“Memangnya kenapa?” Desi menatap lekat ke arah Wira, dia membeikan tatapan sinis kepada sang anak menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut anak lelakinya tersebut. “Bisa sajakan, soalnya aku adalah lelaki dewasa dan Riana adalah wanita dewasa juga.” Wira menjawab pelan dan menggaruk tengkuknya karena merasa gugup dan malu mengatakan hal tidak baik di depan Riana. “Apa kamu akan melakukannya?!”Desi menatap tajam kepada anaknya, sedangkan Riana terkejut mendengar perkataan Wira. “Tidak.” Wira menggelengkan kepalanya pelan. “Riana, apa kamu akan melakukannya dengan Wira?” Kali ini Desi beralih menatap Riana, yang dijawab wanita itu dengan anggukan kepala saja. “Nah, kalau begitu apa yang harus kutakutkan? Tapi Riana, bila kamu tidak yakin kalau tinggal hanya dengan Wira, kamu boleh mengunci pintu kamarmu dengan rapat. Siapa tahukan anak itu malah memasuki kamarmu saat malam hari,” Desi berkata hanya untuk menakuti Riana, sehingga membuat wajah wanita itu menjadi pucat. “tidak usa
Wira berlari menghampiri Riana yang masih terduduk di lantai sambil meringis kesakitan. “Kamu tidak papa, Riana?"“Hanya sedikit nyeri,” sahut Riana masih dengan meringis kesakitan. “Kamu bisa bangun?” Wira mengulurkan tangannya untuk membantu Riana. “Sepertinya masih bisa.” Riana menyambut uluran tangan Wira, walau bisa bangun tetap memerlukan bantuan untuk beranjak. “Siapa yang menaruh ember air pel di sini?!” Wira bertanya dengan berteriak, dia ingin tahu siapa yang ceroboh menaruh ember berisi air pel yang tumpah separuh sembarangan, sehingga membuat Riana terjatuh. Tidak ada orang yang menjawab karena sekarang sedang sepi di depan sini, membuat Wira menjadi semakin kesal karena tidak mengetahui siapa pelakunya. “Tidak usah seperti itu, lagian hanya sakit sedikit saja. Nanti kalau diurut sembuh kok,” ucap Riana berusaha menenangkan bosnya tersebut. “Kamu yakin tidak papa?” Wira bertanya sekedar memastikan. “Tidak papa. Hanya terpeleset sedikit tidak terlalu sakit kok, mungki
“Mm-maaf.” Wira langsung keluar setelah Riana mengusirnya. “Kamu tidak mengunci pintu, Ki?” Riana bertanya dengan wajah memerah, dia sangat malu karena punggungnya harus dilihat oleh Wira. Walau hanya punggung, tetapi kan Riana wanita berhijab dan Wira adalah seorang lelaki yang bukan suaminya, membuat dia sangat malu sekaligus marah lantaran lelaki tersebut tidak mengetuk pintu terlebih dahulu. Bukankah kalau ingin masuk ke ruangan atau tempat seseorang harus mengetuk pintu terlebih dahulu? “Aku lupa, Riana, maaf, ya,” ucap Kiki. Wanita itu memang lupa, karena dia baru pertama kali memasuki ruangan kerja Riana. “Sudah, tidak papa. Tapi kunci dulu pintu itu, nanti malah ada yang masuk lagi ke dalam sini!” perintah Riana, dengan sigap Kiki menuruti untuk mengunci pintu itu. Kiki sudah selesai menempelkan koyo seperti yang diarahkan oleh Riana, memang dia minta pasangkan sampai ke bagian atas punggungnya karena terasa nyeri sedikit bagian sana. “Iya. Terima kasih, Ki,” ucap Riana.
“Selain merayu, Bapak juga lihai dalam berbohong,” ucap Riana masih berusaha menyangkal perkataan Wira. “Berapa kali aku katakan, kalau aku bukanlah seperti yang kamu pikirkan. Apa aku harus bersujud di kakimu di depan banyak orang? Supaya kamu percaya dengan perkataanku, karena hanya kamu wanita yang mampu mengambil hatiku ini,” ucap Wira bersungguh-sungguh. Dia ingin memberikan bukti supaya Riana percaya kepadanya. “Tidak usah! Jangan seperti itu!” Riana tidak mau Wira melakukan itu di depan umum, bisa-bisa dialah yang dituduh mengguna-gunai CEO perusahaan besar, sehingga lelaki itu mau bersujud di depan orang banyak. “Soalnya kamu tidak mempercayai perkatanku, padahal aku berkata jujur dari hatiku yang terdalam,” ucap Wira dengan perasaan kecewa. “Aku masih berat percaya dengan perkataan lelaki. Anda tahu luka saya masih basahkan?” Riana memalingkan wajahnya, dia enggan untuk percaya perkataan lelaki untuk saat ini. “Kalau kamu sendiri tidak ingin mengobati luka itu, bagaimana
“Aku sangat curiga karena sering melihatmu mondar-mandir di sekitar ruangan ini dan sekarang aku malah melihatmu sedang mengintip di ruangan Pak Wira!” ucap Kiki merasa marah dengan tingkah Lia. “Stt, sini.” Lia menarik tangan Kiki untuk menjauh, dia membawanya ke ruangan sepi di mana tidak ada satu pun orang di sana. “Kamu tidak menjawabku, malah mengajakku kemari. Terlihat semakin mencurigakan.” Kiki bersedekap dada, dia menatap Lia dengan sorot mata tajam. Lia menyiapkan jawaban yang pas supaya Kiki tidak semakin mencurigainya, memang seharusnya dia menuruti saran dari Wulan saja supaya menunggu setengah bulan lagi, tetapi memang dasarnya dia bukan orang yang sabaran untuk menunggu dan juga Lia sangat penasaran sekali untuk apa Wulan menginginkan berkas milik Wira. Berkas berwarna map merah, bahkan Riana saja tidak tahu isi berkas tersebut jadi mustahil kalau Wulan pun tahu isinya, mantan sekertaris tersebut hanya melihat sekilas saja bahwa itu adalah berkas yang diinginkan saing
Wira yang melihat jari Riana berdarah, segera mengambil dan memasukan jari yang berdarah itu ke dalam mulutnya untuk membersihkan darah yang keluar dari jari telunjuk wanita itu. “Itu kotor, Wira, sebaiknya dibersihkan dengan air saja.” Riana memalingkan wajahnya yang bersemu merah seperti kepiting rebus, dia tidak akan menyangka lelaki yang ada di depannya memberikan respon yang tidak terduga saat dia terluka. “Ah, maaf! Aku refleks melakukannya.” Wira membasuh jari telunjuk Riana yang terluka di bawah guyuran air. Lelaki itu dengan sigap mendudukan Riana di kursi, lalu dia mengambil kotak obat yang selalu tersedia di ruang tengah untuk mengobat Riana, dia sangat bersyukur karena lukanya tidak dalam. Jadi bisa mengobatinya di rumah saja, tidak perlu pergi ke rumah sakit untuk mengobati luka Riana. “Terima kasih.” Riana menatap lukanya yang sudah selesai diobati dan dibungkus. “Tidak perlu berterima kasih, aku hanya sedikit membantu saja,” ucap Wira. “Aku akan kembali memasak, ka
"Bu, kami bukan seperti yang Ibu pikirkan. Kami bukan—" perkataan Riana terpotong oleh Ibu Iyem, tukang urut."Tidak usah malu, Neng. Ibu tahu kok, masa muda memang membara, jadi tidak usah memerah seperti itu wajahnya," Ibu Iyem tertawa keras melihat wajah Riana sekarang."Tapi, Bu!""Yasudah, kalau kamu malu tidak usah kita bahas lagi. Ini sudah selesai Ibu urutkan, jadi sekarang Ibu mau pamit pulang dulu, ya, minta antar suami kamu, takut ada yang nyariin di rumah." Ibu Iyem beranjak dari duduknya, dia berjalan ke arah pintu."Uangnya, Bu." Riana berlari mengejar Ibu Iyem yang hampir keluar dari kamar untuk nenyerahkan uang upah urut. "Terima kasih, ya, Neng." Ibu Iyem menerima uang yang Riana berikan."Aku juga terima kasih, ya, Bu," ucap Riana yang dibalas anggukan oleh Ibu Iyem.Riana tidak bisa keluar sekarang, karena dia hanya menggunakan sarung saja di dalam kamar ini. Jadi tidak mungkin mengantar Ibu Iyem ke depan, lantaran tubuhnya akan terlihat oleh Wira nantinya, dilihat
“Mungkin. Karena kamu pasti akan bahagia dengan wanita yang lain, tidak denganku. Apa lagi statusku yang adalah seorang janda, kita tidak bisa bersama,” Riana berkata dengan nada lirih. “Apa kamu yakin kalau aku akan bahagia dengan wanita lain? Dan akukan sudah bilang aku tidak pernah mempermasalahkan statusmu itu, walau pun kamu janda punya anak, aku tidak akan pernah mempermasalahkannya,” ucap Wira sedih. Dia merasa sedih ketulusan dirinya selalu diragukan oleh Riana, padahal perasaannya sangat tulus kepada wanita itu. “Em,” Riana hanya bergumam, dia tidak tahu harus menjawab apa. “Aku hanya bisa bahagia denganmu, Riana. Selama kamu menikah dengannya, beberapa wanita mencoba mendekatiku, tapi aku tidak bisa memiliki perasaan ke salah satu dari mereka, karena apa? Karena perasaanku sudah habis hanya untukmu, tidak bisa lagi aku serahkan kepada wanita lain!” “Kamu hanya tidak mencoba, jadi mana bisa memiliki perasaan kepada salah satu dari mereka?” ucap Riana mengembalikan perkataa