Meski ingin sekali membela diri dan menyangkal tuduhan mommy Darren yang rasanya tak berdasar, tapi saat ini aku lebih memilih diam. Takut salah bicara dan malah menghancurkan semua rencana. Biar bagaimanapun, aku tak ingin membuat kedua orang tuaku malu jika aku sampai gagal menikah lagi. Terlebih saat ini … di rahimku sudah ada darah daging seorang Darren, 'kan?Mendadak, hatiku melara. Tak menyangka bakal melakoni takdir hidup seperti ini. Menjalani kehamilan sebelum seorang lelaki mengucap kalimat kabul di hadapan ayahku benar-benar jauh dari anganku.Ya Allah, sekali lagi hamba memohon kepadaMu, ampunilah segala dosa dan berikanlah kebahagiaan sejati di hidupku.Aku yang merasakan mood-ku mendadak kacau, menatap Darren dengan tatapan memohon, seolah ingin mengajukan pertanyaan, 'Bisakah kita pulang sekarang?'"Oke, kita pulang sekarang," ucap Darren sambil mengangguk mantap saat menatapku.Aku terpana.Bagaimana bisa dia tahu apa yang aku inginkan sebelum aku sempat melisankan?
"Maafkan Mommy," ucap Darren saat lelaki berkulit putih ini mulai menjalankan mobilnya, membawaku pergi dari rumahnya yang semewah istana.Aku masih diam. Tak ingin membahas perihal apa pun setelah mentalku dibuat down oleh wanita yang konon bakal menjadi ibu mertuaku tak lama lagi. Sekali lagi, pantaskah aku yang seorang gadis dari keluarga biasa, membaur bersama keluarga Darren yang ternyata sekaya itu?"Maafkan Mommy, Indah," ulang Darren saat mungkin menyadari ucapan sebelumnya tak mendapatkan respon.Aku menoleh dan lantas menatapnya tajam."Seberapa banyak rahasia yang kamu sembunyikan dariku, Mas?" tanyaku pelan, tapi sukses membuat wajahnya terlihat menggelap detik ini juga.Kini, giliran Darren yang bungkam. Terlihat dia lebih memilih fokus menyetir dan menatap jalan daripada harus menjawab rasa penasaranku. Aku menarik napas dalam saat rasa sesak tiba-tiba memenuhi rongga dada."Kenapa mommy-mu bisa salah paham padaku, ha? Padahal, aku tidak tahu apa-apa, kau tahu itu, kan?"
Dengan gerakan cepat, Lira menarik tangan Arman menuju ruang tengah. Membuat lelaki 25 tahun itu menjauh dari hadapan kami yang duduk melingkar di atas hamparan permadani ruang tamu.Suasana yang sempat tegang, kembali mencair setelah Arman urung mengungkapkan apa yang mungkin Darren sembunyikan dariku. Hal penting yang mungkin saja merupakan sesuatu yang krusial dan Darren masih ingin menutupnya rapat-rapat.Tidak seperti beberapa kerabatnya yang terlihat santai, dalam pandangan mataku, terlihat Darren masih menunjukkan raut wajah tegang meski Arman tak berada di tengah-tengah kami saat ini."Kenapa, Mas?" tanyaku setengah berbisik dengan tatapan menyelidik. Pada dia yang penuh misteri, tapi sayangnya, hanya dia lelaki yang paling berhak atas diriku dalam waktu dekat.Seperti tak ingin mengungkap apa yang membuatnya tak enak hati, Darren menggeleng pelan sambil mengulas senyum tipis."It's ok, Sayang." Aku dibuat benar-benar salah tingkah, ketika tanpa permisi, Darren mengapit daguku
Aku terdiam kembali. Rasa hati memang sedang tak ingin bergurau karena pikiranku sendiri tengah bercabang ke mana-mana."Mana mungkin aku bosen. Kan tiap hari juga nanti kita bareng-bareng terus, 'kan?"Aku tertegun mendengar pertanyaan darinya yang meski terdengar tak serius, tapi nyatanya hal itu tak bisa dinafikan.Ya Allah, aku bahkan tak pernah memimpikannya. Mendapatkan seorang anak tunggal dari keluarga kaya raya yang diharuskan menikah denganku karena satu kesalahan hari itu.Ya, selama ini, aku hanya yakin jika lelaki yang pantas berjodoh denganku cuma Galang seorang. Akan tetapi, ternyata, takdir berkata lain.Ah, Galang, maafkanlah aku jika selama ini sikapku terlampau menyakitimu yang ternyata tak semudah itu melupakanku."Kamu kenapa?" Pertanyaan dari Darren membuatku tersentak.Aku yang sedang memikirkan pasal Galang, gelagapan ketika hendak memberikan jawaban."Itu … itu—." Aku benar-benar tak punya cadangan kata untuk dikeluarkan saat ini.Ya, tak bisa dipungkiri, aku m
Aku yang dalam keadaan cemas, terus berdoa dan berharap akan ada malaikat penolong yang bisa menggagalkan rencana Galang untuk menculik diriku. Sungguh, ketakutanku atas kehilangan calon bayiku adalah ketakutan paling dominan saat ini."To—."Menyadari aku hampir berteriak, Galang dengan sigap kembali membekap mulutku. Memperlakukanku layaknya tawanan yang tak diperkenankan untuk bersuara walaupun sepatah.Sungguh, aku tak pernah menyangka, kami yang dulu saling mencintai, bakal berakhir seperti ini. Bahkan, seorang Galang di mataku saat ini, terlihat lebih menyeramkan dari monster paling menakutkan sekalipun.Sambil melihat ke kanan dan ke kiri, tangan lebar Galang terus membekapku saat mantan calon suamiku ini membawaku dengan paksa ke parkiran mobil yang terletak di basement mall ini."Jangan banyak bergerak kalau kau ingin nyawa dan calon bayimu selamat, Indah!" desisnya di telingaku. Membuat bulu romaku kembali berdiri mendengar gertakannya.Bukankah ancamannya sangat mengerikan
"Kenapa jadi menghubungkan ke situ, sih, Res?" Aku bersungut-sungut kesal saat merasa sahabatku tak berhenti menatapku dengan pandangan mengejek pasca sukses membuatku meradang dengan ucapannya yang memang mengganggu pendengaran.Resti menghentikan tawa."Iya, maaf, ya, Bumil, aku salah ngomong," ucapnya lirih.Aku bersedekap sambil memalingkan muka ke satu arah di mana mata ini tak menangkap dua orang paling menyebalkan yang pernah ada di muka bumi. Darren Atma Wijaya dan Resti Andriani Purnomo."Jadi, sekarang kamu maunya gimana, nih? Mau pulang bareng aku atau sama sugar Daddy?" tanya Resti memecah kebisuan. Memaksaku menoleh ke arah Darren, ingin tahu bagaimana ekspresinya saat ini. Ketika Resti secara terang-terangan menyebut dirinya dengan sebutan sugar Daddy.Bukankah itu julukan yang amat menggelikan sekaligus menjengkelkan?"Wait! Apa 25 tahun sudah bisa dipanggil sugar Daddy?" Terlihat jelas jika calon suamiku tak terima saat Resti memberikan julukan yang sangat tak beradab
"Udah dulu, ya, Mbak, aku ada tugas, nih." Terdengar adikku seperti ingin mengakhiri pembicaraan dengan lawan bicaranya yang aku yakini adalah Alia. Ya, Alia. Siapa lagi?Bukankah dia sosok yang paling pantas untuk dicurigai saat ini?Aku terus menahan gejolak dalam dada saat memaksa diri untuk terus berdiri di sini sembari menyimak obrolan adikku dengan lawan bicaranya."Hah, apa, Mbak? Oh … soal hubungan aku dengan Galang?"Aku menajamkan pendengaran saat merasa adikku seperti ingin berbagi informasi tentang mantan calon suami yang juga gagal menjadi suami sejati untuk si cantik yang tengah bertelepon ria saat ini."Itu … dia udah mau batalin pernikahan, Mbak, kayaknya, sih, udah ngajuin berkas pembatalan kemaren," ucap Lira tanpa beban.Aku tertegun seketika.Ringan sekali dia mengungkapkan hal itu? Seolah pembatalan nikah itu tak menjadi sesuatu yang membuatnya tertekan apa lagi depresi.Aneh bukan?Bukankah caranya mendapatkan Galang dia lakukan dengan effort yang yang tak main-m
Sampai di depan pintu ruang tamu, aku buru-buru memencet bel. Tak sabar rasanya ingin bertemu dan meminta penjelasan pada dua orang yang rasanya memang bersekongkol membuatku terjebak hari itu.Tak lama setelah aku aku memencet bel rumah bergaya modern klasik ini, kedatanganku disambut oleh Bik Rum, salah satu asisten rumah tangga yang telah aku kenal semenjak aku dan Alia sama-sama duduk di bangku SMA kelas X, sekitar enam tahun yang lalu."Assalamualaikum." Aku sengaja mengucap salam sesaat setelah pintu terbuka."Waalaikumussalam, Non Indah." Bik Rum menyambut kedatanganku dengan raut wajahnya yang terlihat ramah. Sama seperti dulu, saat aku lumayan sering bertandang ke sini."Alia ada, Bik?" tanyaku pelan."Ada," balas Bik Rum lantas mempersilakan aku masuk.Aku merasakan dadaku berdebar saat menyadari diri ini tak lama lagi bakal berjumpa dengan sekutu adikku."Hai." Dari kejauhan, Mas Danar yang terlihat tengah berdiskusi dengan seseorang di sofa ruang tamu, buru-buru bangkit ke