Aku masih berdiri kaku pada posisiku saat hati dan pikiran masih saja sulit untuk percaya dengan pemandangan yang tampak sangat nyata di seberang sana.Astaghfirullah. Aku beristighfar lagi saat prasangka buruk tentang Galang tak dapat disingkirkan dari otakku begitu saja.Bukankah dari gerak tubuh bisa terbaca jika … ada sesuatu yang tak biasa diantara mereka berdua? Tidak! Aku tidak bisa melihat pemandangan itu sebagai bentuk pertemanan atau persaudaraan. Namun, lebih kepada hubungan dua orang dewasa yang saling … mencintai?Ya Allah, benarkah ini?Benarkah selama ini Galang menjadi simpanan wanita berumur? Jika memang begitu adanya, apa yang membuatnya jadi seperti itu?Aku terus menerka-nerka dalam hati sambil terus menatapnya tanpa menoleh ke arah lain. Entah mengapa, kali ini aku tertarik untuk tahu apa yang akan dilakukan oleh wanita yang rasanya tak jauh berbeda usia dengan mamaku."Please, Mel. Jangan keterlaluan!" Sekali lagi, Galang terlihat sangat tidak nyaman dengan apa y
Seperti tak ingin terjadi keributan, dengan cekatan, Galang menarik tangan wanita itu dan membawanya menjauh dari hadapan kami.Sepeninggalnya Galang dari hadapanku, entah kenapa aku merasakan mood-ku mendadak anjlok.Apakah ini yang dimaksud oleh Lira jika sampai aku dan Galang bersatu,maka efeknya akan sangat mengerikan?Apakah ini maksud dari rencana Alia yang sesungguhnya?Karena takut aku mendapatkan masalah jika benar aku jadi menikah dengan Galang?Benarkah mereka sepeduli itu padaku?Berbagai hidangan yang sebenarnya lezat, menjadi benar-benar hambar saat pikiranku terus bercabang ke mana-mana."Mas, bisa kita pulang?" Aku yang merasakan nafsu makanku hilang, memohon pada Darren untuk segera pergi dari tempat yang membuatku tahu sisi lain seorang Galang Wicaksana. Sisi gelap yang selama dua tahun ini tak pernah diungkap olehnya."Oke, kita pulang sekarang."Aku merasa beruntung karena tidak perlu melakukan perdebatan untuk pulang dengan cepat. Ya, ternyata suamiku memang tipe
Aku merasakan dadaku terhimpit secara tiba-tiba detik ini. Terasa sesak dan penuh oleh rasa sakit.Seluruh tubuhku terasa dingin dan kaku ketika hati ini masih juga belum memahami tentang apa maksud tersembunyi dari persekongkolan diantara mereka.Apakah benar mereka punya tujuan yang baik, atau … sebaliknya?Jika memang tujuan mereka untuk melindungiku, kenapa harus melakukannya dengan cara yang kotor? Bahkan, mereka dengan tega membuatku terjerembab ke dalam kubangan dosa yang berujung pada kehamilan yang tak pernah kuinginkan ini.Kepalaku mendadak berdenyut lagi saat mengingat kehamilan yang sebelumnya tak pernah kuharapkan, memang terjadi karena ada campur tangan adik dan sahabatku di dalamnya.Ya Allah, adakah yang lebih sial daripada aku? Seorang yang harus menanggung malu karena ulah tak terpuji adik dan sahabat yang kuanggap sebagai orang-orang terdekat dalam hidupku?Perasaan damai yang selama beberapa hari sempat singgah, seakan mengabur entah ke mana. Rasa bersyukur karena
Menyadari aku tak ini berbicara apa pun, Darren terlihat menarik diri dari dapur."Non Indah, baik-baik saja?""Iya, Bik. Aku baik-baik saja," ujarku meyakinkan ketika Bik Minah seperti mencemaskan keadaanku.Sampai di meja makan, aku memilih tetap diam, tak ingin membahas apa pun dengan suami atau adikku yang dalam pandangan mataku saat ini … tak lebih dari penjahat paling mengerikan yang ada di muka buAh, sungguh, jika bukan karena di perutku sudah terisi oleh janin, aku pasti akan berpikir sepuluh kali untuk menikah dengannya. Seorang penjahat kelamin yang begitu tega merampas kehormatan dengan cara licik dan murahan."Indah ... apa kamu baik-baik saja?" tanya Mama saat mungkin merasa jika aku tak menunjukkan raut wajah menyenangkan selama berada di meja makan."Indah baik-baik aja, kok, Ma. Cuma lagi nggak habis pikir, kenapa ... juga hidup Indah harus sesial ini. Hidup di antara para penjahat," ucapku tajam, membuat suami dan adikku tersedak dalam seketika. Mungkin merasa tersin
Langkahku bagai tak memijak bumi.Pandangan yang mengabur dan kepala yang terasa berat bukan menjadi soal. Yang kuinginkan saat ini cuma satu, secepatnya sampai rumah. Itu saja. Tak ada yang lebih penting dari itu.Meluahkan kesedihan dengan menangis dalam kamar, agaknya bakal bisa menjadi solusi untuk mengurangi beban di hati.Tatapan beberapa mahasiswa yang berpapasan denganku saat berjalan di lobi kampus, bukan menjadi hal berarti saat ini. Sungguh, aku tak ingin ambil peduli tentang bagaimana mereka memandangku. Apakah mencemooh atau bersimpati? Aku tak ingin ambil pusing.Air mata yang menetes tak tahu diri serta isak tangis yang mengiringi, menjadi satu hal yang memalukan, tapi tak kupedulikan. Bahkan, hingga menaiki taksi online, air mataku terus saja mengalir deras tanpa henti. Bagai hujan yang turun di bulan Januari.Dari kaca spion dalam mobil, bisa kulihat dengan jelas saat driver taksi online yang kutumpangi melirik padaku dengan tatapan aneh dan penuh tanya. Namun, aku be
"Maaf, aku mual dan lagi pengen muntah."Lagi-lagi, Galang terlihat salah tingkah ketika aku menghempaskan tangannya dengan kuat. Tak berapa lama setelahnya aku yang memang tersiksa oleh rasa mual, buru-buru memasuki rumah tanpa menoleh lagi pada Galang yang masih berdiri kaku di depan pintu gerbang rumahku.Begitu memasuki ruang tamu, Mama yang berdiri di balik pintu, terlihat cemas ketika aku aku menatapnya tanpa kata sebelum menaiki tangga."Indah, Nak? Apa kamu baik-baik saja?"Pertanyaan itu tak membuatku tergerak hati untuk membuka mulut dan bersuara.Sampai di kamar buru-buru kunci pintu. Tak ingin ada seorang pun yang mengganggu.Kujatuhkan tubuhku di atas tempat tidur setelah tas selempang milikku kusimpan dan aktivitas muntah telah tertunaikan.Di kamar ini, aku menangis sejadinya. Tanpa ingin peduli bagaimana orang di rumah ini akan menanggapi atau merasa risih. Aku hanya ingin mencurahkan kesedihan yang sedari tadi menguasai diri.Aku hanya ingin meluapkan apa yang menjadi
Alia dan Lira terlihat saling pandang satu sama lain. Entah sedang saling melempar tuduhan atau masing-masing saling menyalahkan, aku tak mengerti. Namun, yang jelas kulihat, wajah keduanya terlihat pucat kali ini. Persis bunga yang layu di musim kemarau.Suasana hening menjeda, sampai akhirnya adikku mengeluarkan suara terlebih dulu."Mungkin … Darren yang—." Terlihat Lira mengurungkan niat untuk berbicara saat mungkin merasa dirinya takut salah kata. Padahal, boleh saja, 'kan, dia berprasangka demikian jika nyatanya dua gadis licik ini bukanlah pelakunya?"Ya, bisa jadi. Oke, mari kita buktikan sekarang," sambar Resti kemudian. Setelahnya, terlihat dia sibuk dengan ponsel yang baru dia keluarkan dari tas selempang kecil miliknya.Resti berdecak berulang kali saat mungkin panggilannya tak mendapatkan respon dari seseorang yang kuperkirakan adalah Darren."Dasar, Playboy!" umpatnya geram dengan mata menyala merah saat akhirnya memilih menyerah untuk menyudahi usaha memanggil lelaki ya
Tak lama kemudian, seseorang yang rasanya sudah menantikan momen sedari tadi, buru-buru mengetuk pintu saat semua orang—terkecuali diriku, sudah pergi dari kamar ini."Makan siang, ya, Non."Aku cukup terkejut saat menyadari Bik Minah ternyata sudah membawa nampan berisi nasi beserta lauk di tangannya."Aku nggak lapar, Bik." Lagi-lagi aku menolak halus apa yang Bik Minah tawarkan.Aku memang tak merasa lapar saat hatiku bergejolak dan menerka-nerka siapa sebenarnya yang menaruh obat perangsang di minuman atau makanan ku saat itu.Meski berulang kali aku menolak, Bik Minah tak berputus asa untuk membujuk diriku makan siang.Akhirnya, aku luluh dan memakan makan siang yang dibawakan olehnya. Ya, Bik Minah memang paling tahu bagaimana cara membuatku luluh dan tunduk.***Pukul 16.00, aku yang baru keluar dari kamar mandi setelah mandi sore, dibuat terkejut saat menyadari suami yang menurutku masih menyimpan banyak misteri, duduk di sofa kamar sambil menatapku tanpa henti. Bukannya tersa