"Jadi … pernikahan Mas Arman otomatis batal?" tanyaku saat ikut merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh laki-laki yang selama ini terkenal kocak dan humoris itu."Ya … kemungkinan besar, sih begitu, Ndah." Terdengar Resti menghembuskan napas dengan kasar setelahnya."Kasihan. Padahal dia cowok yang baik dan nggak neko-neko," ujarku lirih."Iya. Pokoknya, doain aja, ya, Ndah, biar dia dapat pengganti yang lebih baik setelah ini." Terdengar ada pengharapan besar dari bagaimana sahabat baikku berucap."Aamiin."Begitu mengakhiri percakapan dengan Resti, aku dibuat sedikit gugup saat menyadari jika ternyata ada dua pasang mata yang menyaksikan obrolanku dengan Resti yang berlangsung belum lama ini."Mama? Lira?"Terlihat Lira menatap sendu saat mungkin telinganya juga bisa mendengar kabar lelaki yang dicintainya batal menikah. Sementara di sisi lain, Mama yang berdiri di samping putrinya, hanya tersenyum sinis mendengar kabar tidak mengenakkan dari Arman. Anak dari lelaki yang menja
Aku memang sengaja menyemprotkan parfum khas wanita beraroma manis tapi kalem, sesaat setelah mengenakan pakaian yang sering disebut dengan istilah 'baju haram' ini.Untuk beberapa saat, aku dibuat tak berdaya ketika dia yang sepertinya telah dibakar gairah, terus mencumbu dan menyentuh lembut setiap inci tubuhku."Cantik banget, Sayang," ucapnya sambil menatapku dengan pandangan sayu, sebelum kami kembali terlibat lagi pada sebuah adegan mesra. Saat bibir kami saling bertaut.Seperti yang sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya, aku selalu saja tak punya cara untuk menghentikan aksi saat dia menjamah dan membuatku melayang dengan sentuhan-sentuhan yang begitu ampuh membuatku melayang.Untuk yang kesekian kalinya, selama pernikahan kami, aku dan Darren kembali merangkai malam dengan manisnya cinta yang saling tercurah di atas ranjang. Melakukan hubungan suami-istri secara halal sebagai upaya memuaskan batin dan mencari ketenangan."I love you, Mommy." Darren yang masih berbagi selimut
"Dan kamu tahu, Indah. Pas pertama kali kita ketemu hari itu, aku benar-benar dibuat takjub melihat penampilan barunya yang … ditemani seorang wanita berjilbab di sampingnya," ucap Aluna, membuat otakku kembali merekam kejadian hari itu. Saat rasa cemburu dan prasangka buruk terus mendominasi ketika untuk pertama kali kami bertemu."Apa lagi waktu dia memperkenalkan kamu sebagai istrinya, jujur, aku ikut seneng liatnya, Ndah. Aku bersyukur banget waktu tahu dia udah bisa berdamai sama masa lalunya," tambahnya terdengar tulus.Aku tersenyum getir mendengar bagaimana dia mengungkapkan isi hatinya."Tapi Mbak Aluna tahu, sebenarnya dia … menjebak dan membuatku menikah dengannya karena aku—." Aku menggantung ucapan saat rasa sesak tiba-tiba menerjang ulu hati.Aluna menyorot mataku tajam. Seperti menuntutku memberikan jawaban."Karena aku sedikit memiliki kemiripan wajah dengan Mbak Aluna." Meski terasa berat, akhirnya, kata-kata itu meluncur juga dari bibirku.Aluna menatapku dengan tata
"Selamat, pengantin baru, Say ….""Selamat, ya, semoga samawa dan cepat dapat baby.""Happy wedding, Bebs."Ucapan selamat, terus berdatangan, membuat adik yang tengah bersanding dengan pasangannya di atas pelaminan, tak berhenti menorehkan senyum.Di sini, aku yang bahkan seolah tak lagi dianggap seperti keluarga, hanya bisa menatap mereka—yang tengah larut dalam euforia bahagia—dari kejauhan, dengan hati pilu.Semoga berbahagia, Lira. Semoga berbahagia. Hatiku terus berbisik, mencoba ikhlas menerima kenyataan dan bisa memberikan doa terbaik untuk adik yang amat kusayangi.Aku yang hari ini memakai gamis berwarna hijau tosca dan kerudung warna senada, buru-buru membuang muka saat menyadari sepasang mata pengantin pria yang berdiri di samping adikku, menatap nanar ke arahku yang duduk di kursi tamu undangan.Aku tahu, pasti dia sedang kecewa padaku.Ya Allah. Andaikan dia mau mendengarkan penjelasan yang kuberikan, sudah barang tentu, aku yang berdiri di sana mendampinginya. Namun, di
Aku memang kotor, tapi aku bukan pelacur. Sungguh, aku tak senista itu.Semua itu terjadi di luar kendaliku. Aku bahkan tak tahu bagaimana aku bisa berada di kamar hotel yang sama dengan lelaki yang baru pertama kali aku jumpai. Dan yang lebih tragis … aku dan dia telah melakukan sesuatu yang .....Argh …!Aku merasakan kepalaku seperti berputar jika mengingat lagi tentang peristiwa memilukan yang terjadi hampir dua minggu yang lalu. Peristiwa pahit yang tak seharusnya menjadi penghalang aku menikah bersama lelaki yang kucintai. Peristiwa pahit yang membuatku menjadi pendosa bukan atas dasar keinginanku sendiri."Aku kotor. Tapi aku bukan pelacur." Dengan dada yang kian terasa sesak aku kembali tergugu saat merasakan duniaku seakan telah kehilangan seri sejak kesalahpahaman terjadi hari itu.Entah sampai berapa lama, waktuku kuhabiskan untuk menangisi nasib si*l yang menimpa diriku, hampir dua minggu menjelang hari pernikahanku hari itu."Non Indah. Non!"Aku yang masih tergugu di la
"Kamu berhutang penjelasan padaku, Bajingan!" desisku tajam.Membuat dia, lelaki yang telah merenggut apa yang paling berharga dalam diri seorang Indah, membalikkan badannya dengan pelan.Sepasang matanya menyipit ketika menatapku. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat olehku, kedua mata coklat miliknya berbinar tanpa alasan pasti."Oh …? Hei! Kamu, 'kan …." Dia mengayunkan telunjuk kanannya, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu saat menyadari jika yang menahan langkahnya adalah aku. "In … Indah Putri Nuraida, 'kan, ya? Betul, 'kan?" Tanpa rasa berdosa, lelaki yang telah berhasil memberikan gelar kehinaan untukku sejak dua minggu yang lalu, terlihat begitu santai ketika sepasang mata kami beradu."Aku sedang tidak ingin berbasa-basi, Tuan, cepat, katakan padaku! Siapa dalang di balik semua itu. Cepat katakan!" Aku setengah berteriak saat emosi dalam dada semakin meluap."Ssst! Pelankan suaramu, Sayang. Ini restoran, bukan hotel tempat kita mengukir kenangan seperti hari itu. Jadi ke
"Jangan bercanda, Res. Alia, tuh teman baik aku dari SMA, jadi nggak mungkin dia tega ngelakuin itu sama aku." Dengan penuh keyakinan, aku mencoba menyangkal tuduhan Resti yang rasanya sedikit berlebihan ketika menganggap Alia juga turut terlibat dalam kejadian tak masuk akal yang menimpaku hari itu.Sungguh, Alia yang kukenal adalah sosok yang lemah lembut dan begitu perhatian padaku. Jadi jelas aku tak ingin buru-buru menaruh prasangka padanya.Resti menggelengkan kepala lantas menarikku untuk duduk di bangku panjang yang berada di depan arena taman bermain, yang letaknya berdekatan dengan gerai donat kesukaan adiknya. Maura. "Coba, deh, dipikir lagi. Aneh nggak, dia yang nyuruh kamu datang ke restoran sepupunya, tapi dia sendiri malah nggak datang dengan berbagai alasan," ucap Resti lantas mendengkus kecil. Seperti masih tertarik menjadikan Alia salah satu tersangka pelaku kejahatan.Mendengar argumen Resti, aku merasakan kepalaku berputar kembali.Jujur, selama ini aku memang men
Melihat keromantisan antara Galang dan Lira—yang menurutku memang sedikit keterlaluan, memancing Ayah untuk berdeham. Membuat adik yang sedang dalam gendongan suaminya, menggerutu kecil. Entah mengucapkan apa.Ah, Lira, kenapa kau seperti sengaja menyiram air garam pada luka kakakmu yang belum sepenuhnya kering?"Biarin aja kenapa, Yah, namanya juga pengantin baru," ujar Mama pelan, ketika melihat suaminya menggelengkan kepala.Sesaat setelah memfokuskan perhatian pada anak keduanya, Ayah dan Mama lantas mengalihkan pandangan padaku yang masih duduk diam di depan meja makan."Kalau masih ingin dianggap anak olehku, jangan pernah lagi macam-macam dan membuat malu keluarga ini, Indah," ucap Ayah, memperingatkan dengan suara lantang saat menatapku. Napasnya terlihat tak beraturan ketika untuk sekian kalinya memberikan peringatan yang sama padaku."I-iya, Ayah," balasku sambil menahan sesak.Meski mungkin sudah terlambat, tapi aku janji, Ayah, akan kubuktikan jika anak sulungmu ini tak se