"Jangan bercanda, Res. Alia, tuh teman baik aku dari SMA, jadi nggak mungkin dia tega ngelakuin itu sama aku." Dengan penuh keyakinan, aku mencoba menyangkal tuduhan Resti yang rasanya sedikit berlebihan ketika menganggap Alia juga turut terlibat dalam kejadian tak masuk akal yang menimpaku hari itu.
Sungguh, Alia yang kukenal adalah sosok yang lemah lembut dan begitu perhatian padaku. Jadi jelas aku tak ingin buru-buru menaruh prasangka padanya.Resti menggelengkan kepala lantas menarikku untuk duduk di bangku panjang yang berada di depan arena taman bermain, yang letaknya berdekatan dengan gerai donat kesukaan adiknya. Maura."Coba, deh, dipikir lagi. Aneh nggak, dia yang nyuruh kamu datang ke restoran sepupunya, tapi dia sendiri malah nggak datang dengan berbagai alasan," ucap Resti lantas mendengkus kecil. Seperti masih tertarik menjadikan Alia salah satu tersangka pelaku kejahatan.Mendengar argumen Resti, aku merasakan kepalaku berputar kembali.Jujur, selama ini aku memang menaruh curiga pada Lira, yang aku tahu sempat memuji betapa sempurna seorang Galang di matanya. Akan tetapi, kalau sampai Alia juga turut terlibat, apa alasannya?Apa yang melatarbelakangi jika sampai gadis itu juga turut terlibat?Ah, entahlah."Maaf, Res, bisa kita pulang sekarang?" Aku yang kembali lelah secara hati dan pikiran, meminta pendapat Resti untuk pulang lebih cepat."Tunggu, aku belikan dulu donat untuk adikku, ya," ujar Resti sebelum bangkit dan membeli satu box besar donat untuk Maura."Oke, aku tunggu."***Sampai di rumah, aku yang baru hendak memasuki ruang tamu, dibuat terkejut ketika menyadari Mama berdiri kaku di balik pintu begitu aku membukanya."Mama?"Terlihat olehku, Mama yang memang sikapnya berubah semenjak orang tua Galang membatalkan rencana pernikahan putra mereka denganku, menatapku dengan tatapan tajam."Kenapa harus pulang, ha? Kenapa harus kembali ke rumah ini kalau yang kamu inginkan cuma kebebasan, Indah?" tanya Mama dengan suara lantang saat kedua tangannya menggoyang bahuku."Berapa kali Mama meneleponmu dan ternyata panggilan dialihkan. Apa kamu merasa terganggu menerima telepon dari mamamu sendiri, ha?" Olok Mama yang membuatku sontak geragapan saat memeriksa tas selempang besar yang kubawa ke kampus tadi siang.Astaghfirullah!Ya ampun! Aku bahkan lupa membawa ponsel saat kuliah tadi?Sekacau itu kah pikiranku? Bahkan, ponsel, benda yang selama ini selalu kuanggap seperti nyawa kedua tak lagi penting?"Hape Indah ketinggalan, Ma. Beneran Indah nggak bohong." Meski tak yakin Mama sudi mendengar alasanku, aku tetap berusaha memberikan penjelasan sesuai fakta yang ada.Terlihat oleh sepasang mataku, Mama menitikkan air mata saat aku memberikan penjelasan."Bertaubatlah, Nak. Allah maha menerima taubat hambaNya," ucapnya lantas berlalu dari hadapanku.Nyes!Sampai sekarang Mama percaya kalau anaknya ini adalah seorang gadis yang gemar menjual diri?Fitnah sedahsyat apa yang membuat wanita berusia awal 40-an itu begitu yakin kalau anak sulungnya ini senista itu?Astaghfirullah!Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran.***Malamnya, seperti malam sebelumnya, di depan anggota keluarga, Lira terlihat makin bersemangat mempertontonkan kemesraan dengan Galang. Lelaki yang gagal menikah denganku karena satu sebab yang menurutku masih menyimpan sejuta misteri bagaimana kronologisnya."Aaa …." Galang membuka mulut ketika Lira berniat menyuapkan nasi dan kuah sup iga yang menjadi salah satu menu makan malam di rumah ini.Di meja makan, aku mencoba bersikap tenang saat Lira secara terang-terangan memamerkan betapa hangatnya hubungan suami istri yang baru dua hari menikah itu."Makan lagi, dong," rengek Lira manja ketika Galang menggelengkan kepala saat adikku itu berniat menyuapinya kembali."Udah kenyang, Sayang …," balas Galang dengan nada manja saat berbicara pada adikku. Membuat Ayah dan Mama saling pandang sembari mengulas senyum.Sayang?Lagi?Semudah itukah?Semudah itukah dia memalingkan hatinya dariku?"Baru makan dikit, loh, kamu, Mas …." Ya ampun, kenapa suara Lira yang dibuat manja terasa sangat mengganggu pendengaran akhir-akhir ini?"Aku udah kenyang, Sayang, dan sekarang, aku mau minta jatah yang lain," ucap Galang sambil mengedipkan sebelah matanya saat menatap si cantik yang kini seakan telah lupa bagaimana hangatnya hubungan persaudaraanku dengannya sejak kecil.Ya Allah, kuatkanlah hatiku.Berilah rasa ikhlas pada segumpal darah berbentuk hati saat menghadapi kenyataan ini. Ketika nyatanya adik yang sangat aku sayangi akhirnya menikah dengan lelaki yang dulu amat aku cintai.Dulu?Apakah sekarang tidak?Berikan rasa lapang untukku menjalani takdir yang memang sudah Engkau gariskan untukku, ya Rabb."Mas …!" Pekikan manja yang keluar dari mulut Lira saat Galang tiba-tiba mengangkat tubuhnya ala bridal style, dan membawanya menjauh dari hadapan kami, membuatku tersadar.Ya Tuhan. Ternyata pemandangan menyakitkan itu bukanlah mimpi?Ini nyata?Galang, lelaki yang dulu sempat aku gadang-gadang bakal menjadi imam terbaik untukku, semudah itu berpaling? Pada adikku?Jadi, rencana jahat siapa sebenarnya yang membuatku terjebak dan terperosok dalam jurang kenistaan? Melakukan hubungan selayaknya suami istri di hotel bersama lelaki yang baru pertama kali kujumpai?Rencana siapa?Apakah itu merupakan rencana Lira, Alia, atau bahkan Galang sendiri?Astaghfirullah!Melihat keromantisan antara Galang dan Lira—yang menurutku memang sedikit keterlaluan, memancing Ayah untuk berdeham. Membuat adik yang sedang dalam gendongan suaminya, menggerutu kecil. Entah mengucapkan apa.Ah, Lira, kenapa kau seperti sengaja menyiram air garam pada luka kakakmu yang belum sepenuhnya kering?"Biarin aja kenapa, Yah, namanya juga pengantin baru," ujar Mama pelan, ketika melihat suaminya menggelengkan kepala.Sesaat setelah memfokuskan perhatian pada anak keduanya, Ayah dan Mama lantas mengalihkan pandangan padaku yang masih duduk diam di depan meja makan."Kalau masih ingin dianggap anak olehku, jangan pernah lagi macam-macam dan membuat malu keluarga ini, Indah," ucap Ayah, memperingatkan dengan suara lantang saat menatapku. Napasnya terlihat tak beraturan ketika untuk sekian kalinya memberikan peringatan yang sama padaku."I-iya, Ayah," balasku sambil menahan sesak.Meski mungkin sudah terlambat, tapi aku janji, Ayah, akan kubuktikan jika anak sulungmu ini tak se
Sesuai janji, Resti mengantarku pulang sampai ke rumah. Membuat Mama tersenyum lega begitu sahabat baikku membuktikan ucapannya."Resti, nggak bohong, 'kan, Tan? Indah beneran Resti anter," ucap Resti sambil cengar-cengir ketika Mama tersenyum padanya, manakala aku hampir memasuki ruang tamu."Iya, makasih, ya, Res," balas mamaku terlihat ramah."Sip." Resti mengacungkan jempolnya sambil terus menampilkan senyum. "Ya udah, Tan, permisi dulu.""Iya, hati-hati, ya," ujar Mama sambil mengukir senyum.Resti pun pergi setelah berpamitan.Aku yang sedang berjalan menuju kamar, dibuat sedikit tak nyaman ketika mataku seperti dipaksa melihat betapa agresifnya Lira pada Galang di ruang keluarga. Tanpa tahu malu, adikku dengan sangat percaya diri, mengecup lembut bibir suaminya di depan mataku. Membuat langkahku tertahan secara refleks.Ya Allah kenapa hatiku mendadak perih lagi?Apakah masih pantas seorang yang telah ternoda dan kotor sepertiku menaruh rasa cemburu?"Nakal, ya." Galang yang se
"Untuk apa, Mas?"Wajah Lira terlihat memerah bak kepiting rebus, ketika sepasang mata indahnya yang berbulu lentik, menatap tajam ke arah Galang yang terlihat begitu salah tingkah."Untuk … untuk—." Galang seperti tak punya jawaban terbaik untuk dipersembahkan kepada istrinya yang kuakui memiliki paras cantik dan menawan. Namun, ternyata, memilih menikah dengan lelaki yang jelas-jelas telah dipilih oleh sang kakak sebelumnya."Untuk belajar mencintai kamu, lah. Apa lagi?" balas Galang sedikit gugup.Membuat wajah Lira yang semula tegang, mengendur. Ia lantas menatapku dan Galang secara bergantian."Kamu nggak usah repot-repot buat cemburu gitu, dong, Sayang. Mana mungkin aku pengen balikan sama kakakmu yang gampangan ini," ucap Galang terdengar sangat jelas dan ringan.Deg!Dia menghinaku lagi? Di depan Lira yang sejak lebih dari dua minggu lalu sudah di atas angin?Cukup sudah!Cukup sudah aku diperlakukan seperti orang tolol seperti ini."Lalu, apa kau pikir, jika kejahatan sebenar
"Atas dasar apa kamu mau ngelaporin aku ke polisi, Mbak?"Aku mencebik kecil saat Lira menunjukkan tampang sok lugu.Tak ingin menggubris pertanyaan tak penting darinya, melihat ponsel Lira yang terjatuh, menarik minatku untuk segera menyambarnya. Sungguh, rasa penasaran atas siapa orang yang tadi bertelepon ria dengan adikku, benar-benar membuat pikiranku terganggu. Namun, belum sempat aku meraih ponselnya, dengan gerakan super cepat Lira mengambilnya terlebih dahulu.Sial!"Sini pinjam hapenya!" Untuk pertama kali, aku mengintimidasi adikku dengan mata melotot dan suara yang pasti terdengar lantang. Peduli apa dengan tanggapan Lira, aku cuma ingin menuntaskan rasa penasaranku tentang dengan siapa adikku bertelepon ria barusan."Buat apa, sih, Mbak?" Jelas sekali Lira keberatan dengan permintaan dariku yang tak biasa ini."Pokoknya sini!" ucapku lantang. Sungguh, aku bersyukur karena Mama sedang pergi arisan dan Ayah tengah bekerja di kantor. Jadi, aku sedikit lebih bebas berekspresi
Jantungku seperti hampir melompat ke mulut saat tanpa aba-aba, Darren meraih pinggangku dan merangkulnya dari samping tanpa tahu malu.Kelewatan sekali dia! Apakah memang seperti ini caranya dia dalam memperlakukan wanita?"Ish! Apaan, sih!" ucapku ketus.Sontak aku melepas dengan kasar rangkulan tangan Darren yang melingkar tak tahu diri di pinggangku. Bukankah dia laki-laki paling tidak punya etika yang pernah kau temui selama hidupmu, Indah?"Kurang ajar banget!" desisku sambil melotot tajam.Melihat kemarahanku, Darren terlihat menanggapi santai, sedangkan wanita cantik bernama Gea yang dalam gendongannya ada seorang anak balita, justru tersenyum padaku sambil geleng kepala."Kalian pasangan yang serasi. Kakak prefer kamu sama yang ini, sih, De. Daripada cewek-cewek kamu yang sebelumnya," ucap wanita berhidung mancung itu sesaat setelah menatapku sekilas.Deg!Aku membelalak lebar mendengar kata demi kata yang terucap dari wanita yang dipanggil dengan sebutan 'Kak Ge' oleh laki-la
"Siapa dia, Indah?" tanya Ayah terdengar dingin dan kaku dengan raut wajah yang sama sekali tak bersahabat ketika menatap tajam pada Darren yang masih saja menggenggam erat tanganku sebelum aku menghempaskannya dengan kuat.Aku yang gugup sekaligus takut, merasakan degup jantungku terdengar sampai ke telinga. Kencang sekali detakannya."Eum di-di-dia …."Aku terbata-bata saat hendak menjelaskan perihal Darren pada Ayah yang tampak bernapas cepat saat menatap lekat padaku.Bukankah Ayah menanyakan siapa Darren barusan?Lantas, aku harus menjawab apa? Sedangkan kedatangannya ke rumah ini saja, aku tak tahu apa maksudnya.Ya Allah .... aku harus menjawab bagaimana sekarang?Tunggu! Apa ini artinya … Ayah tak begitu mengenali wajah Darren yang memang potongan rambutnya berbeda dengan laki-laki dalam foto yang membuat Ayah murka?Waktu itu ... rambutnya memang lebih panjang dibanding sekarang, wajar saja kalau Ayah tak mengenali dirinya."Perkenalkan, Om. Saya … Darren." Laki-laki bertubuh
Aku menggeleng tegas. Tak terlalu setuju dengan apa yang Mama usulkan barusan.Meski dalam hati memiliki kecurigaan yang sama, tapi aku tak ingin menjadikan itu sebagai solusi. Rasanya, terlalu terburu-buru jika aku sendiri menyimpulkan hal buruk itu yang terjadi.Bukankah bukan hal yang baru jika seorang Indah terlambat datang bulan?Ya, semenjak mendapatkan haid pertama pada usia 12 tahun, kadang aku memang memiliki siklus haid yang kurang teratur. Jadi bukan tidak mungkin, 'kan apa yang aku alami ini adalah hal yang lumrah seperti sebelum-sebelumnya?Aku cuma masuk angin karena malam tadi susah tidur dan AC di kamar terlalu dingin. Ya, pasti itu penyebabnya. Bukan karena hamil. Bukan!Aku terus mensugesti diri jika tak ada efek apa pun yang terjadi buah dari hubunganku dengan Darren yang terjadi hari itu.Tak akan pernah ada!Itu hanya sebuah kekhilafan yang tak seharusnya berdampak sejauh itu padaku."Ini cuma masuk angin biasa, Ma. Tadi malam Indah nggak bisa tidur, makanya jadi p
"Ngingetin kamu sama siapa?" tanya Resti penasaran.Huh! Ternyata … bukan cuma aku saja yang dibuat penasaran dengan ucapan Arman ini."Ah … nggak ada, lupakan. Jadi, gimana? Apa kamu masih berniat menjalankan rencana yang kita sudah susun sebelum ini, Res?" Arman yang sepertinya tak tertarik memberikan informasi lebih pada kami, terlihat ingin mengalihkan pembahasan dengan membicarakan tentang hal lain. Bukan mengenai apa yang sebenarnya membuat aku dan Resti penasaran.Resti tak langsung menjawab pertanyaan dari sepupunya, melainkan mengambil napas terlebih dahulu dan lantas mengalihkan pandangannya padaku."Kalau soal itu … kayaknya kita harus tanya dulu sama Indah. Katanya teman kamu yang playboy itu bilang mau datang ke rumah dia malam ini," ungkap Resti blak-blakan."Oh, ya?" Arman menatap tak percaya saat sepupunya secara gamblang menyampaikan kabar tentang rencana Darren yang katanya bakal datang ke rumahku malam nanti."Iya." Resti mantap menjawab. Dan seketika itu pula, sebu