Tiffany memasang wajah murung. "Aku nggak mau terlalu menarik perhatian." Dia menarik napas dan menceritakan pada Julie tentang Taufik yang memindahkan sahamnya kepadanya."Astaga!" Julie tertawa terpingkal-pingkal, "Ternyata tebakanku benar, ya?""Coba kamu jelaskan, Tiff, seberapa besar sih pengaruh suami tampanmu itu sebenarnya? Waktu itu Leslie cuma memarahimu, lalu ayahnya langsung datang menjemputmu dengan limusin panjang.""Kemarin mereka bertengkar denganmu, Taufik sampai ketakutan lalu menyerahkan perusahaan padamu?"Tiffany berjalan di depan bersama Julie, sementara Liam mengawal mereka dengan sekelompok bodyguard di belakang. Tatapan teman-teman kampus yang melihat mereka membuat Tiffany merasa tidak nyaman.Dia merapatkan bibirnya dan menggenggam tangan Julie. "Dalam sebulan ini, aku nggak bisa mengembalikan uang dan perusahaan ini ke Taufik .... Jadi, selama sebulan ke depan, aku masih harus menjalankan peran sebagai Presdir Grup Maheswari di atas kertas."Julie tertawa te
Tiffany menggenggam ponselnya erat-erat. Siapa bilang orang desa selalu berpikiran sempit? Meski Thalia hanyalah seorang petani, dia tahu kapan harus meminta saham kepada Tiffany, bukan hanya sekadar uang.Setelah menarik napas dalam-dalam, Tiffany mengatupkan bibirnya dan menjawab, "Bibi, aku nggak pernah jadi selingkuhan siapa pun. Uang dan saham ini bukan milikku, aku cuma memegangnya sementara untuk orang lain. Kalau butuh uang, silakan cari sendiri!"Setelah itu, Tiffany langsung menutup telepon. Namun, panggilan dari Thalia teru-menerus menerornya. Merasa terganggu, Tiffany akhirnya mematikan ponselnya. Setelah melewati hari yang melelahkan, Tiffany menenangkan diri sebelum membuka pintu vila."Aku pulang, Pak Sofyan!" serunya."Aku pulang, Kak Rika!"Seperti biasa, Tiffany menyapa para pelayan di vila dengan penuh semangat. Saat berpapasan dengan Sofyan, Sofyan memberi isyarat mengedipkan mata sambil tersenyum, "Selamat datang kembali, Presdir Tiffany."Tiffany terdiam sejenak.
"Apa yang mau kamu tanyakan sama dia?"Saat Tiffany masih terus mendesak Sofyan, terdengar suara rendah yang datar dari arah pintu lift di lantai satu. Tiffany berhenti mengganggu Sofyan dan berbalik dengan senyum lebar, "Sayang!"Wajahnya yang berseri-seri menampilkan dua lesung pipi kecil. Di balik lapisan sutra hitam yang menutupi pandangannya, tatapan Sean mulai melunak. Dia melambaikan tangannya pada Tiffany, "Ayo, kemari."Tiffany segera berlari kecil menghampirinya. Dia mulai mendorong kursi rodanya menuju ruang makan, sambil bertanya dengan hati-hati."Sayang, tadi siang aku motret struktur departemen di perusahaan untukmu. Sudah jelas, 'kan? Mereka juga bilang aku harus memimpin rapat besok pagi. Kamu tahu gimana cara menjalankannya?"Melihat Tiffany yang begitu serius, Sean menjawab pertanyaannya satu per satu dengan sabar. "Kalau kamu khawatir sekali sama rapat pagi besok, aku bisa menemanimu.""Wah, terima kasih banyak!" Tiffany yang bersemangat segera memegang wajah Sean d
Tiffany adalah murid yang sangat rajin. Begitu selesai makan malam, dia mengikuti Sean ke ruang kerja dengan antusias. Namun, memahami struktur dan fungsi departemen di Grup Maheswari ternyata tidak mudah. Tidak lama kemudian, Tiffany tertidur di atas meja.Di bawah cahaya lampu, Sean duduk di samping Tiffany. Menatap sosoknya yang mungil dan melihat buku catatannya yang penuh dengan tulisan seperti catatan kuliah, sebuah senyuman tipis terlukis di sudut bibirnya.Sean mengulurkan tangan dan menyelipkan sehelai rambut yang jatuh di wajah Tiffany ke belakang telinganya. Wajahnya yang putih bersih tampak semakin cerah di bawah lampu. Melihatnya seperti itu, Sean tak bisa menahan diri untuk mengecup kulitnya yang lembut."Tuan." Terdengar suara dari pintu yang tiba-tiba memecah keheningan. Sofyan melaporkan, "Taufik sudah tiba."Sean berdiri perlahan-lahan, lalu mengambil pena dari tangan Tiffany dan mengangkat tubuhnya dengan lembut. "Suruh dia tunggu di ruang kerja."Setelah berkata dem
Di dalam ruang kerja, di bawah cahaya lampu yang redup, Sean masih duduk dengan matanya tertutup kain hitam. Di sampingnya, Sofyan sedang membacakan sesuatu yang tidak bisa dimengerti oleh Tiffany. Ketika melihat Tiffany datang, Sofyan segera berhenti membaca.Sean bertanya dengan nada datar, "Kenapa bangun?"Tiffany menggigit bibirnya, "Mimpi buruk.""Pak Sofyan," panggil Sean.Sofyan segera merespons, "Ya, Tuan.""Lanjutkan besok saja," kata Sean dengan suara tenang. Dia perlahan memutar kursi rodanya mendekati Tiffany. "Aku harus menemani istriku tidur."Sofyan tertegun sejenak. Apakah bosnya baru saja ... pamer kemesraan?Wajah Tiffany langsung merah padam. Dengan malu-malu, dia mengucapkan "selamat malam" pada Sofyan, lalu bergegas mendorong kursi roda Sean menuju kamar tidur.Setelah membantu Sean menyelesaikan rutinitas malamnya, Tiffany berbaring dalam pelukannya. Namun, dia masih tidak bisa tidur dan hanya terus berguling-guling. Mimpi buruk sebelumnya memang membuatnya agak k
Kata "tidak membawa keberuntungan" membuat Tiffany mengerutkan alisnya dengan tajam. Di matanya, Sean adalah bintang keberuntungannya. Bintang paling cerah yang tak tergantikan dan selalu membawa kebahagiaan! Namun, Liam berani-beraninya menyebut Sean "tidak membawa keberuntungan"?Tiffany mendongak dan menatap Liam dengan tajam. "Kalau kamu berani menjelek-jelekkan suamiku lagi, aku akan memecatmu! Cepat minta maaf sama suamiku sekarang! Katakan kalau kamu nggak seharusnya bilang dia bawa sial!"Suara Tiffany yang jernih terdengar tegas, meski nada kasarnya itu lebih terdengar seperti upaya untuk menakut-nakuti. Wajahnya juga penuh dengan kemarahan, tapi tetap terlihat menggemaskan.Liam terdiam sejenak, seolah-olah tersambar petir. Apa orang ini ... masih Tiffany yang dia kenal sebelumnya?Sepanjang hari kemarin, dia membawa Tiffany ke sana kemari di kantor dan Tiffany sama sekali tidak mengeluh. Sifatnya yang sangat sabar itu bahkan terasa agak berlebihan. Namun sekarang ... kenapa
"Yang ini adalah suamiku, Sean." Begitu kata-kata itu dilontarkan, ruang rapat langsung dipenuhi bisikan.Sean! Bukankah itu si "pembawa sial" dari Keluarga Tanuwijaya? Anak yang kehilangan orang tuanya sejak kecil, kakaknya meninggal saat dia berusia 13 tahun, dan belum lama ini disebut-sebut sebagai penyebab kematian tiga tunangannya?Orang yang dikenal sebagai pembawa malapetaka dari Keluarga Tanuwijaya itu? Kenapa Tiffany menikah dengan orang seperti itu?Melihat kekacauan di depan matanya, Liam hanya bisa menghela napas sambil memijat pelipisnya. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Mantan pemilik perusahaan ini, Taufik, sangat percaya takhayul. Hal ini juga menular ke para bawahannya.Identitas Sean memang sangat sensitif. Membawanya ke sini mungkin bukan keputusan yang tepat.Setelah keributan itu mereda, seorang pria yang tampak berusia lanjut, berdiri sambil mengelus-elus janggutnya. "Bu Tiffany, kami tahu Anda baru saja menjadi presdir dan ingin berbagi kebahagiaan dengan
Begitu Tiffany berkata demikian, wajah Aditya langsung berubah muram. Dia melemparkan proposal yang telah disiapkannya hari ini ke atas meja dengan keras dan matanya menatap tajam ke arah Tiffany. "Apa maksudmu?""Baru saja menjabat sudah mau mecat pegawai lama? Kalau kamu begini, nggak akan bisa bertahan lama!"Tiffany mengatupkan bibirnya. Sorot matanya tetap dingin saat bertemu dengan tatapan Aditya. "Aku nggak tahu apakah aku bisa bertahan lama atau nggak. Tapi yang aku tahu, seberapa hebat pun seseorang, dia tetap harus punya sopan santun."Wajah Aditya memucat, tapi Tiffany seolah-olah tidak melihatnya dan melanjutkan dengan tegas, "Kamu nggak tahu apa-apa, tapi kamu menggunakan tuduhan yang nggak berdasar untuk menghina suamiku. Nggak peduli seberapa hebatnya pun kemampuanmu, kamu tetap saja orang yang nggak punya moral dan nggak tahu cara menghormati orang lain."Aditya tertawa dingin. "Orang sial seperti dia mau berharap dihormati?"Tiffany menggertakkan giginya. "Suamiku lahi
Suara lembut Tiffany seperti suntikan adrenalin yang langsung membuat jantung Sean berdebar kencang.Pria itu mengatupkan bibirnya. Nada bicaranya rendah dan menyiratkan kelembutan saat dia meraih tangan Tiffany dengan jemarinya yang panjang dan kokoh. "Aku cuma mau nyalain panel listrik.""Aku nyalain dulu ya, tunggu di sini."Tiffany menggigit bibir, lalu mengangguk pelan sambil menggumam, "Iya ...." Namun, tangannya masih enggan melepaskan pinggang Sean.Dia menggigit bibir bawahnya sedikit lebih keras. "Bawa aku juga."Sean tersenyum tak berdaya. "Aku cuma turun satu lantai. Kamu tunggu sini sebentar, ya.""Nggak mau."Sejak mereka bertemu kembali, Tiffany sudah jarang bermanja-manja seperti ini pada Sean. "Aku mau ikut.""Aku ...."Di tengah kegelapan, wajah Tiffany mulai terasa panas.Di saat-saat seperti ini, dia justru merasa bersyukur karena listrik tidak menyala. Kalau Sean melihat wajahnya yang memerah, Tiffany pasti sudah diledek habis-habisan ....Suara manjanya membuat Se
"Dia itu pria idaman di Kota Aven, dari wanita usia 18 sampai 80 tahun semuanya ingin menikah sama dia!""Kalau aku tahu siapa yang dia suka, siapa yang mau dia tembak, aku pasti akan langsung wawancara wanita itu. Gimana caranya dia bisa mendapatkan Sean, si suami idaman!"Tiffany menirukan ucapan itu dengan begitu mirip, bahkan ekspresi wajah dan gayanya pun sama persis.Sean terdiam. "Sebenarnya aku nggak sampai segitu disukainya sama wanita, aku ....""Hentikan."Tiffany mengangkat tangan. "Disukai atau nggak, bukan kamu yang nentuin, tapi perempuan.""Pokoknya, aku putuskan mau izin besok, kerja di rumah urus urusan akademik. Nanti kalau situasi sudah mereda, baru aku masuk kerja lagi. Sekalian, aku akan terbitkan makalah terbaruku.""Sekarang antar aku ke lembaga penelitian untuk ambil datanya dulu."Sean menarik napas panjang, akhirnya hanya bisa pasrah dan mengangguk. Dia pun mengambil kunci mobil dari Genta dan resmi menjadi sopir pribadi Tiffany malam itu.Saat tiba di lembag
Tiffany membuka pintu ruang ICU. Dari luar, Lena langsung menerjang ke arahnya dan menatapnya dengan marah. "Kamu apakan kakakku?""Nggak ada." Tiffany melepas jas dokternya dengan anggun dan meletakkannya di kursi di samping. Kemudian, dia menoleh dengan tenang pada para dokter yang sedang menunggu dengan cemas di luar."Kalian boleh masuk. Dia seharusnya sebentar lagi sadar." Para dokter saling berpandangan, lalu buru-buru bergegas masuk ke dalam ruang ICU.Melihat para dokter sudah masuk, Lena juga cepat-cepat menyusul.Sesaat kemudian, terdengar suara Lena yang begitu emosional dari dalam ruangan, "Kak! Akhirnya kamu sadar juga! Huhu! Kamu bikin aku takut setengah mati!"Mendengar suara wanita itu dari dalam, Sean melirik sekilas ke arah Tiffany dan tersenyum tipis. "Hebat juga, ya?""Penyakit hati tentu harus disembuhkan dengan obat untuk hati."Tiffany mengangkat kepala dan tersenyum cerah padanya. "Mau masuk lihat-lihat?"Mata Sean sedikit memicing dan bibirnya mengangkat senyum
Setelah semua orang pergi, Tiffany yang mengenakan jas dokter putih dengan anggun berjalan ke pintu dan menutupnya, lalu mengambil ponselnya. Sambil memainkan ponsel, tanpa sadar dia melirik dingin ke arah Vivi yang masih "pingsan" di atas tempat tidur."Bu Vivi, sekarang cuma ada kita berdua. Kamu nggak usah pura-pura lagi."Wanita yang terbaring di tempat tidur tidak bergerak sedikit pun, seolah benar-benar pingsan. Namun, Tiffany tahu bahwa dia sebenarnya sadar. Sebab, waktu Tiffany baru saja berbicara tadi, dia melihat dengan jelas bahwa ritme pada monitor EKG Vivi menjadi kacau.Itu adalah tanda terkejut. Mungkin Vivi sama sekali tidak menyangka Tiffany akan tiba-tiba berbicara padanya, sehingga dia merasa agak panik."EKG-mu sudah membocorkan rahasiamu."Tiffany menguap, lalu tetap menatap Vivi dengan tenang. "Tapi kalau Bu Vivi mau terus akting, aku juga nggak akan membongkarnya.""Lagian kamu sudah berakting selama tiga tahun, bukan?"Begitu ucapan itu dilontarkan, Tiffany kemb
Lena tidak menyangka Tiffany akan bersikap seperti ini. Dia tertegun sejenak sebelum akhirnya sadar dan berteriak, "Tiffany, apa maksudmu?""Kamu nggak ngerti bahasaku?" Tiffany tersenyum sinis. "Harus aku ulang dalam bahasa lain? Tapi, dengan ijazah SMP-mu, sepertinya kamu tetap nggak akan paham ya?""Kalau bodoh, belajarlah lebih giat. Jangan cuma mengandalkan jasa kakakmu untuk bertindak sewenang-wenang. Memangnya kamu pantas?" Tatapan Tiffany sedingin suaranya.Lena terdiam, lalu menggertakkan gigi. "Apa maksudmu?"Sambil berkata, dia langsung maju, berniat menyerang Tiffany. Dia paling benci diejek soal pendidikannya! Ini bukan karena dia bodoh!Tahun itu saat orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan, dia tidak ingin menjadi beban bagi kakaknya. Makanya, dia sendiri yang meminta untuk berhenti sekolah.Dia sebenarnya anak yang sangat pengertian, tetapi banyak orang yang malah menjadikan hal itu sebagai bahan ejekan!"Maksudnya sesuai dengan yang kukatakan." Tiffany meliriknya s
"Saat Bu Vivi mengalami kecelakaan, Bu Lena memaksa kami mencari mawar untuk kakaknya di lantai bawah ...."Sean mengaktifkan pengeras suara sehingga suara pria di ujung telepon terdengar jelas oleh Tiffany.Sambil memegang anggur merah di satu tangan dan mengetuk meja pelan dengan tangan lainnya, Tiffany mencerna informasi itu.Dari penjelasan pria itu, dia bisa menebak apa yang baru saja terjadi di rumah sakit. Kemungkinan besar, Vivi dan Lena melihat video yang beredar di internet.Vivi mengeluh karena tidak mendapatkan mawar, jadi Lena yang tidak terima dengan hal itu pun memaksa para pengawal mengikutinya mencari mawar untuk kakaknya!Namun, seluruh mawar di kota sudah diborong oleh Sean. Hal ini jelas diketahui oleh Vivi. Meskipun demikian, dia tetap meminta adiknya membawa orang-orang untuk mencarikannya bunga.Alasannya hanya satu, yaitu menciptakan situasi di mana tidak ada yang bisa menjaganya, sehingga dia bisa terluka dengan sempurna.Trik ini memang sangat cerdik. Tiffany
Iring-iringan mobil berhias mawar melaju melewati sebagian besar kota sebelum akhirnya berhenti di depan Restoran Proper.Di sana, Mark, pemilik Restoran Proper, sudah berdiri di depan pintu bersama para manajer dan koki untuk menyambut kedatangan mereka.Melihat Mark yang biasanya tampil gagah dalam setelan jas kini berdiri seperti seorang pelayan hanya untuk menyambutnya, Tiffany merasa cukup puas.Terlebih setelah mengingat bagaimana Mark memperlakukan Julie dulu, kini melihatnya berdiri dengan patuh sesuai arahan Sean, membuat Tiffany merasa semakin puas.Pintu mobil terbuka. Dengan bantuan Sean, Tiffany turun dengan anggun layaknya seorang ratu.Begitu turun, dia melirik sekilas ke arah Mark yang berdiri di kejauhan. "Wah, sejak kapan pemilik restoran punya waktu luang untuk menyambutku secara langsung?"Mark memasang senyuman tipis. "Kenapa aku di sini? Orang lain mungkin nggak tahu alasannya, tapi kamu pasti tahu, 'kan?""Kamu pasti lebih paham bagaimana sifat tunanganmu ini. Ka
Namun, Tiffany benar-benar tidak menyangka Sean akan menggunakan lamaran seromantis ini untuk mengumumkan bahwa hubungan mereka telah kembali seperti semula.Dia tahu dengan lamaran sebesar ini, tak akan butuh waktu lama sebelum berita ini tersebar hingga ke luar negeri. Para senior Keluarga Japardi akan segera melihatnya.Mungkin Vivi dan Lena juga akan marah besar? Namun, apakah semua itu penting? Tidak ada yang lebih penting dibandingkan pria yang kini berada di hadapannya, Sean.Tiffany menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke arah Sean. "Tebak, aku terima atau nggak?"Senyuman malu-malu di wajahnya sudah menjawab semuanya.Sean mengatupkan bibirnya, tak lagi meragu. Dia segera meraih tangan Tiffany dan menyematkan cincin di jarinya. "Aku tebak, kamu sangat ingin menikah denganku."Setelah mengatakan itu, Sean langsung menariknya ke dalam pelukan.Sorakan dan tepuk tangan dari kerumunan terdengar bergemuruh.Tiffany bersandar di dadanya, merasa malu
Ketika Tiffany baru saja selesai mengobrol dengan rekan kerjanya, di kejauhan Sean sudah melihat sosok mungil wanita itu.Dengan senyuman tipis di wajah, pria itu membawa sebuket besar mawar dan melangkah perlahan ke arah Tiffany.Tiffany mendengar jelas suara tarikan napas terkejut dari para rekan kerja wanita di sekitarnya. Dia menggigit bibirnya dan tetap berdiri di tempat, meskipun hatinya sudah penuh kegelisahan.Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, yang tidak pernah dia duga adalah Sean tiba-tiba berhenti dua langkah di depannya, lalu berlutut dengan satu kaki dan menatapnya sambil memegang buket.Di wajah Sean yang selalu terlihat tegas, kini penuh dengan kelembutan yang mendalam. "Tiff."Suara bariton yang dalam memanggil nama Tiffany dengan lembut. Nada penuh kasih itu seketika membuat kegelisahan Tiffany menghilang.Tiffany menunduk, menatap wajah pria itu. "Hmm."Teriakan dan gumaman dari rekan-rekan wanita kembali terdengar. Mereka mulai bergosip dengan heboh.