Sampai di rumah, aku terduduk lesu di ujung ranjang. Berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan. Masih terngiang jelas ucapan ibu pada mas Yoga. Untuk segera menceraikan aku. Walau mereka akan menunggu ku sampai lahiran. Tapi aku yakin, mas Yoga akan terhasut perkataan mereka.
Mas Yoga tidak bisa lagi ku percaya. Aku harus mengambil keputusan. Aku tidak mungkin sanggup hidup seperti ini, jelas-jelas mereka tidak menginginkanku.
Mas Yoga bertahan padaku hanya demi anak ini, bagaimana nanti? Kalau setelah melahirkan dia menceraikan ku dan merebut hak asuh anakku. Aku tidak mau itu terjadi.
Aku harus minta cerai dari mas Yoga. Tidak mungkin lagi aku bertahan dalam rumah tangga seperti ini.
Tapi aku harus mencari seseorang yang paham akan masalah ini. Bagaimana caranya untuk bercerai dari mas Yoga? Aku juga tidak ingin kehilangan harta benda yang aku miliki sekarang. Jika aku pergi tanpa membawa harta sedikitpun, bagaimana caranya aku untuk membiayai hidup anakku nanti?
Besok aku akan mencari seseorang yang paham akan hukum. Aku hanyalah sarjana ekonomi, masalah hukum aku kurang paham.
Ku hapus airmata yang mengalir di pipiku, keluar menuju dapur. Perutku lapar. Aku ingin makan.
*****
Sampai malam pun mas Yoga dan ibu tidak datang ke rumah ku, padahal ini hari jumat. Seharusnya mas Yoga tidur di rumahku, tapi nyatanya dia tidak pulang.
Ku tutup pintu pagar, lalu mengunci pintu rumah. Sudah jam sebelas malam. Tidak mungkin mereka kesini. Aku masuk ke kamar. Merenungi nasib ku yang malang.
Netra ku kembali basah oleh air mata. Pedih sekali rasanya. Mereka bahagia berkumpul di sana, sedangkan aku disini sendiri. Dalam kesepian yang tak berujung.
Ada pesan masuk di handphone ku, ku lihat itu pesan dari mas Yoga.
"Ma, aku dan ibu nginap di rumah Rindu, kamu tidur saja. Jangan tunggu mas!
Tak ku balas sedikitpun pesan itu, rasanya sakit sekali. Aku sangat berharap punya suami satu untuk selamanya. Dapat mertua yang penyayang dan menerimaku. Tapi semua itu hanya mimpi untukku. Aku larut dalam kesedihan. Aku tak mampu menjalani semua ini.
******
Bahkan keesokan harinya, mas Yoga dan ibu juga tak datang ke rumah ku. Padahal hari ini mas Yoga libur. Dia tak masuk kerja. Hatiku sakit, dengan alasan ibu mas Yoga tidak datang ke rumah ku. Padahal hari ini sampai besok seharusnya dia ada di rumah ku.
Aku hanya bisa diam, aku tak mau menambah masalah dengan menghubungi mas Yoga. Aku tau ibu pasti memarahiku. Jika meminta mas Yoga datang.
Lebih baik sekarang aku mencari seseorang yang bisa membantu masalah ku. Aku ingat Amira, suaminya kan jurusan hukum. Aku minta kenalan seorang pengacara saja padanya.
Kalau suami Amira, sekarang dia kerja kantoran. Aku tidak mungkin minta bantuannya. Aku segera menghubungi nomor Amira.
"Hallo Riana! Tumben nelpon aku? Ada masalah?"
"Nggak, aku cuma mau minta tolong sama kamu. Suami mu kan punya banyak kenalan pengacara. Bisa kenalkan salah satunya untukku?"
"Kenapa Riana? Untuk apa kamu mau mencari pengacara? Kamu mau berpisah dari suami mu?"
"Panjang ceritanya, nanti kita bicara. Sekarang cariin aku seorang pengacara dulu?"
"Itu masalah gampang. Kebetulan suami ku lagi ada di rumah sekarang. Nanti aku suruh dia ngenalin seorang pengacara untuk mu!"
"Baiklah, aku tunggu kabarnya ya?"
"Baiklah sayang, nanti kita cerita-cerita ya?"
"Bereslah kalau itu!"
Aku segera mematikan telpon, aku hanya harus menunggu sebentar. Aku yakin Amira akan mendapatkan seorang pengacara untuk ku.
Saat lagi asik makan, ada orang yang memasuki rumah, gegas aku ke depan untuk melihat siapa yang datang. Ternyata mas Yoga.
"Ibu mana mas?"
"Masih di rumah Rindu, mereka asik ngobrol tadi jadi nanti saja kesini kata ibu" Aku tau mas Yoga berbohong. Pasti ibu tidak mau datang ke rumah ku.
"Kamu lagi ngapain?"
"Lagi makan, mas mau makan?"
"Ayolah, mas juga lapar ini'
Aku segera mengambilkan piring kosong untuk suamiku, mengisinya dengan nasi lalu lauk pauk dan sayurnya.
Kami makan dalam diam, aku tak ingin bertanya apapun. Toh, aku sudah tau isi hati semua orang. Tidak ada yang menginginkan ku seorangpun.
"Ma, besok mas maj ngajakin ibu jalan-jalan. Kamu mau ikut?"
"Kemana mas?"
"Cuma ke mall, lalu makan-makan. Itu saja. Ibu dan Rindu mau belanja sekalian katanya"
"Nggak usah lah mas, aku nggak ikut. Kalian saja yang pergi"
"Kok gitu sih, ma? Kan asik kita bisa jalan bareng?"
"Nanti aku mengganggu mas, ibu tidak akan suka aku ikut. Sudah kalian saja yang pergi"
"Baiklah, mas tidur di rumah Rindu ya malam ini?"
"Ya sudah, terserah mas saja"
"Nahhh....gitu dong, mas suka kalau kamu jadi istri penurut seperti ini"
Aku tak mengubris ucapannya, aku berlalu membawa piring kotor ke wastafel, pipiku sudah basah oleh air mata. Aku tau dia hanya manis mulut untuk mengajak ku ikut.
Pasti dia sebenarnya ingin aku menolak ajakannya. Ah, rasanya sakit sekali diperlakukan tidak adil seperti ini.
Setelah makan dan mandi, mas Yoga kembali pergi. Dia bahkan tidak perduli hanya aku sendiri disini. Sedangkan perempuan itu ada ibu yang menemani. Dia bahkan memilih kembali ke rumah perempuan itu.
Aku hanya berusaha sabar, melihat mobil suami ku keluar pagar. Meninggalkan aku sendirian. Tak ada teman seorang pun.
Aku merebahkan diri di ranjang, meraih handphone dari atas nakas. Ternyata ada pesan dari Amira. Dia sudah menemukan pengacara yang cocok untukku. Dan ingin bertemu dengan ku besok.
Aku segera membalas pesannya, menanyakan waktu dan tempatnya. Setelah menerima balasan dari Amira, aku tertidur. Besok adalah penentu tindakan apa yang harus aku ambil.
Semoga pengacara itu bisa memecahkan masalah ku ini.
******
Pagi harinya, aku terbangun dengan tubuh yang lebih segar. Aku janjian dengan Amira dan pengacara itu nanti jam sepuluh pagi, aku masih punya banyak waktu.
Aku segera membuat sarapan untukku, aku harus mengisi perutku, aku tidak ingin sesuatu terjadi pada calon anakku.
Hari ini mas Yoga tidak akan datang ke rumah, karena mereka akan pergi jalan-jalan. Sudahlah, aku membuang perasaan sedih karena mengingat mereka.
Aku harus fokus pada urusan ku, agar aku bisa secepatnya terbebas dari semua derita ini.
Jam sembilan pagi, aku sudah selesai bersiap. Aku tak ingin terjebak macet nantinya. Aku harus duluan sampai di kafe tempat janjian kami.
Setelah sampai di kafe, hari masih jam sepuluh kurang. Aku segera memesan minuman.
Amira mengirim pesan, dia dan pengacara itu juga sedang ada di jalan. Semoga urusan hari ini berjalan lancar.
"Hai, Riana? Sudah lama?" Terdengar suara Amira menyapaku dari arah belakang.
Aku segera menoleh padanya, dia tersenyum menatap ku. Disampingnya berdiri seorang lelaki yang ku kenali. Mas Candra, laki-laki yang cintanya ku tolak dan lebih memilih mas Yoga.
Aku langsung grogi berhadapan dengannya. Melihat wajahku berubah. Amira menyenggol lenganku.
"Kenapa Riana? Kamu kenal mas Candra?" Aku hanya diam, tak ada kata yang bisa ku keluarkan.
"Hai, Riana. Apa kabar? Aku tidak menyangka sekali bahwa calon klien ku itu kamu" Dia tersenyum manis padaku.
"Maaf, mas. Aku tidak tau kalau pengacara yang di maksud Amira, itu kamu"
"Tidak masalah Riana, aku akan profesional dalam bekerja"
"Jadi kalian sudah saling kenal? Syukur deh, jadi lebih mudah urusannya" Amira tidak tahu kalau mas Candra adalah orang yang cintanya sempat aku tolak dulu.
"Jadi, bagaimana Riana? Tadi Amira sudah menceritakan sedikit masalah mu padaku. Tapi sekarang aku ingin mendengar langsung dari mu. Apa masalahnya?"
Aku agak sungkan menceritakan semua masalah ini pada mas Candra, aku merasa malu.
"Tidak usah sungkan Riana, anggap bercerita pada teman mu saja. Ayolah?"
Aku akhirnya luluh, aku mulai menceritakan semua masalah yang sedang aku hadapi. Sesekali ku lihat mas Candra mengepalkan tangannya, sepertinya dia menahan amarah. Mendengar perlakuan mas Yoga padaku.
Amira bahkan menangis, setelah selesai bercerita. Dia memelukku erat.
"Yang sabar ya Riana, kamu pasti kuat. Kamu harus kuat demi calon anak mu. Kamu tidak boleh menyerah begitu saja! Kamu harus mendapatkan hak mu untuk calon anak mu ini!"
Aku ikut menangis di pelukan Amira, rasanya sedikit lega. Setelah menceritakan semuanya. Sesak di dadaku rasanya berkurang. Walau aku tau ini adalah aib keluargaku sendiri.
Mas Candra terlihat menarik nafas dalam, lalu meminum jus yang dia pesan tadi. Menatapku dengan sorot mata yang sulit sekali ku artikan.
Aku hanya terdiam, menunggu tanggapannya. Aku berharap dia bisa memberikan aku solusinya.
"Jadi, kamu sudah yakin untuk bercerai dari suamimu Riana?" Dia menanyakan kesungguhan ku.
"Aku yakin, mas!"
"Baiklah, apa kamu berniat untuk memperkarakan suamimu yang menikah secara diam-diam itu?"
"Tidak, mas. Aku tidak ingin memperkarakan dia yang menikah diam-diam. Aku hanya ingin bercerai dan mendapatkan harta benda yang aku punya sekarang""Baiklah, kalau itu keputusan mu. Sebenarnya, jika kamu mau memperkarakan tindakan suamimu itu, dia bisa masuk penjara, Riana""Tidak, mas. Aku tak ingin memenjarakan dia""Kamu kenapa Riana? Apa kamu sangat mencintai dia? Dia bisa di hukum lho karena menduakan mu tanpa meminta izin dari mu?" Amira mempertanyakan keputusanku, tapi entahlah. Hanya saja hati ku tak tega jika mas Yoga harus masuk penjara. Padahal dia sudah begitu jahat padaku."Entahlah, Amira. Hanya saja hatiku tidak menginginkan itu""Ya, sudah. Jadi kapan kamu berencana menggugat cerai suamimu? Aku akan mengurus semuanya. Aku hanya perlu beberapa dokumen darimu, kamu tinggal beres. Aku hanya perlu tanda tanganmu saja nanti" Mas Candra sepertinya serius sekali ingin membantuku."Bai
Aku sedang di dapur, saat mas Yoga datang. Aku tak mengacuhkan kehadirannya. Dia membalikkan badan ku agar menghadap padanya."Kenapa tadi kamu keluar tanpa memberi kabar pada mas?""Apa peduli, mas? Sedangkan mas saja sehari ini tidak sekalipun mengabari ku!""Kemaren mas sudah bilang kan? Lalu siapa laki-laki tadi? Dia bukan suami Amira. Untuk apa kalian bertemu?" Dia penasaran siapa mas Candra."Bukan urusan mu!" Aku berlalu darinya. Menuju ruang tamu."Jawab mas, Riana! Siapa dia dan untuk apa kalian bertemu?""Sudah ku jawab mas! Bukan urusanmu! Urus saja gundik mu itu! Belikan apa saja yang dia mau, kamu tidak perlu mencampuri urusanku!""Ma, kamu ini kenapa semakin lama semakin membangkang?""Kalau kamu tidak suka lagi padaku, ceraikan aku sekarang juga!" Bibirku bergetar mengucapkan kata itu."Kenap selalu mengatakan perceraian Riana? Apa kamu sudah terg
Aku yakin, aku bisa hidup tanpanya. Dari pada seperti ini. Makan hati setiap hari. Sungguh aku tak sanggup.Terdengar deru kendaraan mas Yoga keluar dari bagasi. Aku segera berdiri. Membuka pintu, lalu keluar untuk mengunci pagar. Pergilah kamu kepada perempuan itu mas, bathin ku berucap pilu.Aku terduduk sendiri di ruang tamu, memikirkan apa yang harus aku lakukan. Sepertinya sulit mendapatkan apa yang aku inginkan. Bercerai dari mas Yoga dan mendapatkan harta bagianku rasanya akan sulit sekali. Bercerai mungkin bisa aku dapatkan, tapi harta benda ini bagaimana? Kemana aku harus pergi? Tanpa ada uang yang bisa aku bawa.Mengadu pada paman, aku tak sanggup. Aku tak ingin membuatnya marah dan melakukan hal bodoh pada mas Yoga. Apa yang harus aku lakukan?Aku hanya ingin bercerai, dan mendapatkan bagianku yang seharusnya. Setelah itu aku tak peduli. Apapun yang dia lakukan dengan perempuan itu tak akan aku campuri lagi.*****
Dia berdiri hendak menuju kamar, sepertinya dia ingin istirahat."Mas, sabtu ini paman meminta datang ke rumahnya"Langkah kaki mas Yoga terhenti, dia menatapku heran."Paman? Untuk apa paman meminta kita datang? Apa kamu cerita tentang Rindu padanya?" Terlihat sekali dia takut paman tau dia mengkhianatiku."Tidak, aku tidak berminat membicarakan perempuan itu pada paman!""Lalu untuk apa paman meminta kita datang?""Aku tidak tau alasannya. Dia bilang harus datang dengan mu. Hanya itu""Baiklah, nanti kita kesana berdua"Mas Yoga lega, karena aku belum menceritakan semuanya pada paman. Kalau paman tau entah apa yang terjadi. Paman adalah orang yang sangat tegas. Dulu, saat melamar ku. Paman kurang setuju. Dia ingin menjodohkan aku dengan anak temannya.Tapi mas Yoga berupaya keras mendapatkan restu dari paman. Akhirnya paman luluh, bahkan ikut mencarikan pekerj
Ya sudahlah, sekali ini aku mengalah untuknya. Demi anak yang dia kandung.Aku segera turun dari mobil mas Yoga, setelah sampai di rumah. Aku segera membuka pagar rumah."Ma, nanti kasih kabar kalau sudah sampai di rumah paman ya?""Ya, mas"Mas Yoga lalu pergi meninggalkanku. Aku segera menaiki mobil ku. Lalu berangkat sendiri ke rumah paman. Rumah paman tidak terlalu jauh. Aku yakin bisa mengendarai mobil sendiri.*******Hari sudah siang, saat aku sampai di rumah paman. Segera aku memarkirkan mobil di bagasi rumah paman.Pintu rumah paman terbuka. Aku langsung mengucapkan salam."Assalamualaikum..."Waalaikumsalam..." Terdengar sahutan dari arah dalam. Itu suara bibiku."Akhirnya yang di tunggu-tunggu datang juga, masuk Riana" Bibi langsung menggandengku masuk rumah.Aku duduk di
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku sibuk berpikir. Bagaimana caranya untuk bercerai secepatnya dari mas Yoga.Sekarang tidak ada lagi penghalang untukku segera menggugat cerai mas Yoga. Dulu, yang paling aku takutkan adalah masa depan dari anakku kelak, tapi sekarang dengan warisan peninggalan ayah aku tidak perlu lagi memikirkan biaya untuk hidup kami nantinya.Dari tadi mas Yoga selalu menghubungi ku, aku tak memberi kabar apapun padanya. Bahkan ketika sampai di rumah paman aku tak mengubris panggilan telponnya.Gara-gara dia, aku berbohong pada paman. Pake alasan mertua sakit segala. Paman sebenarnya memaksa untuk menginap di rumahnya, tapi aku rasa kini bukan saat yang tepat. Aku takut paman melihat rona kesedihan di wajahku. Jika terus-terusan dekat dengan paman dan bibi, aku takut rahasia ku bisa bocor.Aku tak mau mereka ikutan sedih dengan apa yang sedang menimpaku. Handphone ku kembali berdering, mas
Aku di rumah tanpa ada kegiatan apapun yang aku lakukan. Rasanya bosan sekali. Mas Yoga tidak akan pulang, aku dirundung kesepian. Tak ada keinginan apapun. Aku harus ngapain?Terlintas pikiran dihatiku untuk mencari tau siapa sebenarnya perempuan yang mas Yoga nikahi. Apa sebenarnya motif dia mau dijadikan istri kedua suami ku.Sepertinya aku harus berpura-pura baik padanya. Aku harus bicara padanya. Kali ini tanpa ada kemarahan. Aku harus mengorek sedikit informasi darinya.Aku berniat bertandang ke rumahnya siang ini.Ku lajukan kendaraan menuju rumah perempuan itu, aku ingin sedikit lebih mengenal perempuan itu. Agar tidak ada penyesalan sedikitpun di hati ku jika sudah bercerai dari mas Yoga nantinya.Aku sengaja memarkirkan mobil di luar pagar rumah perempuan itu. Pagarnya tidak terkunci, jadi aku leluasa untuk masuk ke dalam.Setelah sampai di pintu, ku ketok pintu rumahnya. Tapi tidak a
Aku ingat punya kenalan yang bisa aku minta tolong untuk utusan ini. Segera aku menghubungi nomornya."Hallo, Riana. Apa kabar?" Terdengar sahutan dari Bayu. Laki-laki yang akan aku mintai tolong. Dia adalah kepala preman di dekat komplek tempat tinggal ku.Aku mengenalnya dengan baik, karena setiap ada acara gotong royong di komplek ini, dia akan selalu menggodaku. Tanpa takut di dengar oleh suamiku."Kamu sibuk nggak? Bisa aku minta tolong nggak?" "Buat kamu apa sih yang nggak, Riana! Bahkan jika kamu meminta aku jadi suamimu, aku siap kok?" Dia malah terkekeh sendiri. Aku hanya tersenyum tipis. Dasar laki-laki buaya darat. Bisanya cuma gombalin aja. "Nggak usah kasih gombalan sekarang, kang. Aku mau minta tolong sama kamu, bisa nggak?" "Bisa, apaan?" Dia mulai sedikit serius. "Aku mau kamu cari tahu tentang se
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."
Aku membiarkan begitu saja saat dering handphoneku memekakkan telinga. Sudah dari tadi Mas Candra mencoba menelponku. Rasanya aku tidak bisa lagi dekat dengan Mas Candra.Perkataan perempuan itu masih terngiang di telingaku. Aku tidak ingin menjadi perusak dalam hubungan orang lain. Lebih baik aku yang mundur. Walau hatiku sudah mulai bisa menerima kehadiran Mas Candra. Sudah mulai bisa merasakan getaran saat tatapan matanya bertemu denganku.Rasa cinta itu sebenarnya sudah datang di hatiku untuk Mas Candra. Tapi aku tidak ingin apa yang aku rasakan dulu, di rasakan juga oleh perempuan lain. Sakitnya di khianati oleh Mas Yoga masih membekas di hatiku. Tiap ingat Mas Yoga aku masih tetap menitikkan air mata. Cinta yang begitu ku agungkan ternyata memendam duri yang begitu tajam.Walaupun sekarang dia tengah menjalani hukuman atas perbuatannya, tetap saja luka di hatiku tak bisa hilang oleh perbuatannya.Karena tak ku gubris sedikitpun, ak
Pikiranku kalut, semua kata-kata yang di lontarkan perempuan itu seperti bom yang selalu meledakkan jantungku. Kenapa dia sampai tega memfitnahku seperti itu. Dia bilang akulah yang merusak hubungan pernikahan Mas Candra dengan adiknya, bahwa akulah yang menyebabkan adiknya meninggal.Apa yang sebenarnya Mas Candra lakukan pada mantan istrinya itu, hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Apa benar akulah yang menjadi biang rusuh dalam pernikahan mereka? Karena Mas Candra kecewa dengan lamarannya yang aku tolak dulu hingga membuatnya berlaku tidak adil pada istrinya sendiri?Tiba-tiba aku ingat Amira, dia adalah teman dari mantan istrinya Mas Candra. Aku ingin mencari tahu kebenarannya dari dia. Aku segera menghubungi Amira."Amira, apa kamu punya waktu untuk bertemu denganku?" Kuutarakan langsung niatku saat Amira menjawab panggilan telpon dariku."Kebetulan hari ini anak-anak di bawa neneknya, suamiku juga lagi kerja. Kamu mau ketemu di mana?" b
Aku menatap punggung Sakti dan temannya yang beranjak keluar dari pintu utama rumahku. Di tangan Sakti, dia membawa tas berisi uang 2M yang dia minta padaku. Sedangkan aku, memegang surat perjanjian yang sudah dia tanda tangani. Ada sedikit perasaan lega, sekaligus sedih. Lega karena mulai sekarang, Adam akan menjadi milikku. Dia akan menjadi putraku dalam segi hukum. Sakti tidak akan bisa lagi merampas dia dari diriku. Sedih, karena aku harus kehilangan uang dalam jumlah sebanyak itu. Mas Candra memandangi wajahku yang sedikit murung setelah kepergian mereka. "Apa sekarang kamu menyesal? Mas sudah memperingatkan kamu sebelumnya, sekarang semua uang itu sudah mereka bawa. Seandainya kamu mau menempuh jalur hukum, kemungkinan kamu bisa menang. Karena Sakti selama ini memang tidak mau bertanggung jawab pada Adam." "Aku hanya tidak mau berurusan dengan pengadilan, Mas! Proses hukum Mas Yoga saja, sudah membuatku lelah. Aku tidak ingin kembali bolak balik