Saat mobil mas Yoga berhenti di klinik kandungan, aku turun dengan enggan. Rasanya malu sekali. Diperlakukan seperti ini.
Karena mas Yoga sudah membuat janji, jadi kami tidak terlalu lama menunggu. Suster memanggil nama suamiku, kami sontak berdiri. Masuk ke ruang pemeriksaan. Bertiga, jalan beriringan. Aku tidak tau apa yang dipikirkan oleh suster, yang menatap aneh pada kami.
"Baik, pak Yoga. Kita periksa dulu. Yang mana yang akan saya periksa?"
"Keduanya dokter, mereka istriku. Dan sama-sama hamil keduanya"
"Beruntung sekali pak Yoga, punya istri dua hamil pula keduanya" Dokter tersenyum menatap aku dan perempuan itu. Rasanya malu sekali. Suster yang tadi memanggil nama suamiku, terlihat mengulum senyum.
Mereka pasti mentertawakan kami. Ah, ingin rasanya keluar berlari untuk menyembunyikan mukaku. Tapi perempuan itu masih bisa tersenyum bahagia, dasar tidak punya malu.
"Baik, siapa yang duluan saya periksa pak?"
"Riana, kamu duluan yang periksa!"
Aku berdiri dari tempat duduk, dokter suster memeriksa tekanan darah, kemudian menimbang badan. Setelah itu menyuruhku berbaring di atas tempat tidur pemeriksaan.
Dokter mulai memeriksa kandunganku, aku berharap semuanya baik-baik saja. Setelah memeriksa perutku, dokter mempersilahkan untuk duduk kembali.
"Dari hitungan tanggal terakhir ibu Riana haid, berarti sekarang sudah masuk 10 minggu. Saya akan resepkan obat untuk penguat kandungan ibu dan beberapa vitamin. Harus di minum sesuai aturan agar kandungan ibu tidak bermasalah nantinya. Dan satu lagi, perbanyak istirahat, jangan stres dan hindari pekerjaan yang berat"
"Baik, dokter!" Aku sedikit lega mendengar ucapan dokter.
"Sekarang, ibu yang satunya. Siapa namanya pak?"
"Rindu namanya dokter, ayo Rindu. Sekarang giliranmu!"
Perempuan itu lalu mulai di periksa. Aku rasanya enggan sekali melihat perempuan itu diperiksa, tapi mau bagaimana lagi.
"Dari hasil pemeriksaan, sesuai dengan tanggal haid terakhir ibu. Sekarang sudah masuk minggu ke 15. Pada pemeriksaan selanjutnya kita akan bisa mendengar detak jantungnya. Sekarang saya akan resepkan obat dan beberapa vitamin"
"Terima kasih, dokter" Perempuan itu ternyata umur kandungannya lebih tua dariku. Berarti dia yang akan duluan melahirkan. Kesal sekali membayangkan anak pertama mas Yoga berasal dari rahim perempuan itu.
Setelah pemeriksaan selesai, kami segera menaiki mobil.
"Sebelum pulang, kita makan siang dulu ya? Mas harus masuk kantor lagi. Jadi nggak akan sempat buat makan nantinya"
"Baik mas, aku juga lapar" Perempuan itu menjawab dengan suara yang di buat semanja mungkin. Dasar perempuan pencari perhatian.
Kami makan di sebuah restoran, menuju ke arah rumah ku.
"Nanti, antar aku duluan ya mas?" Aku meminta itu karena muak melihat tampang perempuan itu.
"Baik sayang, kamu yang akan mas antar duluan"
"Temenin aku ke swalayan bentar ya mas? Ada yang ingin aku beli" Perempuan itu malah minta di antar belanja. Nggak sadar apa, suamiku harus secepatnya balek ke kantor.
"Nggak bisa, Rindu. Mas harus langsung ke kantor. Takut telat nanti"
Stukurin, emang enak di tolak mas Yoga. Aku suka melihat tampangnya yang berubah cemberut karena penolakan suamiku.
"Jadi orang jangan suka nyusahin. Kalau perlu sesuatu cari sendiri!" Aku menatapnya sambil mengejek. Emang enak.
"Mbak, kenapa sih selalu cari gara-gara? Wajar dong aku minta di temenin suami sendiri!"
"Tapi kamu nggak tau waktu, sudah jelas mas Yoga mau ke kantor. Malah minta di temenin belanja. Jangan berlagak manja, nggak ada yang manjain kamu disini!"
"Mas, mbak Riana selalu ngomong kasar sama aku, aku nggak suka mas!" Dia malah ngadu sama mas Yoga.
"Kamu juga yang salah, nggak tau tempat. Ya sudah kamu saja Riana yang temenin Rindu belanja!"
"Aku mas? Malas, ogah. Mending aku di rumah daripada pergi sama perempuan ini!"
Tentu saja aku menolak permintaan mas Yoga, siapa juga yang sudi lama-lama berdekatan dengan perempuan jahat ini.
Mas Yoga langsung mengantar kan aku ke rumah, setelah itu dia pergi ke rumah Rindu.
Aku segera masuk, membawa obat yang dokter resepkan tadi. Aku capek, ingin istirahat.
******
Sekarang hari sabtu, mas Yoga libur kerja. Seharian ini dia akan di rumah nemenin aku. Dan Besok juga. Rasanya senang sekali akhirnya bisa berduaan dengan suamiku.Tapi, lagi asik ngobrol, kami di kejutkan dengan deringan handphone mas Yoga. Perempuan itu yang nelpon. Pengen sekali rasanya mematikan telponnya. Tapi keburu di angkat mas Yoga.
"Ada apa Rindu?"
Terlihat mas Yoga bicara dengan perempuan itu. Aku tak tau apa obrolan mereka. Saat selesai menelpon, mas Yoga bilang sesuatu padaku.
"Ma, mas ke rumah Rindu sebentar. Gasnya kosong. Dia nggak tau cara ganti ya. Sebentar saja ya?"
"Masa cuma masalah sepele seperti itu harus mas juga yang mengerjakan? Biar aku yang kesana! Dia berlagak bodoh atau sedang mencari perhatian mas? Sudah tau sekarang giliran mas di sini, tapi tetap saja dia mengganggu" Aku sangat membencinya. Ingin sekali rasanya kembali menghajarnya.
"Sudahlah, sayang. Mas hanya sebentar disana. Setelah itu mas akan kesini secepatnya"
"Tidak bisa mas! Aku ikut. Atau kamu tidak boleh kesana!"
"Baiklah, tapi kamu harus janji jangan cari masalah dengan Rindu, ingat itu!"
"Baiklah"
Kami memasuki rumah perempuan itu, dia sudah menunggu. Sudah ku duga. Dia pasti mencari alasan untuk menyuruh suamiku datang.
Saat kami datang, dia hanya memakai baju tidur tipis yang sangat transparan. Memperlihatkan lekuk tubuhnya.
Dia kaget, melihat aku juga datang kesana. Tampangnya yang tadinya ceria seketika cemberut melihatku.
"Emang sehari-hari kamu begini? Pakai baju tidur yang tembus pandang. Sengaja mencari alasan untuk memanggil suamiku kan? Ganjen banget jadi orang!"
"Terserah aku dong mau pakai apa. Toh mas Yoga selalu menyukai penampilan ku seperti ini. Dia bilang aku menggoda dan sangat menggairahkan!" Wajahnya menyeringai penuh permusuhan.
"Ya, pantas saja. Kamu seperti perempuan di jalanan yang menjajakan tubuh, apa yang kamu pakai mencerminkan diri mu yang sebenarnya" Dia terlihat marah mendengar ucapanku. Mas Yoga sedang memasangkan tabung gas yang baru.
Setelah selesai, aku segera mengajak kembali suamiku pergi dari rumah perempuan itu. Terlihat sekali dia tak ikhlas mas Yoga pergi denganku.
"Mas pergi dulu, Rindu. Nanti kalau giliran mas disini, mas akan ajarin kamu untuk memasangnya sendiri"
"Baik mas" Mukanya jutek sekali saat mas Yoga merangkul ku berjalan keluar meninggalkan rumahnya. Awas saja, aku tak akan mudah menyerah begitu saja. Mas Yoga adalah suamiku. Suatu saat nanti hanya aku sendiri yang akan memilikinya.
Sampai di rumah, hari sudah sore. Aku segera mandi dan berganti pakaian yang baru. Aku ingin suamiku betah di rumah ini sehingga melupakan perempuan itu, walaupun itu mustahil.
"Wah, istri mas dandan sedikit saja sudah terlihat sangat cantik"
"Berhenti memuji ku mas, kalau aku cantik dimatamu mana mungkin kamu berpaling pada perempuan itu!"
"Bagi mas, kamu yang paling cantik!"
"Gombal"
"Beneran sayang, kalau saja dia tidak hamil. Mungkin sekarang mas akan ninggalin dia!"
"Mas bohong, tadi dia bilang mas sering memuji dia!"
"Jangan pikirin dia, kita ke kamar yuk? Kangen?" Dia malah menggendongku ke kamar. Apalagi kalau bukan minta jatah. Padahal masih sore. Aku hanya pasrah saat dia mulai mencumbu ku. Kenikmatan itu tak bisa aku tolak, karena aku juga menginginkannya.
Sampai hari minggu, dia tetap berlaku sangat mesra padaku. Memanjakan ku. Malam hari terasa singkat, aku terbuai akan kasih sayang yang dia suguhkan. Sejenak aku lupa, bukan hanya aku yang dia cumbu seperti itu. Rasanya sakit sekali membayangkan dia juga begitu dengan perempuan lain.
Tapi aku harus bagaimana? Hatiku menolak untuk dimadu. Tapi pikiranku mencoba untuk ikhlas. Aku hanya ingin berdamai dengan waktu. Jika Tuhan memang mentakdirkan aku hidup seperti ini, terpaksa aku turuti. Asalkan mas Yoga, bisa berlaku adil.
******
Saat itu, aku sedang menyiram bunga di taman, saat ada pesan masuk ke handphone ku. Ada pesan dari mobile banking. Ada penarikan uang dalam jumlah yang sangat besar dari tabunganku.
Tidak mungkin, aku tidak membeli atau menarik uang apapun. Apalagi dalam jumlah sebanyak itu.
Aku segera berlari ke kamar, mencari dompet. Memeriksa kartu ATM ku. Tapi tidak ada, kemana? Aku membuka lemari penyimpanan barang-barang berhargaku. Disana hanya ada buku rekeningnya. Tapi tak ku temukan ATM nya.
Aku mulai khawatir, cepat-cepat aku hubungi mas Yoga. Jangan-jangan dia yang mengambil kartu ATM ku.
"Hallo, ma! Ada apa nelpon? Mas masih kerja ini!"
"Aku mau nanya, mas lihat kartu ATM ku? Aku simpan di dalam dompet tapi sekarang tidak ada"
"Oooo... ATM, mas ambil kemaren. Mas mau beli sesuatu"
"Mas, itu kan kartu ATM ku, kenapa mas ambil tanpa seizin ku. Lalu untuk apa mas ngambil uang sebanyak itu? Mas beli apa?" Aku mencercanya dengan banyak pertanyaan. Untuk apa uang sebanyak itu.
"Mas beli mobil untuk Rindu, kasihan dia kemana-mana susah"
"Apa mas bilang? Itu uangku, tabunganku. Aku menabungkan uang pemberianmu setiap bulan kesana, dan sekarang kamu belikan dia mobil baru? Aku tidak rela mas, aku akan ke rumah dia sekarang dan mengambil mobil itu"
"Jangan seperti itu Riana! Apa salahnya mas belikan dia mobil? Toh kamu dan mas juga sudah punya mobil?"
"Ya jelas salah dong mas, mas pake uang simpanan ku. Itu hakku. Kalau mas mau belikan dia mobil, pake uang tabungan mas!"
"Tapi uang tabungan mas sudah kepake untuk beli rumahnya Rindu, ma!"
"Lalu, kenapa harus pake uang ku mas? Aku tidak sudi, aku akan ke rumah dia mengambil mobil itu dan memberikan dia pelajaran, dia perempuan tak punya otak. Dia hanya berniat menghabiskan harta mu saja mas!"
"Tunggu Riana, jangan kesana! Mas mohon!"
"Tidak mas! Sekarang aku tidak bisa memaafkan perempuan itu!"
Aku bergegas ke rumah perempuan itu, netra ku sudah memanas. Ingin rasanya menangis tapi ku tahan.
Ku lajukan kendaraan dengan hati yang penuh dengan kemarahan. Aku tak bisa terima perlakuan mas Yoga. Dia sudah berani mengambil tabunganku sendiri demi memenuhi keinginan perempuan itu.Padahal aku sudah lama mengumpulkan uang itu, setiap bulan aku selalu menyisihkan nafkah yang mas Yoga berikan padaku. Berharap suatu saat uang itu bisa aku gunakan untuk hal-hal yang mendesak. Tapi sekarang apa? Dengan mudahnya dia membeli mobil untuk perempuan jalang itu.Aku mengusap kedua pipiku yang basah oleh airmata. Aku tidak ingin perempuan itu tau aku menangis. Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin membuat perhitungan dengan perempuan itu.Saat aku sampai di rumah perempuan itu, pagarnya terkunci. Ku bunyikan klakson berulang kali agar dia keluar. Ku intip ke dalam, benar saja. Ada mobil baru yang terparkir di garasinya. Darahku seketika mendidih melihatnya. Kamu kejam mas Yoga!Kulihat perempuan itu dengan sombongnya keluar
Aku berkemas hendak ke swalayan, kulkas sudah kosong. Aku mau belanja. Terpaksa pergi sendiri. Karena suamiku sekarang pasti di rumah perempuan itu. Sudahlah, aku tidak ingin mengingat apapun tentang mereka.Aku keluar menuju bagasi. Hendak menaiki mobil ku, tapi melihat mobil baru itu seketika aku berbalik. Dan mengambil kunci mobil itu. Hari ini aku akan memakai mobil baru itu. Aku belum kepikiran tentang apa yang harus aku lakukan dengan mobil ini. Haruskah aku jual? Ataukah aku pake? Atau mobil yang lama saja aku jual.Aku suka saat mengendarai mobil baru ini, lagipula perempuan itu belum pernah mengendarainya. Aku merasa nyaman menggunakannya.Aku sedang memilih barang-barang yang aku inginkan, saat seseorang menepuk pundak ku."Rania?" Aku berbalik dan melihat sumber suara. Ternyata Amira, teman semasa kuliah ku dulu."Hai, apa kabar? Lama nggak ketemu ya?" Aku memeluknya dengan hang
Sampai di rumah, aku terduduk lesu di ujung ranjang. Berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan. Masih terngiang jelas ucapan ibu pada mas Yoga. Untuk segera menceraikan aku. Walau mereka akan menunggu ku sampai lahiran. Tapi aku yakin, mas Yoga akan terhasut perkataan mereka. Mas Yoga tidak bisa lagi ku percaya. Aku harus mengambil keputusan. Aku tidak mungkin sanggup hidup seperti ini, jelas-jelas mereka tidak menginginkanku. Mas Yoga bertahan padaku hanya demi anak ini, bagaimana nanti? Kalau setelah melahirkan dia menceraikan ku dan merebut hak asuh anakku. Aku tidak mau itu terjadi. Aku harus minta cerai dari mas Yoga. Tidak mungkin lagi aku bertahan dalam rumah tangga seperti ini. Tapi aku harus mencari seseorang yang paham akan masalah ini. Bagaimana caranya untuk bercerai dari mas Yoga? Aku juga tidak ingin kehilangan harta benda yang aku miliki sekarang. Jika aku pergi tanpa membawa harta sedi
"Tidak, mas. Aku tidak ingin memperkarakan dia yang menikah diam-diam. Aku hanya ingin bercerai dan mendapatkan harta benda yang aku punya sekarang""Baiklah, kalau itu keputusan mu. Sebenarnya, jika kamu mau memperkarakan tindakan suamimu itu, dia bisa masuk penjara, Riana""Tidak, mas. Aku tak ingin memenjarakan dia""Kamu kenapa Riana? Apa kamu sangat mencintai dia? Dia bisa di hukum lho karena menduakan mu tanpa meminta izin dari mu?" Amira mempertanyakan keputusanku, tapi entahlah. Hanya saja hati ku tak tega jika mas Yoga harus masuk penjara. Padahal dia sudah begitu jahat padaku."Entahlah, Amira. Hanya saja hatiku tidak menginginkan itu""Ya, sudah. Jadi kapan kamu berencana menggugat cerai suamimu? Aku akan mengurus semuanya. Aku hanya perlu beberapa dokumen darimu, kamu tinggal beres. Aku hanya perlu tanda tanganmu saja nanti" Mas Candra sepertinya serius sekali ingin membantuku."Bai
Aku sedang di dapur, saat mas Yoga datang. Aku tak mengacuhkan kehadirannya. Dia membalikkan badan ku agar menghadap padanya."Kenapa tadi kamu keluar tanpa memberi kabar pada mas?""Apa peduli, mas? Sedangkan mas saja sehari ini tidak sekalipun mengabari ku!""Kemaren mas sudah bilang kan? Lalu siapa laki-laki tadi? Dia bukan suami Amira. Untuk apa kalian bertemu?" Dia penasaran siapa mas Candra."Bukan urusan mu!" Aku berlalu darinya. Menuju ruang tamu."Jawab mas, Riana! Siapa dia dan untuk apa kalian bertemu?""Sudah ku jawab mas! Bukan urusanmu! Urus saja gundik mu itu! Belikan apa saja yang dia mau, kamu tidak perlu mencampuri urusanku!""Ma, kamu ini kenapa semakin lama semakin membangkang?""Kalau kamu tidak suka lagi padaku, ceraikan aku sekarang juga!" Bibirku bergetar mengucapkan kata itu."Kenap selalu mengatakan perceraian Riana? Apa kamu sudah terg
Aku yakin, aku bisa hidup tanpanya. Dari pada seperti ini. Makan hati setiap hari. Sungguh aku tak sanggup.Terdengar deru kendaraan mas Yoga keluar dari bagasi. Aku segera berdiri. Membuka pintu, lalu keluar untuk mengunci pagar. Pergilah kamu kepada perempuan itu mas, bathin ku berucap pilu.Aku terduduk sendiri di ruang tamu, memikirkan apa yang harus aku lakukan. Sepertinya sulit mendapatkan apa yang aku inginkan. Bercerai dari mas Yoga dan mendapatkan harta bagianku rasanya akan sulit sekali. Bercerai mungkin bisa aku dapatkan, tapi harta benda ini bagaimana? Kemana aku harus pergi? Tanpa ada uang yang bisa aku bawa.Mengadu pada paman, aku tak sanggup. Aku tak ingin membuatnya marah dan melakukan hal bodoh pada mas Yoga. Apa yang harus aku lakukan?Aku hanya ingin bercerai, dan mendapatkan bagianku yang seharusnya. Setelah itu aku tak peduli. Apapun yang dia lakukan dengan perempuan itu tak akan aku campuri lagi.*****
Dia berdiri hendak menuju kamar, sepertinya dia ingin istirahat."Mas, sabtu ini paman meminta datang ke rumahnya"Langkah kaki mas Yoga terhenti, dia menatapku heran."Paman? Untuk apa paman meminta kita datang? Apa kamu cerita tentang Rindu padanya?" Terlihat sekali dia takut paman tau dia mengkhianatiku."Tidak, aku tidak berminat membicarakan perempuan itu pada paman!""Lalu untuk apa paman meminta kita datang?""Aku tidak tau alasannya. Dia bilang harus datang dengan mu. Hanya itu""Baiklah, nanti kita kesana berdua"Mas Yoga lega, karena aku belum menceritakan semuanya pada paman. Kalau paman tau entah apa yang terjadi. Paman adalah orang yang sangat tegas. Dulu, saat melamar ku. Paman kurang setuju. Dia ingin menjodohkan aku dengan anak temannya.Tapi mas Yoga berupaya keras mendapatkan restu dari paman. Akhirnya paman luluh, bahkan ikut mencarikan pekerj
Ya sudahlah, sekali ini aku mengalah untuknya. Demi anak yang dia kandung.Aku segera turun dari mobil mas Yoga, setelah sampai di rumah. Aku segera membuka pagar rumah."Ma, nanti kasih kabar kalau sudah sampai di rumah paman ya?""Ya, mas"Mas Yoga lalu pergi meninggalkanku. Aku segera menaiki mobil ku. Lalu berangkat sendiri ke rumah paman. Rumah paman tidak terlalu jauh. Aku yakin bisa mengendarai mobil sendiri.*******Hari sudah siang, saat aku sampai di rumah paman. Segera aku memarkirkan mobil di bagasi rumah paman.Pintu rumah paman terbuka. Aku langsung mengucapkan salam."Assalamualaikum..."Waalaikumsalam..." Terdengar sahutan dari arah dalam. Itu suara bibiku."Akhirnya yang di tunggu-tunggu datang juga, masuk Riana" Bibi langsung menggandengku masuk rumah.Aku duduk di
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."
Aku membiarkan begitu saja saat dering handphoneku memekakkan telinga. Sudah dari tadi Mas Candra mencoba menelponku. Rasanya aku tidak bisa lagi dekat dengan Mas Candra.Perkataan perempuan itu masih terngiang di telingaku. Aku tidak ingin menjadi perusak dalam hubungan orang lain. Lebih baik aku yang mundur. Walau hatiku sudah mulai bisa menerima kehadiran Mas Candra. Sudah mulai bisa merasakan getaran saat tatapan matanya bertemu denganku.Rasa cinta itu sebenarnya sudah datang di hatiku untuk Mas Candra. Tapi aku tidak ingin apa yang aku rasakan dulu, di rasakan juga oleh perempuan lain. Sakitnya di khianati oleh Mas Yoga masih membekas di hatiku. Tiap ingat Mas Yoga aku masih tetap menitikkan air mata. Cinta yang begitu ku agungkan ternyata memendam duri yang begitu tajam.Walaupun sekarang dia tengah menjalani hukuman atas perbuatannya, tetap saja luka di hatiku tak bisa hilang oleh perbuatannya.Karena tak ku gubris sedikitpun, ak
Pikiranku kalut, semua kata-kata yang di lontarkan perempuan itu seperti bom yang selalu meledakkan jantungku. Kenapa dia sampai tega memfitnahku seperti itu. Dia bilang akulah yang merusak hubungan pernikahan Mas Candra dengan adiknya, bahwa akulah yang menyebabkan adiknya meninggal.Apa yang sebenarnya Mas Candra lakukan pada mantan istrinya itu, hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Apa benar akulah yang menjadi biang rusuh dalam pernikahan mereka? Karena Mas Candra kecewa dengan lamarannya yang aku tolak dulu hingga membuatnya berlaku tidak adil pada istrinya sendiri?Tiba-tiba aku ingat Amira, dia adalah teman dari mantan istrinya Mas Candra. Aku ingin mencari tahu kebenarannya dari dia. Aku segera menghubungi Amira."Amira, apa kamu punya waktu untuk bertemu denganku?" Kuutarakan langsung niatku saat Amira menjawab panggilan telpon dariku."Kebetulan hari ini anak-anak di bawa neneknya, suamiku juga lagi kerja. Kamu mau ketemu di mana?" b
Aku menatap punggung Sakti dan temannya yang beranjak keluar dari pintu utama rumahku. Di tangan Sakti, dia membawa tas berisi uang 2M yang dia minta padaku. Sedangkan aku, memegang surat perjanjian yang sudah dia tanda tangani. Ada sedikit perasaan lega, sekaligus sedih. Lega karena mulai sekarang, Adam akan menjadi milikku. Dia akan menjadi putraku dalam segi hukum. Sakti tidak akan bisa lagi merampas dia dari diriku. Sedih, karena aku harus kehilangan uang dalam jumlah sebanyak itu. Mas Candra memandangi wajahku yang sedikit murung setelah kepergian mereka. "Apa sekarang kamu menyesal? Mas sudah memperingatkan kamu sebelumnya, sekarang semua uang itu sudah mereka bawa. Seandainya kamu mau menempuh jalur hukum, kemungkinan kamu bisa menang. Karena Sakti selama ini memang tidak mau bertanggung jawab pada Adam." "Aku hanya tidak mau berurusan dengan pengadilan, Mas! Proses hukum Mas Yoga saja, sudah membuatku lelah. Aku tidak ingin kembali bolak balik