"Ngingetin kamu sama siapa?" tanya Resti penasaran.Huh! Ternyata … bukan cuma aku saja yang dibuat penasaran dengan ucapan Arman ini."Ah … nggak ada, lupakan. Jadi, gimana? Apa kamu masih berniat menjalankan rencana yang kita sudah susun sebelum ini, Res?" Arman yang sepertinya tak tertarik memberikan informasi lebih pada kami, terlihat ingin mengalihkan pembahasan dengan membicarakan tentang hal lain. Bukan mengenai apa yang sebenarnya membuat aku dan Resti penasaran.Resti tak langsung menjawab pertanyaan dari sepupunya, melainkan mengambil napas terlebih dahulu dan lantas mengalihkan pandangannya padaku."Kalau soal itu … kayaknya kita harus tanya dulu sama Indah. Katanya teman kamu yang playboy itu bilang mau datang ke rumah dia malam ini," ungkap Resti blak-blakan."Oh, ya?" Arman menatap tak percaya saat sepupunya secara gamblang menyampaikan kabar tentang rencana Darren yang katanya bakal datang ke rumahku malam nanti."Iya." Resti mantap menjawab. Dan seketika itu pula, sebu
"Aku … aku nggak kenal dia, Mas. Beneran." Masih dengan raut wajah yang terlihat tegang, Lira mencoba berkelit setelah dirinya mungkin merasa telah salah berbicara dan justru masuk ke perangkap yang dia buat sendiri.Ayah yang sedari tadi menatap tajam ke arah Lira, tampak bernapas dengan cepat ketika putri bungsunya memberikan penjelasan yang menurutku berlawanan dengan sikapnya sok tahu barusan."Lalu, dari mana kamu tahu dia seorang playboy? Atau jangan-jangan … kamu pernah jadi pacarnya?" Dengan ekspresi yang jauh dari kesan ramah, Galang menuduh tanpa sungkan, bahkan di depan ayah mertuanya sekalipun.Muka Lira sontak menggelap. Entah karena malu, takut, atau ada sebab lain yang mendasari? Aku tak bisa memprediksi."Please, jangan menuduh sembarangan, gitu, dong, Mas. Aku tahu dia playboy, tuh, dari temen aku. Kakaknya ada yang temenan sama dia. Makanya tau …." Akhirnya, Lira seperti punya jawaban untuk membela diri. Namun, sepertinya tak serta merta mampu membuat Galang percaya.
"Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Lira?! Kenapa?" tanyaku dengan suara melengking saat langkahku semakin dekat. Pada dia yang mematikan sambungan telepon secara tiba-tiba dan tergesa-gesa."M-Mbak Indah, aku … aku—." Wajah cantik adikku terlihat pucat pasi ketika menyadari pembicaraannya dengan seseorang yang kuperkirakan adalah Darren, terdengar jelas olehku. Kakak satu-satunya yang secara tega dijadikan sebagai mangsa untuk menuntaskan ambisinya. Ambisi mendapatkan Galang, lelaki 27 tahun yang kini sudah resmi menjadi suaminya."Apa salahku padamu, Lira? Katakan! Apa yang salah denganku?!" Dengan mengesampingkan rasa mual, aku masih saja tertarik untuk memperolok dirinya dengan suara lantang saat rasa sesak dalam dada kian menghimpit."M-Mbak Indah, Mbak Indah—." Berulang kali dia menyebut namaku saat kulihat keringat dingin mengucur deras di pelipisnya."Katakan, apa salahku padamu, Lira! Katakan!" sentakku dengan batin yang kian terasa pilu.Lira terlihat semakin panik. Terl
Teriakanku seperti tak terdengar. Terlihat Ayah terus menyerang Darren dengan membabi buta. Membuatku merasakan sesuatu yang … entah.Apakah aku benar-benar kasihan pada lelaki biadab yang telah menghancurkan masa depanku? Aku tak mengerti.Seolah tak ada puasnya, tinjuan terus Ayah layangkan di wajah lelaki berambut hitam tebal itu. Meskipun Darren sudah babak belur, Ayah seakan tak peduli. Beliau seperti orang kesurupan yang tengah membalaskan dendam atas rasa sakit hatinya.Namun, sekali lagi, tak ada perlawanan sedikit pun dari Darren. Darah yang mengalir di sudut bibir, dan wajahnya yang lebam seperti bukan hal besar bagi baginya."Ayah … tolong berhenti," ucapku dengan suara parau. Dari yang semula cuma teriris perih, hatiku kini rasa tercabik melihat bagaimana lelaki itu tak berdaya.Allah … apa yang salah dengan hatiku?Kenapa aku harus peduli? Kenapa rasanya sesakit ini?Melihat Darren yang akhirnya terkapar usai berkali-kali mendapatkan tinjuan dan tendangan, tanpa bisa dike
Aku menatapnya tak percaya.Bukankah dia terlihat seperti pendongeng handal yang tengah membodohi anak kecil?Sambil menghempaskan kuat kedua tangannya, aku mencebik kecil. Merasa tak sepakat dengan ide gila yang diungkapkan Galang barusan.Kenapa mudah sekali mulutnya mengatakan soal pembatalan nikah? Apa dia pikir … adikku seperti barang yang dibeli online dan bisa diretur sesuka hati saat merasa barang yang dipesannya tak sesuai?Dan … satu lagi, apa dia tengah menyamakan aku dengan barang loak yang masih terlihat bagus sehingga dia tertarik untuk tetap membelinya? Meskipun sudah jelas-jelas barang itu adalah barang bekas pakai?"Jadi maksudmu ... semua kemesraan yang kalian pertontonkan selama ini … palsu?" cecarku menyelidik. Pada dia—lelaki yang berujar bakal menjadi pasangan yang setia. Namun, nyatanya,kesetiaannya sirna selepas sebuah kesalahpahaman mencuat di antara kami lebih dari tiga minggu yang lalu.Galang mengangguk samar. Seperti membenarkan tebakan sekaligus tuduhan y
Siang ini, aku bisa bernapas lega saat menerima kabar dari Ayah jika kondisi Mama telah membaik dan penanganan rawat inap tak diperlukan."Sore nanti, Mama sudah diperbolehkan pulang," ucap Ayah ketika menelponku."Alhamdulillah," sahutku dengan hati tenang."Ya sudah, kamu juga jangan banyak pikiran, ya," ucap Ayah dari seberang sana."I-iya, Ayah." Aku yang sebenarnya sedang dalam kondisi terpuruk, merasa mendapat kekuatan baru setelah beberapa orang memberikan aku dukungan.Rasa hati, ingin sekali berbagi cerita dengan Resti. Namun, keinginan itu aku urungkan. Takut justru memperkeruh keadaan jika Resti sampai tahu kebenaran tentang diriku dan juga huru-hara yang sempat mengiringi.Baru beberapa detik panggilan dengan Ayah berakhir, ponselku berdering lagi.Nomor ponsel tak dikenal yang aku ketahui adalah milik Darren, memanggil.Mau apa dia?Aku berdecak sebal saat merasa dia seperti ingin menguji kesabaranku dengan tingkah lakunya yang kadang di luar nalar. Sungguh, jika boleh ak
Darren bangkit dari tempat duduknya saat langkah suami adikku semakin dekat. Ke arah kami yang duduk berdampingan, sebelum memulai makan siang yang telah dipersiapkan oleh Bik Minah."Selamat siang, Calon Adik Ipar. Mau gabung?" tanyanya tanpa beban. Tak lupa, sebuah senyum tipis dia torehkan.Aku benar-benar heran pada seorang lelaki seperti Darren ini, sudah jelas-jelas Galang datang dengan wajah tak bersahabat, bisa-bisanya dia menanggapinya sesantai ini."Aku sedang tidak ingin berbasa-basi denganmu, Bodoh!" ketus Galang dengan gigi bergemeletuk ketika sepasang matanya menatap tajam pada Darren yang masih saja menunjukkan raut wajah santai dan tanpa beban."Oke, kalau tidak mau berbasa-basi, kita mulai saja makan siangnya, ya," sahutnya datar sembari menjatuhkan lagi tubuhnya di kursi sampingku."Aku sedang tidak ingin bercanda, Bangsat!" Dengan mata menyala merah, Galang menarik kerah kaus lengan pendek yang dipakai oleh Darren siang ini. Membuat hatiku yang sebelumnya sudah cema
Sungguh! Baru kali ini aku melihat ada seorang adik yang bisa segila dan setega ini pada kakaknya. Dan sayangnya dia adalah … adikku sendiri.Aku membuka pintu kamar dengan lebar saat meyakini Lira masih berada di baliknya. Bukan ingin membicarakan tentang penjara atau hal lain, tapi ingin mencari tahu dengan siapa sebenarnya Lira berkomplot untuk menjebak kakaknya ini."Dengan siapa kamu bersekongkol selain bersama Darren, Lira?"Lira gelagapan saat mungkin menyadari pertanyaan yang kulontarkan jauh dari perkiraan."Ng-nggak ada, Mbak," balasnya terbata-bata. Membuatku semakin penasaran tentang siapa sesungguhnya manusia berhati jahat yang telah tega membuatku terjerembab ke dalam jurang kenistaan."Jawab jujur, Lira!"Lira terlihat semakin salah tingkah saat aku mendesaknya."M-maaf, Mbak. Aku harus pergi." Lira buru-buru bangkit dan menarik langkah dengan cepat menuju tangga saat mungkin mulai merasa terintimidasi."Hei! Kamu belum jawab pertanyaanku, Lira! Kenapa pergi hei!" teria