata paling kejam yang bisa dilontarkan oleh Tiffany. Sungguh menggemaskan.Tiffany memanyunkan bibirnya. "Ya, kamu jahat! Kenapa nggak dengar saranku? Kenapa nggak kirim Leslie ke luar negeri saja dan malah mengurungnya di rumah sakit? Kenapa memboikot Kak Garry? Kenapa membuatnya kehilangan pekerjaan? Dia salah apa?"Jelas sekali, Tiffany menyalahkan Sean atas masalah yang menimpa kedua orang itu. Sean memijat pelipisnya dengan pusing. "Kenapa kamu merasa aku yang mencelakai mereka?"Tiffany memelototi Sean dan menyahut, "Kamu hampir membunuh Vernon waktu itu."Sean tersenyum getir. "Karena Vernon, kamu kira aku penjahat yang nggak berperikemanusiaan?"Sean mengakui bahwa tindakannya hari itu sangat kejam. Akan tetapi, semua itu konsekuensi yang harus ditanggung Vernon. Kalau dibandingkan dengan apa yang dilakukan Vernon terhadap Tiffany, Sean tidak merasa
Julie melirik Samuel dengan dingin, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Mark yang berusaha menahan tawanya pun menatap Zara. Dia bertanya dengan santai, "Nona Zara, kamu nggak bisa makan sendiri ya?"Zara tetap bersandar lemah di sofa. Dia membalas dengan nada lembut, "Tubuhku nggak kuat. Bukannya kamu tahu kalau aku baru saja mengalami kebakaran tadi malam?"Usai berkata demikian, Zara melirik Samuel dengan ekspresi manis. Dia memuji, "Samuel, kamu benar-benar baik. Lihatlah, orang lain cuma bisa mengejekku. Tapi, kamu benar-benar peduli padaku."Tiffany kehabisan kata-kata. Kalau saja dia tidak tahu bahwa semua ini hanyalah kepura-puraan Zara, dia mungkin sudah muntah di tempat.Samuel malah terlihat salah tingkah. Wajahnya memerah saat dia menggeleng sambil menimpali, "Zara, jangan memujiku seperti itu. Ini memang kewajibanku."Julie langsung berdiri dengan raut wajah dingin. Dia pergi sambil membanting pintu dengan keras. Zara tersenyum puas dan bahkan sempat mengedipkan mata ke arah
"Jadi ...." Sean menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya memegang wajah Tiffany dengan lembut. Dia menatapnya penuh kesungguhan, lalu bertanya, "Kalau aku bilang, ke depannya aku akan kasih Zara lebih banyak perlindungan, apa kamu akan marah?"Tiffany tertegun sebelum bertanya, "Perlindungan yang kamu maksud itu apa?""Aku mau ... memperlakukannya seperti adik sendiri," jawab Sean.Sepasang mata Sean yang dalam menatap Tiffany dengan tulus dan serius. Dia melanjutkan, "Aku nggak bisa memikirkan cara lain yang lebih baik untuk menebusnya. Jadi aku berpikir, gimana kalau kita menganggapnya sebagai adik kita? Kita akan menjaga dan melindunginya sampai dia nikah.""Kerugian yang ditimbulkan kakakku padanya, memang seharusnya ditebus oleh diriku yang adalah adiknya," tambah Sean.Tiffany menggigit bibir dan tidak bisa langsung menjawab apa-apa. Sebenarnya dia bisa memahami keinginan Sean. Namun ... dia tidak bisa melupakan bagaimana dulu Zara sangat ingin mendekati Sean, bahkan berusaha
Tiffany duduk di ruang tamu. Dia menyaksikan Charles melakukan akupunktur pada Zara selama beberapa waktu sebelum akhirnya menguap kecil dan naik ke lantai atas.Saat itu sudah lewat pukul 1 dini hari. Berhubung siang tadi Tiffany tidur cukup lama di dalam bus, di waktu seperti ini barulah dia mulai merasa sedikit mengantuk.Pada jam seperti ini, Sean pasti sudah tertidur. Dengan perasaan sedikit bersalah, Tiffany membuka pintu kamar perlahan. Saat ini, dia sebenarnya tidak tahu bagaimana cara menghibur Sean atau membuatnya berhenti memikirkan banyak hal.Setelah menyelesaikan rutinitas malam dengan cepat, Tiffany berjalan menuju ranjang dengan langkah hati-hati dan memeluk pinggang pria itu yang kokoh dan berotot."Sayang ...," bisik Tiffany pelan sambil memejamkan mata, diikuti dengan sebuah helaan napas kecil.Selama ini, Sean selalu membantu Tiffany dan menyelesaikan semua masalah yang dihadapinya, baik yang besar maupun kecil. Sementara itu, bagian yang bisa dibantunya untuk Sean
Zara tersenyum manis dengan mata yang melengkung. Dia menambahkan, "Gimana kalau besok aku biarkan kamu menciumku di depan semua orang? Biar harga dirimu kembali deh."Sebenarnya, ini ide yang cukup bagus. Samuel masih ingat betapa memalukannya dia saat dihajar oleh Mark terakhir kali. Akhirnya dia hanya mendengus kesal, tanpa coba mendekat lagi.Charles sedang duduk di sofa. Dia menyilangkan kakinya sambil berkomentar, "Dasar penakut dan hidung belang." Setelah itu, Charles melirik Tiffany dan bertanya sambil mengangkat alis, "Selera temanmu cuma begini?"Tiffany hanya bisa terdiam. Dia tahu, Julie menjalin hubungan dengan Samuel mungkin hanya karena kesal atau ingin balas dendam.Namun, Tiffany baru menyadari bahwa Samuel ternyata orang yang begitu tidak bisa diandalkan .... Hanya dengan beberapa kata dari Zara, dia langsung luluh."Sudahlah, jangan marah lagi," ujar Zara sambil tersenyum lembut pada Samuel. Dia melanjutkan, "Kamu pulanglah dan istirahat. Aku jamin dia nggak akan mel
Seisi vila jatuh dalam keheningan. Tiffany, Zara, dan Charles yang menyaksikan kehebohan ini hanya bisa melongo. Di sisi lain, wajah Samuel sudah terlihat sangat masam.Julie menepis tangan Mark dan berseru, "Gila kamu! Aku hanya pacaran normal, apa maksudmu dengan merusak diri? Kamu sudah menolakku, kenapa aku nggak boleh ...."Mark menggertakkan gigi. Matanya terlihat berapi-api.Julie menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dia terlihat putus asa dan sedih saat berkata, "Mark, aku benar-benar nggak tahu apa maumu! Selama 19 tahun aku hidup, ada berbagai pemuda yang mengejarku. Tapi, aku nggak pernah meladeni mereka. Aku mengakukan cinta padamu karena ingin berada di sisimu dan menjagamu ...."Julie menarik ingusnya. Pada akhirnya, dia tidak menceritakan masalah ginjalnya.Air mata jatuh berderai di pipinya. Julie menggertakkan gigi dan melanjutkan, "Kamu menolakku. Kamu menyuruhku untuk menghargai orang yang ada di depanku."Julie melirik ke arah Samuel dan berucap lagi, "Jadi, aku men
Charles tertawa kecil dan berkata, "Aku bisa merias wajahmu. Kemampuanku lumayan oke, lho. Fitur wajahmu sekarang sudah lumayan bagus. Wajah seperti apa yang kamu inginkan? Aku bisa meriasnya untukmu."Charles memiliki banyak hobi. Belakangan ini, dia tertarik pada seni riasan, tetapi dia belum menemukan wanita yang pas untuk menjadi pasangan berlatihnya. Zara kebetulan bisa membantunya."Oke, sekarang sudah larut. Kalian semua istirahat dulu. Tiffany, aku tidur duluan," ucap Sean sambil berdiri.Sebelum Tiffany sempat menjawab, Sean sudah berbalik dan melangkah ke lantai atas. Punggung pria itu terlihat kesepian.Tiffany hendak menyusul Sean, tetapi Charles menahannya dan berkata, "Biarkan dia sendiri dulu. Dia butuh waktu untuk mencerna semua informasi yang diterimanya. Bagaimanapun, dia baru mendengar kalau kakak yang disayanginya itu sudah menyakiti Zara."Tiffany menghela napas dan memutuskan untuk tinggal sebentar di ruang tamu.Sekarang sudah lewat tengah malam. Samuel yang tadi
Saat Zara berusia tujuh tahun, keluarganya bertanya apakah dia ingin menjadi gadis yang lebih cantik dan hebat. Dia tentu saja mengiakan dengan gembira.Kala itu, Keluarga Winata hanyalah keluarga yang terpuruk dan tanpa pendukung. Ketika ayahnya bertanya apakah Zara ingin keluarganya hidup lebih baik, dia mengangguk. Ketika ayahnya bertanya lagi, apakah Zara rela menderita supaya semua orang bisa hidup lebih baik, dia tetap mengangguk.Lantaran wajahnya mirip dengan Sanny semasa kecil, sejak itu Zara "beruntung" terpilih sebagai pengganti S di masa depan.Masa kecil Zara dihabiskan dengan dikurung di sebuah ruangan bersama seorang wanita yang wajahnya sudah rusak. Dia dicambuk dan dicaci tanpa belas kasihan.Mereka menanamkan cip di tubuh Zara agar dia menurut dan berada dalam kendali penuh wanita itu. Mereka juga mengoperasi Zara hingga dia terlihat hampir identik dengan wanita itu sebelum wajahnya cacat.Semua orang berkata bahwa dirinya terlahir untuk menjadi Sanny yang kedua. Namu
"Kenapa kamu datang malam ini?" tanya Tiffany."Ada seseorang yang kelewat khawatir. Aku juga mencemaskanmu," sahut Sean sambil mengusap kepala istrinya.Tidak lama kemudian, api berhasil dipadamkan. Berhubung Tiffany masuk menerobos api dan menyelamatkan peralatan fotografi, kerugian mereka tidak terlalu besar.Namun, koper Tiffany, Julie, dan Samuel sudah hangus dimakan api. Mereka juga tidak punya tempat untuk tidur malam ini.Tiffany mengusulkan agar mereka tidur di vila yang disewa oleh Sean dan Mark. Mereka juga bisa membawa Zara yang pingsan ke sana.Setelah memeriksa Zara untuk beberapa saat di kamar, dokter desa keluar dengan membawa sebuah benda kecil berwarna putih. Dia berkata, "Kondisi gadis ini sedikit spesial."Dokter menaruh benda itu di atas meja kopi dan melanjutkan, "Aku menemukan benda ini di bawah kulit lehernya."Mark mengernyit dan mengangkat benda itu untuk mengamatinya. Dia bertanya, "Benda apa ini?""Alat penyadap," gumam Sean dengan alis berkerut."Alat penya
Saat ketiganya sudah menjauh dari lokasi kebakaran, warga desa sudah tiba. Orang-orang dari klub fotografi juga sudah kembali.Warga desa sibuk memadamkan api. Sementara itu, Julie bergegas mendekat dengan mata merah. "Tiffany!" panggilnya.Di belakang Tiffany, Sean menurunkan Zara yang pingsan karena menghirup asap ke tanah. Dia berkata, "Panggil dokter."Chelsea menyahut sambil mengangguk, "Dokter sudah dalam perjalanan!"Kobaran api kian membesar. Semua orang mundur ke jalan kecil di luar halaman. Tiffany masih memegang kamera berharga di tangannya."Kenapa bisa tiba-tiba kebakaran? Tanah di pegunungan lembap, seharusnya nggak mudah terbakar!" ucap Chelsea sambil mondar-mandir dengan gelisah.Sean mengambil handuk yang diberikan Julie dan menyeka noda jelaga di wajahnya sambil berkata, "Nggak aneh kalau ada seseorang yang sengaja menyulut api.""Zara!" Tepat ketika Sean selesai bicara, Penny menyeruak dari tengah kerumunan. Dia langsung menggenggam tangan Zara, cemas saat melihat ba