Langkahku bagai tak memijak bumi.Pandangan yang mengabur dan kepala yang terasa berat bukan menjadi soal. Yang kuinginkan saat ini cuma satu, secepatnya sampai rumah. Itu saja. Tak ada yang lebih penting dari itu.Meluahkan kesedihan dengan menangis dalam kamar, agaknya bakal bisa menjadi solusi untuk mengurangi beban di hati.Tatapan beberapa mahasiswa yang berpapasan denganku saat berjalan di lobi kampus, bukan menjadi hal berarti saat ini. Sungguh, aku tak ingin ambil peduli tentang bagaimana mereka memandangku. Apakah mencemooh atau bersimpati? Aku tak ingin ambil pusing.Air mata yang menetes tak tahu diri serta isak tangis yang mengiringi, menjadi satu hal yang memalukan, tapi tak kupedulikan. Bahkan, hingga menaiki taksi online, air mataku terus saja mengalir deras tanpa henti. Bagai hujan yang turun di bulan Januari.Dari kaca spion dalam mobil, bisa kulihat dengan jelas saat driver taksi online yang kutumpangi melirik padaku dengan tatapan aneh dan penuh tanya. Namun, aku be
"Maaf, aku mual dan lagi pengen muntah."Lagi-lagi, Galang terlihat salah tingkah ketika aku menghempaskan tangannya dengan kuat. Tak berapa lama setelahnya aku yang memang tersiksa oleh rasa mual, buru-buru memasuki rumah tanpa menoleh lagi pada Galang yang masih berdiri kaku di depan pintu gerbang rumahku.Begitu memasuki ruang tamu, Mama yang berdiri di balik pintu, terlihat cemas ketika aku aku menatapnya tanpa kata sebelum menaiki tangga."Indah, Nak? Apa kamu baik-baik saja?"Pertanyaan itu tak membuatku tergerak hati untuk membuka mulut dan bersuara.Sampai di kamar buru-buru kunci pintu. Tak ingin ada seorang pun yang mengganggu.Kujatuhkan tubuhku di atas tempat tidur setelah tas selempang milikku kusimpan dan aktivitas muntah telah tertunaikan.Di kamar ini, aku menangis sejadinya. Tanpa ingin peduli bagaimana orang di rumah ini akan menanggapi atau merasa risih. Aku hanya ingin mencurahkan kesedihan yang sedari tadi menguasai diri.Aku hanya ingin meluapkan apa yang menjadi
Alia dan Lira terlihat saling pandang satu sama lain. Entah sedang saling melempar tuduhan atau masing-masing saling menyalahkan, aku tak mengerti. Namun, yang jelas kulihat, wajah keduanya terlihat pucat kali ini. Persis bunga yang layu di musim kemarau.Suasana hening menjeda, sampai akhirnya adikku mengeluarkan suara terlebih dulu."Mungkin … Darren yang—." Terlihat Lira mengurungkan niat untuk berbicara saat mungkin merasa dirinya takut salah kata. Padahal, boleh saja, 'kan, dia berprasangka demikian jika nyatanya dua gadis licik ini bukanlah pelakunya?"Ya, bisa jadi. Oke, mari kita buktikan sekarang," sambar Resti kemudian. Setelahnya, terlihat dia sibuk dengan ponsel yang baru dia keluarkan dari tas selempang kecil miliknya.Resti berdecak berulang kali saat mungkin panggilannya tak mendapatkan respon dari seseorang yang kuperkirakan adalah Darren."Dasar, Playboy!" umpatnya geram dengan mata menyala merah saat akhirnya memilih menyerah untuk menyudahi usaha memanggil lelaki ya
Tak lama kemudian, seseorang yang rasanya sudah menantikan momen sedari tadi, buru-buru mengetuk pintu saat semua orang—terkecuali diriku, sudah pergi dari kamar ini."Makan siang, ya, Non."Aku cukup terkejut saat menyadari Bik Minah ternyata sudah membawa nampan berisi nasi beserta lauk di tangannya."Aku nggak lapar, Bik." Lagi-lagi aku menolak halus apa yang Bik Minah tawarkan.Aku memang tak merasa lapar saat hatiku bergejolak dan menerka-nerka siapa sebenarnya yang menaruh obat perangsang di minuman atau makanan ku saat itu.Meski berulang kali aku menolak, Bik Minah tak berputus asa untuk membujuk diriku makan siang.Akhirnya, aku luluh dan memakan makan siang yang dibawakan olehnya. Ya, Bik Minah memang paling tahu bagaimana cara membuatku luluh dan tunduk.***Pukul 16.00, aku yang baru keluar dari kamar mandi setelah mandi sore, dibuat terkejut saat menyadari suami yang menurutku masih menyimpan banyak misteri, duduk di sofa kamar sambil menatapku tanpa henti. Bukannya tersa
Mata suamiku tampak berkaca sebelum dirinya mengambil waktu dan berucap sesuatu. Menanggapi apa yang menjadi pintaku belum lama ini."Baik, aku terima syarat yang kau berikan, tapi jangan pernah menyesal jika anak itu sampai tak tahu siapa ibunya." Meski pelan, ucapan Darren yang terdengar dingin, entah kenapa efeknya terasa menusuk dan menembus sampai ke tulang. Membuat tubuhku sontak bergetar mendengarnya.Seketika, terjadi perang batin dalam diriku. Antara ingin mencoba acuh tak acuh atau ambil peduli akan ucapan lelaki 25 tahun yang baru beberapa hari ini menjadi suamiku.Ah, tidak masalah, Indah. Bukankah anak ini cuma aib yang tak pantas untuk kau pikirkan? Bukankah anak ini cuma beban yang akan membuatmu terlihat hina di mata orang? Pikiran jahat dalam diriku berbisik demikian."Baik." Aku berusaha untuk tetap terlihat tegar meski tak bisa menafikan diri jika ada sudut hatiku yang terluka mendengar ucapannya.Ya Allah.Benarkah anak yang disebut dengan sebutan anak haram ini ba
Aku terpaksa turun ke ruang makan, saat jam makan malam tiba dan Bik Minah memaksaku untuk bergabung bersama anggota keluarga yang lain—yang telah berkumpul di meja makan terlebih dahulu.Tak ada pembahasan apa pun di meja makan. Cuma satu yang terasa menusuk dan mengiris kalbu. Mama. Jelas sekali beliau enggan bertatapan denganku saat tanpa sengaja mata kami beradu.Ya Allah, kenapa rasanya jadi sesakit ini?Tak pantaskah seorang Indah mengharapkan keadilan dan membalaskan rasa sakit hati? Benarkah orang sepertiku cuma ditakdirkan untuk kalah dan mengalah?Benarkah?Sampai jam 21.00, tak ada tanda-tanda Darren pulang. Membuatku merasakan sesuatu yang … entah.Apakah aku merasa bersalah padanya?Aku tidak tahu.Aku yang belum berniat untuk tidur cepat, kembali turun dan memilih duduk di sofa panjang ruang keluarga pada pukul 21.30 malam.Aku yang sedang berdiam diri masih sambil menimang-nimang langkah apa yang harus aku ambil setelah ini, dibuat tersentak ketika menyadari Ayah tiba-t
Bukan cuma air mata yang menetes, tapi, tangis pilu pun turut menyertai. Membuatku merasa diriku tak ubahnya manusia bodoh yang dengan mudahnya menaruh rasa simpati terhadap penjahat.Ya, memang benar, kan kalau dia itu penjahat?Lantas, kenapa aku harus merasakan kepedihan ini saat melihatnya hancur?Kenapa?Kuusap dengan kasar air mata yang menetes di pipi. Sambil bertanya pada diri, perlukah aku menangisinya? Lelaki yang telah membuat hidupku hancur.Perlukah?Aku menyesal saat lagi-lagi tanpa diminta, air mataku menetes kembali ketika jari tanganku secara refleks memutar kembali video yang Arman kirimkan belum lama ini.Aku merasakan kepalaku terasa berat ketika dihadapkan dengan situasi yang benar-benar sulit seperti ini.Kenapa semua orang justru memanipulasi diriku?Bukankah di sini aku adalah korban? Lantas, kenapa justru seolah-olah aku yang bersalah? Sisi hatiku yang lain bergejolak saat rasa bersalah itu kembali muncul.Buang pikiran tak jelas ini, Indah!Buang segera!Tak
"Aku dengar, Darren mabuk berat tadi malam," ucap Resti saat meneleponku di jam sarapan. Aku memang sengaja membawa ponsel ketika turun ke meja makan pagi ini."Ya, aku tahu," balasku dingin dan tanpa berniat melihat bagaimana kedua orang tua dan adikku bereaksi."Lalu, apa rencanamu?""Aku akan memenjarakan mereka semua," ucapku tanpa keraguan. Membuat Lira dan Mama yang duduk berdampingan di depan meja makan, terkejut bukan main."Apa kamu serius?" Resti bertanya, seperti tak terlalu yakin dengan apa yang baru saja aku ungkapkan."Ya, aku serius," balasku tanpa ragu. Lagi.Kulihat Ayah menatapku dengan tatapan tak percaya."Oke, apa pun yang menjadi pilihanmu, aku akan mendukungnya. Penjahat-penjahat seperti mereka memang pantas mendapatkan ganjaran, agar tak semudah itu mempermainkan hidup orang lain di masa depan," ucap Resti terdengar tegas.Aku mendesah singkat mendengar hasil pemikirannya."Ya, aku sependapat denganmu, Resti."Percakapan berakhir.Membuat suasana sarapan kali i
"Dan kamu tahu, Indah. Pas pertama kali kita ketemu hari itu, aku benar-benar dibuat takjub melihat penampilan barunya yang … ditemani seorang wanita berjilbab di sampingnya," ucap Aluna, membuat otakku kembali merekam kejadian hari itu. Saat rasa cemburu dan prasangka buruk terus mendominasi ketika untuk pertama kali kami bertemu."Apa lagi waktu dia memperkenalkan kamu sebagai istrinya, jujur, aku ikut seneng liatnya, Ndah. Aku bersyukur banget waktu tahu dia udah bisa berdamai sama masa lalunya," tambahnya terdengar tulus.Aku tersenyum getir mendengar bagaimana dia mengungkapkan isi hatinya."Tapi Mbak Aluna tahu, sebenarnya dia … menjebak dan membuatku menikah dengannya karena aku—." Aku menggantung ucapan saat rasa sesak tiba-tiba menerjang ulu hati.Aluna menyorot mataku tajam. Seperti menuntutku memberikan jawaban."Karena aku sedikit memiliki kemiripan wajah dengan Mbak Aluna." Meski terasa berat, akhirnya, kata-kata itu meluncur juga dari bibirku.Aluna menatapku dengan tata
Aku memang sengaja menyemprotkan parfum khas wanita beraroma manis tapi kalem, sesaat setelah mengenakan pakaian yang sering disebut dengan istilah 'baju haram' ini.Untuk beberapa saat, aku dibuat tak berdaya ketika dia yang sepertinya telah dibakar gairah, terus mencumbu dan menyentuh lembut setiap inci tubuhku."Cantik banget, Sayang," ucapnya sambil menatapku dengan pandangan sayu, sebelum kami kembali terlibat lagi pada sebuah adegan mesra. Saat bibir kami saling bertaut.Seperti yang sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya, aku selalu saja tak punya cara untuk menghentikan aksi saat dia menjamah dan membuatku melayang dengan sentuhan-sentuhan yang begitu ampuh membuatku melayang.Untuk yang kesekian kalinya, selama pernikahan kami, aku dan Darren kembali merangkai malam dengan manisnya cinta yang saling tercurah di atas ranjang. Melakukan hubungan suami-istri secara halal sebagai upaya memuaskan batin dan mencari ketenangan."I love you, Mommy." Darren yang masih berbagi selimut
"Jadi … pernikahan Mas Arman otomatis batal?" tanyaku saat ikut merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh laki-laki yang selama ini terkenal kocak dan humoris itu."Ya … kemungkinan besar, sih begitu, Ndah." Terdengar Resti menghembuskan napas dengan kasar setelahnya."Kasihan. Padahal dia cowok yang baik dan nggak neko-neko," ujarku lirih."Iya. Pokoknya, doain aja, ya, Ndah, biar dia dapat pengganti yang lebih baik setelah ini." Terdengar ada pengharapan besar dari bagaimana sahabat baikku berucap."Aamiin."Begitu mengakhiri percakapan dengan Resti, aku dibuat sedikit gugup saat menyadari jika ternyata ada dua pasang mata yang menyaksikan obrolanku dengan Resti yang berlangsung belum lama ini."Mama? Lira?"Terlihat Lira menatap sendu saat mungkin telinganya juga bisa mendengar kabar lelaki yang dicintainya batal menikah. Sementara di sisi lain, Mama yang berdiri di samping putrinya, hanya tersenyum sinis mendengar kabar tidak mengenakkan dari Arman. Anak dari lelaki yang menja
Aku yang tengah duduk diam di sofa kamar setelah makan malam usai, dibuat kaget saat Resti tiba-tiba mengirimkan pesan."Gimana? Kamu udah baikan dan maafin dia?"Aku tak langsung membalas.Resti mengirim pesan lagi."Kalau semudah itu memaafkan, ya … pasti bakal bikin dia ketagihan buat main di belakang kamu, dong."Membaca pesan kedua itu, hatiku mendadak terasa panas dengan kepala yang terasa mengepulkan asap.Akhirnya, aku yang tak ingin memendam rasa penasaran itu sendirian, menelepon sahabat baikku dan lantas menceritakan tentang semua kejadian yang berlangsung sore tadi. Tentang kedatangan Aluna bersama suami dan anaknya. Juga tentang bagaimana mereka meyakinkan aku jika Darren tak memiliki hubungan apa pun dengan wanita 25 tahun berwajah teduh itu."Terus sekarang, suamimu ke mana? Kok kamu bebas banget nelpon aku dan bisa secara detail memerinci kejadian sore tadi?" tanya Resti setelah aku mengakhiri cerita."Dia sedang ada meeting penting sama klien, katanya sih, begitu," b
"Maaf, urusan aku di kantor masih banyak tadi, jadi baru sempat datang sekarang." Kudengar pria itu berbicara sambil menatap ke arah suamiku.Darren tersenyum ramah menanggapi."Nggak masalah, Bro. By the way, makasih udah mau menyempatkan waktu datang ke sini."Pria berjambang tipis yang tak juga melepas pegangan tangan anak laki-laki Aluna, terlihat mengangguk pelan sambil tersenyum. Sementara Aluna yang berdiri di sampingnya, tampak menunjukkan sorot mata bahagia entah untuk alasan apa.Apakah dia bahagia karena bisa berjumpa lagi dengan suamiku? Mantan kekasihnya?Aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, terdiam mematung menatap para tamu yang masih membuatku tak mengerti dengan maksud kedatangan mereka.Benarkah pria ini memang suami Aluna? Bukan orang suruhan suamiku yang diwajibkan mengaku sebagai suami mantan kekasihnya?"Oh iya, silakan masuk."Tamu-tamu itu mengangguk ramah dan lantas melangkahkan kaki memasuki ruang tamu."Oh iya, sampai lupa. Kenalin ini Indah, istriku
Begitu membuka pintu, terlihat sosok lelaki yang kuakui memiliki paras tampan dengan pakaian kasual yang melekat di badan, tersembul di sana.Dan seketika itu pula, terlihat suamiku memalingkan wajahnya sebentar dengan senyum yang terlihat memudar.Hei! Benarkah dia memang mengharapkan orang lain yang bertandang siang menjelang sore kali ini? Kenapa terlihat kecewa begitu?"Siang, Calon Kakak Ipar." Dengan gayanya yang entah kenapa terlihat menjengkelkan, Fabian menorehkan sebuah senyuman sebelum mengangguk sebentar. Menunjukkan sikap yang terkesan ramah pada suamiku, yang disebut sebagai calon iparnya."Siang." Jelas sekali suamiku membalas kaku sapaan itu. Mungkin hatinya masih berkecamuk saat menyadari jika tamu yang datang tak sesuai dengan apa yang diharapkan."Apa Lira ada di rumah?""Ya, ada. Silakan masuk." Nada bicaranya masih sama seperti sebelumnya. Kaku.Apa dia benar-benar berharap kalau memang Aluna yang datang? Jika iya, kenapa harus ke sini? Tempat ini?Mungkinkah suam
Aku terdiam kaku. Tak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan itu. Ya, harus aku akui, luka dan rasa sakit itu tak akan mungkin cepat sirna meski aku sudah berusaha sekuat tenaga menguburnya dalam-dalam."Bahkan, seandainya kematianku yang kamu inginkan untuk menebus rasa bersalah dan membuktikan rasa cintaku padamu, aku siap, Indah." Aku menepuk pundaknya pelan. Merasa apa yang diucapkannya terlalu mengada-ada."Bisa nggak, sih, kamu ngomongnya jangan ngelantur begitu? Memangnya kamu pikir aku siap membesarkan anak ini seorang diri?" tanyaku saat rasa pilu di hati tiba-tiba menelusup masuk tanpa permisi. Ya, meskipun awalnya benci, nyatanya dia telah menambatkan jauh hatiku padanya. "Kamu … bisa menikah lagi dengan orang lain yang jauh lebih baik dariku, Arman misalnya."Aku merasakan kepalaku mendadak berasap saat mendengar ucapannya yang semakin melantur tak jelas."Hentikan omong kosong ini! Istirahatlah, badanmu masih terlalu lemah."Darren mengangguk pelan lantas kembali meme
"Mas … kamu …." Suaraku lirih. Hampir tak terdengar ketika tangan kananku yang belum lama ini memastikan kondisinya, belum terangkat dari sana."Aku baik-baik saja, Indah," jawabnya pelan dengan mata setengah terpejam.Aku merutuk dalam hati. Bukannya dia jago beladiri? Kenapa baru tidur di lantai semalam saja sudah langsung KO seperti ini?"Mas … ayo." Aku menarik tangannya. Tak mau kondisinya jadi lebih parah jika tetap membiarkannya dalam posisi seperti ini. Tidur di atas lantai granit tanpa alas dan juga tanpa bantal. Seperti apa yang menjadi pintaku sebelumnya.Dia bergeming."Ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit yang kamu alami akibat perbuatanku waktu itu, Indah," ucapnya di sela-sela rintihan yang masih terdengar. Kulihat bibirnya bergetar dengan tangan yang terus menggigil kedinginan."Sudahlah jangan bawel, ayo, masuk kamar sekarang." Aku yang tak ingin berdebat, setengah memaksa saat memintanya bangun.Akhirnya dia menurut juga. Meski terlihat sedik
Untuk sesaat terlihat Resti menatapku dengan pandangan miris sebelum kedua matanya terfokus lagi ke arah jalan di depan kami.Tak ada perbincangan apa pun setelahnya. Kami sama-sama diam dengan jalan pikiran masing-masing.***Sampai di rumah, aku yang tahu Darren mengekor mobil Resti sejak keluar dari area restoran tadi, buru-buru menarik langkah menuju kamar. Tak ingin peduli tentang bagaimana seluruh anggota keluarga melihat ketidakharmonisan pernikahanku dan suamiku yang baru seumur jagung.Aku merasa cukup beruntung saat berhasil mengunci pintu kamar sebelum dia berhasil mengejarku."Indah … tolong dengarkan penjelasan aku dulu, Ndah." Seolah mengesampingkan rasa malu di hadapan kedua mertua dan adik iparnya, Darren mengetuk-ngetuk pintu kamar sambil memohon.Aku yang masih kesal, mencoba abai dan tak peduli padanya yang pasti akan memberikan sejuta alasan andaikan aku melunakkan hatiku sedikit saja.Tidak! Cukup sudah aku berbaik hati dan menaruh pikiran positif padanya yang ter