Aku berkemas hendak ke swalayan, kulkas sudah kosong. Aku mau belanja. Terpaksa pergi sendiri. Karena suamiku sekarang pasti di rumah perempuan itu. Sudahlah, aku tidak ingin mengingat apapun tentang mereka.
Aku keluar menuju bagasi. Hendak menaiki mobil ku, tapi melihat mobil baru itu seketika aku berbalik. Dan mengambil kunci mobil itu. Hari ini aku akan memakai mobil baru itu. Aku belum kepikiran tentang apa yang harus aku lakukan dengan mobil ini. Haruskah aku jual? Ataukah aku pake? Atau mobil yang lama saja aku jual.
Aku suka saat mengendarai mobil baru ini, lagipula perempuan itu belum pernah mengendarainya. Aku merasa nyaman menggunakannya.
Aku sedang memilih barang-barang yang aku inginkan, saat seseorang menepuk pundak ku.
"Rania?" Aku berbalik dan melihat sumber suara. Ternyata Amira, teman semasa kuliah ku dulu.
"Hai, apa kabar? Lama nggak ketemu ya?" Aku memeluknya dengan hangat.
"Kabar aku baik, kamu bagaimana? Sehatkan?"
"Alhamdulillah, sehat. Kita sudah lama sekali nggak ketemu, sampai pangling aku lihat kamu, tambah cantik!" Aku tersenyum menatapnya.
"Eh, ngomong-ngomong sendiri aja? Suami mu mana?" Dia malah nanyain suamiku.
"Biasalah, laki-laki kurang suka di ajak belanja!"
"Hehehee....aku juga, lihat tuh suamiku. Nggak mau masuk nemenin aku belanja. Dia malah asik duduk main handphone" Dia menunjuk suaminya yang tengah asik dengan handphonenya.
"iya, bener. Maklum lah.. laki-laki emang seperti itu!"
"Aku dengar, suamimu punya istri lagi ya?" Deggg, jantungku langsung mau copot mendengar pertanyaan Amira.
"Darimana kamu tau suamiku menikah lagi?"
"Nggak tau juga darimana awalnya, tapi teman-teman banyak yang bilang seperti itu?"
"Sudahlah, jangan dengarkan itu"
"Jadi berita itu benar Riana?" Dengan tampang tidak percaya dia menatapku.
"Benar, tapi aku tidak setuju sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi. Dia hamil. Aku tidak bisa memaksa suamiku untuk menceraikannya!"
"Ya ampun Riana, kamu yang sabar ya? Kapanpun kamu butuh teman untuk cerita, jangan sungkan hubungi aku ya?"
"Baiklah, terima kasih banyak Amira. Aku pergi dulu ya?"
"Ya, hati-hati"
Aku berjalan ke kasir, untuk membayar belanjaan ku. Darimana teman-teman ku tau kalau suamiku sudah menikah lagi. Padahal aku tak pernah cerita pada siapapun. Di sosial media pun aku tak pernah posting apapun. Apa mas Yoga memposting sesuatu?
Sudahlah, kalau pun semua orang tau. Apa yang bisa kulakukan? Karena itu adalah kebenaran. Aku harus kuat.
******
"Ma, kemaren aku nelpon ibu, katanya dia akan datang berkunjung!" Mendengar Ibunya mas Yoga datang, aku sedikit takut. Dia tidak pernah memperlakukanku dengan baik. Dia selalu menyindirku karena belum juga hamil. Tapi ketika mendengar aku hamil, akankah ibu akan merasa senang?
"Ibu sudah tau aku hamil?"
"Sudah, mas sudah cerita ke ibu"
"Lalu bagaimana tanggapan ibu?"
"Ya, dia senang lah. Masa nggak senang bakalan punya cucu!"
"Ibu tau kalau perempuan itu juga hamil?" Mas Yoga menarik nafas dalam sebelum menjawab pertanyaanku.
"Tau ma. Dia sudah tau kalau kalian berdua sama-sama hamil"
"Lalu apa tanggapannya?"
"Senang dong, ma. Bakalan punya dua orang cucu" Aku terdiam mendengar perkataan mas Yoga. Entah kenapa perasaan ku tidak enak.
"Kapan ibu sampainya?"
"Palingan nanti siang"
Ibu dan ayah mas Yoga tinggal berdua di kampung. Tapi yang sering datang berkunjung hanya ibu. Ayah jarang datang.
Tiap kali ibu datang, dia selalu menampakkan ketidak sukaannya padaku. Selalu menyindir mengatakan aku mandul. Tapi aku selalu diam, tak pernah membantah. Walaupun perkataannya menyakitkan.
"Ma, aku harus jemput ibu. Sepertinya ibu sudah sampai di terminal"
"Baiklah, aku ikut mas!"
"Jangan, di rumah saja. Kamu siapin makanan saja ya?"
Aku hanya mengangguk. Melepas kepergian mas Yoga menjemput ibunya. Aku ke dapur, menghangatkan masakan yang sudah aku siapkan sejak tadi.
******
Sudah sore, tapi mas Yoga dan ibu belum juga datang. Aku khawatir. Seharusnya tidak akan butuh waktu lama ke terminal, tapi kenapa mereka belum sampai juga?
Aku segera menghubungi nomor handphonenya mas Yoga. Menanyakan keberadaan mereka.
"Hallo, ma!"
"Kamu dimana? Kok belum nyampe juga?"
"Maaf ma, ibu ngajakin langsung ke rumah Rindu. Dia pengen ketemu sama Rindu katanya"
"Apa? Masa ibu duluan kesana daripada kesini mas?"
"Nggak tau juga, ma! Ibu cuma bilang kangen sama Rindu"
"Ya sudah, aku kesana saja ya mas?"
"Baiklah, hati-hati di jalan"
"Ya"Aku heran sama ibu, masa dia lebih milih ketemu perempuan itu daripada aku? Kan aku menantu sahnya dia, perempuan itu cuma istri siri mas Yoga. Perempuan ganjen perebut suami orang.
Aku sampai di rumah perempuan itu, kebetulan pagarnya tidak terkunci. Aku memarkirkan mobil di pinggir jalan. Turun dari mobil dan melangkahkan kaki menuju pintu rumah.
Tapi langkah kakiku terhenti, saat mendengar mereka membicarakan ku. Ku dekatkan telinga ke arah pintu, berharap lebih mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Kamu kenapa sih Yoga? Masa Riana itu belum juga kamu ceraikan? Kan ibu sudah berulang kali bilang sama kamu untuk menceraikan dia!"
"Nggak bisa gitu, bu. Dia sedang hamil. Nggak mungkin kan aku ceraikan dia?"
"Lalu kapan kamu akan menceraikan dia? Tunggu dia lahiran dulu?"
"Nantilah aku pikirkan bu"
"Iya, mas. Lebih baik secepatnya ceraikan dia. Lihat saja sikapnya itu, sungguh sangat keterlaluan. Dia sudah berulang kali memukuli ku mas, aku tidak tahan lagi!" Perempuan itu juga menghasut suamiku.
"Apa kamu bilang, Rindu? Dia memukuli mu? Awas saja, kalau nanti ketemu sama ibu bakalan ibu pukulin juga dia!" Ibu mertua ingin memukuli ku, rasanya sakit sekali mendengarnya.
"Sudahlah, bu. Ini juga salahnya Rindu, dia mengatakan Riana mandul. Tentu saja Riana marah!"
"Kamu kenapa sih? Selalu belain Riana itu? Kamu masih sangat mencintai dia?" Ibu kelihatannya marah mendengar mas Yoga membelaku.
"Bukan seperti itu, bu. Kan dia masih istriku, calon ibu dari anakku. Aku tidak ingin ibu membencinya!"
"Wajar lah ibu tidak suka sama dia mas, sudah lama menunggu belum juga di kasih cucu. Eh, sekarang ketika ibu sudah punya aku, malah dia hamil. Kan bete jadinya?"
"Iya, ibu nggak suka cucu dari dia. Sudah ada calon cucu ibu dari Rindu" Ibu memeluk perempuan itu. Aku benci melihat nya.
"Tapi, bu. Aku pengen anak itu, anak yang sudah lama aku tunggu"
"Nanti setelah Riana itu melahirkan segera ceraikan dia, lalu urus hak asuh anak. Kita akan usahakan hak asuh jatuh di tangan mu. Ibu tidak suka punya menantu seperti dia!"
"Benar itu, mas. Lebih baik kamu turutin kemauan ibu, setelah itu kita bisa nikah secara hukum. Bukan hanya nikah siri seperti ini!"
"Ya, baiklah nanti mas pikirkan caranya!"
Aku terdiam mendengar obrolan mereka, sepertinya mas Yoga termakan hasutan ibu dan perempuan itu. Ku usap perutku yang masih datar. Berharap mendapatkan kekuatan.
Setelah hamil, bukannya di perlakukan manja oleh ibu mertuaku. Tapi malah dia tidak suka sedikitpun. Apa salah ku bu? Bukan mau ku baru sekarang bisa hamil. Kalau boleh meminta, setelah menikah aku mau langsung punya anak. Tapi mau bagaimana lagi, baru sekarang Tuhan memberikan kesempatan itu padaku.
Ku hapus airmata di kedua belah pipiku. Segera mengetok pintu, untuk bertemu dengan ibu. Aku akan berpura-pura tidak mendengar obrolan mereka. Sebagai menantu, aku harus tetap hormat pada mertua ku.
Pintu di buka oleh perempuan itu. Dia terkejut melihat aku datang. Mungkin dia takut aku mendengar obrolan mereka. Ketika melangkahkan kaki memasuki rumah, mas Yoga dan ibu juga terlibat terkejut.
Aku berpura-pura tersenyum, dan menegur ibu.
"Assalamualaikum, bu" Aku menyalam tangan ibu lalu duduk di samping mas Yoga.
"Waalaikumsalam" Dengan ketus ibu menjawab salam ku.
"Sudah lama sampai bu? Kenapa tidak langsung ke rumah Riana duluan bu?"
"Apa salahnya ibu ke rumah Rindu duluan?"
"Nggak salah sih bu, tapi Riana sudah masakin makanan di rumah buat ibu"
"Nggak perlu, ibu sudah makan tadi disini sama Rindu dan Yoga!" Dia masih jutek menjawab perkataan ku.
"Kamu sejak kapan sampai? Kok mas tidak dengar suara mobil kami?"
"Aku parkir di tepi jalan mas, nggak masukin mobil ke bagasi""Ooo...pantasan, mas nggak dengar. Kamu sudah makan?"
"Sudah mas, tadi di rumah" Padahal dari pagi aku belum makan
"Dia tahulah cara menjaga makannya sendiri, yoga. Kalau dia lapar pasti dia makan sendiri!"
"Iya, bu. Riana bisa kok ngurus diri sendiri"
"Ya seperti itu, jangan mentang-mentang hamil, banyak pula bertingkah. Bikin repot orang nantinya!"
"Mbak Riana mau saya buatkan minuman?" Perempuan itu sok berlaku manis padaku.
"Tidak usah, aku cuma sebentar kok disini"
"Kalau dia haus, dia bisa sendiri kok ngambil air. Ngapain di tawarin segala Rindu, sudah kamu duduk saja. Jaga kandungannya. Ibu tidak mau terjadi apa-apa pada calon cucu ibu!" Ibu sangat memperhatikan perempuan itu, rasanya sakit sekali. Bahkan dia tidak peduli aku makan atau minum sekali pun.
"Bu, kalau begitu Riana pulang dulu ya? Mas aku pulang duluan ya? Nanti ajak ibu ke rumah ya?"
"Baiklah, ma. Nanti mas nyusul"
Aku kembali menyalami ibu, lalu beranjak meninggalkan rumah perempuan itu. Rasanya sakit sekali. Tidak di anggap ada oleh mertua sendiri. Padahal ada calon cucunya di perutku.
Sampai di rumah, aku terduduk lesu di ujung ranjang. Berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan. Masih terngiang jelas ucapan ibu pada mas Yoga. Untuk segera menceraikan aku. Walau mereka akan menunggu ku sampai lahiran. Tapi aku yakin, mas Yoga akan terhasut perkataan mereka. Mas Yoga tidak bisa lagi ku percaya. Aku harus mengambil keputusan. Aku tidak mungkin sanggup hidup seperti ini, jelas-jelas mereka tidak menginginkanku. Mas Yoga bertahan padaku hanya demi anak ini, bagaimana nanti? Kalau setelah melahirkan dia menceraikan ku dan merebut hak asuh anakku. Aku tidak mau itu terjadi. Aku harus minta cerai dari mas Yoga. Tidak mungkin lagi aku bertahan dalam rumah tangga seperti ini. Tapi aku harus mencari seseorang yang paham akan masalah ini. Bagaimana caranya untuk bercerai dari mas Yoga? Aku juga tidak ingin kehilangan harta benda yang aku miliki sekarang. Jika aku pergi tanpa membawa harta sedi
"Tidak, mas. Aku tidak ingin memperkarakan dia yang menikah diam-diam. Aku hanya ingin bercerai dan mendapatkan harta benda yang aku punya sekarang""Baiklah, kalau itu keputusan mu. Sebenarnya, jika kamu mau memperkarakan tindakan suamimu itu, dia bisa masuk penjara, Riana""Tidak, mas. Aku tak ingin memenjarakan dia""Kamu kenapa Riana? Apa kamu sangat mencintai dia? Dia bisa di hukum lho karena menduakan mu tanpa meminta izin dari mu?" Amira mempertanyakan keputusanku, tapi entahlah. Hanya saja hati ku tak tega jika mas Yoga harus masuk penjara. Padahal dia sudah begitu jahat padaku."Entahlah, Amira. Hanya saja hatiku tidak menginginkan itu""Ya, sudah. Jadi kapan kamu berencana menggugat cerai suamimu? Aku akan mengurus semuanya. Aku hanya perlu beberapa dokumen darimu, kamu tinggal beres. Aku hanya perlu tanda tanganmu saja nanti" Mas Candra sepertinya serius sekali ingin membantuku."Bai
Aku sedang di dapur, saat mas Yoga datang. Aku tak mengacuhkan kehadirannya. Dia membalikkan badan ku agar menghadap padanya."Kenapa tadi kamu keluar tanpa memberi kabar pada mas?""Apa peduli, mas? Sedangkan mas saja sehari ini tidak sekalipun mengabari ku!""Kemaren mas sudah bilang kan? Lalu siapa laki-laki tadi? Dia bukan suami Amira. Untuk apa kalian bertemu?" Dia penasaran siapa mas Candra."Bukan urusan mu!" Aku berlalu darinya. Menuju ruang tamu."Jawab mas, Riana! Siapa dia dan untuk apa kalian bertemu?""Sudah ku jawab mas! Bukan urusanmu! Urus saja gundik mu itu! Belikan apa saja yang dia mau, kamu tidak perlu mencampuri urusanku!""Ma, kamu ini kenapa semakin lama semakin membangkang?""Kalau kamu tidak suka lagi padaku, ceraikan aku sekarang juga!" Bibirku bergetar mengucapkan kata itu."Kenap selalu mengatakan perceraian Riana? Apa kamu sudah terg
Aku yakin, aku bisa hidup tanpanya. Dari pada seperti ini. Makan hati setiap hari. Sungguh aku tak sanggup.Terdengar deru kendaraan mas Yoga keluar dari bagasi. Aku segera berdiri. Membuka pintu, lalu keluar untuk mengunci pagar. Pergilah kamu kepada perempuan itu mas, bathin ku berucap pilu.Aku terduduk sendiri di ruang tamu, memikirkan apa yang harus aku lakukan. Sepertinya sulit mendapatkan apa yang aku inginkan. Bercerai dari mas Yoga dan mendapatkan harta bagianku rasanya akan sulit sekali. Bercerai mungkin bisa aku dapatkan, tapi harta benda ini bagaimana? Kemana aku harus pergi? Tanpa ada uang yang bisa aku bawa.Mengadu pada paman, aku tak sanggup. Aku tak ingin membuatnya marah dan melakukan hal bodoh pada mas Yoga. Apa yang harus aku lakukan?Aku hanya ingin bercerai, dan mendapatkan bagianku yang seharusnya. Setelah itu aku tak peduli. Apapun yang dia lakukan dengan perempuan itu tak akan aku campuri lagi.*****
Dia berdiri hendak menuju kamar, sepertinya dia ingin istirahat."Mas, sabtu ini paman meminta datang ke rumahnya"Langkah kaki mas Yoga terhenti, dia menatapku heran."Paman? Untuk apa paman meminta kita datang? Apa kamu cerita tentang Rindu padanya?" Terlihat sekali dia takut paman tau dia mengkhianatiku."Tidak, aku tidak berminat membicarakan perempuan itu pada paman!""Lalu untuk apa paman meminta kita datang?""Aku tidak tau alasannya. Dia bilang harus datang dengan mu. Hanya itu""Baiklah, nanti kita kesana berdua"Mas Yoga lega, karena aku belum menceritakan semuanya pada paman. Kalau paman tau entah apa yang terjadi. Paman adalah orang yang sangat tegas. Dulu, saat melamar ku. Paman kurang setuju. Dia ingin menjodohkan aku dengan anak temannya.Tapi mas Yoga berupaya keras mendapatkan restu dari paman. Akhirnya paman luluh, bahkan ikut mencarikan pekerj
Ya sudahlah, sekali ini aku mengalah untuknya. Demi anak yang dia kandung.Aku segera turun dari mobil mas Yoga, setelah sampai di rumah. Aku segera membuka pagar rumah."Ma, nanti kasih kabar kalau sudah sampai di rumah paman ya?""Ya, mas"Mas Yoga lalu pergi meninggalkanku. Aku segera menaiki mobil ku. Lalu berangkat sendiri ke rumah paman. Rumah paman tidak terlalu jauh. Aku yakin bisa mengendarai mobil sendiri.*******Hari sudah siang, saat aku sampai di rumah paman. Segera aku memarkirkan mobil di bagasi rumah paman.Pintu rumah paman terbuka. Aku langsung mengucapkan salam."Assalamualaikum..."Waalaikumsalam..." Terdengar sahutan dari arah dalam. Itu suara bibiku."Akhirnya yang di tunggu-tunggu datang juga, masuk Riana" Bibi langsung menggandengku masuk rumah.Aku duduk di
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku sibuk berpikir. Bagaimana caranya untuk bercerai secepatnya dari mas Yoga.Sekarang tidak ada lagi penghalang untukku segera menggugat cerai mas Yoga. Dulu, yang paling aku takutkan adalah masa depan dari anakku kelak, tapi sekarang dengan warisan peninggalan ayah aku tidak perlu lagi memikirkan biaya untuk hidup kami nantinya.Dari tadi mas Yoga selalu menghubungi ku, aku tak memberi kabar apapun padanya. Bahkan ketika sampai di rumah paman aku tak mengubris panggilan telponnya.Gara-gara dia, aku berbohong pada paman. Pake alasan mertua sakit segala. Paman sebenarnya memaksa untuk menginap di rumahnya, tapi aku rasa kini bukan saat yang tepat. Aku takut paman melihat rona kesedihan di wajahku. Jika terus-terusan dekat dengan paman dan bibi, aku takut rahasia ku bisa bocor.Aku tak mau mereka ikutan sedih dengan apa yang sedang menimpaku. Handphone ku kembali berdering, mas
Aku di rumah tanpa ada kegiatan apapun yang aku lakukan. Rasanya bosan sekali. Mas Yoga tidak akan pulang, aku dirundung kesepian. Tak ada keinginan apapun. Aku harus ngapain?Terlintas pikiran dihatiku untuk mencari tau siapa sebenarnya perempuan yang mas Yoga nikahi. Apa sebenarnya motif dia mau dijadikan istri kedua suami ku.Sepertinya aku harus berpura-pura baik padanya. Aku harus bicara padanya. Kali ini tanpa ada kemarahan. Aku harus mengorek sedikit informasi darinya.Aku berniat bertandang ke rumahnya siang ini.Ku lajukan kendaraan menuju rumah perempuan itu, aku ingin sedikit lebih mengenal perempuan itu. Agar tidak ada penyesalan sedikitpun di hati ku jika sudah bercerai dari mas Yoga nantinya.Aku sengaja memarkirkan mobil di luar pagar rumah perempuan itu. Pagarnya tidak terkunci, jadi aku leluasa untuk masuk ke dalam.Setelah sampai di pintu, ku ketok pintu rumahnya. Tapi tidak a
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."
Aku membiarkan begitu saja saat dering handphoneku memekakkan telinga. Sudah dari tadi Mas Candra mencoba menelponku. Rasanya aku tidak bisa lagi dekat dengan Mas Candra.Perkataan perempuan itu masih terngiang di telingaku. Aku tidak ingin menjadi perusak dalam hubungan orang lain. Lebih baik aku yang mundur. Walau hatiku sudah mulai bisa menerima kehadiran Mas Candra. Sudah mulai bisa merasakan getaran saat tatapan matanya bertemu denganku.Rasa cinta itu sebenarnya sudah datang di hatiku untuk Mas Candra. Tapi aku tidak ingin apa yang aku rasakan dulu, di rasakan juga oleh perempuan lain. Sakitnya di khianati oleh Mas Yoga masih membekas di hatiku. Tiap ingat Mas Yoga aku masih tetap menitikkan air mata. Cinta yang begitu ku agungkan ternyata memendam duri yang begitu tajam.Walaupun sekarang dia tengah menjalani hukuman atas perbuatannya, tetap saja luka di hatiku tak bisa hilang oleh perbuatannya.Karena tak ku gubris sedikitpun, ak
Pikiranku kalut, semua kata-kata yang di lontarkan perempuan itu seperti bom yang selalu meledakkan jantungku. Kenapa dia sampai tega memfitnahku seperti itu. Dia bilang akulah yang merusak hubungan pernikahan Mas Candra dengan adiknya, bahwa akulah yang menyebabkan adiknya meninggal.Apa yang sebenarnya Mas Candra lakukan pada mantan istrinya itu, hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Apa benar akulah yang menjadi biang rusuh dalam pernikahan mereka? Karena Mas Candra kecewa dengan lamarannya yang aku tolak dulu hingga membuatnya berlaku tidak adil pada istrinya sendiri?Tiba-tiba aku ingat Amira, dia adalah teman dari mantan istrinya Mas Candra. Aku ingin mencari tahu kebenarannya dari dia. Aku segera menghubungi Amira."Amira, apa kamu punya waktu untuk bertemu denganku?" Kuutarakan langsung niatku saat Amira menjawab panggilan telpon dariku."Kebetulan hari ini anak-anak di bawa neneknya, suamiku juga lagi kerja. Kamu mau ketemu di mana?" b
Aku menatap punggung Sakti dan temannya yang beranjak keluar dari pintu utama rumahku. Di tangan Sakti, dia membawa tas berisi uang 2M yang dia minta padaku. Sedangkan aku, memegang surat perjanjian yang sudah dia tanda tangani. Ada sedikit perasaan lega, sekaligus sedih. Lega karena mulai sekarang, Adam akan menjadi milikku. Dia akan menjadi putraku dalam segi hukum. Sakti tidak akan bisa lagi merampas dia dari diriku. Sedih, karena aku harus kehilangan uang dalam jumlah sebanyak itu. Mas Candra memandangi wajahku yang sedikit murung setelah kepergian mereka. "Apa sekarang kamu menyesal? Mas sudah memperingatkan kamu sebelumnya, sekarang semua uang itu sudah mereka bawa. Seandainya kamu mau menempuh jalur hukum, kemungkinan kamu bisa menang. Karena Sakti selama ini memang tidak mau bertanggung jawab pada Adam." "Aku hanya tidak mau berurusan dengan pengadilan, Mas! Proses hukum Mas Yoga saja, sudah membuatku lelah. Aku tidak ingin kembali bolak balik