Tiffany menggenggam ponselnya erat-erat. Siapa bilang orang desa selalu berpikiran sempit? Meski Thalia hanyalah seorang petani, dia tahu kapan harus meminta saham kepada Tiffany, bukan hanya sekadar uang.Setelah menarik napas dalam-dalam, Tiffany mengatupkan bibirnya dan menjawab, "Bibi, aku nggak pernah jadi selingkuhan siapa pun. Uang dan saham ini bukan milikku, aku cuma memegangnya sementara untuk orang lain. Kalau butuh uang, silakan cari sendiri!"Setelah itu, Tiffany langsung menutup telepon. Namun, panggilan dari Thalia teru-menerus menerornya. Merasa terganggu, Tiffany akhirnya mematikan ponselnya. Setelah melewati hari yang melelahkan, Tiffany menenangkan diri sebelum membuka pintu vila."Aku pulang, Pak Sofyan!" serunya."Aku pulang, Kak Rika!"Seperti biasa, Tiffany menyapa para pelayan di vila dengan penuh semangat. Saat berpapasan dengan Sofyan, Sofyan memberi isyarat mengedipkan mata sambil tersenyum, "Selamat datang kembali, Presdir Tiffany."Tiffany terdiam sejenak.
"Apa yang mau kamu tanyakan sama dia?"Saat Tiffany masih terus mendesak Sofyan, terdengar suara rendah yang datar dari arah pintu lift di lantai satu. Tiffany berhenti mengganggu Sofyan dan berbalik dengan senyum lebar, "Sayang!"Wajahnya yang berseri-seri menampilkan dua lesung pipi kecil. Di balik lapisan sutra hitam yang menutupi pandangannya, tatapan Sean mulai melunak. Dia melambaikan tangannya pada Tiffany, "Ayo, kemari."Tiffany segera berlari kecil menghampirinya. Dia mulai mendorong kursi rodanya menuju ruang makan, sambil bertanya dengan hati-hati."Sayang, tadi siang aku motret struktur departemen di perusahaan untukmu. Sudah jelas, 'kan? Mereka juga bilang aku harus memimpin rapat besok pagi. Kamu tahu gimana cara menjalankannya?"Melihat Tiffany yang begitu serius, Sean menjawab pertanyaannya satu per satu dengan sabar. "Kalau kamu khawatir sekali sama rapat pagi besok, aku bisa menemanimu.""Wah, terima kasih banyak!" Tiffany yang bersemangat segera memegang wajah Sean d
Tiffany adalah murid yang sangat rajin. Begitu selesai makan malam, dia mengikuti Sean ke ruang kerja dengan antusias. Namun, memahami struktur dan fungsi departemen di Grup Maheswari ternyata tidak mudah. Tidak lama kemudian, Tiffany tertidur di atas meja.Di bawah cahaya lampu, Sean duduk di samping Tiffany. Menatap sosoknya yang mungil dan melihat buku catatannya yang penuh dengan tulisan seperti catatan kuliah, sebuah senyuman tipis terlukis di sudut bibirnya.Sean mengulurkan tangan dan menyelipkan sehelai rambut yang jatuh di wajah Tiffany ke belakang telinganya. Wajahnya yang putih bersih tampak semakin cerah di bawah lampu. Melihatnya seperti itu, Sean tak bisa menahan diri untuk mengecup kulitnya yang lembut."Tuan." Terdengar suara dari pintu yang tiba-tiba memecah keheningan. Sofyan melaporkan, "Taufik sudah tiba."Sean berdiri perlahan-lahan, lalu mengambil pena dari tangan Tiffany dan mengangkat tubuhnya dengan lembut. "Suruh dia tunggu di ruang kerja."Setelah berkata dem
Di dalam ruang kerja, di bawah cahaya lampu yang redup, Sean masih duduk dengan matanya tertutup kain hitam. Di sampingnya, Sofyan sedang membacakan sesuatu yang tidak bisa dimengerti oleh Tiffany. Ketika melihat Tiffany datang, Sofyan segera berhenti membaca.Sean bertanya dengan nada datar, "Kenapa bangun?"Tiffany menggigit bibirnya, "Mimpi buruk.""Pak Sofyan," panggil Sean.Sofyan segera merespons, "Ya, Tuan.""Lanjutkan besok saja," kata Sean dengan suara tenang. Dia perlahan memutar kursi rodanya mendekati Tiffany. "Aku harus menemani istriku tidur."Sofyan tertegun sejenak. Apakah bosnya baru saja ... pamer kemesraan?Wajah Tiffany langsung merah padam. Dengan malu-malu, dia mengucapkan "selamat malam" pada Sofyan, lalu bergegas mendorong kursi roda Sean menuju kamar tidur.Setelah membantu Sean menyelesaikan rutinitas malamnya, Tiffany berbaring dalam pelukannya. Namun, dia masih tidak bisa tidur dan hanya terus berguling-guling. Mimpi buruk sebelumnya memang membuatnya agak k
Kata "tidak membawa keberuntungan" membuat Tiffany mengerutkan alisnya dengan tajam. Di matanya, Sean adalah bintang keberuntungannya. Bintang paling cerah yang tak tergantikan dan selalu membawa kebahagiaan! Namun, Liam berani-beraninya menyebut Sean "tidak membawa keberuntungan"?Tiffany mendongak dan menatap Liam dengan tajam. "Kalau kamu berani menjelek-jelekkan suamiku lagi, aku akan memecatmu! Cepat minta maaf sama suamiku sekarang! Katakan kalau kamu nggak seharusnya bilang dia bawa sial!"Suara Tiffany yang jernih terdengar tegas, meski nada kasarnya itu lebih terdengar seperti upaya untuk menakut-nakuti. Wajahnya juga penuh dengan kemarahan, tapi tetap terlihat menggemaskan.Liam terdiam sejenak, seolah-olah tersambar petir. Apa orang ini ... masih Tiffany yang dia kenal sebelumnya?Sepanjang hari kemarin, dia membawa Tiffany ke sana kemari di kantor dan Tiffany sama sekali tidak mengeluh. Sifatnya yang sangat sabar itu bahkan terasa agak berlebihan. Namun sekarang ... kenapa
"Yang ini adalah suamiku, Sean." Begitu kata-kata itu dilontarkan, ruang rapat langsung dipenuhi bisikan.Sean! Bukankah itu si "pembawa sial" dari Keluarga Tanuwijaya? Anak yang kehilangan orang tuanya sejak kecil, kakaknya meninggal saat dia berusia 13 tahun, dan belum lama ini disebut-sebut sebagai penyebab kematian tiga tunangannya?Orang yang dikenal sebagai pembawa malapetaka dari Keluarga Tanuwijaya itu? Kenapa Tiffany menikah dengan orang seperti itu?Melihat kekacauan di depan matanya, Liam hanya bisa menghela napas sambil memijat pelipisnya. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Mantan pemilik perusahaan ini, Taufik, sangat percaya takhayul. Hal ini juga menular ke para bawahannya.Identitas Sean memang sangat sensitif. Membawanya ke sini mungkin bukan keputusan yang tepat.Setelah keributan itu mereda, seorang pria yang tampak berusia lanjut, berdiri sambil mengelus-elus janggutnya. "Bu Tiffany, kami tahu Anda baru saja menjadi presdir dan ingin berbagi kebahagiaan dengan
Begitu Tiffany berkata demikian, wajah Aditya langsung berubah muram. Dia melemparkan proposal yang telah disiapkannya hari ini ke atas meja dengan keras dan matanya menatap tajam ke arah Tiffany. "Apa maksudmu?""Baru saja menjabat sudah mau mecat pegawai lama? Kalau kamu begini, nggak akan bisa bertahan lama!"Tiffany mengatupkan bibirnya. Sorot matanya tetap dingin saat bertemu dengan tatapan Aditya. "Aku nggak tahu apakah aku bisa bertahan lama atau nggak. Tapi yang aku tahu, seberapa hebat pun seseorang, dia tetap harus punya sopan santun."Wajah Aditya memucat, tapi Tiffany seolah-olah tidak melihatnya dan melanjutkan dengan tegas, "Kamu nggak tahu apa-apa, tapi kamu menggunakan tuduhan yang nggak berdasar untuk menghina suamiku. Nggak peduli seberapa hebatnya pun kemampuanmu, kamu tetap saja orang yang nggak punya moral dan nggak tahu cara menghormati orang lain."Aditya tertawa dingin. "Orang sial seperti dia mau berharap dihormati?"Tiffany menggertakkan giginya. "Suamiku lahi
Liam menarik napas dalam-dalam, merasa bingung bagaimana caranya meyakinkan Tiffany. Namun ketika menoleh, dia melihat Sean di belakang Tiffany.Dia berjalan mendekati Sean. "Pak Sean, aku tahu Anda sudah lama terisolasi dan pasti merasa sangat tertekan dan aku juga tahu hubungan Anda dengan Bu Tiffany sangat baik. Tapi masalah ini berawal dari Anda.""Bu Tiffany baru saja mengambil alih perusahaan kemarin, nggak seharusnya kita kehilangan begitu banyak manajer secepat ini. Apakah Anda nggak merasa bertanggung jawab untuk membujuk Bu Tiffany?"Tiffany mengerutkan alisnya, lalu melemparkan pandangan tajam pada Liam. "Apa maksudmu?""Tiff." Sean tersenyum lembut, lalu memutar kursi rodanya ke hadapan Tiffany. "Suruh mereka keluar dulu."Tiffany mengerucutkan bibirnya, tetapi tetap menuruti ucapan Sean. Dia memberikan perintah agar Liam membawa semua orang yang tersisa keluar dari ruang rapat. Setelah pintu ruang rapat tertutup, ruangan besar itu hanya menyisakan Tiffany dan Sean berdua.