"Selamat, pengantin baru, Say …."
"Selamat, ya, semoga samawa dan cepat dapat baby.""Happy wedding, Bebs."Ucapan selamat, terus berdatangan, membuat adik yang tengah bersanding dengan pasangannya di atas pelaminan, tak berhenti menorehkan senyum.Di sini, aku yang bahkan seolah tak lagi dianggap seperti keluarga, hanya bisa menatap mereka—yang tengah larut dalam euforia bahagia—dari kejauhan, dengan hati pilu.Semoga berbahagia, Lira. Semoga berbahagia. Hatiku terus berbisik, mencoba ikhlas menerima kenyataan dan bisa memberikan doa terbaik untuk adik yang amat kusayangi.Aku yang hari ini memakai gamis berwarna hijau tosca dan kerudung warna senada, buru-buru membuang muka saat menyadari sepasang mata pengantin pria yang berdiri di samping adikku, menatap nanar ke arahku yang duduk di kursi tamu undangan.Aku tahu, pasti dia sedang kecewa padaku.Ya Allah. Andaikan dia mau mendengarkan penjelasan yang kuberikan, sudah barang tentu, aku yang berdiri di sana mendampinginya. Namun, dia lebih memilih percaya dengan apa yang dilihat tanpa mau ambil tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia tak mau tahu bagaimana aku bisa terjebak sekamar dengan seorang lelaki di kamar hotel.Ya Allah.Nasi sudah menjadi bubur.Mungkin benar adanya, cinta memang kadang tak harus memiliki.***"Mas …."Ada yang terasa nyeri dalam dada saat malamnya, aku yang turut serta bercengkrama di ruang keluarga, melihat Lira bergelayut manja di bahu Mas Galang usai dibuat penat dengan acara resepsi yang melelahkan."Iya, Sayang?"Mas Galang. Ah, maksudnya … Galang yang kini resmi berstatus sebagai ipar, tampak nyaman-nyaman saja ketika adikku seperti ingin menampilkan kemesraan di hadapan anggota keluarga yang lain malam ini."Aku capek, gak bisa apa, kita istirahat di kamar aja?" tanya adikku masih dengan suara manja saat sepasang mata indahnya menatap wajah sang suami.Om Ferdy—adik Mama yang selama ini menetap di Kalimantan, dan malam ini menginap bersama anak dan istrinya di sini, buru-buru menyeletuk."Yakin, ke kamar mau istirahat? Kayaknya … bukan istirahat, deh, tapi mencari kesibukan lain," ujar Om Ferdy, membuat Lira tertunduk malu-malu. Sementara Mas Galang. Ah, maksudku … Galang, tampak tersenyum kikuk mendengar ledekan Om Ferdy barusan."Ya sudah, sana kalau mau istirahat," ujar Ayah pada anak dan menantunya. Membuat suami adikku, mengangguk kikuk sambil menampilkan senyum canggung."Tapi aku capek, Mas, males jalan," ucap Lira masih mempertahankan nada manja saat menatap dalam lelaki yang sedianya menjadi kakak ipar, tapi justru kini menjadi suaminya. Ah, kenapa mengingat itu hatiku jadi perih lagi?"Terus, kamu maunya apa?" tanya Galang saat menatap Lira—gadis 19 tahun yang nyatanya mungkin berjodoh dengan lelaki yang dua bulan lalu melamarku."Maunya digendong," ucap Lira sambil menunjukkan tampang imut."Malu, lah." Tampak Galang sedikit keberatan dengan permintaan adikku yang cukup menggelikan."Wajarlah, kita kan pengantin baru, Mbak Indah aja yang belum nikah udah berani check in di hotel," balas Lira tak terduga.Deg!Lira ingin membahas lagi tentang hal itu?Mendengar ocehan Lira, Om Ferdy yang rasanya memang tak tahu kabar itu sebelumnya, sontak membelalakkan mata."Benar begitu, Ndah?" Om Ferdy yang sedari dulu selalu dekat dengan keponakan-keponakannya, seperti ingin menginterogasi diriku.Aku tertunduk. Tak tahu harus memberikan pembelaan bagaimana. Karena rasanya, tak akan ada yang percaya."Om kecewa sama kamu, Ndah. Tadinya … Om sangat menyayangkan saat Lira melangkahimu, tapi setelah tau tentang kenyataan ini, rasanya … itu bukan hal yang pantas untuk dikhawatirkan," ujar Om Ferdy membuat hatiku teriris lagi."Mau telat nikah atau tidak, mungkin bukan hal yang memusingkan untukmu, bukan?" sindir Om Ferdy. "Karena hal 'itu' bukan lagi sesuatu yang baru untukmu."Astaghfirullah!Aku bukan pelacur, Om.Aku yang menyesal karena memutuskan untuk tetap bergabung bersama keluarga yang sebelumnya seperti begitu ingin membuangku, buru-buru bangkit dan berlari menuju kamar.Dipandang rendah keluarga sendiri, ternyata rasanya sesakit ini.Sesak ya Allah.Aku memang kotor, tapi aku bukan pelacur. Sungguh, aku tak senista itu.Semua itu terjadi di luar kendaliku. Aku bahkan tak tahu bagaimana aku bisa berada di kamar hotel yang sama dengan lelaki yang baru pertama kali aku jumpai. Dan yang lebih tragis … aku dan dia telah melakukan sesuatu yang .....Argh …!Aku merasakan kepalaku seperti berputar jika mengingat lagi tentang peristiwa memilukan yang terjadi hampir dua minggu yang lalu. Peristiwa pahit yang tak seharusnya menjadi penghalang aku menikah bersama lelaki yang kucintai. Peristiwa pahit yang membuatku menjadi pendosa bukan atas dasar keinginanku sendiri."Aku kotor. Tapi aku bukan pelacur." Dengan dada yang kian terasa sesak aku kembali tergugu saat merasakan duniaku seakan telah kehilangan seri sejak kesalahpahaman terjadi hari itu.Entah sampai berapa lama, waktuku kuhabiskan untuk menangisi nasib si*l yang menimpa diriku, hampir dua minggu menjelang hari pernikahanku hari itu."Non Indah. Non!"Aku yang masih tergugu di la
"Kamu berhutang penjelasan padaku, Bajingan!" desisku tajam.Membuat dia, lelaki yang telah merenggut apa yang paling berharga dalam diri seorang Indah, membalikkan badannya dengan pelan.Sepasang matanya menyipit ketika menatapku. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat olehku, kedua mata coklat miliknya berbinar tanpa alasan pasti."Oh …? Hei! Kamu, 'kan …." Dia mengayunkan telunjuk kanannya, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu saat menyadari jika yang menahan langkahnya adalah aku. "In … Indah Putri Nuraida, 'kan, ya? Betul, 'kan?" Tanpa rasa berdosa, lelaki yang telah berhasil memberikan gelar kehinaan untukku sejak dua minggu yang lalu, terlihat begitu santai ketika sepasang mata kami beradu."Aku sedang tidak ingin berbasa-basi, Tuan, cepat, katakan padaku! Siapa dalang di balik semua itu. Cepat katakan!" Aku setengah berteriak saat emosi dalam dada semakin meluap."Ssst! Pelankan suaramu, Sayang. Ini restoran, bukan hotel tempat kita mengukir kenangan seperti hari itu. Jadi ke
"Jangan bercanda, Res. Alia, tuh teman baik aku dari SMA, jadi nggak mungkin dia tega ngelakuin itu sama aku." Dengan penuh keyakinan, aku mencoba menyangkal tuduhan Resti yang rasanya sedikit berlebihan ketika menganggap Alia juga turut terlibat dalam kejadian tak masuk akal yang menimpaku hari itu.Sungguh, Alia yang kukenal adalah sosok yang lemah lembut dan begitu perhatian padaku. Jadi jelas aku tak ingin buru-buru menaruh prasangka padanya.Resti menggelengkan kepala lantas menarikku untuk duduk di bangku panjang yang berada di depan arena taman bermain, yang letaknya berdekatan dengan gerai donat kesukaan adiknya. Maura. "Coba, deh, dipikir lagi. Aneh nggak, dia yang nyuruh kamu datang ke restoran sepupunya, tapi dia sendiri malah nggak datang dengan berbagai alasan," ucap Resti lantas mendengkus kecil. Seperti masih tertarik menjadikan Alia salah satu tersangka pelaku kejahatan.Mendengar argumen Resti, aku merasakan kepalaku berputar kembali.Jujur, selama ini aku memang men
Melihat keromantisan antara Galang dan Lira—yang menurutku memang sedikit keterlaluan, memancing Ayah untuk berdeham. Membuat adik yang sedang dalam gendongan suaminya, menggerutu kecil. Entah mengucapkan apa.Ah, Lira, kenapa kau seperti sengaja menyiram air garam pada luka kakakmu yang belum sepenuhnya kering?"Biarin aja kenapa, Yah, namanya juga pengantin baru," ujar Mama pelan, ketika melihat suaminya menggelengkan kepala.Sesaat setelah memfokuskan perhatian pada anak keduanya, Ayah dan Mama lantas mengalihkan pandangan padaku yang masih duduk diam di depan meja makan."Kalau masih ingin dianggap anak olehku, jangan pernah lagi macam-macam dan membuat malu keluarga ini, Indah," ucap Ayah, memperingatkan dengan suara lantang saat menatapku. Napasnya terlihat tak beraturan ketika untuk sekian kalinya memberikan peringatan yang sama padaku."I-iya, Ayah," balasku sambil menahan sesak.Meski mungkin sudah terlambat, tapi aku janji, Ayah, akan kubuktikan jika anak sulungmu ini tak se
Sesuai janji, Resti mengantarku pulang sampai ke rumah. Membuat Mama tersenyum lega begitu sahabat baikku membuktikan ucapannya."Resti, nggak bohong, 'kan, Tan? Indah beneran Resti anter," ucap Resti sambil cengar-cengir ketika Mama tersenyum padanya, manakala aku hampir memasuki ruang tamu."Iya, makasih, ya, Res," balas mamaku terlihat ramah."Sip." Resti mengacungkan jempolnya sambil terus menampilkan senyum. "Ya udah, Tan, permisi dulu.""Iya, hati-hati, ya," ujar Mama sambil mengukir senyum.Resti pun pergi setelah berpamitan.Aku yang sedang berjalan menuju kamar, dibuat sedikit tak nyaman ketika mataku seperti dipaksa melihat betapa agresifnya Lira pada Galang di ruang keluarga. Tanpa tahu malu, adikku dengan sangat percaya diri, mengecup lembut bibir suaminya di depan mataku. Membuat langkahku tertahan secara refleks.Ya Allah kenapa hatiku mendadak perih lagi?Apakah masih pantas seorang yang telah ternoda dan kotor sepertiku menaruh rasa cemburu?"Nakal, ya." Galang yang se
"Untuk apa, Mas?"Wajah Lira terlihat memerah bak kepiting rebus, ketika sepasang mata indahnya yang berbulu lentik, menatap tajam ke arah Galang yang terlihat begitu salah tingkah."Untuk … untuk—." Galang seperti tak punya jawaban terbaik untuk dipersembahkan kepada istrinya yang kuakui memiliki paras cantik dan menawan. Namun, ternyata, memilih menikah dengan lelaki yang jelas-jelas telah dipilih oleh sang kakak sebelumnya."Untuk belajar mencintai kamu, lah. Apa lagi?" balas Galang sedikit gugup.Membuat wajah Lira yang semula tegang, mengendur. Ia lantas menatapku dan Galang secara bergantian."Kamu nggak usah repot-repot buat cemburu gitu, dong, Sayang. Mana mungkin aku pengen balikan sama kakakmu yang gampangan ini," ucap Galang terdengar sangat jelas dan ringan.Deg!Dia menghinaku lagi? Di depan Lira yang sejak lebih dari dua minggu lalu sudah di atas angin?Cukup sudah!Cukup sudah aku diperlakukan seperti orang tolol seperti ini."Lalu, apa kau pikir, jika kejahatan sebenar
"Atas dasar apa kamu mau ngelaporin aku ke polisi, Mbak?"Aku mencebik kecil saat Lira menunjukkan tampang sok lugu.Tak ingin menggubris pertanyaan tak penting darinya, melihat ponsel Lira yang terjatuh, menarik minatku untuk segera menyambarnya. Sungguh, rasa penasaran atas siapa orang yang tadi bertelepon ria dengan adikku, benar-benar membuat pikiranku terganggu. Namun, belum sempat aku meraih ponselnya, dengan gerakan super cepat Lira mengambilnya terlebih dahulu.Sial!"Sini pinjam hapenya!" Untuk pertama kali, aku mengintimidasi adikku dengan mata melotot dan suara yang pasti terdengar lantang. Peduli apa dengan tanggapan Lira, aku cuma ingin menuntaskan rasa penasaranku tentang dengan siapa adikku bertelepon ria barusan."Buat apa, sih, Mbak?" Jelas sekali Lira keberatan dengan permintaan dariku yang tak biasa ini."Pokoknya sini!" ucapku lantang. Sungguh, aku bersyukur karena Mama sedang pergi arisan dan Ayah tengah bekerja di kantor. Jadi, aku sedikit lebih bebas berekspresi
Jantungku seperti hampir melompat ke mulut saat tanpa aba-aba, Darren meraih pinggangku dan merangkulnya dari samping tanpa tahu malu.Kelewatan sekali dia! Apakah memang seperti ini caranya dia dalam memperlakukan wanita?"Ish! Apaan, sih!" ucapku ketus.Sontak aku melepas dengan kasar rangkulan tangan Darren yang melingkar tak tahu diri di pinggangku. Bukankah dia laki-laki paling tidak punya etika yang pernah kau temui selama hidupmu, Indah?"Kurang ajar banget!" desisku sambil melotot tajam.Melihat kemarahanku, Darren terlihat menanggapi santai, sedangkan wanita cantik bernama Gea yang dalam gendongannya ada seorang anak balita, justru tersenyum padaku sambil geleng kepala."Kalian pasangan yang serasi. Kakak prefer kamu sama yang ini, sih, De. Daripada cewek-cewek kamu yang sebelumnya," ucap wanita berhidung mancung itu sesaat setelah menatapku sekilas.Deg!Aku membelalak lebar mendengar kata demi kata yang terucap dari wanita yang dipanggil dengan sebutan 'Kak Ge' oleh laki-la