"Ma, besok mas pulang ke rumah. Bersihin kamar tamu sekalian ya? Mas bawa seseorang"
"Siapa mas? Keluarga mas ikut kesini?"
"Sudah, besok aja mas jelasin. Mas tutup telponnya ya?"
"Ya, mas"
Aku penasaran siapa yang akan mas Yoga bawa. Mas Yoga dinas diluar kota sudah seminggu ini. Dia sering keluar kota. Di sana ada keluarga ayahnya. Apa mungkin yang akan mas Yoga bawa sepupunya?
Aku segera ke kamar tamu, mengganti seprai dan sarung bantal. Juga meletakkan selimut baru di atas ranjang. Menyapu lantainya dengan bersih lalu merentangkan karpet. Sepertinya tamu itu istimewa, sampai-sampai mas Yoga langsung memerintahkan untuk membersihkan kamar tamu.
Kembali ke kamar ku, menatap test pack bergaris dua yang sengaja ku letakkan di atas nakas disamping tempat tidur. Ya, akhirnya aku hamil juga. Setelah tujuh tahun menanti kehamilan. Aku ingin memberikan kejutan itu pada suamiku. Aku tak bisa membayangkan kebahagiaan seperti apa yang akan dia tunjukkan nanti.
Aku benar-benar tidak sabar menunggu esok hari, hasil test pack itu lalu kuletakkan didalam sebuah kotak. Lalu membungkusnya dengan rapi. Aku akan memberikan ini nanti pada suamiku.
Tujuh tahun bukan waktu yang singkat, selama itu sudah banyak cacian dan makian yang aku terima dari keluarga suamiku karena tak kunjung hamil.
Tapi semua luka itu rasanya menguap, saat aku tau aku hamil sudah menginjak bulan kedua. Aku sangat bahagia, setelah suamiku tau aku hamil baru semua keluarga akan aku kasih tau kejutan ini.
Pagi harinya, sengaja aku memasak makanan kesukaan suamiku. Menatanya dengan manis di atas meja makan. Tak lupa kado kecil itu aku letakkan disamping tempat dimana biasanya suamiku duduk saat makan.
Hari ini akan menjadi hari bersejarah bagiku dan juga suamiku. Ku tatap jam yang tergantung di dinding rumah, pukul sepuluh pagi. Sebentar lagi suamiku akan datang.
Bunyi ketukan pintu dari arah luar, aku yang sedang di dapur gegas membukakan pintu. Suamiku pasti sudah pulang.
Saat aku membukakan pintu, dahiku berkerut saat melihat perempuan cantik berdiri di samping suamiku. Matanya seakan tidak bersahabat menatap wajahku. Siapa dia?
"Assalamualaikum, mas. Silahkan masuk, mas"
Mas Yoga melangkahkan kaki kedalam rumah, tapi tangannya menggenggam jemari wanita itu. Hatiku langsung panas melihatnya.
"Siapa dia, mas? Dan kenapa kamu menggenggam tangannya seperti itu?"
Ku tatap wajah perempuan itu dengan lekat. Ada hubungan apa mereka?
"Ayo, kita duduk dulu, ma" Mas Yoga membawaku duduk di ruang tamu. Perempuan itu duduk di samping suamiku. Sedangkan aku duduk di depan mereka.
"Ma, kenalin ini Rindu, dia istri kedua mas"
Aku tersentak kaget saat dia mengatakan perempuan itu istri keduanya.
"Kamu bohong kan mas? Nggak mungkin dia istri mas? Kamu jangan bercanda mas!" Suaraku bergetar mengatakan pertanyaan itu.
"Tidak, ma. Rindu memang istri mas, kami sudah menikah enam bulan yang lalu" Tubuhku langsung gemetaran menahan kemarahan, tak mungkin semua ini terjadi.
"Kenapa mas? Kenapa kamu nikahin dia?"
"Aku ingin punya keturunan, ma. Tujuh tahun menikah denganmu tapi kamu tak kunjung hamil, keluarga mas mendesak untuk kawin lagi. Agar segera punya anak"
"Jadi mas pikir aku mandul? Bukankah kata dokter aku tak punya masalah apapun. Anak itu masalah rezeki dari Tuhan mas!" Aku tak sanggup lagi menahan airmata. Mengalir membasahi pipiku, hatiku hancur. Disaat aku lagi hamil, suamiku malah membawakan seorang madu untukku.
"Mulai sekarang, Rindu akan tinggal di rumah ini!"
"Apa kamu bilang mas? Tinggal serumah dengan kita? Di rumah ini? Tidak bisa mas! Silahkan kamu bawa gundik mu ini keluar sekarang juga!" Aku berteriak dengan emosi, menunjuk wajah perempuan itu yang tanpa rasa bersalah sedikitpun malah memeluk erat lengan suamiku. Aku jijik melihatnya.
"Sudahlah, mbak! Kita akan bisa akur kok walaupun tinggal serumah" Perempuan itu bicara tanpa ku minta.
"Apa kau bilang? Akur denganmu? Aku tidak akan pernah menerimamu hadir dalam rumah tanggaku. Kamu perempuan murahan yang tega merebut suami orang!"
"Jangan asal bicara, mbak. Aku bukan wanita murahan. Kamu yang tak berguna, dasar wanita mandul!"
Plakkkk....
Sebuah tamparan keras aku layangkan pada wajah perempuan itu. Menjambak rambutnya, menariknya dengan paksa. Melemparkannya ke lantai, lalu menginjak tubuhnya dengan kaki ku tanpa ampun.
Mas Yoga berusaha menarikku dengan kuat, mencoba melepaskan genggaman tanganku yang sangat kuat pada rambut perempuan itu. Bertubi-tubi pukulan aku layangkan pada wajah dan tubuh perempuan itu. Dia berusaha melepaskan diri. Tapi bukan Riana namanya jika tak bisa mengunci kedua lengan perempuan itu.
Menendangnya berulang kali. Aku sangat marah saat dia mengatakan aku mandul. Dasar wanita murahan. Aku sangat membencinya. Mas Yoga berusaha memeluk perempuan itu. Sambil berusaha melepaskan genggamanku pada rambut perempuan itu.
"Riana, berhenti! Tolong hentikan! Rindu sedang hamil!" Genggaman tanganku pada perempuan itu reflek terlepas, dia hamil? Aku juga hamil? Apa yang harus aku lakukan?
Cepat-cepat mas Yoga menuntun perempuan itu kembali duduk. Merapikan pakaian dan rambut perempuan itu dengan penuh kasih sayang. Perempuan itu terisak menangis di pangkuan suamiku.
Ada nyeri didadaku saat melihat suamiku memperlakukan perempuan itu dengan penuh kasih sayang. Ada rasa cemburu yang tak mampu ku hilangkan. Laki-laki yang selama tujuh tahun ku puja dan ku cintai sepenuh hati. Ternyata tega menyakitiku begitu dalam.
"Kenapa kamu bisa berubah jadi sekasar ini Riana?"
"Kamu yang membuatku berubah, mas!"
"Tidakkah kau kasihan melihat keadaan Rindu? Dia sedang hamil tapi kau perlakukan dia seperti ini?"
"Apa mas pikir aku akan memanjakannya setelah dia merebut suamiku sendiri?"
"Dia tidak merebutku darimu, aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Aku hanya minta padamu untuk menerima Rindu sebagai madu mu. Itu saja"
"Tidak, mas! Aku tidak sudi di madu"
"Tapi semua ini sudah terjadi, kamu harus menerima Rindu, titik! Jangan membangkang Riana!"
"Tapi aku tidak mau berbagi rumah ini dengannya! Silahkan kamu bawa dia keluar dari rumah ini!" Aku masih emosi, tak mampu ku kendalikan diri. Melihat suamiku masih tetap memeluk perempuan itu.
"Hari ini saja Riana, besok aku akan membawa Rindu ke rumah baru! Aku mohon, sehari ini saja!"
Aku akhirnya mengalah, membiarkan suamiku menuntun perempuan itu memasuki kamar tamu. Perempuan itu tersenyum licik memandangku. Rasanya aku ingin kembali menghajarnya. Tapi suamiku terlihat sangat menyayangi dia. Aku sangat benci melihatnya.
Lutut ku seakan goyang. Aku terduduk di lantai, kenapa semua ini terjadi? Kenapa disaat aku akhirnya hamil, disaat itu juga suamiku sedang bahagia karena maduku juga hamil. Netra ku tak mampu membendung bulir-bulir airmata yang bercucuran. Aku tak mampu menghadapi kenyataan ini. Apa yang harus kulakukan? Harusnya minta berpisah dari mas Yoga? Tapi bagaimana dengan masa depan anakku nanti.
Aku hanyalah seorang istri yang tak punya pekerjaan apapun. Tak punya keluarga, hanya seorang paman yang tinggal di luar kota. Kedua orang tuaku sudah meninggal dunia. Bagiku mas Yoga adalah segalanya. Tapi sekarang, dia sudah punya istri yang lain. Tak mungkin kasih sayangnya sama seperti dulu lagi. Pasti semuanya terbagi.
Aku tak menyadari saat mas Yoga berdiri di depanku. Di tangannya ada kado yang sengaja aku letakkan di meja makan tadi. Sepertinya dia sudah membuka kado itu. Hadiah kejutan yang ingin aku berikan padanya.
"Ma, ini apa? Kado ini isinya test pack. Bergaris dua. Apa kamu hamil?" Dia berlutut menatapku yang terduduk lesu.
"Semua ini tidak penting lagi bagi mu, mas!" Ku rampas test pack itu darinya. Ku alihkan muka dari tatapannya. Hatiku sangat sakit. Seharusnya ini jadi hari bersejarah kami, tapi luka yang teramat dalam yang malah aku terima.
"Jadi ini benar? Kamu hamil?" Mas Yoga tersenyum bahagia dan langsung memelukku dengan erat.
"Lepaskan aku, mas! Silahkan pergi pada gundikmu itu! Aku membencimu!"
"Ma, maafkan aku. Aku sangat mencintaimu. Aku hanya terpaksa menikahi Rindu atas permintaan Ibu. Dia ingin segera memiliki cucu. Aku kasihan pada Ibu"
Mas Yoga berusaha menenangkanku. Tangannya mengusap lembut perutku. Ada rasa bersalah dan benci yang tak bisa ku hindarkan saat dia melakukan itu. Hatiku sakit, tapi melihat suamiku bahagia dengan kehamilanku, aku sedikit merasa bahagia. Tapi harus bagaimana lagi? Perempuan itu juga hamil. Bagaimana seharusnya tindakanku? Apakah aku harus merelakan diri dimadu?
"Ayo, bangun ma. Mama pasti belum makan. Mas lihat makanan di meja masih utuh. Mari kita makan bersama, mas akan panggilkan Rindu dulu!"
Mas Yoga menuntunku kemeja makan. Terpaksa ku turuti. Rasanya aku tak punya tenaga sedikitpun setelah kejadian tadi.
Mas Yoga dan perempuan itu keluar dari kamar tamu dan menghampiri meja makan. Mas Yoga menarik kursi untuk perempuan itu. Aku melengos melihatnya. Rasanya sangat sakit.
"Mari makan, mas sudah sangat lapar dari tadi belum makan apapun"
Aku menyendokkan nasi untuk suamiku, memilihkan lauk pauk untuknya. Dan mengisi gelasnya dengan air minum.
"Rindu, silahkan mulai makan" Suamiku malah memperhatikan perempuan itu. Ingin rasanya mengusirnya, tapi rasa itu aku tahan.
"Baik, mas" Dia lalu mengambil sedikit nasi dan lauk pauknya. Aku sangat membencinya. Rasanya napsu makanku hilang, tapi perutku sudah sejak tadi kelaparan. Akhirnya aku ikut makan dalam diam.
Setelah makan, mas Yoga bicara.
"Mas harap kalian berdua akan berdamai setelah ini. Mas minta kalian berdua akur. Rindu, Riana sekarang juga lagi sedang hamil. Mas harap jaga ucapan mu padanya! Dan kamu Riana, tolong terima kehadiran Rindu"
"Jadi mbak Riana juga sedang hamil?" Perempuan itu seakan sangat terkejut mendengar ucapan suamiku.
"Iya, kamu pikir cuma kamu doang yang bisa hamil?" Aku menatapnya dengan tajam. Dia menundukkan wajah karena aku pelototin. Awas saja, hidupmu tak akan semudah itu jadi maduku, aku menyeringai menatapnya.
"Ma, aku mohon. Cobalah untuk menerima Rindu. Sekarang dia juga istriku, dia sama berhaknya denganmu atas diriku, ma?""Tidak mas, dia berbeda denganku. Aku wanita terhormat sedangkan dia wanita perebut suami orang!""Sudahlah ma, sudahi ini semua. Mas pusing mendengar kamu sejak tadi selalu marah!""Aku marah padamu, mas! Menikah diam-diam tanpa sepengetahuan diriku""Mas kan sudah jelaskan alasannya, sekarang cobalah mengerti Riana!""Kalian menikah secara siri kan?""Iya, ma! Karena status mas dan tidak mendapatkan izin darimu kami menikah siri""Baguslah, aku tidak akan pernah memberikan izin. Selamanya perempuan ini akan menjadi istri siri mu!""Apa maksud mbak bicara seperti itu?" Perempuan itu menatapku dengan penuh tanda tanya. Dasar bodoh. Mau saja dijadikan istri siri.
Hari menjelang sore, aku mondar mandir di depan teras. Suami yang ku tunggu tak kunjung datang. Jangan bilang di pulang ke rumah perempuan jalang itu. Tanganku mengepal menahan amarah.Aku tak akan memaafkannya, jika malam ini dia kembali bersama perempuan itu. Seharusnya dia juga memikirkan ku. Aku juga hamil, istrinya yang sudah menemaninya selama tujuh tahun. Sedangkan perempuan itu baru menjadi istrinya. Aku yang menemani suamiku berusaha dari nol, dari yang tak punya apa-apa sampai punya jabatan yang sebagus sekarang ini.Rasanya ini tidak adil, hanya beralasan keturunan dia tega menduakan ku. Lalu sekarang mencoba tak berlaku adil. Padahal aku sudah bersusah payah mencoba untuk ikhlas.Jika malam ini, dia tak pulang ke rumahku, awas saja. Aku akan kembali menghajar perempuan jalang itu.Emosiku sudah membuncah, hari sudah menjelang magrib. Tapi mas Yoga belum pulang juga. Aku tak tau harus berbuat ap
Suara mobil mas Yoga memasuki bagasi rumah, aku segera membukakan pintu. Akhirnya dia pulang juga.Mas Yoga memasuki rumah, tapi wajahnya seperti memendam kemarahan. Aku tau, mungkin dia marah setelah kejadian tadi."Mas marah padaku?""Iya, mas sangat marah Riana!""Seharusnya aku yang marah, kamu bilang ibu yang memaksa menikahi perempuan itu, nyatanya apa? Semua itu karena kamu tergoda akan rayuannya?""Ya, aku memang tergoda akan rayuannya. Tapi ibu juga merestui pernikahan kami! Karena dia ingin secepatnya punya cucu""Sekarang aku telah hamil, aku bisa memberikan cucu untuk ibu dan anak untukmu, aku mau kamu tinggalkan dia!""Tidak semudah itu Riana, dia juga hamil, di perutnya ada calon anak ku juga!""Lalu mas mau beristri dua selamanya?""Iya, mau bagaimana lagi? Semua ini sudah terlanjur!""Tapi aku tidak sudi hidup seperti ini!"&n
Saat mobil mas Yoga berhenti di klinik kandungan, aku turun dengan enggan. Rasanya malu sekali. Diperlakukan seperti ini.Karena mas Yoga sudah membuat janji, jadi kami tidak terlalu lama menunggu. Suster memanggil nama suamiku, kami sontak berdiri. Masuk ke ruang pemeriksaan. Bertiga, jalan beriringan. Aku tidak tau apa yang dipikirkan oleh suster, yang menatap aneh pada kami."Baik, pak Yoga. Kita periksa dulu. Yang mana yang akan saya periksa?""Keduanya dokter, mereka istriku. Dan sama-sama hamil keduanya""Beruntung sekali pak Yoga, punya istri dua hamil pula keduanya" Dokter tersenyum menatap aku dan perempuan itu. Rasanya malu sekali. Suster yang tadi memanggil nama suamiku, terlihat mengulum senyum.Mereka pasti mentertawakan kami. Ah, ingin rasanya keluar berlari untuk menyembunyikan mukaku. Tapi perempuan itu masih bisa tersenyum bahagia, dasar tidak punya malu.
Ku lajukan kendaraan dengan hati yang penuh dengan kemarahan. Aku tak bisa terima perlakuan mas Yoga. Dia sudah berani mengambil tabunganku sendiri demi memenuhi keinginan perempuan itu.Padahal aku sudah lama mengumpulkan uang itu, setiap bulan aku selalu menyisihkan nafkah yang mas Yoga berikan padaku. Berharap suatu saat uang itu bisa aku gunakan untuk hal-hal yang mendesak. Tapi sekarang apa? Dengan mudahnya dia membeli mobil untuk perempuan jalang itu.Aku mengusap kedua pipiku yang basah oleh airmata. Aku tidak ingin perempuan itu tau aku menangis. Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin membuat perhitungan dengan perempuan itu.Saat aku sampai di rumah perempuan itu, pagarnya terkunci. Ku bunyikan klakson berulang kali agar dia keluar. Ku intip ke dalam, benar saja. Ada mobil baru yang terparkir di garasinya. Darahku seketika mendidih melihatnya. Kamu kejam mas Yoga!Kulihat perempuan itu dengan sombongnya keluar
Aku berkemas hendak ke swalayan, kulkas sudah kosong. Aku mau belanja. Terpaksa pergi sendiri. Karena suamiku sekarang pasti di rumah perempuan itu. Sudahlah, aku tidak ingin mengingat apapun tentang mereka.Aku keluar menuju bagasi. Hendak menaiki mobil ku, tapi melihat mobil baru itu seketika aku berbalik. Dan mengambil kunci mobil itu. Hari ini aku akan memakai mobil baru itu. Aku belum kepikiran tentang apa yang harus aku lakukan dengan mobil ini. Haruskah aku jual? Ataukah aku pake? Atau mobil yang lama saja aku jual.Aku suka saat mengendarai mobil baru ini, lagipula perempuan itu belum pernah mengendarainya. Aku merasa nyaman menggunakannya.Aku sedang memilih barang-barang yang aku inginkan, saat seseorang menepuk pundak ku."Rania?" Aku berbalik dan melihat sumber suara. Ternyata Amira, teman semasa kuliah ku dulu."Hai, apa kabar? Lama nggak ketemu ya?" Aku memeluknya dengan hang
Sampai di rumah, aku terduduk lesu di ujung ranjang. Berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan. Masih terngiang jelas ucapan ibu pada mas Yoga. Untuk segera menceraikan aku. Walau mereka akan menunggu ku sampai lahiran. Tapi aku yakin, mas Yoga akan terhasut perkataan mereka. Mas Yoga tidak bisa lagi ku percaya. Aku harus mengambil keputusan. Aku tidak mungkin sanggup hidup seperti ini, jelas-jelas mereka tidak menginginkanku. Mas Yoga bertahan padaku hanya demi anak ini, bagaimana nanti? Kalau setelah melahirkan dia menceraikan ku dan merebut hak asuh anakku. Aku tidak mau itu terjadi. Aku harus minta cerai dari mas Yoga. Tidak mungkin lagi aku bertahan dalam rumah tangga seperti ini. Tapi aku harus mencari seseorang yang paham akan masalah ini. Bagaimana caranya untuk bercerai dari mas Yoga? Aku juga tidak ingin kehilangan harta benda yang aku miliki sekarang. Jika aku pergi tanpa membawa harta sedi
"Tidak, mas. Aku tidak ingin memperkarakan dia yang menikah diam-diam. Aku hanya ingin bercerai dan mendapatkan harta benda yang aku punya sekarang""Baiklah, kalau itu keputusan mu. Sebenarnya, jika kamu mau memperkarakan tindakan suamimu itu, dia bisa masuk penjara, Riana""Tidak, mas. Aku tak ingin memenjarakan dia""Kamu kenapa Riana? Apa kamu sangat mencintai dia? Dia bisa di hukum lho karena menduakan mu tanpa meminta izin dari mu?" Amira mempertanyakan keputusanku, tapi entahlah. Hanya saja hati ku tak tega jika mas Yoga harus masuk penjara. Padahal dia sudah begitu jahat padaku."Entahlah, Amira. Hanya saja hatiku tidak menginginkan itu""Ya, sudah. Jadi kapan kamu berencana menggugat cerai suamimu? Aku akan mengurus semuanya. Aku hanya perlu beberapa dokumen darimu, kamu tinggal beres. Aku hanya perlu tanda tanganmu saja nanti" Mas Candra sepertinya serius sekali ingin membantuku."Bai
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."
Aku membiarkan begitu saja saat dering handphoneku memekakkan telinga. Sudah dari tadi Mas Candra mencoba menelponku. Rasanya aku tidak bisa lagi dekat dengan Mas Candra.Perkataan perempuan itu masih terngiang di telingaku. Aku tidak ingin menjadi perusak dalam hubungan orang lain. Lebih baik aku yang mundur. Walau hatiku sudah mulai bisa menerima kehadiran Mas Candra. Sudah mulai bisa merasakan getaran saat tatapan matanya bertemu denganku.Rasa cinta itu sebenarnya sudah datang di hatiku untuk Mas Candra. Tapi aku tidak ingin apa yang aku rasakan dulu, di rasakan juga oleh perempuan lain. Sakitnya di khianati oleh Mas Yoga masih membekas di hatiku. Tiap ingat Mas Yoga aku masih tetap menitikkan air mata. Cinta yang begitu ku agungkan ternyata memendam duri yang begitu tajam.Walaupun sekarang dia tengah menjalani hukuman atas perbuatannya, tetap saja luka di hatiku tak bisa hilang oleh perbuatannya.Karena tak ku gubris sedikitpun, ak
Pikiranku kalut, semua kata-kata yang di lontarkan perempuan itu seperti bom yang selalu meledakkan jantungku. Kenapa dia sampai tega memfitnahku seperti itu. Dia bilang akulah yang merusak hubungan pernikahan Mas Candra dengan adiknya, bahwa akulah yang menyebabkan adiknya meninggal.Apa yang sebenarnya Mas Candra lakukan pada mantan istrinya itu, hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Apa benar akulah yang menjadi biang rusuh dalam pernikahan mereka? Karena Mas Candra kecewa dengan lamarannya yang aku tolak dulu hingga membuatnya berlaku tidak adil pada istrinya sendiri?Tiba-tiba aku ingat Amira, dia adalah teman dari mantan istrinya Mas Candra. Aku ingin mencari tahu kebenarannya dari dia. Aku segera menghubungi Amira."Amira, apa kamu punya waktu untuk bertemu denganku?" Kuutarakan langsung niatku saat Amira menjawab panggilan telpon dariku."Kebetulan hari ini anak-anak di bawa neneknya, suamiku juga lagi kerja. Kamu mau ketemu di mana?" b
Aku menatap punggung Sakti dan temannya yang beranjak keluar dari pintu utama rumahku. Di tangan Sakti, dia membawa tas berisi uang 2M yang dia minta padaku. Sedangkan aku, memegang surat perjanjian yang sudah dia tanda tangani. Ada sedikit perasaan lega, sekaligus sedih. Lega karena mulai sekarang, Adam akan menjadi milikku. Dia akan menjadi putraku dalam segi hukum. Sakti tidak akan bisa lagi merampas dia dari diriku. Sedih, karena aku harus kehilangan uang dalam jumlah sebanyak itu. Mas Candra memandangi wajahku yang sedikit murung setelah kepergian mereka. "Apa sekarang kamu menyesal? Mas sudah memperingatkan kamu sebelumnya, sekarang semua uang itu sudah mereka bawa. Seandainya kamu mau menempuh jalur hukum, kemungkinan kamu bisa menang. Karena Sakti selama ini memang tidak mau bertanggung jawab pada Adam." "Aku hanya tidak mau berurusan dengan pengadilan, Mas! Proses hukum Mas Yoga saja, sudah membuatku lelah. Aku tidak ingin kembali bolak balik