Kata "tidak membawa keberuntungan" membuat Tiffany mengerutkan alisnya dengan tajam. Di matanya, Sean adalah bintang keberuntungannya. Bintang paling cerah yang tak tergantikan dan selalu membawa kebahagiaan! Namun, Liam berani-beraninya menyebut Sean "tidak membawa keberuntungan"?Tiffany mendongak dan menatap Liam dengan tajam. "Kalau kamu berani menjelek-jelekkan suamiku lagi, aku akan memecatmu! Cepat minta maaf sama suamiku sekarang! Katakan kalau kamu nggak seharusnya bilang dia bawa sial!"Suara Tiffany yang jernih terdengar tegas, meski nada kasarnya itu lebih terdengar seperti upaya untuk menakut-nakuti. Wajahnya juga penuh dengan kemarahan, tapi tetap terlihat menggemaskan.Liam terdiam sejenak, seolah-olah tersambar petir. Apa orang ini ... masih Tiffany yang dia kenal sebelumnya?Sepanjang hari kemarin, dia membawa Tiffany ke sana kemari di kantor dan Tiffany sama sekali tidak mengeluh. Sifatnya yang sangat sabar itu bahkan terasa agak berlebihan. Namun sekarang ... kenapa
"Yang ini adalah suamiku, Sean." Begitu kata-kata itu dilontarkan, ruang rapat langsung dipenuhi bisikan.Sean! Bukankah itu si "pembawa sial" dari Keluarga Tanuwijaya? Anak yang kehilangan orang tuanya sejak kecil, kakaknya meninggal saat dia berusia 13 tahun, dan belum lama ini disebut-sebut sebagai penyebab kematian tiga tunangannya?Orang yang dikenal sebagai pembawa malapetaka dari Keluarga Tanuwijaya itu? Kenapa Tiffany menikah dengan orang seperti itu?Melihat kekacauan di depan matanya, Liam hanya bisa menghela napas sambil memijat pelipisnya. Dia sudah menduga hal ini akan terjadi. Mantan pemilik perusahaan ini, Taufik, sangat percaya takhayul. Hal ini juga menular ke para bawahannya.Identitas Sean memang sangat sensitif. Membawanya ke sini mungkin bukan keputusan yang tepat.Setelah keributan itu mereda, seorang pria yang tampak berusia lanjut, berdiri sambil mengelus-elus janggutnya. "Bu Tiffany, kami tahu Anda baru saja menjadi presdir dan ingin berbagi kebahagiaan dengan
Begitu Tiffany berkata demikian, wajah Aditya langsung berubah muram. Dia melemparkan proposal yang telah disiapkannya hari ini ke atas meja dengan keras dan matanya menatap tajam ke arah Tiffany. "Apa maksudmu?""Baru saja menjabat sudah mau mecat pegawai lama? Kalau kamu begini, nggak akan bisa bertahan lama!"Tiffany mengatupkan bibirnya. Sorot matanya tetap dingin saat bertemu dengan tatapan Aditya. "Aku nggak tahu apakah aku bisa bertahan lama atau nggak. Tapi yang aku tahu, seberapa hebat pun seseorang, dia tetap harus punya sopan santun."Wajah Aditya memucat, tapi Tiffany seolah-olah tidak melihatnya dan melanjutkan dengan tegas, "Kamu nggak tahu apa-apa, tapi kamu menggunakan tuduhan yang nggak berdasar untuk menghina suamiku. Nggak peduli seberapa hebatnya pun kemampuanmu, kamu tetap saja orang yang nggak punya moral dan nggak tahu cara menghormati orang lain."Aditya tertawa dingin. "Orang sial seperti dia mau berharap dihormati?"Tiffany menggertakkan giginya. "Suamiku lahi
Liam menarik napas dalam-dalam, merasa bingung bagaimana caranya meyakinkan Tiffany. Namun ketika menoleh, dia melihat Sean di belakang Tiffany.Dia berjalan mendekati Sean. "Pak Sean, aku tahu Anda sudah lama terisolasi dan pasti merasa sangat tertekan dan aku juga tahu hubungan Anda dengan Bu Tiffany sangat baik. Tapi masalah ini berawal dari Anda.""Bu Tiffany baru saja mengambil alih perusahaan kemarin, nggak seharusnya kita kehilangan begitu banyak manajer secepat ini. Apakah Anda nggak merasa bertanggung jawab untuk membujuk Bu Tiffany?"Tiffany mengerutkan alisnya, lalu melemparkan pandangan tajam pada Liam. "Apa maksudmu?""Tiff." Sean tersenyum lembut, lalu memutar kursi rodanya ke hadapan Tiffany. "Suruh mereka keluar dulu."Tiffany mengerucutkan bibirnya, tetapi tetap menuruti ucapan Sean. Dia memberikan perintah agar Liam membawa semua orang yang tersisa keluar dari ruang rapat. Setelah pintu ruang rapat tertutup, ruangan besar itu hanya menyisakan Tiffany dan Sean berdua.
Tiffany awalnya menatap Sean dengan kaget, kemudian tampak takjub dan akhirnya berubah menjadi tatapan kagum. Ternyata dia tidak salah pilih! Suaminya memang yang terbaik!Tanpa memedulikan tatapan dari para kandidat yang ada di ruangan itu, Tiffany langsung mengangkat wajah Sean dan mencium pipinya dengan penuh semangat berkali-kali. Suasana di ruang rapat menjadi sangat hening.Orang-orang yang dibawa oleh Sofyan sebenarnya bukanlah pelamar biasa, melainkan tim inti yang diperintahkan Sean untuk kembali dari luar negeri semalam. Mereka adalah para profesional yang sudah lama bekerja di perusahaan global Sean di luar negeri.Para elite ini memiliki kesan bahwa Sean adalah sosok yang dingin, angkuh, tak berperasaan, dan tak suka didekati oleh orang asing. Jadi, ketika melihat Sean diperlakukan seperti itu oleh Tiffany yang mencium wajahnya berkali-kali, semua orang langsung tercengang."Sudah, cukup."Sean tersenyum lembut sambil mengusap kepala Tiffany dengan penuh kasih sayang. "Oran
Sofyan mengerutkan alisnya, kemudian keluar dari ruang rapat dan menelepon Charles."Oke, aku mengerti!" Charles yang sedang berbaring di tempat tidur, memutar matanya sambil melirik Garry yang masih sibuk membersihkan klinik. "Di lantai satu gedung Grup Maheswari ada pasien yang mengalami luka bakar. Pergilah ke sana dan tangani."Sofyan memberi tahu Charles bahwa Tiffany yang mengalami cedera dan meminta Charles datang sendiri. Namun, Charles hanya mendengus. Dia tahu jika Tiffany benar-benar terluka, mengingat betapa Sean memanjakannya, reaksi pertamanya pasti langsung mengutus mobil untuk menjemput Charles langsung!Namun, kali ini Sean hanya meminta Sofyan menyampaikan pesan dan meminta Charles untuk menangani kasus ini? Charles merasa yakin bahwa yang terluka mungkin hanyalah salah satu kenalan Sofyan.Berhubung yang terluka hanya teman Sofyan, Charles merasa tidak perlu repot-repot datang sendiri. Mengirim Garry ke sana adalah pilihan terbaik.....Klinik Charles tidak terlalu j
"Tiff." Garry menundukkan kepalanya menatap Tiffany dengan serius. "Apa yang dibilang temanmu itu sungguhan?"Tiffany bersandar di sofa. Wajahnya pucat karena menahan rasa sakit hingga keringat dingin mengalir di dahinya. Saat Garry merawat lukanya tadi, sepertinya dia sempat melamun dan tidak sengaja menekan terlalu keras. Luka Tiffany yang tadinya memang sudah sakit, kini terasa semakin menyiksa.Namun, dia tetap berusaha menahan rasa sakitnya dan mencoba untuk terlihat tenang. Lantaran Tiffany tidak langsung menjawab, Garry kembali bertanya, "Apa benar suamimu bisa melihat?""Ah?" Tiffany tersadar dari lamunannya dan memaksakan senyuman, meski terlihat kaku. "Aku juga nggak tahu .... Seingatku, dia pernah bilang kalau matanya bisa melihat saat dia sangat cemas.""Tapi waktu itu aku agak linglung, jadi nggak bisa membedakan apakah aku sedang bermimpi atau kenyataan." Saat berkata demikian, tanpa sadar Tiffany melirik jarinya yang masih ditempeli plester.Sebenarnya dalam hatinya, dia
"Kamu bilang kalau aku yang pergi, suamimu pasti tahu kamu ada masalah. Tapi memangnya dia nggak tahu kalau kamu pergi ke sana dengan kaki pincang begini?"Tiffany tetap mengangguk tanpa menoleh. "Iya. Dia kan buta."Julie terdiam. Seketika, dia tidak tahu harus bagaimana membantahnya.Akhirnya, Tiffany tetap membawa kopi itu sendiri ke ruang rapat. Meski Sean tidak bisa melihat, ruangan itu penuh dengan orang lainnya. Dia tidak ingin membuat orang bergosip.Oleh karena itu, meskipun kakinya terasa sangat sakit, Tiffany berpura-pura tidak terjadi apa pun. Sambil membawa dua cangkir kopi, dia perlahan-lahan berjalan ke sisi Sean.Setiap langkah yang dia ambil membuat luka bakar di kakinya terasa semakin menusuk. Wajah Tiffany semakin pucat dan keringat dingin mengucur deras di dahinya. Dia bergerak selangkah demi selangkah dengan susah payah menuju ke sisi Sean.Dalam hati, dia bahkan merasa agak lega bahwa suaminya adalah seseorang yang tidak bisa melihat apa pun. Sean yang duduk di ku