Siang ini, aku bisa bernapas lega saat menerima kabar dari Ayah jika kondisi Mama telah membaik dan penanganan rawat inap tak diperlukan."Sore nanti, Mama sudah diperbolehkan pulang," ucap Ayah ketika menelponku."Alhamdulillah," sahutku dengan hati tenang."Ya sudah, kamu juga jangan banyak pikiran, ya," ucap Ayah dari seberang sana."I-iya, Ayah." Aku yang sebenarnya sedang dalam kondisi terpuruk, merasa mendapat kekuatan baru setelah beberapa orang memberikan aku dukungan.Rasa hati, ingin sekali berbagi cerita dengan Resti. Namun, keinginan itu aku urungkan. Takut justru memperkeruh keadaan jika Resti sampai tahu kebenaran tentang diriku dan juga huru-hara yang sempat mengiringi.Baru beberapa detik panggilan dengan Ayah berakhir, ponselku berdering lagi.Nomor ponsel tak dikenal yang aku ketahui adalah milik Darren, memanggil.Mau apa dia?Aku berdecak sebal saat merasa dia seperti ingin menguji kesabaranku dengan tingkah lakunya yang kadang di luar nalar. Sungguh, jika boleh ak
Darren bangkit dari tempat duduknya saat langkah suami adikku semakin dekat. Ke arah kami yang duduk berdampingan, sebelum memulai makan siang yang telah dipersiapkan oleh Bik Minah."Selamat siang, Calon Adik Ipar. Mau gabung?" tanyanya tanpa beban. Tak lupa, sebuah senyum tipis dia torehkan.Aku benar-benar heran pada seorang lelaki seperti Darren ini, sudah jelas-jelas Galang datang dengan wajah tak bersahabat, bisa-bisanya dia menanggapinya sesantai ini."Aku sedang tidak ingin berbasa-basi denganmu, Bodoh!" ketus Galang dengan gigi bergemeletuk ketika sepasang matanya menatap tajam pada Darren yang masih saja menunjukkan raut wajah santai dan tanpa beban."Oke, kalau tidak mau berbasa-basi, kita mulai saja makan siangnya, ya," sahutnya datar sembari menjatuhkan lagi tubuhnya di kursi sampingku."Aku sedang tidak ingin bercanda, Bangsat!" Dengan mata menyala merah, Galang menarik kerah kaus lengan pendek yang dipakai oleh Darren siang ini. Membuat hatiku yang sebelumnya sudah cema
Sungguh! Baru kali ini aku melihat ada seorang adik yang bisa segila dan setega ini pada kakaknya. Dan sayangnya dia adalah … adikku sendiri.Aku membuka pintu kamar dengan lebar saat meyakini Lira masih berada di baliknya. Bukan ingin membicarakan tentang penjara atau hal lain, tapi ingin mencari tahu dengan siapa sebenarnya Lira berkomplot untuk menjebak kakaknya ini."Dengan siapa kamu bersekongkol selain bersama Darren, Lira?"Lira gelagapan saat mungkin menyadari pertanyaan yang kulontarkan jauh dari perkiraan."Ng-nggak ada, Mbak," balasnya terbata-bata. Membuatku semakin penasaran tentang siapa sesungguhnya manusia berhati jahat yang telah tega membuatku terjerembab ke dalam jurang kenistaan."Jawab jujur, Lira!"Lira terlihat semakin salah tingkah saat aku mendesaknya."M-maaf, Mbak. Aku harus pergi." Lira buru-buru bangkit dan menarik langkah dengan cepat menuju tangga saat mungkin mulai merasa terintimidasi."Hei! Kamu belum jawab pertanyaanku, Lira! Kenapa pergi hei!" teria
"Apa itu artinya … kamu lebih memilih bajingan ini, daripada aku, Indah?" Galang menatapku tak percaya sesaat setelah jarinya telunjuknya menunjuk ke arah Darren yang tampak sedang mati-matian menahan amarah.Aku terdiam kaku. Tak tahu harus mengiyakan atau membantah pertanyaan dari lelaki yang sempat dekat denganku dalam kurun waktu dua tahun tersebut."Katakan padaku, Indah. Benarkah kau justru telah jatuh cinta padanya? Lelaki kriminal cabul yang sudah menjebakmu, menghancurkan hidupmu, dan bahkan membuatmu mengandung, ha?" cecar Galang berapi-api saat sepasang matanya menyorot tajam padaku.Aku menggeleng cepat, karena tak tahu harus menanggapi bagaimana tuduhannya.Entah untuk alasan apa, kulihat Darren menatapku dengan tatapan sendu. Sementara Ayah, memilih diam saat beliau seperti tengah melimpahkan hak bicara pada Galang. Lelaki yang entah untuk alasan apa seperti wajib menjadi menantunya."Ingat, Indah. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah lepas tanggung jawab dari anak it
Darren benar-benar pergi setelah sukses meninggalkan empat orang yang tiba-tiba terjebak dalam suasana kalut melalui ancaman serius yang diberikan."Bisa-bisanya kau bersikap ramah dengan seorang bajingan licik sepertinya, Indah?!" Ayah yang sepertinya masih menyimpan dendam pada seorang Darren, beralih mengintimidasi diriku setelah kepergian lelaki itu.Tak ingin menanggapi atau berdebat dengan Ayah yang sepertinya sedang butuh pelampiasan untuk menyalurkan kemarahan, aku memilih menarik langkah menjauh. Cukup sudah, aku dijadikan tempat untuk meluahkan arogansi dan kemarahan. Aku lelah.Baru hendak menaiki tangga, permohonan mengenaskan dari seorang Lira memenuhi rongga pendengaran."Lira pikir, bukan ide yang buruk kalau Mbak Indah menikah dengan Darren, Yah," ucap Lira dengan ekspresi meyakinkan saat dirinya berlutut di depan Ayah yang masih terduduk kaku di sofa ruang tamu."Apa? Bagaimana bisa kau juga berpikir seperti itu, Lira?""Dia itu punya dukungan finansial yang sangat lu
"Jauh sekali pemikiranmu, Indah!" desis Galang tajam."Ya, karena aku memang berpikir jauh ke depan. Tidak berpikiran pendek sepertimu!"Kututup pintu dengan kuat. Perkara Galang bakal kaget atau jantungan dengan perlakuanku, itu bukan urusanku!***Seperti biasa, pagi ini aku kembali mengalami morning sickness seperti dua hari sebelumnya. Membuatku mendesah resah saat merasa kondisi ini tak cukup menguntungkan untukku yang ada jadwal kuliah hari ini."Tolong, jangan rewel lagi, ya. Mama ada kuliah hari ini. Kamu yang tenang, ya," ucapku lirih saat diriku mengusap perut ketikan tengah bersiap-siap menuju kampus.Aku tertegun sendiri.Mama? Aku menyebut diriku sebagai Mama untuknya?Ya Allah!Benarkah aku mulai berdamai dengan keadaan dan menerimanya sebagai takdirku?"Ma, Indah kuliah dulu." Aku berpamitan dengan penuh semangat pada Mama yang tengah duduk diam di ruang keluarga setelah melakukan sarapan."Kamu … yakin bisa kuliah hari ini?" tanya Mama sambil menatapku tak percaya."Iy
"Kamu jangan macam-macam, ya!" Aku setengah berteriak saat memberikan peringatan. Pada dia, lelaki yang sesuka hati memaksakan kehendak orang lain.Darren tetap menarik tanganku. Ya, lelaki egois ini memang sama sekali tak terpengaruh dengan kemarahan yang jelas-jelas aku tunjukkan."Masuk." Meski pelan, jelas sekali perintahnya kali ini tak mau dibantah. Lihat saja, bagaimana mata dan ekspresi wajahnya saat mengintimidasi diriku. Persis seperti penculik."Enggak." Aku yang memang ragu untuk ikut, berusaha menolak meski tak yakin penolakan yang aku lakukan ini bakal membuahkan hasil."Aku bilang, masuk!" Gigi Darren bergemeletuk saat mengulang lagi perintah sebelumnya yang tak aku indahkan."Enggak!" Kali ini aku menolak lebih keras. Jujur saja, aku memang takut dia berbuat nekat, dan benar-benar membawaku pergi dan kami ….Ah, bukankah menikah karena digrebek akan sangat memalukan?Aku terkejut bukan kepalang saat Darren tiba-tiba mengangkat tubuhku tanpa berbicara satu patah kata pu
"Habis ini … ke mana?" tanyaku dengan ekspresi malas begitu kami keluar dari mall besar yang baru saja kami sambangi."Kamu maunya ke mana? Langsung pulang atau … check in dulu?" Lagi-lagi, Darren tertarik menggoda meski jelas sekali sudah menahan kesal sedari tadi."Iih … nakal!"Darren tertawa lepas saat aku mencubit lengannya dengan perasaan campur aduk. Antara gemas dan kesal yang membaur menjadi satu.Eh, tunggu!Apakah dia terlalu menggemaskan? Bukankah dia seorang pemain cinta yang merangkap menjadi penjahat?Ah … kepalaku tiba-tiba terasa berat saat mengingat dengan orang seperti apa aku jalan sekarang."Sudah jam empat lebih, Mas. Please, antar aku pulang, ya.""Mas?" Darren menajamkan pendengarannya."Maaf, salah sebut lagi." Aku buru-buru meralat kembali panggilan yang tak seharusnya itu.Darren tergelak dan seperti terlihat puas saat ternyata, aku berkali-kali melakukan kesalahan dengan memanggil dirinya dengan sebutan 'Mas'."Mommy kamu lucu, Dek. Gengsian."Darren mengus