"Untuk apa, Mas?"
Wajah Lira terlihat memerah bak kepiting rebus, ketika sepasang mata indahnya yang berbulu lentik, menatap tajam ke arah Galang yang terlihat begitu salah tingkah."Untuk … untuk—." Galang seperti tak punya jawaban terbaik untuk dipersembahkan kepada istrinya yang kuakui memiliki paras cantik dan menawan. Namun, ternyata, memilih menikah dengan lelaki yang jelas-jelas telah dipilih oleh sang kakak sebelumnya."Untuk belajar mencintai kamu, lah. Apa lagi?" balas Galang sedikit gugup.Membuat wajah Lira yang semula tegang, mengendur. Ia lantas menatapku dan Galang secara bergantian."Kamu nggak usah repot-repot buat cemburu gitu, dong, Sayang. Mana mungkin aku pengen balikan sama kakakmu yang gampangan ini," ucap Galang terdengar sangat jelas dan ringan.Deg!Dia menghinaku lagi? Di depan Lira yang sejak lebih dari dua minggu lalu sudah di atas angin?Cukup sudah!Cukup sudah aku diperlakukan seperti orang tolol seperti ini."Lalu, apa kau pikir, jika kejahatan sebenarnya sudah terungkap, aku akan sudi kembali padamu, Galang? No way! Penjilat sepertimu bukan seleraku! Anggap saja perasaanku padamu dulu merupakan kekeliruan terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku!" sambarku telak sambil menatap tajam wajah Lira dan Galang bergantian.Terlihat olehku, wajah Galang menggelap. Pun dengan Lira yang terlihat seperti mati-matian menahan emosi saat menatapku yang kini mulai memberanikan diri untuk bersuara."Dasar murahan!"Tanpa terduga, kalimat menyakitkan berikutnya meluncur bebas dari bibir tipis adikku yang hampir semua orang mengakui tak ada cela dalam dirinya."Aku atau kau yang murahan, Lira? Tanya pada hatimu sendiri! Tak tahu malu! Gatal!" Entah dapat keberanian dari mana, umpatan dan caci-maki yang selama ini cukup kupendam dalam hati, meluncur juga malam ini.Plak!Sebuah tamparan mendarat keras di pipiku.Perih dan panas. Itu yang kurasakan saat tangan yang dulu sering kugandeng saat kepayahan berjalan, menamparku seperti tanpa perasaan.Segila itukah dirimu, Adikku?Plak!Tanpa pikir panjang, aku balik melayangkan tamparan untuk adik tak tahu diri yang semakin membuatku yakin jika dirinya adalah otak di balik semua musibah yang menimpaku."Berani, kamu, Mbak?!"Aku mendengkus kecil. Masih tak habis pikir bagaimana seorang Lira bisa merasa begitu superior dibanding kakaknya.Ya ampun! Persaudaraan macam apa ini?"Kau bukan Tuhan yang pantas aku takuti, Lira! Kau cuma wanita tak tahu diri yang sama sekali tidak kreatif karena menikah dengan lelaki pilihan kakaknya!" balasku tanpa rasa takut."Ada apa ini ribut-ribut?"Tamparan kedua mungkin saja bakal mendarat mulus di pipiku seandainya Ayah tak muncul di hadapan kami."Ayah, tolong katakan pada anakmu ini agar bisa lebih tahu diri dan tak berusaha menggoda iparnya, Ayah." Lira terlihat berapi-api ketika mengucap kalimat yang jelas-jelas memojokkan diriku. Persis seperti anak yang suka mengadu dan tengah berusaha mengkambinghitamkan lawannya.Cemen!"Aku? Menggoda Galang? Tidak salah? Sampah yang sudah aku buang tidak mungkin aku pungut kembali, Lira. Kau dengar itu?!" Aku setengah berteriak saat mengucapkan kalimat pedas yang sontak membuat semua yang ada di ruangan ini tercengang.Tampak olehku, mata Galang menatap nanar padaku sesaat setelah aku mengucap kalimat sarkas yang pasti mampu membuatnya terluka begitu dalam.Peduli apa?Apa dia keberatan saat aku menganggap dirinya seperti sampah?"Cukup, Indah, kembali ke kamarmu!"Aku terpaksa menurut saat Ayah memberi perintah. Toh, aku sudah cukup puas melihat adikku dan suaminya mati kutu.Benar sungguh, aku kini telah menjadi Indah yang berbeda dari biasanya.***Sampai di kamar, aku menarik napas panjang saat merasa pasokan oksigen di dalam dadaku terasa semakin menipis.Ya Tuhan!Hampir tak bisa dipercaya, saat adik yang dulu kerap bermain masak-masakan bersama, dan tak jarang bertukar baju bahkan sampai kami sama-sama menginjak usia remaja, kini telah berubah 180 derajat.Apa yang membuatmu jadi seperti ini, Lira?Kenapa sekarang aku seperti dianggap seperti musuh dan pesaing olehmu?Ke mana perginya Lira yang dulu? Ke mana?Aku yang tak kunjung dapat memejamkan mata, tergerak hati mengotak-atik ponsel sekedar untuk mencari hiburan.Besok pagi tak ada jadwal kuliah, bukan masalah jika aku begadang sekali-sekali.Begitu membuka aplikasi W******p, aku dibuat terperangah ketika melihat Resti terlihat aktif dua menit yang lalu.Apakah dia sama sepertiku?Tak juga bisa tidur sampai waktu hampir memasuki tengah malam seperti ini?"Belum tidur, Res?" tanyaku saat aku nekat meneleponnya malam-malam begini."Belum. Oh iya, btw, aku mau ngasih tau sesuatu sama kamu," balas Resti tak berapa lama kemudian."Tentang apa?""Tentang ... Arman, kayaknya ... dia nggak bisa datang ke Jakarta dalam waktu dekat, masih banyak urusan pekerjaan katanya."Aku terdiam. Merasa sedikit kecewa karena impianku untuk membuktikan siapa penjahat sebenarnya, harus tertunda."Kamu pasti kecewa, kan?" tebak Resti seperti bisa membaca pikiranku."Tidak juga. Santai aja. Percaya saja sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, akan tercium juga baunya," balasku sok bijak."Ya, tapi kita butuh bukti valid jika ingin membawa mereka-mereka ke jalur hukum."Aku membelalak mendengar pendapat mencengangkan Resti.Jalur hukum?Jika memang Lira bersalah dan menjadi tersangka utama, tegakah aku memperkarakan adikku sendiri dan membuatnya mendekam di balik jeruji besi?Apakah aku akan tega?Entahlah."Apa menurutmu itu nggak berlebihan, Res?" tanyaku sembari menggigit bibir dengan perasaan gamang."Hei! Penjahat harus diberikan efek jera, Indah." Terdengar Resti bersikeras dengan pendapatnya.Ya, aku setuju dengan pendapat Resti, tapi di sudut hatiku yang paling dalam, rasanya aku tak siap melihat Lira semenderita itu andaikan dia memanglah terlibat."Atau jangan-jangan … kau menikmati kejahatan mereka dan tak mempermasalahkan saat harga diri dan kehormatanmu diinjak-injak?" Tuduhan Resti membuatku terkejut."Bukan begitu!""Sudahlah, terserah jika kau ingin memberikan gelar pada dirimu sebagai wanita murahan yang pendiam, bodoh, dan sekaligus tak punya harga diri. Terserah kamu, Indah! Terserah!"Aku tersentak manakala Resti mengakhiri percakapan kami secara sepihak.Ya ampun, Resti. Tega sekali kau memberiku julukan-julukan tak pantas itu padaku.Tak ingin memusingkan ucapan Resti yang kadang menyakitkan, aku memilih tidur saat rasa kantuk benar-benar datang kemudian.***Bangun pagi, aku yang merasa lega dan free karena tak ada jadwal kuliah, tertarik untuk berjalan menuju dapur, sekedar ingin membantu Bik Minah memasak. Melakukan hal yang biasa aku lakukan selagi dapat waktu senggang.Harum shampo menguar di udara begitu aku sampai ke area dapur.Keberadaan Lira di dapur ini, membuatku sontak menahan langkah saat melihatnya tengah mengaduk-aduk segelas yang kuperkirakan adalah teh pada cangkir di hadapannya.Pagi ini, untuk kesekian kalinya, rambut panjang dan hitam milik Lira tampak basah.Dan … astagfirullah, kenapa hatiku masih saja tak tahu diri?Kenapa ada yang berdenyut di dalam sini saat membayangkan apa yang menjadi sebab Lira harus berkeramas setiap pagi?"Teh hangat untuk suami tercinta," ucap Lira saat mengangkat nampan sambil membalikkan badan.Aku yang berdiri di samping lemari pendingin, hanya terdiam sambil berdiri kaku ketika melihat tingkah polah Lira yang kurasa sangat berlebihan."UPS! Semoga nggak ada yang jealous, ya, Bik, karena melihat seorang istri mencari pahala di pagi hari setelah malamnya melakukan kewajiban bernilai ibadah." Jelas sekali Lira tengah menyindir diriku yang tak ingin terlalu banyak berbicara pagi ini.Sambil membawa secangkir teh, Lira berlalu, meninggalkan aku dan Bik Minah yang sedari tadi menggeleng kepala melihat tingkah adikku yang terkesan norak dan sedikit berlebihan."Sholat aja suka bolong-bolong, Non Lira, sok-sokan ngomongin pahala dan kewajiban." Bik Minah menggerutu."Hust! Masih pagi, Bik. Jangan ghibah."Bik Minah terkekeh kecil."Habisnya Bibik kesel, Non. Dapat suami hasil dari nikung kakaknya sendiri saja, bangganya bukan main."Aku hanya menggeleng pelan.Tak ingin mengiyakan atau membantah ucapan Bik Minah pagi ini.Hasrat memasak yang sedang bagus, membuatku bersemangat untuk melakukan aktivitas yang hampir tak pernah dilakukan oleh adikku itu."Masak apa hari ini, Bik? Ayo, kita mulai sekarang."***Selepas sarapan, Galang yang telah siap dengan baju kerjanya, berpamitan untuk berangkat ke kantor pada sang istri. Ini hari pertama Galang bekerja setelah resmi berstatus sebagai suami untuk adikku."Hati-hati, ya, Sayang, kerjanya. Ingat nggak boleh genit-genit, loh, sama cewek di kantor." Lira berpesan dengan nada manja sesaat setelah mencium punggung tangan sang suami yang telah berpakaian formal."Iya … nggak akan."Galang mengusap lembut rambut adikku dan lantas menatap si cantik yang sepertinya telah melupakan aku sebagai saudara, dengan tatapan penuh cinta.Luar biasa sekali bukan, seorang Galang ini?Bukankah malam tadi dia mengatakan masih mencintaiku? Dan ternyata pagi ini ….Huh!Sungguh! Demi apa pun, walau Lira terbukti bersalah nantinya, tak akan pernah seorang Indah kembali pada Galang.Ini janjiku!***"Makasih banget, ya, Mbak. Berkat kamu, semua bisa berjalan lancar."Dari balik pintu, aku yang sedang berjalan ke arah gudang—yang lokasinya berada tepat di sebelah kamar Lira, menahan langkah saat mendengar percakapan Lira tanpa sengaja di pagi menjelang siang hari ini."Ya, semua kerja keras kita menuai hasil yang memuaskan, Mbak."Dari balik pintu, aku terus menajamkan pendengaran. Ya, entah kenapa, aku memang tertarik untuk menguping ketika Lira yang sedang bercakap dengan seseorang melalui sambungan telepon, memanggil orang itu dengan panggilan 'Mbak' berulang kali."Tentu saja. Seorang Lira yang cantik jelita ini tak pantas kalah oleh seorang gadis bermuka pas-pasan seperti Mbak I, Mbak ...."Tawa Lira membahana sesaat setelah membanggakan diri untuk kesekian kalinya.Mbak I?Apa itu aku?Dan dengan siapa Lira berbicara? Apakah itu … Alia?"Siapa yang sedang kamu bicarakan? Aku? Sekarang, kamu sedang merasa menang karena sudah berhasil menjebak kakakmu dan kemudian menikah dengan calon suaminya? Kamu merasa menang begitu?"Terlihat ponsel di tangan Lira terlepas dari genggaman saat tiba-tiba aku membuka pintu kamar yang sebelumnya memang tak terkunci."M-Mbak Indah, ka-kamu nggak kuliah?" tanya Lira terbata-bata. Ekspresinya kali ini, persis seperti pecandu barang haram yang terjaring razia.Tak ingin menanggapi pertanyaan Lira yang remeh temeh, aku justru tertarik untuk mengintimidasi wanita 19 tahun yang selama ini kerap membanggakan kecantikannya."Cepat, katakan padaku! Siasat buruk apa yang telah kau lakukan padaku, Lira? Lebih baik kau berterus-terang saja, agar hukuman kamu lebih ringan.""M-maksudnya ... Mbak Indah ingin melaporkan aku ke polisi?"Ya ampun! Apa yang terjadi pada adikku? Kenapa dia mendadak seperti orang sesak napas sekarang?"Atas dasar apa kamu mau ngelaporin aku ke polisi, Mbak?"Aku mencebik kecil saat Lira menunjukkan tampang sok lugu.Tak ingin menggubris pertanyaan tak penting darinya, melihat ponsel Lira yang terjatuh, menarik minatku untuk segera menyambarnya. Sungguh, rasa penasaran atas siapa orang yang tadi bertelepon ria dengan adikku, benar-benar membuat pikiranku terganggu. Namun, belum sempat aku meraih ponselnya, dengan gerakan super cepat Lira mengambilnya terlebih dahulu.Sial!"Sini pinjam hapenya!" Untuk pertama kali, aku mengintimidasi adikku dengan mata melotot dan suara yang pasti terdengar lantang. Peduli apa dengan tanggapan Lira, aku cuma ingin menuntaskan rasa penasaranku tentang dengan siapa adikku bertelepon ria barusan."Buat apa, sih, Mbak?" Jelas sekali Lira keberatan dengan permintaan dariku yang tak biasa ini."Pokoknya sini!" ucapku lantang. Sungguh, aku bersyukur karena Mama sedang pergi arisan dan Ayah tengah bekerja di kantor. Jadi, aku sedikit lebih bebas berekspresi
Jantungku seperti hampir melompat ke mulut saat tanpa aba-aba, Darren meraih pinggangku dan merangkulnya dari samping tanpa tahu malu.Kelewatan sekali dia! Apakah memang seperti ini caranya dia dalam memperlakukan wanita?"Ish! Apaan, sih!" ucapku ketus.Sontak aku melepas dengan kasar rangkulan tangan Darren yang melingkar tak tahu diri di pinggangku. Bukankah dia laki-laki paling tidak punya etika yang pernah kau temui selama hidupmu, Indah?"Kurang ajar banget!" desisku sambil melotot tajam.Melihat kemarahanku, Darren terlihat menanggapi santai, sedangkan wanita cantik bernama Gea yang dalam gendongannya ada seorang anak balita, justru tersenyum padaku sambil geleng kepala."Kalian pasangan yang serasi. Kakak prefer kamu sama yang ini, sih, De. Daripada cewek-cewek kamu yang sebelumnya," ucap wanita berhidung mancung itu sesaat setelah menatapku sekilas.Deg!Aku membelalak lebar mendengar kata demi kata yang terucap dari wanita yang dipanggil dengan sebutan 'Kak Ge' oleh laki-la
"Siapa dia, Indah?" tanya Ayah terdengar dingin dan kaku dengan raut wajah yang sama sekali tak bersahabat ketika menatap tajam pada Darren yang masih saja menggenggam erat tanganku sebelum aku menghempaskannya dengan kuat.Aku yang gugup sekaligus takut, merasakan degup jantungku terdengar sampai ke telinga. Kencang sekali detakannya."Eum di-di-dia …."Aku terbata-bata saat hendak menjelaskan perihal Darren pada Ayah yang tampak bernapas cepat saat menatap lekat padaku.Bukankah Ayah menanyakan siapa Darren barusan?Lantas, aku harus menjawab apa? Sedangkan kedatangannya ke rumah ini saja, aku tak tahu apa maksudnya.Ya Allah .... aku harus menjawab bagaimana sekarang?Tunggu! Apa ini artinya … Ayah tak begitu mengenali wajah Darren yang memang potongan rambutnya berbeda dengan laki-laki dalam foto yang membuat Ayah murka?Waktu itu ... rambutnya memang lebih panjang dibanding sekarang, wajar saja kalau Ayah tak mengenali dirinya."Perkenalkan, Om. Saya … Darren." Laki-laki bertubuh
Aku menggeleng tegas. Tak terlalu setuju dengan apa yang Mama usulkan barusan.Meski dalam hati memiliki kecurigaan yang sama, tapi aku tak ingin menjadikan itu sebagai solusi. Rasanya, terlalu terburu-buru jika aku sendiri menyimpulkan hal buruk itu yang terjadi.Bukankah bukan hal yang baru jika seorang Indah terlambat datang bulan?Ya, semenjak mendapatkan haid pertama pada usia 12 tahun, kadang aku memang memiliki siklus haid yang kurang teratur. Jadi bukan tidak mungkin, 'kan apa yang aku alami ini adalah hal yang lumrah seperti sebelum-sebelumnya?Aku cuma masuk angin karena malam tadi susah tidur dan AC di kamar terlalu dingin. Ya, pasti itu penyebabnya. Bukan karena hamil. Bukan!Aku terus mensugesti diri jika tak ada efek apa pun yang terjadi buah dari hubunganku dengan Darren yang terjadi hari itu.Tak akan pernah ada!Itu hanya sebuah kekhilafan yang tak seharusnya berdampak sejauh itu padaku."Ini cuma masuk angin biasa, Ma. Tadi malam Indah nggak bisa tidur, makanya jadi p
"Ngingetin kamu sama siapa?" tanya Resti penasaran.Huh! Ternyata … bukan cuma aku saja yang dibuat penasaran dengan ucapan Arman ini."Ah … nggak ada, lupakan. Jadi, gimana? Apa kamu masih berniat menjalankan rencana yang kita sudah susun sebelum ini, Res?" Arman yang sepertinya tak tertarik memberikan informasi lebih pada kami, terlihat ingin mengalihkan pembahasan dengan membicarakan tentang hal lain. Bukan mengenai apa yang sebenarnya membuat aku dan Resti penasaran.Resti tak langsung menjawab pertanyaan dari sepupunya, melainkan mengambil napas terlebih dahulu dan lantas mengalihkan pandangannya padaku."Kalau soal itu … kayaknya kita harus tanya dulu sama Indah. Katanya teman kamu yang playboy itu bilang mau datang ke rumah dia malam ini," ungkap Resti blak-blakan."Oh, ya?" Arman menatap tak percaya saat sepupunya secara gamblang menyampaikan kabar tentang rencana Darren yang katanya bakal datang ke rumahku malam nanti."Iya." Resti mantap menjawab. Dan seketika itu pula, sebu
"Aku … aku nggak kenal dia, Mas. Beneran." Masih dengan raut wajah yang terlihat tegang, Lira mencoba berkelit setelah dirinya mungkin merasa telah salah berbicara dan justru masuk ke perangkap yang dia buat sendiri.Ayah yang sedari tadi menatap tajam ke arah Lira, tampak bernapas dengan cepat ketika putri bungsunya memberikan penjelasan yang menurutku berlawanan dengan sikapnya sok tahu barusan."Lalu, dari mana kamu tahu dia seorang playboy? Atau jangan-jangan … kamu pernah jadi pacarnya?" Dengan ekspresi yang jauh dari kesan ramah, Galang menuduh tanpa sungkan, bahkan di depan ayah mertuanya sekalipun.Muka Lira sontak menggelap. Entah karena malu, takut, atau ada sebab lain yang mendasari? Aku tak bisa memprediksi."Please, jangan menuduh sembarangan, gitu, dong, Mas. Aku tahu dia playboy, tuh, dari temen aku. Kakaknya ada yang temenan sama dia. Makanya tau …." Akhirnya, Lira seperti punya jawaban untuk membela diri. Namun, sepertinya tak serta merta mampu membuat Galang percaya.
"Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Lira?! Kenapa?" tanyaku dengan suara melengking saat langkahku semakin dekat. Pada dia yang mematikan sambungan telepon secara tiba-tiba dan tergesa-gesa."M-Mbak Indah, aku … aku—." Wajah cantik adikku terlihat pucat pasi ketika menyadari pembicaraannya dengan seseorang yang kuperkirakan adalah Darren, terdengar jelas olehku. Kakak satu-satunya yang secara tega dijadikan sebagai mangsa untuk menuntaskan ambisinya. Ambisi mendapatkan Galang, lelaki 27 tahun yang kini sudah resmi menjadi suaminya."Apa salahku padamu, Lira? Katakan! Apa yang salah denganku?!" Dengan mengesampingkan rasa mual, aku masih saja tertarik untuk memperolok dirinya dengan suara lantang saat rasa sesak dalam dada kian menghimpit."M-Mbak Indah, Mbak Indah—." Berulang kali dia menyebut namaku saat kulihat keringat dingin mengucur deras di pelipisnya."Katakan, apa salahku padamu, Lira! Katakan!" sentakku dengan batin yang kian terasa pilu.Lira terlihat semakin panik. Terl
Teriakanku seperti tak terdengar. Terlihat Ayah terus menyerang Darren dengan membabi buta. Membuatku merasakan sesuatu yang … entah.Apakah aku benar-benar kasihan pada lelaki biadab yang telah menghancurkan masa depanku? Aku tak mengerti.Seolah tak ada puasnya, tinjuan terus Ayah layangkan di wajah lelaki berambut hitam tebal itu. Meskipun Darren sudah babak belur, Ayah seakan tak peduli. Beliau seperti orang kesurupan yang tengah membalaskan dendam atas rasa sakit hatinya.Namun, sekali lagi, tak ada perlawanan sedikit pun dari Darren. Darah yang mengalir di sudut bibir, dan wajahnya yang lebam seperti bukan hal besar bagi baginya."Ayah … tolong berhenti," ucapku dengan suara parau. Dari yang semula cuma teriris perih, hatiku kini rasa tercabik melihat bagaimana lelaki itu tak berdaya.Allah … apa yang salah dengan hatiku?Kenapa aku harus peduli? Kenapa rasanya sesakit ini?Melihat Darren yang akhirnya terkapar usai berkali-kali mendapatkan tinjuan dan tendangan, tanpa bisa dike