"Atas dasar apa kamu mau ngelaporin aku ke polisi, Mbak?"
Aku mencebik kecil saat Lira menunjukkan tampang sok lugu.Tak ingin menggubris pertanyaan tak penting darinya, melihat ponsel Lira yang terjatuh, menarik minatku untuk segera menyambarnya. Sungguh, rasa penasaran atas siapa orang yang tadi bertelepon ria dengan adikku, benar-benar membuat pikiranku terganggu. Namun, belum sempat aku meraih ponselnya, dengan gerakan super cepat Lira mengambilnya terlebih dahulu.Sial!"Sini pinjam hapenya!" Untuk pertama kali, aku mengintimidasi adikku dengan mata melotot dan suara yang pasti terdengar lantang. Peduli apa dengan tanggapan Lira, aku cuma ingin menuntaskan rasa penasaranku tentang dengan siapa adikku bertelepon ria barusan."Buat apa, sih, Mbak?" Jelas sekali Lira keberatan dengan permintaan dariku yang tak biasa ini."Pokoknya sini!" ucapku lantang. Sungguh, aku bersyukur karena Mama sedang pergi arisan dan Ayah tengah bekerja di kantor. Jadi, aku sedikit lebih bebas berekspresi. Termasuk ketika menekan Lira seperti sekarang ini."Enggak!" Lira menolak tegas untuk memberikan ponselnya meski aku berusaha keras untuk memaksa."Sini!" Aku yang merasa posisi kami sekarang imbang, nekat menarik benda pipih itu dari tangan adikku.Untuk beberapa lama, drama berebut ponsel terjadi. Aku berusaha mati-matian mengambil alih ponsel dari tangan Lira, dan Lira sendiri berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ponsel dalam genggamannya."Sini!""Enggak!"Aku bilang, sini!""Enggak!"Tak ada yang mau mengalah saat drama rebutan ponsel terjadi, hingga akhirnya, ponsel di tangan Lira terlempar ke tembok dan … jatuh. Layar ponsel iPhone keluaran terbaru itu terlihat retak.Membuat wajah Lira menggelap dengan mata menyala merah saat mungkin menyesali ponselnya sudah dalam kondisi mengenaskan."Puas kamu, Mbak? Udah bikin LCD hape aku rusak?" Lira menggerutu kesal saat mengambil ponselnya yang kemungkinan memerlukan biaya banyak jika ingin memperbaiki.Ck! Payah!"Hari ini kamu masih selamat karena hape kamu rusak. Lain kali, jangan harap bisa lolos!" Aku memperingatkan sebelum beranjak dari kamar adikku yang terlihat masih kesal karena ponsel kesayangan jadi korban."Ish! Apaan sih nggak jelas banget."***"Mas … hape aku rusak …." Seperti anak kecil yang tengah mengadu, Lira berucap manja saat menyambut Galang yang baru pulang bekerja."Rusak kenapa? Jatuh?" tanya Galang dengan begitu santai ketika adikku masih menunjukkan tampangnya yang menjengkelkan."Iya, jatuh." Lira menatapku tajam, tapi anehnya dia seperti tak tertarik menceritakan ihwal bagaimana ponselnya bisa terjatuh dan LCD-nya retak."Ya udah, habis mandi, kita siap-siap, ya, buat beli hape baru." Galang, lelaki yang tahun ini genap berusia 27 tahun, terlihat mengusap lembut rambut adikku untuk menenangkan."Yeay. Makasih, Sayang. Cinta, deh," ucap Lira sambil memeluk mesra sang suami sebelum berjalan menuju kamar dengan saling bergandengan tangan.Huh! Norak!Sejam kemudian, pasangan yang entah kenapa terus memilih tetap tinggal di rumah ini, meski pengantin lelaki sejatinya sudah menyiapkan rumah baru, pamit pergi pada Mama setelah mereka berpakaian rapi."Hati-hati, ya." Mama berpesan dengan begitu lembut ketika anak bungsunya berpamitan padanya yang sedang duduk di ruang keluarga."Ma, Indah juga sekalian minta izin, ya?" Aku nekat mendekati Mama meski tak 100 persen yakin wanita paruh baya ini bakal dengan mudah memberikan izin. Padaku yang rasanya diperlakukan sedikit berbeda semenjak hari itu."Buat?" tanya Mama dengan kedua alis yang tampak bertaut."Pergi ke rumah Resti, adiknya ulang tahun."Mama menggeleng, menyatakan dengan sangat jelas bahwa beliau tak mengizinkan."Jangan coba-coba mengelabui Mama, ya, Ndah. Hari ini adik Resti yang ulang tahun, besok siapa lagi?" ujar Mama penuh kewaspadaan."Enggak, Ma. Beneran."Aku mendesah resah saat merasa kepercayaan Mama terkikis semenjak hari itu. Hari di mana dua keluarga dihebohkan oleh fotoku dan Darren sampai ke tangan calon mertuaku yang kini menjadi mertua adikku.Ah, aku harus mencari cara.Selang beberapa menit kemudian, Resti menelepon diriku melalui panggilan video . Menuruti apa yang menjadi pintaku agar Mama percaya."Assalamualaikum … maaf, Tante. Hari ini emang Indah diundang sama Maura buat datang ke acara ulang tahunnya. Tante mau bukti?"Resti mengarahkan kamera ponselnya ke ruang tamu rumah Resti yang sudah dihias sedemikian rupa. Membuat Mama terdiam sambil mengamati ketika Resti memutuskan melakukan video call."Kalau Tante khawatir terjadi apa-apa sama Indah, Tante tenang aja. Indah aman, kok di rumah Resti," ucap Resti menyakinkan ketika mamaku terdiam untuk beberapa lama."Ya sudah."Akhirnya, Mama memberi izin.Ya, Resti memang selalu punya cara untuk menaklukkan hati mamaku. Membuatku berpikir kenapa tak Resti saja yang jadi anak Bu Lili.Ya ampun! Pikiran macam apa ini, Indah?Aku pun pamit pergi ke rumah Resti, beberapa saat setelah membungkus kado berisi bando lucu dan aksesoris khas remaja lainnya dalam sebuah kotak yang dihias dengan pita warna pink.Acara ulang tahun Maura yang kebanyakan mengundang teman-teman sekolahnya, berlangsung cukup meriah. Membuatku tak berhenti tersenyum ketika melihat kedekatan antara Resti dan adiknya.Mereka tampak begitu hangat dan … ceria."Ih … Kakak!"Resti tertawa puas saat berhasil mengoleskan potongan tart berwarna pink ke pipi Maura beberapa saat setelah sang adik menyuapkan potongan tart pada sang kakak."Asik banget, ya, punya kakak cewek. Jadi nganan aku.""Iya, apa lagi kakaknya seasik Kak Resti, pasti seru banget, tuh."Kudengar teman-teman Maura yang berdiri tak jauh dariku, berbisik. Memperbincangkan kedekatan antara Resti dan sang adik.Tanpa diminta, dadaku terasa sesak secara tiba-tiba.Dulu, hubungan kami pun sehangat itu. Namun, semua berubah semenjak aku mengenalkan Galang sebagai seseorang yang spesial hari itu."Hei! Jangan ngelamun, dong. Ada suguhah itu dinikmati! Bukan dicuekin!"Resti membuatku yang tengah menatap kosong ke arah kolam renang, tertegun."Kenapa? Lagi banyak pikiran? Ada tugas yang belum dikerjain padahal udah dekat DL?" Resti memberondong diriku dengan begitul banyak pertanyaan.Aku menggeleng lemah."So?""Aku tadi mergokin Lira lagi nelpon seseorang," ujarku pelan."Terus?" Resti terlihat penasaran. Gadis berusia sebaya denganku ini lantas menarik kursi, seperti siap menyimak apa yang akan aku sampaikan.Aku lantas menceritakan apa yang terjadi antara aku dan Lira pagi menjelang siang tadi. Tak ada yang aku kurangi atau lebihkan. Semua sesuai dengan porsinya dan apa yang sebenarnya terjadi. Membuat Resti mengangguk berulang kali, tapi lantas anggukan itu beralih menjadi gelengan dan decakan sebal yang tak kalah sering."Hadeuh. Kamu tuh, ya, nggak bisa apa mainnya alus dikit? Barbar banget perasaan," gerutunya dengan wajah kesal begitu aku menuntaskan cerita."Habisnya gimana. Aku emosi, Res," ujarku berusaha membela diri."Dikira aku nggak emosi ngadepin kamu yang gesrek dan tanpa pertimbangan begini? Dikira aku nggak gemes plus kesel? Kesel, lah!"Aku mendengkus kecil melihat betapa Resti terlihat emosi saat menatapku.Memang dia temanku, tapi kenapa selalu mengolok diriku dengan ucapan-ucapan pedas begitu?Menyebalkan memang kadang-kadang dia ini!"Kamu yang sabar aja, ya. Aku udah menyusun rencana pokoknya, tunggu aja Arman sampai ke Jakarta, yes.""Ah iya, lah," ujarku sambil mengangguk.Lebih baik cari aman, daripada harus berdebat dengannya. Karena tak mungkin aku bakal menang.***Pulang dari rumah Resti, aku yang merasa stok kebutuhan khusus wanita di rumah telah habis, memutuskan untuk mampir ke swalayan sembari mencari minuman yogurt yang tengah viral di media sosial.Setelah mendapatkan minuman yogurt yang kucari, troli lantas aku dorong ke tempat yang memang menjadi tujuan utama aku datang ke sini.Aku yang sedang mengambil pembalut wanita di rak yang bersebelahan dengan rak yang menyediakan kebutuhan khusus ibu dan bayi, dibuat terkejut saat mendapati lelaki yang telah membuatku gagal menikah, berdiri tepat di sampingku.Ya ampun!Darren!Bisa-bisanya dia ada di sini?"Hai, Indah Putri." Dia menyapa sambil menorehkan senyum ketika tatapan kami bertemu.Meski ingin sekali memaki, aku memilih diam dan pura-pura tetap fokus dengan apa yang menjadi tujuanku.Tahan, Indah. Jangan barbar di tempat umum! Bisa-bisa nanti Resti mengejekmu lagi bodoh untuk yang kesekian kali.Tahan … tahan!"Kamu serius nggak pengen mengulang keromantisan hari itu?" tanya Darren santai tapi mampu membuat pendengaranku rasa terganggu."Serius nggak pengen lagi?" ulangnya tanpa rasa berdosa.Keterlaluan memang! Seringan itukah dia memandang dosa dan menormalisasi hubungan luar nikah?Astaghfirullah!Aku yang jengah, berniat meninggalkan dirinya pasca dua pack pembalut wanita, masuk ke dalam troli."Tunggu!"Aku tercengang saat Darren tiba-tiba menahan tanganku. Bukankah dia sangat nekat?Jika sudah begini, bisakah aku menahan kesabaran?"Lepasin!" Aku menatap nyalang padanya yang dengan sesuka hati mencengkram kuat pergelangan tanganku.Darren menggeleng."Aku teriak, nih!" ancamku dengan nada serius. Akan tetapi, Darren seperti tak terpengaruh."Tol—."Darren membekap mulutku secara tiba-tiba. Membuatku begitu salah tingkah saat beberapa pengunjung pasar swalayan lain menatap ke arah kami dengan pandangan aneh."Darren! Apa yang kamu lakukan? Siapa gadis ini?""Dia … calon istriku, Kak Gea," balas Darren enteng saat seorang wanita yang usianya kutaksir hampir menginjak 30 tahun, muncul dan menegurnya.Aku membelalak.Apa maksudnya dia mengatakan lelucon konyol di depan wanita yang sedang menggendong anak kecil ini?Apa dia sedang mengigau?"Kamu serius, De?" tanya seorang wanita yang sebelumnya dipanggil dengan sebutan Gea oleh si brengsek yang telah menghancurkan mimpi indahku."Ya."Aku terkesiap saat Darren meremas lembut tanganku ketika memberikan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan wanita cantik di hadapanku.Ya ampun!Tidak!Ini pasti cuma mimpi!Jantungku seperti hampir melompat ke mulut saat tanpa aba-aba, Darren meraih pinggangku dan merangkulnya dari samping tanpa tahu malu.Kelewatan sekali dia! Apakah memang seperti ini caranya dia dalam memperlakukan wanita?"Ish! Apaan, sih!" ucapku ketus.Sontak aku melepas dengan kasar rangkulan tangan Darren yang melingkar tak tahu diri di pinggangku. Bukankah dia laki-laki paling tidak punya etika yang pernah kau temui selama hidupmu, Indah?"Kurang ajar banget!" desisku sambil melotot tajam.Melihat kemarahanku, Darren terlihat menanggapi santai, sedangkan wanita cantik bernama Gea yang dalam gendongannya ada seorang anak balita, justru tersenyum padaku sambil geleng kepala."Kalian pasangan yang serasi. Kakak prefer kamu sama yang ini, sih, De. Daripada cewek-cewek kamu yang sebelumnya," ucap wanita berhidung mancung itu sesaat setelah menatapku sekilas.Deg!Aku membelalak lebar mendengar kata demi kata yang terucap dari wanita yang dipanggil dengan sebutan 'Kak Ge' oleh laki-la
"Siapa dia, Indah?" tanya Ayah terdengar dingin dan kaku dengan raut wajah yang sama sekali tak bersahabat ketika menatap tajam pada Darren yang masih saja menggenggam erat tanganku sebelum aku menghempaskannya dengan kuat.Aku yang gugup sekaligus takut, merasakan degup jantungku terdengar sampai ke telinga. Kencang sekali detakannya."Eum di-di-dia …."Aku terbata-bata saat hendak menjelaskan perihal Darren pada Ayah yang tampak bernapas cepat saat menatap lekat padaku.Bukankah Ayah menanyakan siapa Darren barusan?Lantas, aku harus menjawab apa? Sedangkan kedatangannya ke rumah ini saja, aku tak tahu apa maksudnya.Ya Allah .... aku harus menjawab bagaimana sekarang?Tunggu! Apa ini artinya … Ayah tak begitu mengenali wajah Darren yang memang potongan rambutnya berbeda dengan laki-laki dalam foto yang membuat Ayah murka?Waktu itu ... rambutnya memang lebih panjang dibanding sekarang, wajar saja kalau Ayah tak mengenali dirinya."Perkenalkan, Om. Saya … Darren." Laki-laki bertubuh
Aku menggeleng tegas. Tak terlalu setuju dengan apa yang Mama usulkan barusan.Meski dalam hati memiliki kecurigaan yang sama, tapi aku tak ingin menjadikan itu sebagai solusi. Rasanya, terlalu terburu-buru jika aku sendiri menyimpulkan hal buruk itu yang terjadi.Bukankah bukan hal yang baru jika seorang Indah terlambat datang bulan?Ya, semenjak mendapatkan haid pertama pada usia 12 tahun, kadang aku memang memiliki siklus haid yang kurang teratur. Jadi bukan tidak mungkin, 'kan apa yang aku alami ini adalah hal yang lumrah seperti sebelum-sebelumnya?Aku cuma masuk angin karena malam tadi susah tidur dan AC di kamar terlalu dingin. Ya, pasti itu penyebabnya. Bukan karena hamil. Bukan!Aku terus mensugesti diri jika tak ada efek apa pun yang terjadi buah dari hubunganku dengan Darren yang terjadi hari itu.Tak akan pernah ada!Itu hanya sebuah kekhilafan yang tak seharusnya berdampak sejauh itu padaku."Ini cuma masuk angin biasa, Ma. Tadi malam Indah nggak bisa tidur, makanya jadi p
"Ngingetin kamu sama siapa?" tanya Resti penasaran.Huh! Ternyata … bukan cuma aku saja yang dibuat penasaran dengan ucapan Arman ini."Ah … nggak ada, lupakan. Jadi, gimana? Apa kamu masih berniat menjalankan rencana yang kita sudah susun sebelum ini, Res?" Arman yang sepertinya tak tertarik memberikan informasi lebih pada kami, terlihat ingin mengalihkan pembahasan dengan membicarakan tentang hal lain. Bukan mengenai apa yang sebenarnya membuat aku dan Resti penasaran.Resti tak langsung menjawab pertanyaan dari sepupunya, melainkan mengambil napas terlebih dahulu dan lantas mengalihkan pandangannya padaku."Kalau soal itu … kayaknya kita harus tanya dulu sama Indah. Katanya teman kamu yang playboy itu bilang mau datang ke rumah dia malam ini," ungkap Resti blak-blakan."Oh, ya?" Arman menatap tak percaya saat sepupunya secara gamblang menyampaikan kabar tentang rencana Darren yang katanya bakal datang ke rumahku malam nanti."Iya." Resti mantap menjawab. Dan seketika itu pula, sebu
"Aku … aku nggak kenal dia, Mas. Beneran." Masih dengan raut wajah yang terlihat tegang, Lira mencoba berkelit setelah dirinya mungkin merasa telah salah berbicara dan justru masuk ke perangkap yang dia buat sendiri.Ayah yang sedari tadi menatap tajam ke arah Lira, tampak bernapas dengan cepat ketika putri bungsunya memberikan penjelasan yang menurutku berlawanan dengan sikapnya sok tahu barusan."Lalu, dari mana kamu tahu dia seorang playboy? Atau jangan-jangan … kamu pernah jadi pacarnya?" Dengan ekspresi yang jauh dari kesan ramah, Galang menuduh tanpa sungkan, bahkan di depan ayah mertuanya sekalipun.Muka Lira sontak menggelap. Entah karena malu, takut, atau ada sebab lain yang mendasari? Aku tak bisa memprediksi."Please, jangan menuduh sembarangan, gitu, dong, Mas. Aku tahu dia playboy, tuh, dari temen aku. Kakaknya ada yang temenan sama dia. Makanya tau …." Akhirnya, Lira seperti punya jawaban untuk membela diri. Namun, sepertinya tak serta merta mampu membuat Galang percaya.
"Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Lira?! Kenapa?" tanyaku dengan suara melengking saat langkahku semakin dekat. Pada dia yang mematikan sambungan telepon secara tiba-tiba dan tergesa-gesa."M-Mbak Indah, aku … aku—." Wajah cantik adikku terlihat pucat pasi ketika menyadari pembicaraannya dengan seseorang yang kuperkirakan adalah Darren, terdengar jelas olehku. Kakak satu-satunya yang secara tega dijadikan sebagai mangsa untuk menuntaskan ambisinya. Ambisi mendapatkan Galang, lelaki 27 tahun yang kini sudah resmi menjadi suaminya."Apa salahku padamu, Lira? Katakan! Apa yang salah denganku?!" Dengan mengesampingkan rasa mual, aku masih saja tertarik untuk memperolok dirinya dengan suara lantang saat rasa sesak dalam dada kian menghimpit."M-Mbak Indah, Mbak Indah—." Berulang kali dia menyebut namaku saat kulihat keringat dingin mengucur deras di pelipisnya."Katakan, apa salahku padamu, Lira! Katakan!" sentakku dengan batin yang kian terasa pilu.Lira terlihat semakin panik. Terl
Teriakanku seperti tak terdengar. Terlihat Ayah terus menyerang Darren dengan membabi buta. Membuatku merasakan sesuatu yang … entah.Apakah aku benar-benar kasihan pada lelaki biadab yang telah menghancurkan masa depanku? Aku tak mengerti.Seolah tak ada puasnya, tinjuan terus Ayah layangkan di wajah lelaki berambut hitam tebal itu. Meskipun Darren sudah babak belur, Ayah seakan tak peduli. Beliau seperti orang kesurupan yang tengah membalaskan dendam atas rasa sakit hatinya.Namun, sekali lagi, tak ada perlawanan sedikit pun dari Darren. Darah yang mengalir di sudut bibir, dan wajahnya yang lebam seperti bukan hal besar bagi baginya."Ayah … tolong berhenti," ucapku dengan suara parau. Dari yang semula cuma teriris perih, hatiku kini rasa tercabik melihat bagaimana lelaki itu tak berdaya.Allah … apa yang salah dengan hatiku?Kenapa aku harus peduli? Kenapa rasanya sesakit ini?Melihat Darren yang akhirnya terkapar usai berkali-kali mendapatkan tinjuan dan tendangan, tanpa bisa dike
Aku menatapnya tak percaya.Bukankah dia terlihat seperti pendongeng handal yang tengah membodohi anak kecil?Sambil menghempaskan kuat kedua tangannya, aku mencebik kecil. Merasa tak sepakat dengan ide gila yang diungkapkan Galang barusan.Kenapa mudah sekali mulutnya mengatakan soal pembatalan nikah? Apa dia pikir … adikku seperti barang yang dibeli online dan bisa diretur sesuka hati saat merasa barang yang dipesannya tak sesuai?Dan … satu lagi, apa dia tengah menyamakan aku dengan barang loak yang masih terlihat bagus sehingga dia tertarik untuk tetap membelinya? Meskipun sudah jelas-jelas barang itu adalah barang bekas pakai?"Jadi maksudmu ... semua kemesraan yang kalian pertontonkan selama ini … palsu?" cecarku menyelidik. Pada dia—lelaki yang berujar bakal menjadi pasangan yang setia. Namun, nyatanya,kesetiaannya sirna selepas sebuah kesalahpahaman mencuat di antara kami lebih dari tiga minggu yang lalu.Galang mengangguk samar. Seperti membenarkan tebakan sekaligus tuduhan y
"Dan kamu tahu, Indah. Pas pertama kali kita ketemu hari itu, aku benar-benar dibuat takjub melihat penampilan barunya yang … ditemani seorang wanita berjilbab di sampingnya," ucap Aluna, membuat otakku kembali merekam kejadian hari itu. Saat rasa cemburu dan prasangka buruk terus mendominasi ketika untuk pertama kali kami bertemu."Apa lagi waktu dia memperkenalkan kamu sebagai istrinya, jujur, aku ikut seneng liatnya, Ndah. Aku bersyukur banget waktu tahu dia udah bisa berdamai sama masa lalunya," tambahnya terdengar tulus.Aku tersenyum getir mendengar bagaimana dia mengungkapkan isi hatinya."Tapi Mbak Aluna tahu, sebenarnya dia … menjebak dan membuatku menikah dengannya karena aku—." Aku menggantung ucapan saat rasa sesak tiba-tiba menerjang ulu hati.Aluna menyorot mataku tajam. Seperti menuntutku memberikan jawaban."Karena aku sedikit memiliki kemiripan wajah dengan Mbak Aluna." Meski terasa berat, akhirnya, kata-kata itu meluncur juga dari bibirku.Aluna menatapku dengan tata
Aku memang sengaja menyemprotkan parfum khas wanita beraroma manis tapi kalem, sesaat setelah mengenakan pakaian yang sering disebut dengan istilah 'baju haram' ini.Untuk beberapa saat, aku dibuat tak berdaya ketika dia yang sepertinya telah dibakar gairah, terus mencumbu dan menyentuh lembut setiap inci tubuhku."Cantik banget, Sayang," ucapnya sambil menatapku dengan pandangan sayu, sebelum kami kembali terlibat lagi pada sebuah adegan mesra. Saat bibir kami saling bertaut.Seperti yang sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya, aku selalu saja tak punya cara untuk menghentikan aksi saat dia menjamah dan membuatku melayang dengan sentuhan-sentuhan yang begitu ampuh membuatku melayang.Untuk yang kesekian kalinya, selama pernikahan kami, aku dan Darren kembali merangkai malam dengan manisnya cinta yang saling tercurah di atas ranjang. Melakukan hubungan suami-istri secara halal sebagai upaya memuaskan batin dan mencari ketenangan."I love you, Mommy." Darren yang masih berbagi selimut
"Jadi … pernikahan Mas Arman otomatis batal?" tanyaku saat ikut merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh laki-laki yang selama ini terkenal kocak dan humoris itu."Ya … kemungkinan besar, sih begitu, Ndah." Terdengar Resti menghembuskan napas dengan kasar setelahnya."Kasihan. Padahal dia cowok yang baik dan nggak neko-neko," ujarku lirih."Iya. Pokoknya, doain aja, ya, Ndah, biar dia dapat pengganti yang lebih baik setelah ini." Terdengar ada pengharapan besar dari bagaimana sahabat baikku berucap."Aamiin."Begitu mengakhiri percakapan dengan Resti, aku dibuat sedikit gugup saat menyadari jika ternyata ada dua pasang mata yang menyaksikan obrolanku dengan Resti yang berlangsung belum lama ini."Mama? Lira?"Terlihat Lira menatap sendu saat mungkin telinganya juga bisa mendengar kabar lelaki yang dicintainya batal menikah. Sementara di sisi lain, Mama yang berdiri di samping putrinya, hanya tersenyum sinis mendengar kabar tidak mengenakkan dari Arman. Anak dari lelaki yang menja
Aku yang tengah duduk diam di sofa kamar setelah makan malam usai, dibuat kaget saat Resti tiba-tiba mengirimkan pesan."Gimana? Kamu udah baikan dan maafin dia?"Aku tak langsung membalas.Resti mengirim pesan lagi."Kalau semudah itu memaafkan, ya … pasti bakal bikin dia ketagihan buat main di belakang kamu, dong."Membaca pesan kedua itu, hatiku mendadak terasa panas dengan kepala yang terasa mengepulkan asap.Akhirnya, aku yang tak ingin memendam rasa penasaran itu sendirian, menelepon sahabat baikku dan lantas menceritakan tentang semua kejadian yang berlangsung sore tadi. Tentang kedatangan Aluna bersama suami dan anaknya. Juga tentang bagaimana mereka meyakinkan aku jika Darren tak memiliki hubungan apa pun dengan wanita 25 tahun berwajah teduh itu."Terus sekarang, suamimu ke mana? Kok kamu bebas banget nelpon aku dan bisa secara detail memerinci kejadian sore tadi?" tanya Resti setelah aku mengakhiri cerita."Dia sedang ada meeting penting sama klien, katanya sih, begitu," b
"Maaf, urusan aku di kantor masih banyak tadi, jadi baru sempat datang sekarang." Kudengar pria itu berbicara sambil menatap ke arah suamiku.Darren tersenyum ramah menanggapi."Nggak masalah, Bro. By the way, makasih udah mau menyempatkan waktu datang ke sini."Pria berjambang tipis yang tak juga melepas pegangan tangan anak laki-laki Aluna, terlihat mengangguk pelan sambil tersenyum. Sementara Aluna yang berdiri di sampingnya, tampak menunjukkan sorot mata bahagia entah untuk alasan apa.Apakah dia bahagia karena bisa berjumpa lagi dengan suamiku? Mantan kekasihnya?Aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, terdiam mematung menatap para tamu yang masih membuatku tak mengerti dengan maksud kedatangan mereka.Benarkah pria ini memang suami Aluna? Bukan orang suruhan suamiku yang diwajibkan mengaku sebagai suami mantan kekasihnya?"Oh iya, silakan masuk."Tamu-tamu itu mengangguk ramah dan lantas melangkahkan kaki memasuki ruang tamu."Oh iya, sampai lupa. Kenalin ini Indah, istriku
Begitu membuka pintu, terlihat sosok lelaki yang kuakui memiliki paras tampan dengan pakaian kasual yang melekat di badan, tersembul di sana.Dan seketika itu pula, terlihat suamiku memalingkan wajahnya sebentar dengan senyum yang terlihat memudar.Hei! Benarkah dia memang mengharapkan orang lain yang bertandang siang menjelang sore kali ini? Kenapa terlihat kecewa begitu?"Siang, Calon Kakak Ipar." Dengan gayanya yang entah kenapa terlihat menjengkelkan, Fabian menorehkan sebuah senyuman sebelum mengangguk sebentar. Menunjukkan sikap yang terkesan ramah pada suamiku, yang disebut sebagai calon iparnya."Siang." Jelas sekali suamiku membalas kaku sapaan itu. Mungkin hatinya masih berkecamuk saat menyadari jika tamu yang datang tak sesuai dengan apa yang diharapkan."Apa Lira ada di rumah?""Ya, ada. Silakan masuk." Nada bicaranya masih sama seperti sebelumnya. Kaku.Apa dia benar-benar berharap kalau memang Aluna yang datang? Jika iya, kenapa harus ke sini? Tempat ini?Mungkinkah suam
Aku terdiam kaku. Tak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan itu. Ya, harus aku akui, luka dan rasa sakit itu tak akan mungkin cepat sirna meski aku sudah berusaha sekuat tenaga menguburnya dalam-dalam."Bahkan, seandainya kematianku yang kamu inginkan untuk menebus rasa bersalah dan membuktikan rasa cintaku padamu, aku siap, Indah." Aku menepuk pundaknya pelan. Merasa apa yang diucapkannya terlalu mengada-ada."Bisa nggak, sih, kamu ngomongnya jangan ngelantur begitu? Memangnya kamu pikir aku siap membesarkan anak ini seorang diri?" tanyaku saat rasa pilu di hati tiba-tiba menelusup masuk tanpa permisi. Ya, meskipun awalnya benci, nyatanya dia telah menambatkan jauh hatiku padanya. "Kamu … bisa menikah lagi dengan orang lain yang jauh lebih baik dariku, Arman misalnya."Aku merasakan kepalaku mendadak berasap saat mendengar ucapannya yang semakin melantur tak jelas."Hentikan omong kosong ini! Istirahatlah, badanmu masih terlalu lemah."Darren mengangguk pelan lantas kembali meme
"Mas … kamu …." Suaraku lirih. Hampir tak terdengar ketika tangan kananku yang belum lama ini memastikan kondisinya, belum terangkat dari sana."Aku baik-baik saja, Indah," jawabnya pelan dengan mata setengah terpejam.Aku merutuk dalam hati. Bukannya dia jago beladiri? Kenapa baru tidur di lantai semalam saja sudah langsung KO seperti ini?"Mas … ayo." Aku menarik tangannya. Tak mau kondisinya jadi lebih parah jika tetap membiarkannya dalam posisi seperti ini. Tidur di atas lantai granit tanpa alas dan juga tanpa bantal. Seperti apa yang menjadi pintaku sebelumnya.Dia bergeming."Ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit yang kamu alami akibat perbuatanku waktu itu, Indah," ucapnya di sela-sela rintihan yang masih terdengar. Kulihat bibirnya bergetar dengan tangan yang terus menggigil kedinginan."Sudahlah jangan bawel, ayo, masuk kamar sekarang." Aku yang tak ingin berdebat, setengah memaksa saat memintanya bangun.Akhirnya dia menurut juga. Meski terlihat sedik
Untuk sesaat terlihat Resti menatapku dengan pandangan miris sebelum kedua matanya terfokus lagi ke arah jalan di depan kami.Tak ada perbincangan apa pun setelahnya. Kami sama-sama diam dengan jalan pikiran masing-masing.***Sampai di rumah, aku yang tahu Darren mengekor mobil Resti sejak keluar dari area restoran tadi, buru-buru menarik langkah menuju kamar. Tak ingin peduli tentang bagaimana seluruh anggota keluarga melihat ketidakharmonisan pernikahanku dan suamiku yang baru seumur jagung.Aku merasa cukup beruntung saat berhasil mengunci pintu kamar sebelum dia berhasil mengejarku."Indah … tolong dengarkan penjelasan aku dulu, Ndah." Seolah mengesampingkan rasa malu di hadapan kedua mertua dan adik iparnya, Darren mengetuk-ngetuk pintu kamar sambil memohon.Aku yang masih kesal, mencoba abai dan tak peduli padanya yang pasti akan memberikan sejuta alasan andaikan aku melunakkan hatiku sedikit saja.Tidak! Cukup sudah aku berbaik hati dan menaruh pikiran positif padanya yang ter