Aku membeku tanpa suara.Mendengar bagaimana Nyonya Laura memperolok dan memojokkan diriku, serta foto di tangan yang belum terlepas dari genggaman, membuatku benar-benar terpukul detik ini.Benarkah?Benarkah aku sejahat itu? Menginginkan ayah dari janin dalam kandunganku mati?Aku terkelu dengan hati berkecamuk mendengar bagaimana Nyonya Laura terus-menerus mengkambinghitamkan diriku.Ya Allah.Apakah tuduhan itu memang layak dan pantas dilayangkan padaku? Bukankah aku hanya mengharapkan keadilan? Bukan kematian seperti yang mertuaku tuduhkan?"Satu yang perlu kau tahu, penyesalan terbesarku adalah … memberikan restu dan mengizinkan anakku menikah denganmu, Wanita Tak Tahu Diri!" ucapnya terdengar tajam dan mampu menggores hati yang memang sudah teriris sebelumnya.Aku terkelu dengan jantung berdegup kencang mendengar kejujuran mertua yang sebenarnya sudah bisa kuperkirakan sebelumnya."Berani sekali kau mempermainkan dan menyia-nyiakan anak semata wayang yang butuh waktu bertahun-t
Sore hari.Aku yang tengah menangis sendiri di dalam kamar, dibuat tersentak saat mendengar pintu kamarku diketuk pelan."Nduk." Terdengar suara seorang wanita yang amat kukenali, memenuhi rongga pendengaranku.Aku terkesiap saat menyadari jika si pemilik suara itu adalah ….Mbah Uti? Kapan beliau datang dari kampung?Aku membelalak lebar saat menyadari jika satu-satunya orang tua mama yang masih ada, pasti tengah berdiri di balik pintu kamarku saat ini.Buru-buru kuusap air mata yang sedari tadi menetes. Tak ingin menunjukkan secara terang-terangan jika aku baru saja menangis di depan Mbah Uti."Nduk," ulangnya pelan. Membuatku benar-benar salah tingkah.Gegas aku bangkit dan berniat membukakan pintu untuk nenek yang amat menyayangiku sedari dulu. Bagaimana tidak, aku cucu pertama untuknya. Wajar, kan, kalau beliau sesayang itu padaku? Bahkan, Tante Rina—Tante yang usianya cuma berjarak delapan tahun dariku, yang notabene merupakan anak bungsu Mbah Uti, kerap dibuat kesal sekaligus
Semua terdiam tanpa kata, sampai akhirnya Cecilia bersuara kembali. Membuat perbedaan situasi."Kau tahu, mati-matian aku mencoba ikhlas untuk melepasnya saat dia memutuskanku dan bilang ingin menikahimu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," ujarnya sambil menatapku dan Darren secara bergantian.What?Apa dia bilang barusan? Putus? Rasanya … gadis yang bertemu denganku dan Resti saat di restoran Jepang hari itu … bukan dia, kan? Tapi, orang lain yang bukan seorang wanita Chinese seperti dirinya.Ah, iya. Wajar saja. Bukankah suamiku memang seorang buaya darat sebelum menikah denganku? Bukankah dia playboy yang tak cukup memiliki satu wanita dalam sekali waktu?Dan mirisnya … anakku adalah benih yang berasal darinya? Dan satu lagi, playboy satu itu bahkan sudah menjadikanku pasangannya yang sah di mata agama dan negara. Bukankah ini seperti mimpi buruk?Memandangkan Cecilia yang terlihat masih ingin menyampaikan isi hatinya, aku memilih diam. Ya … meski ingin sekali mengatakan ka
Mendengar seruan itu, aku dan Darren yang sebelumnya tengah larut dalam ciuman tak terencana, sontak menarik bibir dan mengakhiri hal tak terduga ini dengan sangat gugup. Kami saling menjauhkan wajah dengan perasaan campur aduk saat menyadari ada sepasang mata yang memergoki adegan mesra yang terjadi di luar kendali. Adegan mesra pasangan suami istri yang sebenarnya sangat tidak pantas disaksikan oleh seorang wanita bergelar mertua."Hentikan, Darren! Tolong jangan bertindak bodoh lagi! Tolong, jangan menyia-nyiakan berlian hanya demi batu kerikil yang cuma bisa menjadi sandungan dalam hidupmu, Darren!" ucap Nyonya Laura ketus saat sepasang matanya menatapku dengan tatapan nyalang sebelum mengalihkan pandangan pada anak tunggalnya.Deg!Batu kerikil?Ada yang teriris perih mendengar bagaimana wanita paruh baya itu membuat suatu perbandingan atas diriku.Ya, ternyata memang benar, serendah itu mertuaku menganggap diriku.Aku yang tak tahan dengan hinaan dari ibu mertua yang terlampau m
"Pergi sekarang! Pergi!" Aku menghardik sambil menunjuk ke arah pintu tanpa basa-basi. Membuat wajah Galang yang semula terlihat cerah, berubah pias dalam seketika."Nduk …." Mbah Uti yang mungkin merasa aku sudah bersikap sangat tidak sopan saat menyikapi tamu yang datang, berucap pelan. Seperti hendak memperingatkan jika apa yang kulakukan sudah amat keterlaluan."Tolong pergi." Aku terpaksa menurunkan intonasi saat merasa Uti masih mengawasi tindak-tanduk dan caraku berbicara.Galang bergeming, hanya sepasang matanya yang menatapku dengan tatapan mengiba saat aku terang-terangan menunjukkan raut wajah tak suka dengan kedatangannya. Sekaligus mengusir dirinya yang bisa dipastikan belum lama sampai di rumah ini."Jangan gitu, Nduk."Oh, pandai juga Galang mencari simpati nenekku. Bukankah aku sudah memelankan suara, kenapa masih kena komplain juga?Saat mungkin menyadari dirinya mendapatkan pembelaan, Galang yang terlihat masih duduk dengan sedikit kaku di atas kursi rotan, kembali m
"Tapi sejak mengenalmu, perlahan aku bisa melupakannya. Dan yakin, jika kamu, lah jodoh yang telah Allah persiapkan untukku, Indah," ucapnya yang entah kenapa mampu membuat hatiku rasa teriris secara tiba-tiba."Maafkan aku yang sempat kasar padamu, Indah. Maafkan aku yang sempat tak sadar diri dan mengharapkan gadis suci padahal aku sendiri seorang pendosa sejati," ucap Galang dengan suara bergetar saat tangannya ia tangkupkan di depan dada.Mendengar permintaan maafnya yang terdengar bersungguh-sungguh, justru membuat dadaku makin terasa sesak."Berikan padaku kesempatan sekali lagi, Indah," ucapnya dengan tatapan mengiba. Kulihat ada bias kaca dalam matanya."Maaf, aku nggak bisa." Aku buru-buru menolak dengan tegas. Tak ingin dianggap mempertimbangkan untuk memberinya kesempatan. Karena memang tak akan pernah aku lakukan."Kenapa?"Aku diam. Merasa heran karena ternyata dia masih belum sadar diri sampai saat ini."Bukankah kau tak bahagia dengan pernikahanmu?" tebaknya sok tahu."
"Tapi masalahnya … gue nggak yakin yang dipeluk bakalan mau, Man," balas suamiku lirih tapi tetap masih kedengaran juga.Mendengar ucapan Darren yang terdengar menggelitik di telinga, Arman memajukan bibirnya sesaat setelah menatapku sekilas."Gue malah nggak yakin dia bakalan nolak, Bro. Orang pas gue bilang elu belum mau ke sini aja, dia uring-uringan setengah mati. Udah kayak kucing mau kawin, tau nggak?" balas sepupu Resti dengan begitu santai saat menatapku sembari menampilkan seringaian menyebalkan. Membuatku membelalak lebar mendengar ocehannya yang semau sendiri.Astaghfirullah!Apa dia bilang tadi?Dia menyamakan aku … dengan kucing mau kawin?Keterlaluan!Tidak ada akhlak!"Hei! Ngomong apa barusan?" tanyaku dengan mata melotot, pada dia yang tampak puas melihatku tersulut emosi.Aku yang masih memegang gembor—penyiram tanaman dengan kapasitas 4 liter, gerak cepat mengayunkan benda berisi air ini ke arah di mana Arman berdiri. Dan tanpa pikir panjang, aku yang geram sekaligu
Tak bertapa lama kemudian, aku dibuat tak berkutik saat hidungnya yang mancung, menyentuh pipiku secara perlahan."Daddy kangen Mommy, Sayang," ucapnya sambil mengusap lembut perutku dari belakang. Membuatku makin tak karuan rasa dibuatnya. Ternyata benar apa yang dikatakan Uti hari itu. Ya, sewajarnya ibu hamil memang ingin dimanja oleh sang suami. Nyatanya, hanya dengan usapan lembut seperti ini saja mampu membuatku merasa diperhatikan.Menyadari aku tak melakukan perlawanan sama sekali, Darren nekat menciumi pipiku dan lantas membuat diriku membalikkan badan dan menatapnya."Kamu … makin cantik," ucapnya sambil melempar senyum yang entah kenapa terlihat berkali-kali lipat lebih manis dari biasanya.Pipiku menghangat mendengar pujiannya. Sebenarnya, ada beberapa banyak gula yang dibawa ke sini? Kenapa semuanya terasa manis seperti ini?Ya ampun! Receh sekali bukan?Bagaimana bisa dipuji cantik begitu saja, sudah membuatku melambung tinggi dan tak berkutik seperti ini?Huh!Apakah in
"Dan kamu tahu, Indah. Pas pertama kali kita ketemu hari itu, aku benar-benar dibuat takjub melihat penampilan barunya yang … ditemani seorang wanita berjilbab di sampingnya," ucap Aluna, membuat otakku kembali merekam kejadian hari itu. Saat rasa cemburu dan prasangka buruk terus mendominasi ketika untuk pertama kali kami bertemu."Apa lagi waktu dia memperkenalkan kamu sebagai istrinya, jujur, aku ikut seneng liatnya, Ndah. Aku bersyukur banget waktu tahu dia udah bisa berdamai sama masa lalunya," tambahnya terdengar tulus.Aku tersenyum getir mendengar bagaimana dia mengungkapkan isi hatinya."Tapi Mbak Aluna tahu, sebenarnya dia … menjebak dan membuatku menikah dengannya karena aku—." Aku menggantung ucapan saat rasa sesak tiba-tiba menerjang ulu hati.Aluna menyorot mataku tajam. Seperti menuntutku memberikan jawaban."Karena aku sedikit memiliki kemiripan wajah dengan Mbak Aluna." Meski terasa berat, akhirnya, kata-kata itu meluncur juga dari bibirku.Aluna menatapku dengan tata
Aku memang sengaja menyemprotkan parfum khas wanita beraroma manis tapi kalem, sesaat setelah mengenakan pakaian yang sering disebut dengan istilah 'baju haram' ini.Untuk beberapa saat, aku dibuat tak berdaya ketika dia yang sepertinya telah dibakar gairah, terus mencumbu dan menyentuh lembut setiap inci tubuhku."Cantik banget, Sayang," ucapnya sambil menatapku dengan pandangan sayu, sebelum kami kembali terlibat lagi pada sebuah adegan mesra. Saat bibir kami saling bertaut.Seperti yang sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya, aku selalu saja tak punya cara untuk menghentikan aksi saat dia menjamah dan membuatku melayang dengan sentuhan-sentuhan yang begitu ampuh membuatku melayang.Untuk yang kesekian kalinya, selama pernikahan kami, aku dan Darren kembali merangkai malam dengan manisnya cinta yang saling tercurah di atas ranjang. Melakukan hubungan suami-istri secara halal sebagai upaya memuaskan batin dan mencari ketenangan."I love you, Mommy." Darren yang masih berbagi selimut
"Jadi … pernikahan Mas Arman otomatis batal?" tanyaku saat ikut merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh laki-laki yang selama ini terkenal kocak dan humoris itu."Ya … kemungkinan besar, sih begitu, Ndah." Terdengar Resti menghembuskan napas dengan kasar setelahnya."Kasihan. Padahal dia cowok yang baik dan nggak neko-neko," ujarku lirih."Iya. Pokoknya, doain aja, ya, Ndah, biar dia dapat pengganti yang lebih baik setelah ini." Terdengar ada pengharapan besar dari bagaimana sahabat baikku berucap."Aamiin."Begitu mengakhiri percakapan dengan Resti, aku dibuat sedikit gugup saat menyadari jika ternyata ada dua pasang mata yang menyaksikan obrolanku dengan Resti yang berlangsung belum lama ini."Mama? Lira?"Terlihat Lira menatap sendu saat mungkin telinganya juga bisa mendengar kabar lelaki yang dicintainya batal menikah. Sementara di sisi lain, Mama yang berdiri di samping putrinya, hanya tersenyum sinis mendengar kabar tidak mengenakkan dari Arman. Anak dari lelaki yang menja
Aku yang tengah duduk diam di sofa kamar setelah makan malam usai, dibuat kaget saat Resti tiba-tiba mengirimkan pesan."Gimana? Kamu udah baikan dan maafin dia?"Aku tak langsung membalas.Resti mengirim pesan lagi."Kalau semudah itu memaafkan, ya … pasti bakal bikin dia ketagihan buat main di belakang kamu, dong."Membaca pesan kedua itu, hatiku mendadak terasa panas dengan kepala yang terasa mengepulkan asap.Akhirnya, aku yang tak ingin memendam rasa penasaran itu sendirian, menelepon sahabat baikku dan lantas menceritakan tentang semua kejadian yang berlangsung sore tadi. Tentang kedatangan Aluna bersama suami dan anaknya. Juga tentang bagaimana mereka meyakinkan aku jika Darren tak memiliki hubungan apa pun dengan wanita 25 tahun berwajah teduh itu."Terus sekarang, suamimu ke mana? Kok kamu bebas banget nelpon aku dan bisa secara detail memerinci kejadian sore tadi?" tanya Resti setelah aku mengakhiri cerita."Dia sedang ada meeting penting sama klien, katanya sih, begitu," b
"Maaf, urusan aku di kantor masih banyak tadi, jadi baru sempat datang sekarang." Kudengar pria itu berbicara sambil menatap ke arah suamiku.Darren tersenyum ramah menanggapi."Nggak masalah, Bro. By the way, makasih udah mau menyempatkan waktu datang ke sini."Pria berjambang tipis yang tak juga melepas pegangan tangan anak laki-laki Aluna, terlihat mengangguk pelan sambil tersenyum. Sementara Aluna yang berdiri di sampingnya, tampak menunjukkan sorot mata bahagia entah untuk alasan apa.Apakah dia bahagia karena bisa berjumpa lagi dengan suamiku? Mantan kekasihnya?Aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, terdiam mematung menatap para tamu yang masih membuatku tak mengerti dengan maksud kedatangan mereka.Benarkah pria ini memang suami Aluna? Bukan orang suruhan suamiku yang diwajibkan mengaku sebagai suami mantan kekasihnya?"Oh iya, silakan masuk."Tamu-tamu itu mengangguk ramah dan lantas melangkahkan kaki memasuki ruang tamu."Oh iya, sampai lupa. Kenalin ini Indah, istriku
Begitu membuka pintu, terlihat sosok lelaki yang kuakui memiliki paras tampan dengan pakaian kasual yang melekat di badan, tersembul di sana.Dan seketika itu pula, terlihat suamiku memalingkan wajahnya sebentar dengan senyum yang terlihat memudar.Hei! Benarkah dia memang mengharapkan orang lain yang bertandang siang menjelang sore kali ini? Kenapa terlihat kecewa begitu?"Siang, Calon Kakak Ipar." Dengan gayanya yang entah kenapa terlihat menjengkelkan, Fabian menorehkan sebuah senyuman sebelum mengangguk sebentar. Menunjukkan sikap yang terkesan ramah pada suamiku, yang disebut sebagai calon iparnya."Siang." Jelas sekali suamiku membalas kaku sapaan itu. Mungkin hatinya masih berkecamuk saat menyadari jika tamu yang datang tak sesuai dengan apa yang diharapkan."Apa Lira ada di rumah?""Ya, ada. Silakan masuk." Nada bicaranya masih sama seperti sebelumnya. Kaku.Apa dia benar-benar berharap kalau memang Aluna yang datang? Jika iya, kenapa harus ke sini? Tempat ini?Mungkinkah suam
Aku terdiam kaku. Tak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan itu. Ya, harus aku akui, luka dan rasa sakit itu tak akan mungkin cepat sirna meski aku sudah berusaha sekuat tenaga menguburnya dalam-dalam."Bahkan, seandainya kematianku yang kamu inginkan untuk menebus rasa bersalah dan membuktikan rasa cintaku padamu, aku siap, Indah." Aku menepuk pundaknya pelan. Merasa apa yang diucapkannya terlalu mengada-ada."Bisa nggak, sih, kamu ngomongnya jangan ngelantur begitu? Memangnya kamu pikir aku siap membesarkan anak ini seorang diri?" tanyaku saat rasa pilu di hati tiba-tiba menelusup masuk tanpa permisi. Ya, meskipun awalnya benci, nyatanya dia telah menambatkan jauh hatiku padanya. "Kamu … bisa menikah lagi dengan orang lain yang jauh lebih baik dariku, Arman misalnya."Aku merasakan kepalaku mendadak berasap saat mendengar ucapannya yang semakin melantur tak jelas."Hentikan omong kosong ini! Istirahatlah, badanmu masih terlalu lemah."Darren mengangguk pelan lantas kembali meme
"Mas … kamu …." Suaraku lirih. Hampir tak terdengar ketika tangan kananku yang belum lama ini memastikan kondisinya, belum terangkat dari sana."Aku baik-baik saja, Indah," jawabnya pelan dengan mata setengah terpejam.Aku merutuk dalam hati. Bukannya dia jago beladiri? Kenapa baru tidur di lantai semalam saja sudah langsung KO seperti ini?"Mas … ayo." Aku menarik tangannya. Tak mau kondisinya jadi lebih parah jika tetap membiarkannya dalam posisi seperti ini. Tidur di atas lantai granit tanpa alas dan juga tanpa bantal. Seperti apa yang menjadi pintaku sebelumnya.Dia bergeming."Ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit yang kamu alami akibat perbuatanku waktu itu, Indah," ucapnya di sela-sela rintihan yang masih terdengar. Kulihat bibirnya bergetar dengan tangan yang terus menggigil kedinginan."Sudahlah jangan bawel, ayo, masuk kamar sekarang." Aku yang tak ingin berdebat, setengah memaksa saat memintanya bangun.Akhirnya dia menurut juga. Meski terlihat sedik
Untuk sesaat terlihat Resti menatapku dengan pandangan miris sebelum kedua matanya terfokus lagi ke arah jalan di depan kami.Tak ada perbincangan apa pun setelahnya. Kami sama-sama diam dengan jalan pikiran masing-masing.***Sampai di rumah, aku yang tahu Darren mengekor mobil Resti sejak keluar dari area restoran tadi, buru-buru menarik langkah menuju kamar. Tak ingin peduli tentang bagaimana seluruh anggota keluarga melihat ketidakharmonisan pernikahanku dan suamiku yang baru seumur jagung.Aku merasa cukup beruntung saat berhasil mengunci pintu kamar sebelum dia berhasil mengejarku."Indah … tolong dengarkan penjelasan aku dulu, Ndah." Seolah mengesampingkan rasa malu di hadapan kedua mertua dan adik iparnya, Darren mengetuk-ngetuk pintu kamar sambil memohon.Aku yang masih kesal, mencoba abai dan tak peduli padanya yang pasti akan memberikan sejuta alasan andaikan aku melunakkan hatiku sedikit saja.Tidak! Cukup sudah aku berbaik hati dan menaruh pikiran positif padanya yang ter