Sungguh! Baru kali ini aku melihat ada seorang adik yang bisa segila dan setega ini pada kakaknya. Dan sayangnya dia adalah … adikku sendiri.Aku membuka pintu kamar dengan lebar saat meyakini Lira masih berada di baliknya. Bukan ingin membicarakan tentang penjara atau hal lain, tapi ingin mencari tahu dengan siapa sebenarnya Lira berkomplot untuk menjebak kakaknya ini."Dengan siapa kamu bersekongkol selain bersama Darren, Lira?"Lira gelagapan saat mungkin menyadari pertanyaan yang kulontarkan jauh dari perkiraan."Ng-nggak ada, Mbak," balasnya terbata-bata. Membuatku semakin penasaran tentang siapa sesungguhnya manusia berhati jahat yang telah tega membuatku terjerembab ke dalam jurang kenistaan."Jawab jujur, Lira!"Lira terlihat semakin salah tingkah saat aku mendesaknya."M-maaf, Mbak. Aku harus pergi." Lira buru-buru bangkit dan menarik langkah dengan cepat menuju tangga saat mungkin mulai merasa terintimidasi."Hei! Kamu belum jawab pertanyaanku, Lira! Kenapa pergi hei!" teria
"Apa itu artinya … kamu lebih memilih bajingan ini, daripada aku, Indah?" Galang menatapku tak percaya sesaat setelah jarinya telunjuknya menunjuk ke arah Darren yang tampak sedang mati-matian menahan amarah.Aku terdiam kaku. Tak tahu harus mengiyakan atau membantah pertanyaan dari lelaki yang sempat dekat denganku dalam kurun waktu dua tahun tersebut."Katakan padaku, Indah. Benarkah kau justru telah jatuh cinta padanya? Lelaki kriminal cabul yang sudah menjebakmu, menghancurkan hidupmu, dan bahkan membuatmu mengandung, ha?" cecar Galang berapi-api saat sepasang matanya menyorot tajam padaku.Aku menggeleng cepat, karena tak tahu harus menanggapi bagaimana tuduhannya.Entah untuk alasan apa, kulihat Darren menatapku dengan tatapan sendu. Sementara Ayah, memilih diam saat beliau seperti tengah melimpahkan hak bicara pada Galang. Lelaki yang entah untuk alasan apa seperti wajib menjadi menantunya."Ingat, Indah. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah lepas tanggung jawab dari anak it
Darren benar-benar pergi setelah sukses meninggalkan empat orang yang tiba-tiba terjebak dalam suasana kalut melalui ancaman serius yang diberikan."Bisa-bisanya kau bersikap ramah dengan seorang bajingan licik sepertinya, Indah?!" Ayah yang sepertinya masih menyimpan dendam pada seorang Darren, beralih mengintimidasi diriku setelah kepergian lelaki itu.Tak ingin menanggapi atau berdebat dengan Ayah yang sepertinya sedang butuh pelampiasan untuk menyalurkan kemarahan, aku memilih menarik langkah menjauh. Cukup sudah, aku dijadikan tempat untuk meluahkan arogansi dan kemarahan. Aku lelah.Baru hendak menaiki tangga, permohonan mengenaskan dari seorang Lira memenuhi rongga pendengaran."Lira pikir, bukan ide yang buruk kalau Mbak Indah menikah dengan Darren, Yah," ucap Lira dengan ekspresi meyakinkan saat dirinya berlutut di depan Ayah yang masih terduduk kaku di sofa ruang tamu."Apa? Bagaimana bisa kau juga berpikir seperti itu, Lira?""Dia itu punya dukungan finansial yang sangat lu
"Jauh sekali pemikiranmu, Indah!" desis Galang tajam."Ya, karena aku memang berpikir jauh ke depan. Tidak berpikiran pendek sepertimu!"Kututup pintu dengan kuat. Perkara Galang bakal kaget atau jantungan dengan perlakuanku, itu bukan urusanku!***Seperti biasa, pagi ini aku kembali mengalami morning sickness seperti dua hari sebelumnya. Membuatku mendesah resah saat merasa kondisi ini tak cukup menguntungkan untukku yang ada jadwal kuliah hari ini."Tolong, jangan rewel lagi, ya. Mama ada kuliah hari ini. Kamu yang tenang, ya," ucapku lirih saat diriku mengusap perut ketikan tengah bersiap-siap menuju kampus.Aku tertegun sendiri.Mama? Aku menyebut diriku sebagai Mama untuknya?Ya Allah!Benarkah aku mulai berdamai dengan keadaan dan menerimanya sebagai takdirku?"Ma, Indah kuliah dulu." Aku berpamitan dengan penuh semangat pada Mama yang tengah duduk diam di ruang keluarga setelah melakukan sarapan."Kamu … yakin bisa kuliah hari ini?" tanya Mama sambil menatapku tak percaya."Iy
"Kamu jangan macam-macam, ya!" Aku setengah berteriak saat memberikan peringatan. Pada dia, lelaki yang sesuka hati memaksakan kehendak orang lain.Darren tetap menarik tanganku. Ya, lelaki egois ini memang sama sekali tak terpengaruh dengan kemarahan yang jelas-jelas aku tunjukkan."Masuk." Meski pelan, jelas sekali perintahnya kali ini tak mau dibantah. Lihat saja, bagaimana mata dan ekspresi wajahnya saat mengintimidasi diriku. Persis seperti penculik."Enggak." Aku yang memang ragu untuk ikut, berusaha menolak meski tak yakin penolakan yang aku lakukan ini bakal membuahkan hasil."Aku bilang, masuk!" Gigi Darren bergemeletuk saat mengulang lagi perintah sebelumnya yang tak aku indahkan."Enggak!" Kali ini aku menolak lebih keras. Jujur saja, aku memang takut dia berbuat nekat, dan benar-benar membawaku pergi dan kami ….Ah, bukankah menikah karena digrebek akan sangat memalukan?Aku terkejut bukan kepalang saat Darren tiba-tiba mengangkat tubuhku tanpa berbicara satu patah kata pu
"Habis ini … ke mana?" tanyaku dengan ekspresi malas begitu kami keluar dari mall besar yang baru saja kami sambangi."Kamu maunya ke mana? Langsung pulang atau … check in dulu?" Lagi-lagi, Darren tertarik menggoda meski jelas sekali sudah menahan kesal sedari tadi."Iih … nakal!"Darren tertawa lepas saat aku mencubit lengannya dengan perasaan campur aduk. Antara gemas dan kesal yang membaur menjadi satu.Eh, tunggu!Apakah dia terlalu menggemaskan? Bukankah dia seorang pemain cinta yang merangkap menjadi penjahat?Ah … kepalaku tiba-tiba terasa berat saat mengingat dengan orang seperti apa aku jalan sekarang."Sudah jam empat lebih, Mas. Please, antar aku pulang, ya.""Mas?" Darren menajamkan pendengarannya."Maaf, salah sebut lagi." Aku buru-buru meralat kembali panggilan yang tak seharusnya itu.Darren tergelak dan seperti terlihat puas saat ternyata, aku berkali-kali melakukan kesalahan dengan memanggil dirinya dengan sebutan 'Mas'."Mommy kamu lucu, Dek. Gengsian."Darren mengus
"Aku tidak mau jadi lebih gila jika terus berada di sini," ucapku pelan, pada Ayah yang terlihat menatapku dengan emosi penuh saat aku secara terang-terangan meminta lelaki yang Ayah benci, datang menjemput.Pria paruh baya yang masih berdiri kaku di ambang pintu, menatapku dengan wajah sengit dan dadanya yang terlihat naik turun.Tak ingin lagi peduli tentang bagaimana mereka menentang kepergianku, aku nekat menarik koper berukuran sedang yang di dalamnya cuma berisi beberapa potong baju, rok, dan jilbab milikku."Indah, tolong jangan pergi, Indah." Mama menahan tanganku sambil berurai air mata ketika aku mengayunkan langkah menuju pintu kamar.Aku tak peduli. Bersama hati yang remuk, kuhempaskan tangan Mama. Wanita berwajah teduh yang sayangnya tak bisa berlaku adil terhadap dua putrinya. Setidaknya, menurut pandanganku."Untuk apa Indah harus tetap di sini, Ma? Untuk kalian siksa secara fisik dan batin? Begitu?" tanyaku dengan perasaan berkecamuk saat merasa kedua orang tuaku meman
"Maaf. Bukan saya mau ingkar janji, Pak Sony. Tapi kalau sudah begini keadaannya, mana mungkin saya bisa tinggal diam."Ayah menatap sengit lelaki yang selalu terlihat tenang di segala kondisi."Indah sedang mengandung anak saya dan sudah kewajiban saya untuk—."Belum sempat Darren menyambung kata-kata, Ayah terlebih dahulu memotong ucapannya."Tutup mulutmu, Laki-laki Sampah! Aku tidak butuh kata-kata mutiara yang keluar dari mulut Buaya Darat! Karena apa? Karena lelaki sepertimu cuma pandai membual dan bermanis-manis muka, persis seperti sales barang abal-abal!"Kulihat tangan kanan Darren terkepal saat ayahku menghinanya dengan perumpamaan yang terdengar mencubit hati."Sudahi kebodohanmu, Indah! Cepat masuk kamar! Kalau pun bukan dengan Galang, Ayah pastikan akan ada laki-laki lain lebih pantas menjadi pendampingmu, tapi jelas bukan dengan Buaya darat satu ini!"Ayah maju beberapa langkah, lantas memaksaku melepaskan genggaman tangan Darren. Namun, sekuat mana Ayah memaksa, sekuat
"Dan kamu tahu, Indah. Pas pertama kali kita ketemu hari itu, aku benar-benar dibuat takjub melihat penampilan barunya yang … ditemani seorang wanita berjilbab di sampingnya," ucap Aluna, membuat otakku kembali merekam kejadian hari itu. Saat rasa cemburu dan prasangka buruk terus mendominasi ketika untuk pertama kali kami bertemu."Apa lagi waktu dia memperkenalkan kamu sebagai istrinya, jujur, aku ikut seneng liatnya, Ndah. Aku bersyukur banget waktu tahu dia udah bisa berdamai sama masa lalunya," tambahnya terdengar tulus.Aku tersenyum getir mendengar bagaimana dia mengungkapkan isi hatinya."Tapi Mbak Aluna tahu, sebenarnya dia … menjebak dan membuatku menikah dengannya karena aku—." Aku menggantung ucapan saat rasa sesak tiba-tiba menerjang ulu hati.Aluna menyorot mataku tajam. Seperti menuntutku memberikan jawaban."Karena aku sedikit memiliki kemiripan wajah dengan Mbak Aluna." Meski terasa berat, akhirnya, kata-kata itu meluncur juga dari bibirku.Aluna menatapku dengan tata
Aku memang sengaja menyemprotkan parfum khas wanita beraroma manis tapi kalem, sesaat setelah mengenakan pakaian yang sering disebut dengan istilah 'baju haram' ini.Untuk beberapa saat, aku dibuat tak berdaya ketika dia yang sepertinya telah dibakar gairah, terus mencumbu dan menyentuh lembut setiap inci tubuhku."Cantik banget, Sayang," ucapnya sambil menatapku dengan pandangan sayu, sebelum kami kembali terlibat lagi pada sebuah adegan mesra. Saat bibir kami saling bertaut.Seperti yang sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya, aku selalu saja tak punya cara untuk menghentikan aksi saat dia menjamah dan membuatku melayang dengan sentuhan-sentuhan yang begitu ampuh membuatku melayang.Untuk yang kesekian kalinya, selama pernikahan kami, aku dan Darren kembali merangkai malam dengan manisnya cinta yang saling tercurah di atas ranjang. Melakukan hubungan suami-istri secara halal sebagai upaya memuaskan batin dan mencari ketenangan."I love you, Mommy." Darren yang masih berbagi selimut
"Jadi … pernikahan Mas Arman otomatis batal?" tanyaku saat ikut merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh laki-laki yang selama ini terkenal kocak dan humoris itu."Ya … kemungkinan besar, sih begitu, Ndah." Terdengar Resti menghembuskan napas dengan kasar setelahnya."Kasihan. Padahal dia cowok yang baik dan nggak neko-neko," ujarku lirih."Iya. Pokoknya, doain aja, ya, Ndah, biar dia dapat pengganti yang lebih baik setelah ini." Terdengar ada pengharapan besar dari bagaimana sahabat baikku berucap."Aamiin."Begitu mengakhiri percakapan dengan Resti, aku dibuat sedikit gugup saat menyadari jika ternyata ada dua pasang mata yang menyaksikan obrolanku dengan Resti yang berlangsung belum lama ini."Mama? Lira?"Terlihat Lira menatap sendu saat mungkin telinganya juga bisa mendengar kabar lelaki yang dicintainya batal menikah. Sementara di sisi lain, Mama yang berdiri di samping putrinya, hanya tersenyum sinis mendengar kabar tidak mengenakkan dari Arman. Anak dari lelaki yang menja
Aku yang tengah duduk diam di sofa kamar setelah makan malam usai, dibuat kaget saat Resti tiba-tiba mengirimkan pesan."Gimana? Kamu udah baikan dan maafin dia?"Aku tak langsung membalas.Resti mengirim pesan lagi."Kalau semudah itu memaafkan, ya … pasti bakal bikin dia ketagihan buat main di belakang kamu, dong."Membaca pesan kedua itu, hatiku mendadak terasa panas dengan kepala yang terasa mengepulkan asap.Akhirnya, aku yang tak ingin memendam rasa penasaran itu sendirian, menelepon sahabat baikku dan lantas menceritakan tentang semua kejadian yang berlangsung sore tadi. Tentang kedatangan Aluna bersama suami dan anaknya. Juga tentang bagaimana mereka meyakinkan aku jika Darren tak memiliki hubungan apa pun dengan wanita 25 tahun berwajah teduh itu."Terus sekarang, suamimu ke mana? Kok kamu bebas banget nelpon aku dan bisa secara detail memerinci kejadian sore tadi?" tanya Resti setelah aku mengakhiri cerita."Dia sedang ada meeting penting sama klien, katanya sih, begitu," b
"Maaf, urusan aku di kantor masih banyak tadi, jadi baru sempat datang sekarang." Kudengar pria itu berbicara sambil menatap ke arah suamiku.Darren tersenyum ramah menanggapi."Nggak masalah, Bro. By the way, makasih udah mau menyempatkan waktu datang ke sini."Pria berjambang tipis yang tak juga melepas pegangan tangan anak laki-laki Aluna, terlihat mengangguk pelan sambil tersenyum. Sementara Aluna yang berdiri di sampingnya, tampak menunjukkan sorot mata bahagia entah untuk alasan apa.Apakah dia bahagia karena bisa berjumpa lagi dengan suamiku? Mantan kekasihnya?Aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, terdiam mematung menatap para tamu yang masih membuatku tak mengerti dengan maksud kedatangan mereka.Benarkah pria ini memang suami Aluna? Bukan orang suruhan suamiku yang diwajibkan mengaku sebagai suami mantan kekasihnya?"Oh iya, silakan masuk."Tamu-tamu itu mengangguk ramah dan lantas melangkahkan kaki memasuki ruang tamu."Oh iya, sampai lupa. Kenalin ini Indah, istriku
Begitu membuka pintu, terlihat sosok lelaki yang kuakui memiliki paras tampan dengan pakaian kasual yang melekat di badan, tersembul di sana.Dan seketika itu pula, terlihat suamiku memalingkan wajahnya sebentar dengan senyum yang terlihat memudar.Hei! Benarkah dia memang mengharapkan orang lain yang bertandang siang menjelang sore kali ini? Kenapa terlihat kecewa begitu?"Siang, Calon Kakak Ipar." Dengan gayanya yang entah kenapa terlihat menjengkelkan, Fabian menorehkan sebuah senyuman sebelum mengangguk sebentar. Menunjukkan sikap yang terkesan ramah pada suamiku, yang disebut sebagai calon iparnya."Siang." Jelas sekali suamiku membalas kaku sapaan itu. Mungkin hatinya masih berkecamuk saat menyadari jika tamu yang datang tak sesuai dengan apa yang diharapkan."Apa Lira ada di rumah?""Ya, ada. Silakan masuk." Nada bicaranya masih sama seperti sebelumnya. Kaku.Apa dia benar-benar berharap kalau memang Aluna yang datang? Jika iya, kenapa harus ke sini? Tempat ini?Mungkinkah suam
Aku terdiam kaku. Tak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan itu. Ya, harus aku akui, luka dan rasa sakit itu tak akan mungkin cepat sirna meski aku sudah berusaha sekuat tenaga menguburnya dalam-dalam."Bahkan, seandainya kematianku yang kamu inginkan untuk menebus rasa bersalah dan membuktikan rasa cintaku padamu, aku siap, Indah." Aku menepuk pundaknya pelan. Merasa apa yang diucapkannya terlalu mengada-ada."Bisa nggak, sih, kamu ngomongnya jangan ngelantur begitu? Memangnya kamu pikir aku siap membesarkan anak ini seorang diri?" tanyaku saat rasa pilu di hati tiba-tiba menelusup masuk tanpa permisi. Ya, meskipun awalnya benci, nyatanya dia telah menambatkan jauh hatiku padanya. "Kamu … bisa menikah lagi dengan orang lain yang jauh lebih baik dariku, Arman misalnya."Aku merasakan kepalaku mendadak berasap saat mendengar ucapannya yang semakin melantur tak jelas."Hentikan omong kosong ini! Istirahatlah, badanmu masih terlalu lemah."Darren mengangguk pelan lantas kembali meme
"Mas … kamu …." Suaraku lirih. Hampir tak terdengar ketika tangan kananku yang belum lama ini memastikan kondisinya, belum terangkat dari sana."Aku baik-baik saja, Indah," jawabnya pelan dengan mata setengah terpejam.Aku merutuk dalam hati. Bukannya dia jago beladiri? Kenapa baru tidur di lantai semalam saja sudah langsung KO seperti ini?"Mas … ayo." Aku menarik tangannya. Tak mau kondisinya jadi lebih parah jika tetap membiarkannya dalam posisi seperti ini. Tidur di atas lantai granit tanpa alas dan juga tanpa bantal. Seperti apa yang menjadi pintaku sebelumnya.Dia bergeming."Ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit yang kamu alami akibat perbuatanku waktu itu, Indah," ucapnya di sela-sela rintihan yang masih terdengar. Kulihat bibirnya bergetar dengan tangan yang terus menggigil kedinginan."Sudahlah jangan bawel, ayo, masuk kamar sekarang." Aku yang tak ingin berdebat, setengah memaksa saat memintanya bangun.Akhirnya dia menurut juga. Meski terlihat sedik
Untuk sesaat terlihat Resti menatapku dengan pandangan miris sebelum kedua matanya terfokus lagi ke arah jalan di depan kami.Tak ada perbincangan apa pun setelahnya. Kami sama-sama diam dengan jalan pikiran masing-masing.***Sampai di rumah, aku yang tahu Darren mengekor mobil Resti sejak keluar dari area restoran tadi, buru-buru menarik langkah menuju kamar. Tak ingin peduli tentang bagaimana seluruh anggota keluarga melihat ketidakharmonisan pernikahanku dan suamiku yang baru seumur jagung.Aku merasa cukup beruntung saat berhasil mengunci pintu kamar sebelum dia berhasil mengejarku."Indah … tolong dengarkan penjelasan aku dulu, Ndah." Seolah mengesampingkan rasa malu di hadapan kedua mertua dan adik iparnya, Darren mengetuk-ngetuk pintu kamar sambil memohon.Aku yang masih kesal, mencoba abai dan tak peduli padanya yang pasti akan memberikan sejuta alasan andaikan aku melunakkan hatiku sedikit saja.Tidak! Cukup sudah aku berbaik hati dan menaruh pikiran positif padanya yang ter