Aku buru-buru menutup pintu rapat-rapat. Tak ingin terperdaya oleh ekspresi wajah mereka yang terlihat meyakinkan. Karena bisa saja … itu cuma sebuah jebakan dan akal-akalan mereka bukan?Tak menunggu waktu lama, terdengar pintu diketuk lagi beberapa kali, membuat jantungku sontak berdegup kencang dan rasa panik dalam hati semakin menjadi. Takut juga Ayah nekat mendobrak pintu lalu memaksaku pulang, dan kemudian … memintaku menikah dengan lelaki pilihannya. Oh tidak! Aku tidak mau."Ndah … maafkan Ayah, Nak." Suara Ayah terdengar lagi, membuat pikiran yang sedang melayang jauh entah ke mana, kembali ke pengaturan awal.Tak ingin terpengaruh, aku yang berdiri membelakangi pintu, hanya diam membatu. Tak tertarik untuk menyahut ucapan, apa lagi sampai membuka kembali pintu. Tidak akan.Takut. Ya, aku takut itu cuma siasat untuk membodohi diriku. Itu saja.Untuk beberapa saat pintu diketuk berulang. Dan aku yang masih berdiri di sini, hanya diam sambil berdoa, berharap semoga Darren bisa d
Ayah mengangguk kaku ketika sahabatku memberikan pendapat."Makasih." Dengan mengesampingkan rasa penasaran akan maksud ucapan Resti, aku meraih plastik yang diulurkan Darren."Maafin Ayah, Indah." Ayah mendekat begitu aku bersiap membalikkan badan dan masuk, untuk kemudian sarapan. Aku yang hatinya masih bergejolak, tak menyahut apa pun.Resti berdeham saat mungkin menyadari aku hanya menunjukkan sikap bersahabat pada Darren. Namun, tidak pada ayahku sendiri."Kamu … nggak mau ngijinin kami masuk begitu?" tanya Resti membuatku terjebak oleh rasa canggung.Mendengar pertanyaan dari Resti, aku lantas meminta pendapat Darren melalui tatapan mata."Silakan masuk." Terlihat lelaki berpakaian formal itu menunjukkan sikap ramah pada keluarga dan sahabatku.Mengikuti aku dan Darren yang masuk lebih dulu, Ayah, Lira, dan Resti menyusul di belakang.Untuk beberapa lama, tak ada satu patah kata pun yang terluah dan mampu memecah kesunyian pagi di ruang tamu ini. Sampai akhirnya … kulihat Ayah m
"Woy! Nggak perlu emosi begitu juga, kali, Bro. Serius amat?" Terlihat sepupu Resti seperti berusaha menormalkan situasi saat mungkin menyadari Darren mulai tampak tersulut emosi oleh ucapannya sebelum ini. Ya, ucapan tentang masa depan dan masa lalu yang juga menjadi satu pertanyaan tersendiri untukku."Ada apa, sih, sebenernya?" Aku yang memang belum tahu duduk perkaranya, melempar pandangan secara bergantian pada Arman dan Darren. Mencari jawaban yang mungkin saja bisa menuntaskan rasa penasaranku saat Arman berulang kali menyebutkan tentang masa lalu tak cukup sekali.Masa lalu siapa? Masa lalu yang seperti apa?"Kenapa dengan masa lalumu, Mas?" tanyaku spontan saat tatapan terfokus hanya pada lelaki 25 tahun berdarah China ini.Mendengar pertanyaan dariku, lelaki berkulit putih yang saat ini duduk berhadapan denganku, terlihat enggan bersuara. Membuat Arman melempar seringaian tajam dan penuh teka-teki ketika sepasang matanya melirik sahabat lamanya dengan pandangan penuh misteri
Malam ini, aku tak kunjung dapat memejamkan mata hingga malam hampir larut.Ya Tuhan!Bukankah sebentar lagi aku akan menjadi pengantin?Ya … walaupun dengan cara yang kurang terpuji. Namun, itu lebih baik bukan? Setidaknya, aku masih harus merasa beruntung karena lelaki yang memang merupakan ayah biologis dari janin dalam kandunganku, tidak lari dari tanggung jawab?[Belum tidur?] Sebuah pesan yang masuk ke aplikasi hijau membuat perbedaan situasi.Aku tersentak saat melihatnya mengirimkan pesan hampir tengah malam ini.[Belum ngantuk.]Aku membalas pesannya tanpa menunggu lama.[Sama.]Pesan singkat yang dikirimkan olehnya membuat senyumku terukir tanpa bisa dikendalikan.Benarkah kami memang sehati dan bakal menjadi pasangan yang serasi? Meskipun awalnya sama sekali tak saling mengenal watak dan kepribadian masing-masing?Mungkinkah pernikahan yang diawali dengan sebuah penjebakan bakal berakhir bahagia?Mungkinkah?Hatiku bertanya-tanya.[Aku nggak bisa tidur karena mikirin Indah
Meski ingin sekali membela diri dan menyangkal tuduhan mommy Darren yang rasanya tak berdasar, tapi saat ini aku lebih memilih diam. Takut salah bicara dan malah menghancurkan semua rencana. Biar bagaimanapun, aku tak ingin membuat kedua orang tuaku malu jika aku sampai gagal menikah lagi. Terlebih saat ini … di rahimku sudah ada darah daging seorang Darren, 'kan?Mendadak, hatiku melara. Tak menyangka bakal melakoni takdir hidup seperti ini. Menjalani kehamilan sebelum seorang lelaki mengucap kalimat kabul di hadapan ayahku benar-benar jauh dari anganku.Ya Allah, sekali lagi hamba memohon kepadaMu, ampunilah segala dosa dan berikanlah kebahagiaan sejati di hidupku.Aku yang merasakan mood-ku mendadak kacau, menatap Darren dengan tatapan memohon, seolah ingin mengajukan pertanyaan, 'Bisakah kita pulang sekarang?'"Oke, kita pulang sekarang," ucap Darren sambil mengangguk mantap saat menatapku.Aku terpana.Bagaimana bisa dia tahu apa yang aku inginkan sebelum aku sempat melisankan?
"Maafkan Mommy," ucap Darren saat lelaki berkulit putih ini mulai menjalankan mobilnya, membawaku pergi dari rumahnya yang semewah istana.Aku masih diam. Tak ingin membahas perihal apa pun setelah mentalku dibuat down oleh wanita yang konon bakal menjadi ibu mertuaku tak lama lagi. Sekali lagi, pantaskah aku yang seorang gadis dari keluarga biasa, membaur bersama keluarga Darren yang ternyata sekaya itu?"Maafkan Mommy, Indah," ulang Darren saat mungkin menyadari ucapan sebelumnya tak mendapatkan respon.Aku menoleh dan lantas menatapnya tajam."Seberapa banyak rahasia yang kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanyaku pelan, tapi sukses membuat wajahnya terlihat menggelap detik ini juga.Kini, giliran Darren yang bungkam. Terlihat dia lebih memilih fokus menyetir dan menatap jalan daripada harus menjawab rasa penasaranku. Aku menarik napas dalam saat rasa sesak tiba-tiba memenuhi rongga dada."Kenapa mommy-mu bisa salah paham padaku, ha? Padahal, aku tidak tahu apa-apa, kau tahu itu, kan?"
Dengan gerakan cepat, Lira menarik tangan Arman menuju ruang tengah. Membuat lelaki 25 tahun itu menjauh dari hadapan kami yang duduk melingkar di atas hamparan permadani ruang tamu.Suasana yang sempat tegang, kembali mencair setelah Arman urung mengungkapkan apa yang mungkin Darren sembunyikan dariku. Hal penting yang mungkin saja merupakan sesuatu yang krusial dan Darren masih ingin menutupnya rapat-rapat.Tidak seperti beberapa kerabatnya yang terlihat santai, dalam pandangan mataku, terlihat Darren masih menunjukkan raut wajah tegang meski Arman tak berada di tengah-tengah kami saat ini."Kenapa, Mas?" tanyaku setengah berbisik dengan tatapan menyelidik. Pada dia yang penuh misteri, tapi sayangnya, hanya dia lelaki yang paling berhak atas diriku dalam waktu dekat.Seperti tak ingin mengungkap apa yang membuatnya tak enak hati, Darren menggeleng pelan sambil mengulas senyum tipis."It's ok, Sayang." Aku dibuat benar-benar salah tingkah, ketika tanpa permisi, Darren mengapit daguku
Aku terdiam kembali. Rasa hati memang sedang tak ingin bergurau karena pikiranku sendiri tengah bercabang ke mana-mana."Mana mungkin aku bosen. Kan tiap hari juga nanti kita bareng-bareng terus, 'kan?"Aku tertegun mendengar pertanyaan darinya yang meski terdengar tak serius, tapi nyatanya hal itu tak bisa dinafikan.Ya Allah, aku bahkan tak pernah memimpikannya. Mendapatkan seorang anak tunggal dari keluarga kaya raya yang diharuskan menikah denganku karena satu kesalahan hari itu.Ya, selama ini, aku hanya yakin jika lelaki yang pantas berjodoh denganku cuma Galang seorang. Akan tetapi, ternyata, takdir berkata lain.Ah, Galang, maafkanlah aku jika selama ini sikapku terlampau menyakitimu yang ternyata tak semudah itu melupakanku."Kamu kenapa?" Pertanyaan dari Darren membuatku tersentak.Aku yang sedang memikirkan pasal Galang, gelagapan ketika hendak memberikan jawaban."Itu … itu—." Aku benar-benar tak punya cadangan kata untuk dikeluarkan saat ini.Ya, tak bisa dipungkiri, aku m