Ku lajukan kendaraan dengan hati yang penuh dengan kemarahan. Aku tak bisa terima perlakuan mas Yoga. Dia sudah berani mengambil tabunganku sendiri demi memenuhi keinginan perempuan itu.
Padahal aku sudah lama mengumpulkan uang itu, setiap bulan aku selalu menyisihkan nafkah yang mas Yoga berikan padaku. Berharap suatu saat uang itu bisa aku gunakan untuk hal-hal yang mendesak. Tapi sekarang apa? Dengan mudahnya dia membeli mobil untuk perempuan jalang itu.
Aku mengusap kedua pipiku yang basah oleh airmata. Aku tidak ingin perempuan itu tau aku menangis. Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin membuat perhitungan dengan perempuan itu.Saat aku sampai di rumah perempuan itu, pagarnya terkunci. Ku bunyikan klakson berulang kali agar dia keluar. Ku intip ke dalam, benar saja. Ada mobil baru yang terparkir di garasinya. Darahku seketika mendidih melihatnya. Kamu kejam mas Yoga!
Kulihat perempuan itu dengan sombongnya keluar, membukakan pagar rumahnya. Belum sempat aku memasukkan mobil ke bagasinya, terlihat mobil mas Yoga datang. Dia datang untuk menyelamatkan perempuan itu dari amukan ku. Aku benci melihatnya.
Ku parkirkan mobil di pinggir jalan, lalu keluar dari mobil. Menuju perempuan jalang itu. Belum sempat tanganku menarik lengan perempuan itu, mas Yoga sudah duluan menarik perempuan itu ke belakangnya.
Aku benci melihatnya, ingin sekali menghajarnya. Perempuan itu tersenyum licik dari balik punggung suamiku. Jelas sekali mukanya yang penuh kebanggaan karena di bela suamiku.
"Ma, cukup. Jangan ribut di sini. Ayo bicara di dalam baik-baik. Tidak baik di lihat tetangga di sini"
"Biar saja mas, biar orang tau wanita seperti apa tetangga mereka. Seorang pelakor yang sekarang mencoba menguasai harta suamiku!" Aku berteriak dengan keras. Rasanya sakit sekali. Diperlakukan tidak adil seperti ini.
"Mbak Riana, kerjaannya selalu marah-marah. Nggak bosan apa?" Perempuan itu malah menyalahkan ku. Dia bahkan tidak merasa bersalah sedikitpun.
"Rindu, masuk ke dalam rumah. Riana, ikut mas, ayo kita ke dalam!" Mas Yoga berusaha menarik lenganku. Para tetangga juga sudah banyak di luar. Karena mendengar teriakan ku. Mereka mulai berbisik.
Akhirnya aku mengikuti langkah suamiku masuk ke dalam rumah.
"Duduk, ma! Dan kamu Rindu menjauh sedikit. Jangan sampai Kamu kena amukan Riana lagi!"
Perempuan itu lalu mengambil kursi lain, dan duduk di belakang suamiku. Dasar pengecut. Aku membenci mas Yoga karena begitu melindungi perempuan itu.
"Kenapa mas bisa perlakukan aku seperti ini? Aku sudah menerima mas punya istri lagi. Tapi sekarang kenapa mas sampai tega membelikan dia mobil dengan uang tabunganku?" Netra memanas, airmata pun tak mampu ku bendung. Akhirnya pertahanan ku goyah. Aku menangis tersedu.
Ku kibaskan tangan mas Yoga yang berusaha menenangkan ku.
"Ma, uang tabungan mas tidak cukup untuk membelikan Rindu mobil. Mas kasihan melihat dia susah payah keluar karena tak punya mobil!"
"Aku tak masalah kamu belikan dia mobil mas, tapi gunakan uang mu sendiri. Jika kamu tak punya uang seharusnya kamu suruh dia menabung dulu, bukannya mencuri tabungan ku!"
"Tapi kan uang tabunganmu juga berasal dari mas!"
"Mas, uang itu aku peroleh sebelum kamu menikahi perempuan itu. Itu adalah hakku, seharusnya kamu adil mas. Aku menemanimu dari yang tidak punya apa-apa sampai sekarang berkecukupan. Sedangkan dia langsung mendapatkan mu di saat kamu sudah sukses. Dia harus merasakan juga bagaimana rasanya hidup susah!"
"Mas minta maaf Rania, nanti akan mas ganti uang itu kembali!"
"Tidak mas, aku tidak sudi. Kalau perempuan itu mau punya mobil, suruh dia menabung dari nafkah yang kamu berikan!"
"Tapi ma, mas sudah membeli mobil itu, nggak mungkin kan mas balikin lagi?"
"Baik, akan aku bawa mobil itu sekarang juga ke rumah ku!"
"Nggak bisa gitu dong mbak! Itu mobil ku, hadiah dari suamiku. Bahkan aku belum mengendarainya. Mbak tidak bisa mengambilnya!" Perempuan itu bicara, sontak mataku menatapnya dengan penuh kemarahan.
"Apa kau bilang? Itu adalah mobilku, karena uangku yang mas Yoga pakai untuk membelinya!"
"Walaupun begitu, itu tetap jadi mobilku. Aku tidak sudi memberikan itu pada mbak!"
"Apa kau ingin aku berlaku kasar lagi padamu? Aku tidak takut sedikitpun kepada mu!"
"Sudah ma, mas mohon jangan di perpanjang lagi. Biarkan mobil itu untuk Rindu, mas akan ganti kembali uang mu itu!"
"Kalau mas tidak mau memberikan mobil itu padaku, maka ceraikan aku!" Aku sudah muak dengan semua perlakuan tidak adil suamiku. Lebih baik bercerai daripada hidup seperti ini.
"Ma, jangan bicara seperti itu. Aku tidak mungkin menceraikan kamu Riana! Mas sangat mencintai kamu, dan juga calon anak kita!" Mas Yoga terlihat takut berpisah dariku. Tapi aku sudah tidak tahan lagi.
"Kalau mbak Riana minta cerai, ceraikan saja mas. Kan masih ada aku dan calon anak kita, mas! Hidup kita akan bahagia tanpa kehadiran dia!" Perempuan itu menghasut suamiku untuk menceraikanku.
"Diam kamu, Rindu. Kamu tidak berhak memaksa mas menceraikan Riana!"
"Turuti kemauan gundik mu itu mas, aku sudah muak hidup seperti ini, pengorbanan ku selama ini tidak kau hargai sedikitpun. Lebih baik kita bercerai!"
"Tidak,ma! Mas tidak mau bercerai darimu. Baiklah, mas akan antarkan mobil itu ke rumah mu. Mas tidak akan pernah lagi memakai apa yang menjadi milikmu selama ini, sebelum kehadiran Rindu. Mas akan berlaku adil Riana! Maafkan mas!"
"Baik, aku akan pulang. Kalau dalam satu jam mobil itu tidak sampai di rumahku, kamu tidak akan pernah lagi bertemu denganku selamanya!"
"Baiklah sayang, sekarang pulang lah. Mas minta maaf!"
"Mas, lalu aku bagaimana? Mobil untuk ku mana? Mas sudah janji kasih aku mobil?"Perempuan itu marah pada suamiku.
"Nanti, setelah uang mas terkumpul, baru mas akan belikan kamu mobil!"
Aku berjalan keluar dengan gontai, aku berharap mas Yoga menjatuhkan talak untukku tadi. Tapi nyatanya dia malah menuruti keinginanku. Baiklah, akan aku beri dia kesempatan sekali ini. Jika nanti dia tidak berlaku adil lagi, aku sendiri yang akan mengurus perceraian kami.
Di dalam perjalanan pulang, pikiranku kalut. Apa yang seharusnya aku lakukan? Tak mungkin aku sanggup hidup seperti ini. Airmata ku menetes sepanjang jalan. Hatiku sakit, tapi aku tak punya keluarga tempatku mengadu.
Menghubungi paman, aku takut dia malah marah dan memaksaku bercerai dari mas Yoga. Dia yang mencarikan mas Yoga pekerjaan. Di perusahaan milik temannya. Sampai akhirnya mas Yoga menjadi orang kepercayaan dan mendapatkan jabatan yang tinggi.
Curhat pada teman, aku takut. Mereka akan mengolok ku karena bersedia di madu. Sungguh, aku butuh teman untuk bicara. Tapi siapa? Siapa yang bisa aku ajak bicara? Kenapa jalan hidupku jadi serumit ini.
Aku hanya mampu menangis, mengusap dadaku yang terasa nyeri dan sesak. Begitu berat rasanya ujian ini Tuhan. Aku tak punya kekuatan untuk bertahan.
Sampai di rumah, aku segera ke kamar. Duduk menangis di tepi ranjang. Aku benar-benar sakit hati, melihat perlakuan baik yang mas Yoga berikan pada perempuan itu. Aku benci.
Aku tak menyadari saat mas Yoga masuk ke rumah, aku masih menangis.
"Ma, sudahlah. Jangan menangis lagi. Maafkan mas. Mas yang salah. Itu mobilnya sudah mas bawa kesini, tolong jangan menangis lagi!"
Dia mengusap airmata yang mengalir dipipiku.
"Mas, aku tidak sanggup lagi di madu! Tolong ceraikan aku!" Aku tergugu menangis. Rasanya sakit sekali.
Mas Yoga merangkulku ke dalam pelukannya. Mencium keningku berulang kali.
"Maafkan mas, mas tidak akan melakukan ini lagi. Mas akan berusaha adil ma! Jangan minta berpisah dari mas! Mas ingin sama-sama membesarkan anak kita!"
"Kalau begitu, jangan manjakan dia mas, aku dulu susah payah hidup denganmu, baru di tahun ketiga pernikahan kita. Kamu membelikan aku mobil"
"Iya, ma. Untuk seterusnya mas akan adil dalam segi apapun. Mas tidak akan mengganggu gugat milikmu sebelum kehadiran Rindu"
"Mas janji?"
"Iya sayang" Mas Yoga, mengeratkan pelukannya. Hatiku sedikit damai. Entah kenapa, aku tak bisa menghilangkan rasa cintaku untuknya. Padahal dia sudah mengkhianatiku seperti ini.
"Mas balek ke kantor ya, ma? Mas masih harus ke rumah Rindu untuk mengambil mobil mas!"
"Baiklah"
"Sekarang, karena masih hari selasa mas nggak akan pulang kesini nanti. Segera makan, jaga kesehatan ma! Mas tidak ingin terjadi apa-apa pada calon anak kit!"
"Iya, aku akan menjaga diriku sendiri, mas!"
Mas Yoga pergi, aku turun dari ranjang. Membuka pintu. Dan melihat mobil itu ada di bagasi. Hatiku nelangsa melihat mobil itu. Mobil keluaran terbaru, yang harganya mungkin dua kali lipat dari harga mobil ku. Kamu keterlaluan mas!
Aku menutup pagar dan pintu rumah, lalu beranjak ke dapur. Melihat apa yang bisa aku makan. Ternyata dalam kulkas tidak ada bahan masakan lagi, hanya ada buah apel.
Aku terduduk lunglai di depan kulkas, mengunyah buah apel yang ada di tanganku. Perut rasanya melilit menahan lapar. Tuhan, inikah takdirku? Hidup menderita di saat aku hamil? Di saat aku membutuhkan kehadiran suamiku, tapi malah derita ini yang ku peroleh.
Aku berkemas hendak ke swalayan, kulkas sudah kosong. Aku mau belanja. Terpaksa pergi sendiri. Karena suamiku sekarang pasti di rumah perempuan itu. Sudahlah, aku tidak ingin mengingat apapun tentang mereka.Aku keluar menuju bagasi. Hendak menaiki mobil ku, tapi melihat mobil baru itu seketika aku berbalik. Dan mengambil kunci mobil itu. Hari ini aku akan memakai mobil baru itu. Aku belum kepikiran tentang apa yang harus aku lakukan dengan mobil ini. Haruskah aku jual? Ataukah aku pake? Atau mobil yang lama saja aku jual.Aku suka saat mengendarai mobil baru ini, lagipula perempuan itu belum pernah mengendarainya. Aku merasa nyaman menggunakannya.Aku sedang memilih barang-barang yang aku inginkan, saat seseorang menepuk pundak ku."Rania?" Aku berbalik dan melihat sumber suara. Ternyata Amira, teman semasa kuliah ku dulu."Hai, apa kabar? Lama nggak ketemu ya?" Aku memeluknya dengan hang
Sampai di rumah, aku terduduk lesu di ujung ranjang. Berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan. Masih terngiang jelas ucapan ibu pada mas Yoga. Untuk segera menceraikan aku. Walau mereka akan menunggu ku sampai lahiran. Tapi aku yakin, mas Yoga akan terhasut perkataan mereka. Mas Yoga tidak bisa lagi ku percaya. Aku harus mengambil keputusan. Aku tidak mungkin sanggup hidup seperti ini, jelas-jelas mereka tidak menginginkanku. Mas Yoga bertahan padaku hanya demi anak ini, bagaimana nanti? Kalau setelah melahirkan dia menceraikan ku dan merebut hak asuh anakku. Aku tidak mau itu terjadi. Aku harus minta cerai dari mas Yoga. Tidak mungkin lagi aku bertahan dalam rumah tangga seperti ini. Tapi aku harus mencari seseorang yang paham akan masalah ini. Bagaimana caranya untuk bercerai dari mas Yoga? Aku juga tidak ingin kehilangan harta benda yang aku miliki sekarang. Jika aku pergi tanpa membawa harta sedi
"Tidak, mas. Aku tidak ingin memperkarakan dia yang menikah diam-diam. Aku hanya ingin bercerai dan mendapatkan harta benda yang aku punya sekarang""Baiklah, kalau itu keputusan mu. Sebenarnya, jika kamu mau memperkarakan tindakan suamimu itu, dia bisa masuk penjara, Riana""Tidak, mas. Aku tak ingin memenjarakan dia""Kamu kenapa Riana? Apa kamu sangat mencintai dia? Dia bisa di hukum lho karena menduakan mu tanpa meminta izin dari mu?" Amira mempertanyakan keputusanku, tapi entahlah. Hanya saja hati ku tak tega jika mas Yoga harus masuk penjara. Padahal dia sudah begitu jahat padaku."Entahlah, Amira. Hanya saja hatiku tidak menginginkan itu""Ya, sudah. Jadi kapan kamu berencana menggugat cerai suamimu? Aku akan mengurus semuanya. Aku hanya perlu beberapa dokumen darimu, kamu tinggal beres. Aku hanya perlu tanda tanganmu saja nanti" Mas Candra sepertinya serius sekali ingin membantuku."Bai
Aku sedang di dapur, saat mas Yoga datang. Aku tak mengacuhkan kehadirannya. Dia membalikkan badan ku agar menghadap padanya."Kenapa tadi kamu keluar tanpa memberi kabar pada mas?""Apa peduli, mas? Sedangkan mas saja sehari ini tidak sekalipun mengabari ku!""Kemaren mas sudah bilang kan? Lalu siapa laki-laki tadi? Dia bukan suami Amira. Untuk apa kalian bertemu?" Dia penasaran siapa mas Candra."Bukan urusan mu!" Aku berlalu darinya. Menuju ruang tamu."Jawab mas, Riana! Siapa dia dan untuk apa kalian bertemu?""Sudah ku jawab mas! Bukan urusanmu! Urus saja gundik mu itu! Belikan apa saja yang dia mau, kamu tidak perlu mencampuri urusanku!""Ma, kamu ini kenapa semakin lama semakin membangkang?""Kalau kamu tidak suka lagi padaku, ceraikan aku sekarang juga!" Bibirku bergetar mengucapkan kata itu."Kenap selalu mengatakan perceraian Riana? Apa kamu sudah terg
Aku yakin, aku bisa hidup tanpanya. Dari pada seperti ini. Makan hati setiap hari. Sungguh aku tak sanggup.Terdengar deru kendaraan mas Yoga keluar dari bagasi. Aku segera berdiri. Membuka pintu, lalu keluar untuk mengunci pagar. Pergilah kamu kepada perempuan itu mas, bathin ku berucap pilu.Aku terduduk sendiri di ruang tamu, memikirkan apa yang harus aku lakukan. Sepertinya sulit mendapatkan apa yang aku inginkan. Bercerai dari mas Yoga dan mendapatkan harta bagianku rasanya akan sulit sekali. Bercerai mungkin bisa aku dapatkan, tapi harta benda ini bagaimana? Kemana aku harus pergi? Tanpa ada uang yang bisa aku bawa.Mengadu pada paman, aku tak sanggup. Aku tak ingin membuatnya marah dan melakukan hal bodoh pada mas Yoga. Apa yang harus aku lakukan?Aku hanya ingin bercerai, dan mendapatkan bagianku yang seharusnya. Setelah itu aku tak peduli. Apapun yang dia lakukan dengan perempuan itu tak akan aku campuri lagi.*****
Dia berdiri hendak menuju kamar, sepertinya dia ingin istirahat."Mas, sabtu ini paman meminta datang ke rumahnya"Langkah kaki mas Yoga terhenti, dia menatapku heran."Paman? Untuk apa paman meminta kita datang? Apa kamu cerita tentang Rindu padanya?" Terlihat sekali dia takut paman tau dia mengkhianatiku."Tidak, aku tidak berminat membicarakan perempuan itu pada paman!""Lalu untuk apa paman meminta kita datang?""Aku tidak tau alasannya. Dia bilang harus datang dengan mu. Hanya itu""Baiklah, nanti kita kesana berdua"Mas Yoga lega, karena aku belum menceritakan semuanya pada paman. Kalau paman tau entah apa yang terjadi. Paman adalah orang yang sangat tegas. Dulu, saat melamar ku. Paman kurang setuju. Dia ingin menjodohkan aku dengan anak temannya.Tapi mas Yoga berupaya keras mendapatkan restu dari paman. Akhirnya paman luluh, bahkan ikut mencarikan pekerj
Ya sudahlah, sekali ini aku mengalah untuknya. Demi anak yang dia kandung.Aku segera turun dari mobil mas Yoga, setelah sampai di rumah. Aku segera membuka pagar rumah."Ma, nanti kasih kabar kalau sudah sampai di rumah paman ya?""Ya, mas"Mas Yoga lalu pergi meninggalkanku. Aku segera menaiki mobil ku. Lalu berangkat sendiri ke rumah paman. Rumah paman tidak terlalu jauh. Aku yakin bisa mengendarai mobil sendiri.*******Hari sudah siang, saat aku sampai di rumah paman. Segera aku memarkirkan mobil di bagasi rumah paman.Pintu rumah paman terbuka. Aku langsung mengucapkan salam."Assalamualaikum..."Waalaikumsalam..." Terdengar sahutan dari arah dalam. Itu suara bibiku."Akhirnya yang di tunggu-tunggu datang juga, masuk Riana" Bibi langsung menggandengku masuk rumah.Aku duduk di
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku sibuk berpikir. Bagaimana caranya untuk bercerai secepatnya dari mas Yoga.Sekarang tidak ada lagi penghalang untukku segera menggugat cerai mas Yoga. Dulu, yang paling aku takutkan adalah masa depan dari anakku kelak, tapi sekarang dengan warisan peninggalan ayah aku tidak perlu lagi memikirkan biaya untuk hidup kami nantinya.Dari tadi mas Yoga selalu menghubungi ku, aku tak memberi kabar apapun padanya. Bahkan ketika sampai di rumah paman aku tak mengubris panggilan telponnya.Gara-gara dia, aku berbohong pada paman. Pake alasan mertua sakit segala. Paman sebenarnya memaksa untuk menginap di rumahnya, tapi aku rasa kini bukan saat yang tepat. Aku takut paman melihat rona kesedihan di wajahku. Jika terus-terusan dekat dengan paman dan bibi, aku takut rahasia ku bisa bocor.Aku tak mau mereka ikutan sedih dengan apa yang sedang menimpaku. Handphone ku kembali berdering, mas
Aku tak henti mengucapkan rasa syukur, setelah Mas Candra dan kedua orang tuanya pergi dari rumahku. Restu yang Mama Mas Candra berikan membuat hidupku seakan kembali semangat. Aku tak sabar ingin segera menjadi istrinya Mas Candra. Seseorang yang sudah membuatku merasakan semangat untuk menjalani kehidupan ini.Sesuai janjinya, Mas Candra menjemputku keesokan harinya untuk menemui Paman dan Bibi. Aku sengaja membawa Adam dan Bi Inah. Pasti Paman dan Bibi rindu pada Adam. Aku sengaja tidak memberi kabar pada paman bahwa aku dan Mas Candra serta keluarganya akan datang mengunjungi mereka. Aku hanya menanyakan apa yang akan mereka lakukan hari ini. Dan syukurnya, Paman dan Bibi hari ini sedang di rumah. Paman tidak ke kantor karena sekarang hari sabtu.Saat mobil Mas Candra masuk ke halaman rumah Paman, aku segera turun di ikuti oleh yang lainnya. Bibi yang tengah menyiram tanaman di halaman depan rumahnya, terlihat sangat kaget dan langsung menghampiri kami."Rum
Jika ada yang bilang cinta itu harus di perjuangkan, aku setuju dengan ujaran itu. Tapi bagiku, cinta itu tak harus menimbulkan derita bagi orang lain. Aku tak ingin menyakiti hati perempuan lain untuk menciptakan kebahagiaanku sendiri. Itu terkesan egois bagiku, apalagi dengan semua derita yang pernah aku alami. Itu semakin membuatku tak mau menyakiti hati perempuan lain. Biarlah aku yang mengalah. Aku tak akan memperjuangkan Mas Candra.Jika dia adalah jodohku, aku yakin Tuhan akan menyatukan kami. Aku hanya ingin menyerahkan semuanya pada takdir. Apapun yang terjadi, aku tidak akan berkecil hati. Walau Mas Candra sudah berjanji untuk mendapatkan restu dari Mamanya, tetap saja aku tak menaruh harapan yang berlebihan. Walau di dalam sudut hatiku yang terdalam, aku mendoakan Mas Candra.Pagi harinya aku tetap menjalankan aktifitasku seperti biasa, untuk menghilangkan rasa jenuh aku berencana untuk membawa Adam dan Bi Inah berbelanja ke swalayan. Apalagi, sudah banyak k
Seperti ancamannya, Mbak Lisa ternyata menggunakan Mama untuk memuluskan jalannya. Dengan menghasut Mama agar tidak merestui aku dengan Riana. Hatiku rasanya sangat geram melihat Mbak Lisa tengah memasak di dapur bersama dengan Mama.Perkataan kasar Mama pada Riana tadi, aku yakin sekali itu akibat dari hasutan dari Mbak Lisa."Candra, ayo makan! Semua sudah terhidang di meja makan!" Panggil Mbak Lisa padaku dengan suara di buat semerdu mungkin. Aku melengos jengah melihat tatapan matanya padaku."Aku tidak lapar!" jawabku dengan ketus. Tanpa menghiraukan wajahnya yang berubah seketika, aku langsung memasuki kamar.Rasanya aku tidak ingin menikmati sedikitpun makanan yang sudah dia buat. Walaupun di bantu oleh Mama. Aku tidak ingin memberikan sedikitpun harapan padanya. Karena aku tidak akan bersedia menikah dengannya apapun bujuk rayu Mama dan Papa."Nak, ayo makan! Nak Lisa sudah susah payah memasak makanan kesukaanmu, kamu jangan bertindak
Aku meletakkan handphone di atas meja ruang tamu rumahku. Setelah Riana memutuskan sambungan telpon itu. Apa yang Riana ucapkan membuatku merasa khawatir. Dia tidak mau menikah denganku tanpa restu dari Mama. Sedangkan aku mengenal betul watak Mama. Sekali dia bilang tidak, maka akan tetap seperti itu pendiriannya. Apapun yang akan aku lakukan untuk membujuknya akan sia-sia.Ucapan Riana tadi seakan meruntuhkan impianku yang begitu besar untuk bisa membina rumah tangga dengan wanita yang selama ini selalu aku cintai. Ya, Riana adalah satu-satunya wanita yang sangat aku cintai. Dari semasa kuliah aku sudah menaruh hati padanya. Bahkan jauh hari sebelum aku dan dia jadian, aku sudah mencintainya.Sebenarnya, bukan maksud hatiku dulunya untuk menjauh dari Riana setelah kami wisuda. Aku hanya ingin mencari pekerjaan yang bagus sebelum memberanikan diri untuk melamar Riana. Tapi, semuanya terlambat. Saat aku sudah mempunyai pekerjaan yang bagus, aku baru menemui
"Memang seharusnya sikapmu seperti itu. Kamu harusnya sadar diri, jangan menjadi perusak hubungan orang lain, tidak baik!" Ujar Mamanya Mas Candra menyela ucapanku.Hatiku langsung remuk redam mendengar perkataan Mamanya Mas Candra. Tak ada kesempatan sedikitpun untukku bersatu dengan Mas Candra. Kebahagiaan yang sempat ku impikan harus musnah secepat ini. Senyuman kemenangan di perlihatkan oleh Mbak Lisa. Dia sepertinya sangat bahagia mendapat pembelaan dari Mamanya Mas Candra."Mas, kalau begitu aku pergi dulu! Maafkan aku, jika kehadiranku di kehidupanmu sempat mendatangkan derita!" ujarku. Aku langsung meraih tas yang tergeletak di atas sofa di samping tempat dudukku.Mbak Lisa dan Mamanya Mas Candra langsung saling pandang dan memberikan kode. Sepertinya mereka merasa menang karena aku akhirnya mengalah seperti itu."Jangan pergi dulu, Riana! Ini belum selesai. Mas sungguh-sungguh ingin menikahi kamu!" Mas Candra menarik tanganku agar kem
Belum berapa jauh mobil Mas Candra meninggalkan rumahku, lagi-lagi handphonenya berdering. Kali ini wajah Mas Candra berseri saat melihat layar handphonenya."Iya, Ma! Ini aku lagi di jalan menuju ke rumah Mama," ujar Mas Candra melalui sambungan telpon itu."Apa? Mama dan Papa sekarang ini lagi menuju ke rumahku? Udah berangkat dari tadi? Kok nggak ngasih kabar? Kemaren kan aku sudah bilang mau pulang ke rumah bawa seseorang," jawab Mas Candra lagi.Aku mendengar semua pembicaraan Mas Candra dengan Mamanya. Perasaanku langsung tidak enak. Kenapa Mama dan Papa Mas Candra memutuskan untuk datang ke sini? Padahal mereka sudah di beritahu Mas Candra bahwa hari ini kami akan menuju rumah mereka di kampung."Ya sudah, kalau begitu, aku tunggu Mama dan Papa di rumah!" jawab Mas Candra akhirnya.Saat Mas Candra menyimpan kembali hamdphonenya ke dalam saku celananya, aku langsung bertanya padanya."Ada apa, Mas?" tanyaku dengan heran."
Aku membiarkan begitu saja saat dering handphoneku memekakkan telinga. Sudah dari tadi Mas Candra mencoba menelponku. Rasanya aku tidak bisa lagi dekat dengan Mas Candra.Perkataan perempuan itu masih terngiang di telingaku. Aku tidak ingin menjadi perusak dalam hubungan orang lain. Lebih baik aku yang mundur. Walau hatiku sudah mulai bisa menerima kehadiran Mas Candra. Sudah mulai bisa merasakan getaran saat tatapan matanya bertemu denganku.Rasa cinta itu sebenarnya sudah datang di hatiku untuk Mas Candra. Tapi aku tidak ingin apa yang aku rasakan dulu, di rasakan juga oleh perempuan lain. Sakitnya di khianati oleh Mas Yoga masih membekas di hatiku. Tiap ingat Mas Yoga aku masih tetap menitikkan air mata. Cinta yang begitu ku agungkan ternyata memendam duri yang begitu tajam.Walaupun sekarang dia tengah menjalani hukuman atas perbuatannya, tetap saja luka di hatiku tak bisa hilang oleh perbuatannya.Karena tak ku gubris sedikitpun, ak
Pikiranku kalut, semua kata-kata yang di lontarkan perempuan itu seperti bom yang selalu meledakkan jantungku. Kenapa dia sampai tega memfitnahku seperti itu. Dia bilang akulah yang merusak hubungan pernikahan Mas Candra dengan adiknya, bahwa akulah yang menyebabkan adiknya meninggal.Apa yang sebenarnya Mas Candra lakukan pada mantan istrinya itu, hingga dia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Apa benar akulah yang menjadi biang rusuh dalam pernikahan mereka? Karena Mas Candra kecewa dengan lamarannya yang aku tolak dulu hingga membuatnya berlaku tidak adil pada istrinya sendiri?Tiba-tiba aku ingat Amira, dia adalah teman dari mantan istrinya Mas Candra. Aku ingin mencari tahu kebenarannya dari dia. Aku segera menghubungi Amira."Amira, apa kamu punya waktu untuk bertemu denganku?" Kuutarakan langsung niatku saat Amira menjawab panggilan telpon dariku."Kebetulan hari ini anak-anak di bawa neneknya, suamiku juga lagi kerja. Kamu mau ketemu di mana?" b
Aku menatap punggung Sakti dan temannya yang beranjak keluar dari pintu utama rumahku. Di tangan Sakti, dia membawa tas berisi uang 2M yang dia minta padaku. Sedangkan aku, memegang surat perjanjian yang sudah dia tanda tangani. Ada sedikit perasaan lega, sekaligus sedih. Lega karena mulai sekarang, Adam akan menjadi milikku. Dia akan menjadi putraku dalam segi hukum. Sakti tidak akan bisa lagi merampas dia dari diriku. Sedih, karena aku harus kehilangan uang dalam jumlah sebanyak itu. Mas Candra memandangi wajahku yang sedikit murung setelah kepergian mereka. "Apa sekarang kamu menyesal? Mas sudah memperingatkan kamu sebelumnya, sekarang semua uang itu sudah mereka bawa. Seandainya kamu mau menempuh jalur hukum, kemungkinan kamu bisa menang. Karena Sakti selama ini memang tidak mau bertanggung jawab pada Adam." "Aku hanya tidak mau berurusan dengan pengadilan, Mas! Proses hukum Mas Yoga saja, sudah membuatku lelah. Aku tidak ingin kembali bolak balik