“Terima kasih sudah hadir di acara pertunangan saya dan wanita yang selama ini sangat saya cintai.” Dion tampak tersenyum sembari mencium tangan wanita di sampingnya. “Mengenai Olivia Janeta yang selama ini kalian kenal sebagai istri saya, secepatnya dia akan saya ceraikan. Sebab sejak awal, wanita licik itu menipu saya agar bisa menikahinya.” Ucapan pria berstatus suamiku itu sontak menghancurkan hati. Tubuhku bahkan gemetar hebat karena tak menerima itu semuanya.Aku menipunya? Untuk apa?Selama ini, aku tulus mencintainya--melakukan apapun untuk membahagiakannya, menyiapkan segala keperluannya, agar dia merasa nyaman hidup denganku. Sekalipun pernikahan kami hanyalah kesalahan 1 malam, yang entah ulah siapa itu, aku pun tidak tahu!Namun tak kusangka jika Dion terus saja menuduhku menjebaknya meski aku sudah menjelaskan, hanya karena aku menyukainya sejak lama!Dan puncaknya, malam ini....Jelas, aku ingin meninggalkan ballroom mewah yang menyesakkan dada ini. Hanya saja, aku
Napasku memburu, aku nyaris kehilangan kesadaran, ketika bertemu teman- teman, yang rupanya memang tengah mencariku."Itu Oliv," pekik salah satu dari mereka."Astaga, dari mana saja kamu, Liv. Kami seharian cari kamu," sahut yang lainnya."Menyusahkan saja! Seharian kami sibuk mencari kamu, benar- benar menyebalkan ...." Aku tidak merespon apapun, selain terus menarik napasku berulang kali, sembari meraup udara dengan rakusnya. Karena aku benar- benar kelelahan berlari pontang panting dalam ketakutan."Lain kali jangan sok tau, ini tuh hutan lebat. Kamu bisa saja tersesat dan sulit ditemukan." Suara berat itu memicu perhatianku."Menyusahkan," lanjutnya.Aku menatap ke arahnya. Dion dengan wajah masamnya, menatap juga ke arahku.Hati ini berdenyut nyeri, ketika melihat ke arahnya. Dion berdiri dekat dengan Karina, wanita yang memang juga dekat dengan Dion. Padahal aku sudah melihat masa depanku, jika tetap menyukai lelaki ini. Tapi tidak mudah, membuang rasa suka menjadi benci, aku
"Lepaskan!" Aku menarik tanganku dari pegangannya.Lelaki tampan itu menatapku dengan sedikit heran."Aku sudah katakan, kalau aku tidak akan mengejar kamu lagi. Jadi kamu tidak perlu terganggu lagi, kan.""Trik murahan," cibirnya. Usai berkata, dia pun langsung berbalik badan dan menjauh pergi dari hadapanku.Dinda mendekat."Liv, ini pertama kalinya, aku lihat kamu seperti ini ke Dion. Padahal sebelumnya, kamu itu tunduk banget sama dia, bahkan kalau Dion marah, kamu sanggup memohon- mohon maaf dengannya. Tapi ini? Wow, luar biasa ...." Dinda bertepuk tangan, kemudian memelukku dengan eratnya.Terlihat sekali, dia nampak lega dan bahagia, dengan semua perubahanku."Semangat Oliv. Aku tahu ini tidak mudah, tapi aku yakin, kamu bisa terbebas dari obsesi kamu ini," ujar Dinda lagi, memberikanku semangat."Oke ...." hanya itu jawabanku sembari tersenyum manis. Jelas ini tidak mudah, karena ini masalah perasaan. Tapi demi nyawaku sendiri, aku harus bisa.Bayangan kematian tragis itu sang
"Sudah puas bicaranya?" Ucapan Dion menghentikan langkahku, yang berniat terus menjauh.Sebelum aku melempar tanya, tiba- tiba Karina keluar, dengan kedua pengikutnya itu."Dion, jangan marah sama Olivia. Dia tidak bermaksud jahat, aku yang salah bicara dengannya," ujar Karina bersandiwara.Jengah dan bosan sebenarnya kalau sudah begini. "Trik apalagi ini?" bentak Dion, membuat aku mengernyit."Dion jangan marah begitu, kasihan Olivia ..." lagi- lagi Karina bersuara, membuatku sangat muak."Lihatlah Karina, dia begitu baik dan lembut. Bahkan dihadapan Dion saja, dia masih membela wanita tidak tahu malu ini," ujar Siska."Jijik," lanjut Lani, yang juga salah satu pengikut Karina.Aku menghembuskan napas malas."Berhenti membuat masalah, Olivia. Minta maaflah pada Karin, jangan menyinggungnya," pinta Dion."Minta maaf untuk apa? Salahku dibagian mana?" "Dion sudahlah. Olivia tidak salah, aku yang salah," kata Karin dengan suara bergetar.Luar biasa benar wanita busa ini."Aku tahu kam
"Ayah tidak mau tahu, setelah lulus ini, kamu harus bisa mengambil hati Dion," tegas ayah. "Aku tidak mau," jawabku. "Kamu ...." Ayah terlihat semakin marah, membuat ibu langsung menenangkannya. "Ayah tahan, tahan ayah," pinta ibu dengan lembut. Ibu melihat kearahku. "Sayang, kamu ke kamar dulu, istirahat. Ibu tahu kamu capek, dan mengenai ayah, biar ibu yang ngomong," ucap ibuku, yang hanya kutanggapi dengan anggukan. Aku terdiam di dalam kamar, ketika menatap layar ponsel. Disana terlihat pemberitahuan acara pesta perpisahan, yang diadakan oleh Ronald, salah satu anak konglomerat, yang juga bagian dari teman sekelas kami. "Apakah aku harus datang?" Aku membatin. Dan tidak lama kemudian, pintu kamarku diketuk. Setelah diketuk, pintu terbuka. Sosok ibu berdiri di depan pintu, sembari memegangi gagangnya. "Boleh ibu masuk?" tanyanya dengan lembut, sambil tersenyum kecil. Aku mengangguk, dan ibu pun masuk, satu tangan ibu, terlihat memegang sesuatu. "Ini ada undang
Kumantapkan hati, untuk tetap datang ke pesta.Masalah minuman? Kurasa aku bisa menghindarinya. Aku berangkat mengendarai mobil sendiri malam ini. Entah mengapa, ibu begitu baik dan meminjamkan padaku mobilnya. Kejadian yang membuat cinta 1 malam itu terjadi, ketika acara perpisahan diadakan di sebuah Hotel ternama. Tapi kenyataannya, acara diadakan Ronald di rumah mewahnya. Takdir ini lumayan membuatku was- was, ketika sampai ditujuan, dan memarkirkan mobil. Setelah parkir, aku mulai bergabung ke dalam pesta, mendekati teman- teman lainnya. Acara diadakan di taman rumah Ronald, dan di dekat kolam renangnya. "Nyalimu besar juga, berani datang ke acara ini," ucap Siska, yang suaranya terdengar dari belakangku. Dan seperti biasa, dia datang bersama Lani, juga sesembahannya, Karin. Aku berbalik badan, dan melempar senyum mengejek ke arah mereka. "Dari dulu nyaliku besar, masa kamu ragukan itu?" "Cih! Wanita culas, memanfaatkan Dion, hanya untuk sebuah peringkat." Lani b
Aku dan Dion menoleh pada pemilik suara itu. Benar saja, Karina tersenyum ke arah kami dan berjalan mendekat. "Maaf, apakah aku mengganggu kalian?" tanya Karina sambil mendekat ke arah kami. Belum sempat ada yang bersuara, tiba- tiba Karina tersandung dan menabrakku yang berada di pinggiran kolam renang. Aku terjatuh ke kolam renang, aku memekik ketakutan, karena aku tidak bisa berenang. Apakah memang aku ditakdirkan harus mati? Sungguh sial sekali, memang nasib buruk selalu menimpaku, jika aku berada didekat Dion dan Karina. Seseorang memasuki kolam renang, dan menarik tanganku. Tubuhku benar- benar sudah terasa tidak berdaya, entah siapakah yang kini menolongku, aku pun tidak tahu. "Oliv, Olivia ...." Terdengar suara panik sahabatku. Aku melihat ke arahnya yang membantu menarik tubuhku naik. Aku direbahkan, dan lelaki yang menolongku tadi pun akhirnya naik ke tepian kolam renang. Terlihat wajahnya dengan samar, dia terlihat tampan, ditambah rambut basahnya yang m
"Ngomong apa sih, Liv. Kita ini kan keluarga, mana mungkin kami menjahati kamu. Semua yang ayah lakukan, demi kamu juga," bela Ibu. "Kami tahu kamu suka Dion, makanya kami dukung kamu, tapi kenapa kami jadi seakan- akan jahat, Liv?" tanya Ibu, nampak terheran- heran dengan sikapku. "Dulu aku suka, Bu. Sekarang sudah tidak," jelasku. "Ayah tidak percaya, nggak masuk akal. Semua juga tahu, kalau kamu tergila- gila sama Dion, bahkan kamu selalu menempel kepadanya," ujar Ayah. "Nak, tidak harus menikah muda. Setidaknya, kami hanya ingin kamu memiliki hubungan yang jelas dengan Dion," timpal Ibu, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Ya, jangan cuma iri sama Kakakmu! Seharusnya kamu bisa seperti dia, banggain orang tua." Ayah kembali bersuara, membuatku hanya diam. Percuma berdebat dengan mereka, yang ada aku yang akan semakin pusing. "Tidak jadi orang hebat juga nggak masalah, Nak. Setidaknya, kamu bantu ayah saja sudah cukup," lirih ibu. Aku hanya diam dan berjalan mem
Bab69Karena perasaan sayang dan cinta yang buta. Rosalinda rela berhenti kuliah, dan menikah dengan Make, meski tanpa restu orang tuanya.Di hari pernikahan sederhananya. Olivia datang seorang diri, tanpa Dewa maupun Ammar.Rosalinda menatap ibunya, dengan tatapan berkaca- kaca. Mata dingin Olivia, membuat Rosalinda tidak berani memeluk wanita itu.Olivia datang, membuat semua tamu undangan berdecak kagum dengan penampilan dan kecantikkannya. Mereka meyakini Olivia adalah ibu dari Rosalinda, karena wajah mereka sangat mirip.Namun Olivia bahkan tidak menyapa ibu Mike, besannya. Dia hanya berjalan menuju Rosalinda, yang berdiri di pelaminan bersama Mike, bersalaman dengan para tamu undangan.Olivia mengeluarkan sebuah kado kotak kecil, dan memberikannya pada Olivia."Semoga ini berguna untukmu. Apapun yang terjadi, jika kamu tidak bahagia, kembalilah."Rosalinda bungkam, namun menerima hadiah dari ibunya. Tidak ada pelukan ataupun ucapan selamat dari Olivia.Wanita itu berbalik badan,
Bab68Ammar mendengkus, sedangkan Olivia hanya tersenyum. Ammar melihat senyuman di wajah istrinya, merasa gemas dan menatapnya, dengan tatapan penuh keinginan.Seakan mengerti, Olivia pun meminta Dewa untuk keluar kamar mereka, dengan alasan mau beristirahat.Setelah Dewa keluar, Olivia langsung bersuara."Sayang, aku mau mandi." Ammar merasa dadanya berdebar kencang. Dia baru menyadari, kalau Olivia, memanggil dirinya sayang.Biasanya, Olivia bersikap diam, menjaga jarak dan selalu memanggil dirinya dengan nama. Tapi kali ini, dia di panggil sayang.Rasanya jantung Ammar tidak dalam keadaan aman. Debarannya begitu kencang."Aku gerah," ujar Olivia lagi, merentangkan kedua tangannya, meminta Ammar menggendongnya."Bantu aku mandi, ya." Olivia kembali bersuara, ketika mereka sudah ada di dalam kamar mandi.Ammar salah tingkah, dia menjadi sedikit bingung dan linglung.Ammar menyiapkan air dalam bathup. Dia menumpahkan banyak sabun, wajahnya memerah, tingkahnya jadi serba salah.Dia m
Bab67Dion yang tahu watak kejam sang Paman. Tentu saja, setelah Ammar pergi, dia pun berusaha segera pergi dari rumah tua itu.Jika tidak berpura- pura mau mati, mungkin Olivia tidak sepenuhnya mau menghentikan tindakan kejam Ammar.Dion benar- benar sakit hati, karena Ammar tidak segan- segan, mau mencabut nyawanya.Dan benar saja, Dion yang kini terduduk di dalam hutang belakang rumah besar tadi, melihat kobaran api yang sangat besar, berasal dari rumah itu."Dia benar- benar kejam," lirih Dion.Ada rasa sesal, karena dia tidak cukup cepat, merusak kehidupan Olivia. Sebab dia sempat merasa dilema, saat melihat wajah memelas Olivia.Disaat dia termenung. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya.[Kamu dimana, aku rindu.] Pesan itu berasal dari Karina, wanita yang pernah sangat dia sukai. Tapi setelah lulus sekolah menengah. Dia menyadari, kalau dia butuh Olivia, bukan Karina. Dia suka Karina, tapi dia cinta Olivia. Dion sempat merasa drop dan hancur hatinya saat itu, saat tahu Oliv
Bab66"Maaf." Olivia berniat melewatinya. Namun, orang itu merentangkan tangan, menghalangi Olivia."Mau kemana? Kenapa buru- buru sekali. Bukannya dulu kamu selalu suka, jika aku ada di dekat kamu, Olivia?""Kamu kenapa sih?" Olivia merasa sedikit kesal."Kenapa denganku? Aku tidak melakukan apapun, hanya ingin bicara sama kamu. Kenapa kamu jutek sekali?""Suamiku pasti khawatir, jika aku lambat untuk kembali. Dion, jangan halangi jalanku."Dion, lelaki yang sudah lama menghilang. Yang Olivia tahu, Dion sudah dikirim Ammar ke negara lain, dan di blokir lelaki itu kembali ke kota Luky ini. Namun kini, dia ada di hadapan Olivia, dengan sorot mata yang hampa, penuh luka.Dion terkekeh."Aku suka, jika dia khawatir, dan ketakutan. Karena apa yang pernah dia lakukan padaku, itu lebih dari sekedar menakutkan.""Dion. Jika kamu macam- macam, maka keadaannya akan semakin kacau. Kumohon, biarkan aku pergi.""Membiarkan kamu pergi? Maaf, aku tidak bisa. Apakah kamu sudah tidak rindu aku, pada
Bab65Wajah Ammar memerah, dia berniat akan membuka pintu kamar dan melampiaskan emosinya pada Dewa.Lelaki itu berjalan ke arah pintu. Olivia yang melihat kilatan amarah yang membesar di wajah Ammar, pun langsung berlari kecil menyusul Ammar.Saat Ammar membuka kasar daun pintu, tiba- tiba Olivia yang berlari terpeleset, dan kepalanya menghantam dinding.Ammar terkejut dan langsung menangkap tubuh Olivia. Namun, wanita itu meringis kesakitan, karena benturan keras di kepalanya."Ibu ...." Dewa semakin panik. Terlebih melihat kondisi kamar kedua orang tuanya yang berantakan, membuat miris hati Dewa.Ammar langsung mengangkat tubuh Olivia, dan meletakkannya ke atas kasur."Kenapa kamu berlari? Kamu mau bunuh anakku?" teriak Ammar, ketika meletakkan Olivia di atas kasur."Ibu," lirih Dewa, sembari memeluk Olivia."Kamu juga! Kenapa kamu harus teriak- teriak di depan pintu kamar?" bentak Ammar pada Dewa.Emosi Ammar benar- benar sulit dikendalikan. Dia terus marah, dan memaki anak serta
Bab64Melihat tangisan Olivia yang tidak biasa, Ammar melunak dan memberikannya, meksipun dia sangat tidak senang.Olivia begitu lahap menyantap nasi goreng buatannya. Dewa pun datang ke meja makan, menatap berbinar pada nasi goreng yang sedang di makan ibunya."Ibu bikin sarapan?"Sorot matanya memancarkan keinginan. Olivia tersenyum, dan menjawab lembut."Iya, nak. Tapi maaf, ibu bikinnya cuma dikit, nggak bisa dibagi sama kamu. Kecuali satu suapan," jelas Olivia.Ammar tercengang."Itu banyak, sayang. Bisa 1 porsi lagi, kenapa dibilang nggak cukup?""Buat aku," ujar Olivia, dengan wajah serba salah."Nggak apa- apa, Ibu. Satu suap juga boleh, asal ada," kata Dewa dengan tersenyum sumringah.Ammar menggeleng. Untuk pertama kalinya, Olivia tidak mau berbagi makanan dengan anaknya, benar' benar tidak biasa bagi Ammar.Selesai sarapan, Dewa pun berpamitan pada ibu dan ayahnya. Sedangkan Olivia, masih sibuk dengan makanannya."Jangan buru- buru, Dewa sudah berangkat, nggak bakal ada yan
Bab63"Ayah, buka ...." Suara Dewa terus terdengar dari luar. Ammar merasa lelah, karena harus menahan sabar pada Dewa.Dia melirik jam dinding, dan merasa sangat kesal dengan ulah Dewa malam ini. "Ammar, kumohon jangan marah. Dewa masih kecil," pinta Olivia. Ammar mendengkus, dan menunjuk ke arah jam dinding."Lihat jam sana! Ngapain dia ribut diluar kamar, saat jam segini?""Mungkin dia sedang mimpi buruk," lirih Olivia, masih mencoba memberi pengertian pada Ammar.Ammar pun berjalan ke arah pintu dan membukanya. Nampak Dewa sudah tersandar di samping, dengan tubuh yang gemetar, serta wajah yang sangat basah air mata."Apa yang kamu lakukan?" tanya Ammar dengan geram.Dewa mempercepat gerakkannya, dan masuk ke dalam kamar."Ibu, ibu tidak apa- apa kan? Apakah ayah nyakiti ibu lagi?"Dewa melayangkan bermacam pertanyaan, membuat Olivia terharu. Inilah alasan dia, tidak sanggup pergi dari Ammar. Dia tidak bisa, jika harus meninggalkan Dewa lagi, dia takut Dewa sakit hati dan kesepia
Bab62"Sayang, hei ...." Ammar mendekat sembari membelai pipi Olivia. Wanita itu menundukkan wajah, membuat Ammar semakin kebingungan."Kamu kenapa? Jangan buat aku khawatir," ujar Ammar. Dia benar- benar kebingungan, melihat Olivia."Ammar," lirih Olivia, yang masih terisak, tanpa mau bersitatap dengan Ammar."Ya, sayang. Kamu kenapa?"Ammar begitu antusias, mendengarkan ucapan istrinya."Aku capek," ungkap Olivia. Ammar terdiam."Aku kesulitan menjalani hubungan ini, aku tidak bahagia, aku menderita, Ammar.""Jadi? Kamu mau meninggalkan aku lagi, Olivia?"Ammar mulai meninggikan suara."Apakah ini yang kamu mau, Olivia? Meninggalkan aku, membuat aku hancur, kemudian aku gila dan mati dalam keadaan memalukan?"Seketika Olivia langsung mendongakkan wajahnya."Tidak, Ammar. Kamu tidak mungkin hancur, apalagi gila," kata Olivia meyakinkan."Tahu apa kamu? Yang merasakan aku, bukan kamu.""Hubungan kita sudah lama tidak sehat, Ammar.""Tidak sehat? Kamu jangan banyak beralasan, Olivia. K
Bab61Ammar mendengkus, Olivia melihat kemarahan di mata Ammar.Ammar beringsut turun dari ranjang, dan berjalan ke arah pintu. Saat dia membuka lebar daun pintu, Dewa langsung menerobos masuk, berlari ke arah ibunya."Ibu, ibu tidak apa- apa? Apakah ayah menyakiti ibu lagi?"Dewa kecil bertanya dengan panik. Ammar menutup daun pintu."Memangnya ayah pernah memukul ibumu?" tanya Ammar, yang tidak senang dengan pertanyaan anaknya pada Olivia.Dewa mengabaikan pertanyaan Ammar, membuat Ammar murka dan berniat menarik tubuh Dewa, dari pelukan Olivia."Jangan, Ammar. Kamu boleh menyakiti aku, tapi jangan Dewa. Ingat, Ammar. Dia anak kita," lirih Olivia. Ammar urung menarik Dewa dari Olivia."Memangnya aku pernah memukulmu?""Pernah, kamu memukul wajahku. Kamu menyiksaku dengan meniduriku secara kasar," ujar Olivia, dengan mata berkaca- kaca."Cukup!" bentak Ammar."Aku bisa mengulanginya lagi, jika kamu melanjutkan. Dan Dewa, kenapa kamu kemari sendirian? Kamu terlalu berani," geram Amma