Dia berdiri hendak menuju kamar, sepertinya dia ingin istirahat.
"Mas, sabtu ini paman meminta datang ke rumahnya"
Langkah kaki mas Yoga terhenti, dia menatapku heran.
"Paman? Untuk apa paman meminta kita datang? Apa kamu cerita tentang Rindu padanya?" Terlihat sekali dia takut paman tau dia mengkhianatiku.
"Tidak, aku tidak berminat membicarakan perempuan itu pada paman!"
"Lalu untuk apa paman meminta kita datang?"
"Aku tidak tau alasannya. Dia bilang harus datang dengan mu. Hanya itu"
"Baiklah, nanti kita kesana berdua"
Mas Yoga lega, karena aku belum menceritakan semuanya pada paman. Kalau paman tau entah apa yang terjadi. Paman adalah orang yang sangat tegas. Dulu, saat melamar ku. Paman kurang setuju. Dia ingin menjodohkan aku dengan anak temannya.
Tapi mas Yoga berupaya keras mendapatkan restu dari paman. Akhirnya paman luluh, bahkan ikut mencarikan pekerj
Ya sudahlah, sekali ini aku mengalah untuknya. Demi anak yang dia kandung.Aku segera turun dari mobil mas Yoga, setelah sampai di rumah. Aku segera membuka pagar rumah."Ma, nanti kasih kabar kalau sudah sampai di rumah paman ya?""Ya, mas"Mas Yoga lalu pergi meninggalkanku. Aku segera menaiki mobil ku. Lalu berangkat sendiri ke rumah paman. Rumah paman tidak terlalu jauh. Aku yakin bisa mengendarai mobil sendiri.*******Hari sudah siang, saat aku sampai di rumah paman. Segera aku memarkirkan mobil di bagasi rumah paman.Pintu rumah paman terbuka. Aku langsung mengucapkan salam."Assalamualaikum..."Waalaikumsalam..." Terdengar sahutan dari arah dalam. Itu suara bibiku."Akhirnya yang di tunggu-tunggu datang juga, masuk Riana" Bibi langsung menggandengku masuk rumah.Aku duduk di
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku sibuk berpikir. Bagaimana caranya untuk bercerai secepatnya dari mas Yoga.Sekarang tidak ada lagi penghalang untukku segera menggugat cerai mas Yoga. Dulu, yang paling aku takutkan adalah masa depan dari anakku kelak, tapi sekarang dengan warisan peninggalan ayah aku tidak perlu lagi memikirkan biaya untuk hidup kami nantinya.Dari tadi mas Yoga selalu menghubungi ku, aku tak memberi kabar apapun padanya. Bahkan ketika sampai di rumah paman aku tak mengubris panggilan telponnya.Gara-gara dia, aku berbohong pada paman. Pake alasan mertua sakit segala. Paman sebenarnya memaksa untuk menginap di rumahnya, tapi aku rasa kini bukan saat yang tepat. Aku takut paman melihat rona kesedihan di wajahku. Jika terus-terusan dekat dengan paman dan bibi, aku takut rahasia ku bisa bocor.Aku tak mau mereka ikutan sedih dengan apa yang sedang menimpaku. Handphone ku kembali berdering, mas
Aku di rumah tanpa ada kegiatan apapun yang aku lakukan. Rasanya bosan sekali. Mas Yoga tidak akan pulang, aku dirundung kesepian. Tak ada keinginan apapun. Aku harus ngapain?Terlintas pikiran dihatiku untuk mencari tau siapa sebenarnya perempuan yang mas Yoga nikahi. Apa sebenarnya motif dia mau dijadikan istri kedua suami ku.Sepertinya aku harus berpura-pura baik padanya. Aku harus bicara padanya. Kali ini tanpa ada kemarahan. Aku harus mengorek sedikit informasi darinya.Aku berniat bertandang ke rumahnya siang ini.Ku lajukan kendaraan menuju rumah perempuan itu, aku ingin sedikit lebih mengenal perempuan itu. Agar tidak ada penyesalan sedikitpun di hati ku jika sudah bercerai dari mas Yoga nantinya.Aku sengaja memarkirkan mobil di luar pagar rumah perempuan itu. Pagarnya tidak terkunci, jadi aku leluasa untuk masuk ke dalam.Setelah sampai di pintu, ku ketok pintu rumahnya. Tapi tidak a
Aku ingat punya kenalan yang bisa aku minta tolong untuk utusan ini. Segera aku menghubungi nomornya."Hallo, Riana. Apa kabar?" Terdengar sahutan dari Bayu. Laki-laki yang akan aku mintai tolong. Dia adalah kepala preman di dekat komplek tempat tinggal ku.Aku mengenalnya dengan baik, karena setiap ada acara gotong royong di komplek ini, dia akan selalu menggodaku. Tanpa takut di dengar oleh suamiku."Kamu sibuk nggak? Bisa aku minta tolong nggak?" "Buat kamu apa sih yang nggak, Riana! Bahkan jika kamu meminta aku jadi suamimu, aku siap kok?" Dia malah terkekeh sendiri. Aku hanya tersenyum tipis. Dasar laki-laki buaya darat. Bisanya cuma gombalin aja. "Nggak usah kasih gombalan sekarang, kang. Aku mau minta tolong sama kamu, bisa nggak?" "Bisa, apaan?" Dia mulai sedikit serius. "Aku mau kamu cari tahu tentang se
Aku memasuki rumah dengan enggan, terasa begitu sepi. Tak ada lagi kebahagiaan yang kurasakan saat menginjakkan kaki ke rumah ini.Ingin rasanya segera pergi, tapi entah kenapa ada keraguan di hatiku. Perasaan yang entah kenapa selalu menghantuiku.Mas Yoga yang dulunya begitu memanjakanku, mau melakukan apapun untuk membahagiakanku tapi sekarang sudah berkhianat. Cinta yang selalu ku puja ternyata begitu tak ada artinya.Kuusap perutku yang sudah mulai sedikit menonjol, kandungan yang baru memasuki bulan ketiga membuatku terkadang sering mual dan pusing.Tapi, itu selalu tak pernah ku katakan pada mas Yoga. Tak mungkin dia peduli lagi, sedangkan disana, perempuan itu kandungannya sudah memasuki bulan ke empat.Besok hari kamis, seharusnya mas Yoga datang ke rumahku. Karena itu adalah giliran mas Yoga menginap di rumah ku.Tapi tak ada lagi perasaan bahagia, tak ada lagi kebahagiaan saat akan menyambut dia datang.Dulu, sa
Setelah membersihkan peralatan makan, aku lalu berkemas. Saatnya untuk keluar. Aku mau belanja ke swalayan.Tak ada teman, biarlah. Aku bisa pergi sendiri. Aku melajukan kendaraan menuju swalayan. Setiba disana, aku segera meraih troli dan memilih barang-barang yang aku butuhkanTengah asyik memilih, aku di kejutkan oleh panggilan seseorang. Aku ternyata itu mas Candra."Mas Candra?" Aku menyapanya heran. Ngapain dia di swalayan. Bukannya ini masih jam kerja."Riana, lagi belanja ya?""Iya, mas. Mas ngapain disini? Nggak lagi kerja?" Aku menatapnya heran."Ini habis meeting sama klien, liat kamu masuk kesini. Ya mas ikutin aja?" Dia tersenyum manis padaku."Ah, kirain mas nggak kerja. Tapi ngomong-ngomong gimana sama berkas perceraian aku mas?""Semuanya sudah selesai kemaren, tinggal minta persetujuan kamu saja lagi. Setelah itu akan mas urus ke pengadilan!""Ooo...begini mas, jangan dulu di urus ke pengadilan. Si
Aku kembali menikmati makanan di piringku, sebenarnya malu di liatin mas Candra makan seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, perutku seakan selalu minta tambah.Aku menyeruput jus jeruk setelah isi piringku ludes. Rasanya perutku penuh sekali. Mas Candra menatapku dengan pandangan yang mendebarkan dada."Jangan menatapku seperti itu, mas!", ujar ku memalingkan muka."Kamu masih saja sama seperti dulu, setelah isi piringmu kosong, baru minum", ujarnya menunjuk jus jeruk yang ada di tanganku."Ini kalau makanannya terlalu enak, mas. Lupa deh buat minum""Ini, minum air putih dulu", dia menyodorkan segelas air putih padaku.Aku menerimanya, lalu meminum sedikit. Itu kebiasaan ku sejak lama. Kalau makanannya enak, aku sering lupa untuk minum. Pasti nanti, setelah semua makanan habis baru minum.Dia masih saja ingat kelakuanku, padahal sudah lebih delapan tahun yang lalu aku pernah makan berdua dengannya.Mungkin benar yang di ucapka
Aku bahkan tidak mau bertemu dengan calon yang paman pilihkan, bahkan sampai sekarangpun aku tidak tau seperti apa calon yang paman pilihkan untukku.Karena aku yang tetap bersikeras ingin menikah dengan mas Yoga, paman akhirnya luluh. Dia memberikan restunya. Bibi juga awalnya terpaksa. Dia bilang calon yang dipilihkan paman sepertinya lebih baik.Ketika lamaran mas Yoga di terima oleh paman dan bibi, aku kembali bertemu dengan mas Candra.Dia datang langsung ingin melamar ku, saat itu kami janjian di sebuah kafe. Aku sebenarnya penasaran dengan mas Candra, sudah lama kami tidak bertemu. Komunikasi terputus. Tidak ada kata putus diantara kami sebenarnya."Mas selama ini kemana aja? Mas ninggalin aku tanpa ada kabar sedikitpun!" ujar ku mengawali pembicaraan kami."Maafkan mas, Riana. Setelah kita sama-sama wisuda, mas kembali ke kampung""Lalu kenapa handphone mas tidak bisa
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."
Aku membiarkan begitu saja saat dering handphoneku memekakkan telinga. Sudah dari tadi Mas Candra mencoba menelponku. Rasanya aku tidak bisa lagi dekat dengan Mas Candra.Perkataan perempuan itu masih terngiang di telingaku. Aku tidak ingin menjadi perusak dalam hubungan orang lain. Lebih baik aku yang mundur. Walau hatiku sudah mulai bisa menerima kehadiran Mas Candra. Sudah mulai bisa merasakan getaran saat tatapan matanya bertemu denganku.Rasa cinta itu sebenarnya sudah datang di hatiku untuk Mas Candra. Tapi aku tidak ingin apa yang aku rasakan dulu, di rasakan juga oleh perempuan lain. Sakitnya di khianati oleh Mas Yoga masih membekas di hatiku. Tiap ingat Mas Yoga aku masih tetap menitikkan air mata. Cinta yang begitu ku agungkan ternyata memendam duri yang begitu tajam.Walaupun sekarang dia tengah menjalani hukuman atas perbuatannya, tetap saja luka di hatiku tak bisa hilang oleh perbuatannya.Karena tak ku gubris sedikitpun, ak
Pikiranku kalut, semua kata-kata yang di lontarkan perempuan itu seperti bom yang selalu meledakkan jantungku. Kenapa dia sampai tega memfitnahku seperti itu. Dia bilang akulah yang merusak hubungan pernikahan Mas Candra dengan adiknya, bahwa akulah yang menyebabkan adiknya meninggal.Apa yang sebenarnya Mas Candra lakukan pada mantan istrinya itu, hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Apa benar akulah yang menjadi biang rusuh dalam pernikahan mereka? Karena Mas Candra kecewa dengan lamarannya yang aku tolak dulu hingga membuatnya berlaku tidak adil pada istrinya sendiri?Tiba-tiba aku ingat Amira, dia adalah teman dari mantan istrinya Mas Candra. Aku ingin mencari tahu kebenarannya dari dia. Aku segera menghubungi Amira."Amira, apa kamu punya waktu untuk bertemu denganku?" Kuutarakan langsung niatku saat Amira menjawab panggilan telpon dariku."Kebetulan hari ini anak-anak di bawa neneknya, suamiku juga lagi kerja. Kamu mau ketemu di mana?" b
Aku menatap punggung Sakti dan temannya yang beranjak keluar dari pintu utama rumahku. Di tangan Sakti, dia membawa tas berisi uang 2M yang dia minta padaku. Sedangkan aku, memegang surat perjanjian yang sudah dia tanda tangani. Ada sedikit perasaan lega, sekaligus sedih. Lega karena mulai sekarang, Adam akan menjadi milikku. Dia akan menjadi putraku dalam segi hukum. Sakti tidak akan bisa lagi merampas dia dari diriku. Sedih, karena aku harus kehilangan uang dalam jumlah sebanyak itu. Mas Candra memandangi wajahku yang sedikit murung setelah kepergian mereka. "Apa sekarang kamu menyesal? Mas sudah memperingatkan kamu sebelumnya, sekarang semua uang itu sudah mereka bawa. Seandainya kamu mau menempuh jalur hukum, kemungkinan kamu bisa menang. Karena Sakti selama ini memang tidak mau bertanggung jawab pada Adam." "Aku hanya tidak mau berurusan dengan pengadilan, Mas! Proses hukum Mas Yoga saja, sudah membuatku lelah. Aku tidak ingin kembali bolak balik