Darren benar-benar pergi setelah sukses meninggalkan empat orang yang tiba-tiba terjebak dalam suasana kalut melalui ancaman serius yang diberikan."Bisa-bisanya kau bersikap ramah dengan seorang bajingan licik sepertinya, Indah?!" Ayah yang sepertinya masih menyimpan dendam pada seorang Darren, beralih mengintimidasi diriku setelah kepergian lelaki itu.Tak ingin menanggapi atau berdebat dengan Ayah yang sepertinya sedang butuh pelampiasan untuk menyalurkan kemarahan, aku memilih menarik langkah menjauh. Cukup sudah, aku dijadikan tempat untuk meluahkan arogansi dan kemarahan. Aku lelah.Baru hendak menaiki tangga, permohonan mengenaskan dari seorang Lira memenuhi rongga pendengaran."Lira pikir, bukan ide yang buruk kalau Mbak Indah menikah dengan Darren, Yah," ucap Lira dengan ekspresi meyakinkan saat dirinya berlutut di depan Ayah yang masih terduduk kaku di sofa ruang tamu."Apa? Bagaimana bisa kau juga berpikir seperti itu, Lira?""Dia itu punya dukungan finansial yang sangat lu
"Jauh sekali pemikiranmu, Indah!" desis Galang tajam."Ya, karena aku memang berpikir jauh ke depan. Tidak berpikiran pendek sepertimu!"Kututup pintu dengan kuat. Perkara Galang bakal kaget atau jantungan dengan perlakuanku, itu bukan urusanku!***Seperti biasa, pagi ini aku kembali mengalami morning sickness seperti dua hari sebelumnya. Membuatku mendesah resah saat merasa kondisi ini tak cukup menguntungkan untukku yang ada jadwal kuliah hari ini."Tolong, jangan rewel lagi, ya. Mama ada kuliah hari ini. Kamu yang tenang, ya," ucapku lirih saat diriku mengusap perut ketikan tengah bersiap-siap menuju kampus.Aku tertegun sendiri.Mama? Aku menyebut diriku sebagai Mama untuknya?Ya Allah!Benarkah aku mulai berdamai dengan keadaan dan menerimanya sebagai takdirku?"Ma, Indah kuliah dulu." Aku berpamitan dengan penuh semangat pada Mama yang tengah duduk diam di ruang keluarga setelah melakukan sarapan."Kamu … yakin bisa kuliah hari ini?" tanya Mama sambil menatapku tak percaya."Iy
"Kamu jangan macam-macam, ya!" Aku setengah berteriak saat memberikan peringatan. Pada dia, lelaki yang sesuka hati memaksakan kehendak orang lain.Darren tetap menarik tanganku. Ya, lelaki egois ini memang sama sekali tak terpengaruh dengan kemarahan yang jelas-jelas aku tunjukkan."Masuk." Meski pelan, jelas sekali perintahnya kali ini tak mau dibantah. Lihat saja, bagaimana mata dan ekspresi wajahnya saat mengintimidasi diriku. Persis seperti penculik."Enggak." Aku yang memang ragu untuk ikut, berusaha menolak meski tak yakin penolakan yang aku lakukan ini bakal membuahkan hasil."Aku bilang, masuk!" Gigi Darren bergemeletuk saat mengulang lagi perintah sebelumnya yang tak aku indahkan."Enggak!" Kali ini aku menolak lebih keras. Jujur saja, aku memang takut dia berbuat nekat, dan benar-benar membawaku pergi dan kami ….Ah, bukankah menikah karena digrebek akan sangat memalukan?Aku terkejut bukan kepalang saat Darren tiba-tiba mengangkat tubuhku tanpa berbicara satu patah kata pu
"Habis ini … ke mana?" tanyaku dengan ekspresi malas begitu kami keluar dari mall besar yang baru saja kami sambangi."Kamu maunya ke mana? Langsung pulang atau … check in dulu?" Lagi-lagi, Darren tertarik menggoda meski jelas sekali sudah menahan kesal sedari tadi."Iih … nakal!"Darren tertawa lepas saat aku mencubit lengannya dengan perasaan campur aduk. Antara gemas dan kesal yang membaur menjadi satu.Eh, tunggu!Apakah dia terlalu menggemaskan? Bukankah dia seorang pemain cinta yang merangkap menjadi penjahat?Ah … kepalaku tiba-tiba terasa berat saat mengingat dengan orang seperti apa aku jalan sekarang."Sudah jam empat lebih, Mas. Please, antar aku pulang, ya.""Mas?" Darren menajamkan pendengarannya."Maaf, salah sebut lagi." Aku buru-buru meralat kembali panggilan yang tak seharusnya itu.Darren tergelak dan seperti terlihat puas saat ternyata, aku berkali-kali melakukan kesalahan dengan memanggil dirinya dengan sebutan 'Mas'."Mommy kamu lucu, Dek. Gengsian."Darren mengus
"Aku tidak mau jadi lebih gila jika terus berada di sini," ucapku pelan, pada Ayah yang terlihat menatapku dengan emosi penuh saat aku secara terang-terangan meminta lelaki yang Ayah benci, datang menjemput.Pria paruh baya yang masih berdiri kaku di ambang pintu, menatapku dengan wajah sengit dan dadanya yang terlihat naik turun.Tak ingin lagi peduli tentang bagaimana mereka menentang kepergianku, aku nekat menarik koper berukuran sedang yang di dalamnya cuma berisi beberapa potong baju, rok, dan jilbab milikku."Indah, tolong jangan pergi, Indah." Mama menahan tanganku sambil berurai air mata ketika aku mengayunkan langkah menuju pintu kamar.Aku tak peduli. Bersama hati yang remuk, kuhempaskan tangan Mama. Wanita berwajah teduh yang sayangnya tak bisa berlaku adil terhadap dua putrinya. Setidaknya, menurut pandanganku."Untuk apa Indah harus tetap di sini, Ma? Untuk kalian siksa secara fisik dan batin? Begitu?" tanyaku dengan perasaan berkecamuk saat merasa kedua orang tuaku meman
"Maaf. Bukan saya mau ingkar janji, Pak Sony. Tapi kalau sudah begini keadaannya, mana mungkin saya bisa tinggal diam."Ayah menatap sengit lelaki yang selalu terlihat tenang di segala kondisi."Indah sedang mengandung anak saya dan sudah kewajiban saya untuk—."Belum sempat Darren menyambung kata-kata, Ayah terlebih dahulu memotong ucapannya."Tutup mulutmu, Laki-laki Sampah! Aku tidak butuh kata-kata mutiara yang keluar dari mulut Buaya Darat! Karena apa? Karena lelaki sepertimu cuma pandai membual dan bermanis-manis muka, persis seperti sales barang abal-abal!"Kulihat tangan kanan Darren terkepal saat ayahku menghinanya dengan perumpamaan yang terdengar mencubit hati."Sudahi kebodohanmu, Indah! Cepat masuk kamar! Kalau pun bukan dengan Galang, Ayah pastikan akan ada laki-laki lain lebih pantas menjadi pendampingmu, tapi jelas bukan dengan Buaya darat satu ini!"Ayah maju beberapa langkah, lantas memaksaku melepaskan genggaman tangan Darren. Namun, sekuat mana Ayah memaksa, sekuat
Aku keluar rumah hanya dengan baju yang melekat di badan, serta tas selempang kecil berisi ponsel dan dompet.Sungguh, pengalaman menegangkan seperti ini tak pernah terbersit dalam benak bakal terjadi di hidupku."Udah dapat rumahnya?" tanya Darren begitu dirinya duduk di jok belakang—di sampingku, setelah memastikan aku masuk lebih dulu."Udah. Alia nungguin kita di sana," balas Mas Danar sembari menghidupkan mesin mobil.Darren mengangguk-angguk. Ekspresi lega terpancar jelas dari wajahnya.Eh. Tunggu!Bukankah tadi Mas Danar menyebut nama Alia?Dadaku mendadak berdebar hebat dengan telapak tangan yang terasa berkeringat. Ya, gadis berusia sebaya denganku itu bahkan selalu menolak bertemu pasca kejadian naas hari itu. Namun, sekarang?Ah, ada hubungan apa sebenarnya kakak beradik itu dengan semua ini? Apakah Mas Danar juga ikut andil dalam penjebakan hari itu?Dalam diam, hatiku terus menerka-nerka. Pandangan aneh Darren yang terpantul dari kaca spion saat menatapku tak kupedulikan.
"Kamu …. nggak tidur di sini juga, kan?" tanyaku ragu-ragu saat menyadari dia tak juga keluar kamar pasca memastikan aku tahu kamarku di mana.Darren tertawa lepas mendengar pertanyaan yang mungkin terdengar konyol untuknya."Kamu maunya gimana? Kalau kamu mau, ya udah, aku temenin kamu tidur di sini, ya, malam ini," ucapnya dengan tatapan manja menggoda.Aku menggeleng tegas."Belum boleh," balasku cepat.Darren menatapku tanpa kata saat aku menunjukkan tampang serius."Cantik," ucapnya. Jelas, singkat, dan padat, tapi mengena.Hatiku kembali menghangat saat untuk pertama kali mendapat pujian dari lelaki yang seharusnya aku benci ini."Ucapan playboy memang selalu terdengar manis, tapi sayang, tidak bisa dipercaya," balasku dengan nada galak."Tapi, 'kan … kerjanya nyata. Sudah ada hasilnya lagi." Darren terkekeh geli saat menatap perutku.Menyebalkan!"Iih … apaan, sih!""Yuk lah lanjut makan lagi, di sini banyak setannya," ucap Darren ketika sepasang matanya menatap ranjang berukur