"Udah dulu, ya, Mbak, aku ada tugas, nih." Terdengar adikku seperti ingin mengakhiri pembicaraan dengan lawan bicaranya yang aku yakini adalah Alia. Ya, Alia. Siapa lagi?Bukankah dia sosok yang paling pantas untuk dicurigai saat ini?Aku terus menahan gejolak dalam dada saat memaksa diri untuk terus berdiri di sini sembari menyimak obrolan adikku dengan lawan bicaranya."Hah, apa, Mbak? Oh … soal hubungan aku dengan Galang?"Aku menajamkan pendengaran saat merasa adikku seperti ingin berbagi informasi tentang mantan calon suami yang juga gagal menjadi suami sejati untuk si cantik yang tengah bertelepon ria saat ini."Itu … dia udah mau batalin pernikahan, Mbak, kayaknya, sih, udah ngajuin berkas pembatalan kemaren," ucap Lira tanpa beban.Aku tertegun seketika.Ringan sekali dia mengungkapkan hal itu? Seolah pembatalan nikah itu tak menjadi sesuatu yang membuatnya tertekan apa lagi depresi.Aneh bukan?Bukankah caranya mendapatkan Galang dia lakukan dengan effort yang yang tak main-m
Sampai di depan pintu ruang tamu, aku buru-buru memencet bel. Tak sabar rasanya ingin bertemu dan meminta penjelasan pada dua orang yang rasanya memang bersekongkol membuatku terjebak hari itu.Tak lama setelah aku aku memencet bel rumah bergaya modern klasik ini, kedatanganku disambut oleh Bik Rum, salah satu asisten rumah tangga yang telah aku kenal semenjak aku dan Alia sama-sama duduk di bangku SMA kelas X, sekitar enam tahun yang lalu."Assalamualaikum." Aku sengaja mengucap salam sesaat setelah pintu terbuka."Waalaikumussalam, Non Indah." Bik Rum menyambut kedatanganku dengan raut wajahnya yang terlihat ramah. Sama seperti dulu, saat aku lumayan sering bertandang ke sini."Alia ada, Bik?" tanyaku pelan."Ada," balas Bik Rum lantas mempersilakan aku masuk.Aku merasakan dadaku berdebar saat menyadari diri ini tak lama lagi bakal berjumpa dengan sekutu adikku."Hai." Dari kejauhan, Mas Danar yang terlihat tengah berdiskusi dengan seseorang di sofa ruang tamu, buru-buru bangkit ke
"Aku belum siap." Dengan raut wajah yang pasti terlihat tegang, aku berusaha kuat untuk menarik selimut ketika Darren seperti tertarik memangkas jarak di antara kami.Melihat ekspresi takut yang mungkin terkesan berlebihan, membuat Darren mengacak rambutnya kesal saat membuang muka ke arah lain, tak lama usai sepasang matanya menatap diriku.Bukan main, 'kan lelaki satu ini? Suka-suka saja mau minta jatah! Memang dia pikir aku tidak takut dengan yang namanya malam pertama?Memangnya dia tidak ingat kalau aku melakukannya dalam kondisi setengah sadar hari itu? Aku terus menggerutu dalam hati ketika menatap dia yang seperti masih tertarik untuk menuntutku untuk menunaikan kewajiban malam ini. Padahal sudah jelas-jelas aku menolak."Katanya … kamu bilang mau jadi suami dan ayah yang baik, 'kan?" Meski dengan perasaan takut, aku berusaha mengingatkannya kembali akan janjinya hari itu."Terus?" tanyanya sambil menunjukkan tampang innocent ketika memandangku."Sekarang aku belum siap. Lagia
Aku kebingungan memberikan jawaban.Belum sempat aku mendebat, terlihat olehku, ponsel milik Darren yang dia letakkan di atas nakas satu lagi, bergetar."HAHA. Iya, nih." Terlihat suamiku mengurai senyuman ketika dirinya sudah tersambung melalui sambungan telepon dengan seseorang.Aku diam, tapi terus menyimak obrolannya."Resepsi?" Ya ... dalam waktu dekat sih paling," ungkapnya terdengar santai.Hah? Resepsi? Apakah dia sedang membual?"Woiya jelas, dong. Gue, 'kan pengen nikahnya juga seumur hidup satu kali, masa iya sih nggak dirayain?" Mataku membelalak lebar mendengar bagaimana suamiku terlihat menikmati obrolannya dengan seseorang yang aku perkirakan adalah teman baiknya.Dadaku berdebar kencang dalam seketika.Bukankah sebelumnya dia sudah sepakat untuk tidak mengadakan resepsi? Lantas, kenapa sekarang dia begitu yakin dengan ucapannya yang secara lugas menjelaskan jika resepsi itu benar akan diadakan?Ya, sebelum ini memang aku sudah membuat kesepakatan dengan Darren jika pe
Lira terkejut setengah mati saat menyadari aku berdiri di belakangnya. Terlihat gadis itu buru-buru mengakhiri panggilan dengan seorang yang kuperkirakan adalah Alia."Kenapa ditutup?" Sambil menyilangkan tangan di depan dada, aku bertanya dengan tatapan menyelidik pada adikku yang terlihat begitu salah tingkah kala tatapan kami beradu."Ng-nggak apa-apa, Mbak," balas adikku terbata-bata. Membuatku gemas setengah mati. Bagaimana tidak, bukankah adikku yang satu ini suka sekali menguji kesabaran melalui sikapnya yang tak terbuka selama ini? Ya, semenjak hari itu, dia memang menjadi sosok yang berbeda dari sosok Lira yang selama ini kukenal. Namun, sayangnya, hanya dia satu-satunya saudara yang kumiliki."Apa yang salah dengan Galang?" Aku yang memang penasaran dengan maksud ucapannya saat tengah bertelepon ria tadi, nekat bertanya meski tak yakin dia bakal menjawabnya secara langsung.Ya, karena orang-orang terdekatku memang suka bermain teka-teki bukan?Aku yang sedang mengintimidasi
"Buat apa nanyain soal dia?" Dia mengulang pertanyaan saat aku tak segera menjawab pertanyaan darinya."Nggak apa-apa." Aku santai sembari meresapi kekesalannya yang entah kenapa menjadi sesuatu yang memuaskan untukku."Kamu kangen sama dia?"Melihat aku dan Darren mulai bersitegang, Bik Minah terlihat menarik diri dari hadapan kami. Mungkin tak enak hati.Aku buru-buru menghabiskan rujak serut dan kemudian berjalan menuju kamar saat kulihat raut wajah marah dari seorang Darren tak juga memudar setelah beberapa menit aku menyebut lagi nama Galang."Kamu kangen sama dia?" Lagi-lagi aku memilih bungkam ketika dia menyusul ke kamar dan mengulang lagi pertanyaan yang tak aku jawab ketika kami sedang berada di dapur tadi."Kayaknya nggak ada salahnya, 'kan kalau aku kangen?" balasku santai. Ya, aku memang sengaja mengatakan itu untuk menyulut emosi. Bukankah ketika melihatnya marah itu bisa menjadi satu pemandangan mengasyikkan untukku?"Apa kau sedang bercanda, Indah?!" Wajah Darren terli
Aku masih berdiri kaku pada posisiku saat hati dan pikiran masih saja sulit untuk percaya dengan pemandangan yang tampak sangat nyata di seberang sana.Astaghfirullah. Aku beristighfar lagi saat prasangka buruk tentang Galang tak dapat disingkirkan dari otakku begitu saja.Bukankah dari gerak tubuh bisa terbaca jika … ada sesuatu yang tak biasa diantara mereka berdua? Tidak! Aku tidak bisa melihat pemandangan itu sebagai bentuk pertemanan atau persaudaraan. Namun, lebih kepada hubungan dua orang dewasa yang saling … mencintai?Ya Allah, benarkah ini?Benarkah selama ini Galang menjadi simpanan wanita berumur? Jika memang begitu adanya, apa yang membuatnya jadi seperti itu?Aku terus menerka-nerka dalam hati sambil terus menatapnya tanpa menoleh ke arah lain. Entah mengapa, kali ini aku tertarik untuk tahu apa yang akan dilakukan oleh wanita yang rasanya tak jauh berbeda usia dengan mamaku."Please, Mel. Jangan keterlaluan!" Sekali lagi, Galang terlihat sangat tidak nyaman dengan apa y
Seperti tak ingin terjadi keributan, dengan cekatan, Galang menarik tangan wanita itu dan membawanya menjauh dari hadapan kami.Sepeninggalnya Galang dari hadapanku, entah kenapa aku merasakan mood-ku mendadak anjlok.Apakah ini yang dimaksud oleh Lira jika sampai aku dan Galang bersatu,maka efeknya akan sangat mengerikan?Apakah ini maksud dari rencana Alia yang sesungguhnya?Karena takut aku mendapatkan masalah jika benar aku jadi menikah dengan Galang?Benarkah mereka sepeduli itu padaku?Berbagai hidangan yang sebenarnya lezat, menjadi benar-benar hambar saat pikiranku terus bercabang ke mana-mana."Mas, bisa kita pulang?" Aku yang merasakan nafsu makanku hilang, memohon pada Darren untuk segera pergi dari tempat yang membuatku tahu sisi lain seorang Galang Wicaksana. Sisi gelap yang selama dua tahun ini tak pernah diungkap olehnya."Oke, kita pulang sekarang."Aku merasa beruntung karena tidak perlu melakukan perdebatan untuk pulang dengan cepat. Ya, ternyata suamiku memang tipe