Sejenak, suasana kaku datang menghampiri. Membuat kami, pasangan suami istri yang telah lama terpisah dan baru kembali bertemu setelah sekian lama, terjebak dalam kesunyian.Sungguh, aku benar-benar tak memiliki ide tentang apa yang harus diperbuat saat ini. Apakah harus memulai dengan percakapan santai atau harus … membahas mengenai hal-hal romantis dengannya? Ah, tidak! Aku benar-benar tidak memiliki ide cemerlang untuk melewati saat-saat canggung seperti sekarang ini.Akhirnya, aku yang terus-menerus yang diserang perasaan canggung, memilih naik lebih dulu ke atas ranjang. Rasanya, menghindari tatapan matanya yang memukau dan semudah itu membuatku terpikat, adalah cara terbaik untuk menormalkan debaran dalam dada yang semakin tak terkontrol semenjak kedatangannya ke rumah Mbah Uti sore ini."Kamu … serius mau tidur pake jilbab begitu?" tanya Darren saat menarik langkah mendekati diriku.Aku yang semula telah berbaring miring, tergemap mendengar pertanyaan darinya.Astaghfirullah!S
Aku kembali merasakan bulu kudukku meremang saat tangan kanannya bergerak membuka ikat rambutku. Membuat rambut panjangku tergerai sempurna di hadapannya."Cantik," ucapnya pelan saat memindai wajahku. Mungkin akan terdengar berlebihan, tapi percayalah, walaupun cuma satu kata, tapi pujian yang terlontar dari bibirnya benar-benar mampu membuat pipiku terasa semakin hangat dan seperti dihipnotis.Aku dibuat semakin salah tingkah saat tanpa aba-aba, kedua tangannya uang lebar, menyibakkan rambutku dengan pelan ke belakang telinga.Bersama jantung yang semakin meningkat ritmenya, aku memejamkan mata saat menyadari saat dia mulai merapatkan wajahnya ke wajahku. Aku pun tak sanggup menolak saat dirinya membuat tubuhku terbaring karena sentuhannya.Hangat napas, serta parfum beraroma woody maskulin yang melekat di tubuhnya, membuat indera penciumanku benar-benar dimanjakan.Cukup lama aku menunggu. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda jika apa yang sedari tadi aku perkirakan, bakal terjadi.Ya
Aku memilin jari jemari dengan kaku, tak bisa membayangkan semerah apa wajahku sekarang. Sungguh, andai mampu ingin rasanya aku menghilang dari muka bumi saja detik ini.Ya malu. Aku benar-benar malu dengan kenyataan jika aku memang seagresif itu ternyata.Menatapku yang mungkin terlihat begitu salah tingkah, membuat Arman tergelak puas. Seolah menganggap jika apa yang terjadi padaku seperti hiburan tersendiri untuknya pagi ini."Udah, ah, ayo buruan, sholat. Udah mau fajar, ini, Mas," ucapku berusaha mengalihkan perhatian. Membuat suamiku mengangguk setuju, sementara Arman terlihat berdeham berkali-kali."Ya … habis sholat, jangan lupa sambung extra part, ya, Gaes, ya. Siapa tahu yang tadi malam masih kurang, kan? HAHAHA." Tawa Arman membahana saat mengucap kalimat yang entah kenapa terdengar sangat menjengkelkan.Darren mengangguk-angguk. Seperti tak keberatan sama sekali dengan saran yang diberikan oleh sahabat yang gemar menyindir dan meledek sejak kemarin. Ah, tidak! Aku baru sad
"Emang, ya, gampang banget bapak-bapak kalau ngomong, anak satu aja belum lahir, udah pengen nambah! Ish, kurang kerjaan banget perasaan!" ucapku dengan nada geram. Membuat Darren terbahak-bahak melihat kekesalanku."Kalau kamu yang ngidam nggak apa-apa, emang dikira ngidam, tuh, enak, apa?" Aku masih tertarik memperolok dirinya yang sewenang-wenang ingin menjadikanku tempat pencetak anak."Ya ampun. Kamu marah, Sayang? Ya udah, minta maaf, deh, kalau gitu. Tapi syaratnya, kita 'main' dulu, ya, sekali lagi?" ujarnya sambil mengerling nakal ke arah ranjang. Tempat yang menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya aktivitas penyatuan cinta dua manusia yang tengah dilanda gelora malam tadi."Ish! Gitu amat perasaan syaratnya, enggak-enggak, aku nggak setuju. Lagian, aku harus masak, bantuin Uti! Enak aja minta jatah terus!" Aku berusaha mengalihkan pembahasan dan memperolok dirinya saat menyadari Mbah Uti pasti sudah sibuk di dapur jam segini."Oh … belum pengen lanjut sekarang yang hot-hotnya?
"Ndah," ucapnya pelan, tapi mampu mengembalikan pikiran yang sebelumnya tengah berkelana entah ke mana."Hm?" balasku sambil mendongakkan kepala menatap lelaki dengan tinggi enam kaki, yang entah sejak kapan telah mampu membuatku jatuh cinta bahkan hanya dengan mengingat wajahnya.Eh, tumben dia panggil nama? Bukan memanggil sayang atau Mommy seperti biasanya?Astaghfirullah!Kenapa soal panggilan saja membuatmu sangat risau, Indah?Refleks aku menepuk kening saat merasa belakangan ini aku sudah sangat berlebihan. Membuat suamiku memekik tawa."Kenapa?""Ng-nggak apa-apa." Aku kembali dibuat grogi saat menyadari sepasang matanya tak berhenti menatapku."Kamu ... beneran Indah Putri Nuraida, kan?" tanyanya yang sontak membuat diriku heran sekaligus bingung.Bukankah pertanyaannya terdengar menggelitik?"Iya, lah, kenapa pake nanya segala, ish!" balasku ketus.Darren terkekeh pelan melihatku yang tak bisa menyembunyikan raut wajah kesal ketika dia mempertanyakan namaku."Nggak apa-apa,
Kurasakan kedua telapak tanganku mendadak dingin. Sungguh, kejadian seperti ini tak pernah kuprediksi sebelumnya.Aku benar-benar tak menyangka jika ternyata Galang bisa senekat itu. Bertindak begitu jauh pada sahabat baik yang pernah sangat kubenci, tapi mendengarnya menderita, menghadirkan denyut prihatin yang menjalar di dadaku. Kenapa kau tega, Galang? Kenapa?Kenapa kau harus menjadikan Alia sebagai tempat pelampiasan kemarahanmu?"Sayang, kamu kenapa?" Aku yang pikirannya tengah melanglang buana entah ke mana, dibuat tersentak oleh pertanyaan suamiku beberapa saat setelah mendengar suara pintu berderit."Ah, eng-enggak apa-apa." Aku masih ragu apakah menjelaskan perihal musibah yang mendera Alia adalah sesuatu yang pantas untuk dibicarakan bersama suamiku detik ini.Darren yang menyusulku ke kamar saat mungkin menyadari aku tak kunjung keluar, menatap heran padaku."Kamu yakin, kamu baik-baik saja?" tanya pria bertubuh tinggi ini sembari memindai ekspresi wajahku yang entah terl
Selama dalam perjalanan menuju Jakarta, aku terus-terusan dibuat tak tenang ketika mengingat lagi tentang beban hidup yang tengah dijalani oleh Alia saat ini.Kamu harus kuat, Alia. Kamu harus kuat!Darren dan Arman bergantian mengendalikan kemudi saat merasa itu diperlukan ketika mobil yang kami naiki, membelah tol Cikopo-Palimanan.Beruntung, tak ada kendala berarti selama perjalanan. Membuat kami sampai di Jakarta sesuai dengan estimasi.Hampir tengah malam, kami bertiga sampai di Jakarta. Membuatku merasa lega saat bisa kembali ke rumah, dengan hati yang lebih lapang.Seolah mengabaikan waktu yang sudah merangkak hampir tengah malam, seluruh keluargaku—termasuk Bik Minah, menyambut kepulanganku dengan penuh sukacita.Aku merasa bersyukur saat merasa dendam dan kebencian tak lagi menguasai hati.Mungkin benar memang, memaafkan awalnya terasa berat. Namun, pada akhirnya semua akan berjalan indah andaikan kita ikhlas menerima takdir yang didapatkan.***Paginya, aku yang sejak semala
"Nggak usah repot-repot menyeret dia ke kantor polisi, De. Gue udah telpon polisi soalnya. Tunggu saja, mereka bakal ke sini sebentar lagi."Kedatangan Mas Danar yang secara tiba-tiba, terasa sangat mengejutkan. Membuat suamiku yang semula tengah memfokuskan pandangan ke arah kamar, menoleh sambil tersenyum tipis melihat kepulangan lelaki yang juga merupakan salah satu sahabatnya."Wanita iblis ini memang paling tahu saat yang tepat untuk menganiaya dan mengintimidasi Alia, De," ujar Mas Danar dengan raut wajah yang terlihat sedikit garang ketika sepasang matanya menatap tajam ke satu arah. Ke arah dalam kamar Alia lebih tepatnya.Aku tak tahu bagaimana Tante Melly berekspresi, karena aku sendiri tak melihatnya secara langsung. Namun, yang jelas kutangkap, suaranya terdengar menggelegar saat menanggapi olok-olokan sang keponakan."Tutup mulutmu, Danar! Berani kau macam-macam denganku, sekarang juga tanggung akibatnya!"Jantungku berdegup lebih cepat saat melihat Darren dan Mas Danar t
"Dan kamu tahu, Indah. Pas pertama kali kita ketemu hari itu, aku benar-benar dibuat takjub melihat penampilan barunya yang … ditemani seorang wanita berjilbab di sampingnya," ucap Aluna, membuat otakku kembali merekam kejadian hari itu. Saat rasa cemburu dan prasangka buruk terus mendominasi ketika untuk pertama kali kami bertemu."Apa lagi waktu dia memperkenalkan kamu sebagai istrinya, jujur, aku ikut seneng liatnya, Ndah. Aku bersyukur banget waktu tahu dia udah bisa berdamai sama masa lalunya," tambahnya terdengar tulus.Aku tersenyum getir mendengar bagaimana dia mengungkapkan isi hatinya."Tapi Mbak Aluna tahu, sebenarnya dia … menjebak dan membuatku menikah dengannya karena aku—." Aku menggantung ucapan saat rasa sesak tiba-tiba menerjang ulu hati.Aluna menyorot mataku tajam. Seperti menuntutku memberikan jawaban."Karena aku sedikit memiliki kemiripan wajah dengan Mbak Aluna." Meski terasa berat, akhirnya, kata-kata itu meluncur juga dari bibirku.Aluna menatapku dengan tata
Aku memang sengaja menyemprotkan parfum khas wanita beraroma manis tapi kalem, sesaat setelah mengenakan pakaian yang sering disebut dengan istilah 'baju haram' ini.Untuk beberapa saat, aku dibuat tak berdaya ketika dia yang sepertinya telah dibakar gairah, terus mencumbu dan menyentuh lembut setiap inci tubuhku."Cantik banget, Sayang," ucapnya sambil menatapku dengan pandangan sayu, sebelum kami kembali terlibat lagi pada sebuah adegan mesra. Saat bibir kami saling bertaut.Seperti yang sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya, aku selalu saja tak punya cara untuk menghentikan aksi saat dia menjamah dan membuatku melayang dengan sentuhan-sentuhan yang begitu ampuh membuatku melayang.Untuk yang kesekian kalinya, selama pernikahan kami, aku dan Darren kembali merangkai malam dengan manisnya cinta yang saling tercurah di atas ranjang. Melakukan hubungan suami-istri secara halal sebagai upaya memuaskan batin dan mencari ketenangan."I love you, Mommy." Darren yang masih berbagi selimut
"Jadi … pernikahan Mas Arman otomatis batal?" tanyaku saat ikut merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh laki-laki yang selama ini terkenal kocak dan humoris itu."Ya … kemungkinan besar, sih begitu, Ndah." Terdengar Resti menghembuskan napas dengan kasar setelahnya."Kasihan. Padahal dia cowok yang baik dan nggak neko-neko," ujarku lirih."Iya. Pokoknya, doain aja, ya, Ndah, biar dia dapat pengganti yang lebih baik setelah ini." Terdengar ada pengharapan besar dari bagaimana sahabat baikku berucap."Aamiin."Begitu mengakhiri percakapan dengan Resti, aku dibuat sedikit gugup saat menyadari jika ternyata ada dua pasang mata yang menyaksikan obrolanku dengan Resti yang berlangsung belum lama ini."Mama? Lira?"Terlihat Lira menatap sendu saat mungkin telinganya juga bisa mendengar kabar lelaki yang dicintainya batal menikah. Sementara di sisi lain, Mama yang berdiri di samping putrinya, hanya tersenyum sinis mendengar kabar tidak mengenakkan dari Arman. Anak dari lelaki yang menja
Aku yang tengah duduk diam di sofa kamar setelah makan malam usai, dibuat kaget saat Resti tiba-tiba mengirimkan pesan."Gimana? Kamu udah baikan dan maafin dia?"Aku tak langsung membalas.Resti mengirim pesan lagi."Kalau semudah itu memaafkan, ya … pasti bakal bikin dia ketagihan buat main di belakang kamu, dong."Membaca pesan kedua itu, hatiku mendadak terasa panas dengan kepala yang terasa mengepulkan asap.Akhirnya, aku yang tak ingin memendam rasa penasaran itu sendirian, menelepon sahabat baikku dan lantas menceritakan tentang semua kejadian yang berlangsung sore tadi. Tentang kedatangan Aluna bersama suami dan anaknya. Juga tentang bagaimana mereka meyakinkan aku jika Darren tak memiliki hubungan apa pun dengan wanita 25 tahun berwajah teduh itu."Terus sekarang, suamimu ke mana? Kok kamu bebas banget nelpon aku dan bisa secara detail memerinci kejadian sore tadi?" tanya Resti setelah aku mengakhiri cerita."Dia sedang ada meeting penting sama klien, katanya sih, begitu," b
"Maaf, urusan aku di kantor masih banyak tadi, jadi baru sempat datang sekarang." Kudengar pria itu berbicara sambil menatap ke arah suamiku.Darren tersenyum ramah menanggapi."Nggak masalah, Bro. By the way, makasih udah mau menyempatkan waktu datang ke sini."Pria berjambang tipis yang tak juga melepas pegangan tangan anak laki-laki Aluna, terlihat mengangguk pelan sambil tersenyum. Sementara Aluna yang berdiri di sampingnya, tampak menunjukkan sorot mata bahagia entah untuk alasan apa.Apakah dia bahagia karena bisa berjumpa lagi dengan suamiku? Mantan kekasihnya?Aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, terdiam mematung menatap para tamu yang masih membuatku tak mengerti dengan maksud kedatangan mereka.Benarkah pria ini memang suami Aluna? Bukan orang suruhan suamiku yang diwajibkan mengaku sebagai suami mantan kekasihnya?"Oh iya, silakan masuk."Tamu-tamu itu mengangguk ramah dan lantas melangkahkan kaki memasuki ruang tamu."Oh iya, sampai lupa. Kenalin ini Indah, istriku
Begitu membuka pintu, terlihat sosok lelaki yang kuakui memiliki paras tampan dengan pakaian kasual yang melekat di badan, tersembul di sana.Dan seketika itu pula, terlihat suamiku memalingkan wajahnya sebentar dengan senyum yang terlihat memudar.Hei! Benarkah dia memang mengharapkan orang lain yang bertandang siang menjelang sore kali ini? Kenapa terlihat kecewa begitu?"Siang, Calon Kakak Ipar." Dengan gayanya yang entah kenapa terlihat menjengkelkan, Fabian menorehkan sebuah senyuman sebelum mengangguk sebentar. Menunjukkan sikap yang terkesan ramah pada suamiku, yang disebut sebagai calon iparnya."Siang." Jelas sekali suamiku membalas kaku sapaan itu. Mungkin hatinya masih berkecamuk saat menyadari jika tamu yang datang tak sesuai dengan apa yang diharapkan."Apa Lira ada di rumah?""Ya, ada. Silakan masuk." Nada bicaranya masih sama seperti sebelumnya. Kaku.Apa dia benar-benar berharap kalau memang Aluna yang datang? Jika iya, kenapa harus ke sini? Tempat ini?Mungkinkah suam
Aku terdiam kaku. Tak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan itu. Ya, harus aku akui, luka dan rasa sakit itu tak akan mungkin cepat sirna meski aku sudah berusaha sekuat tenaga menguburnya dalam-dalam."Bahkan, seandainya kematianku yang kamu inginkan untuk menebus rasa bersalah dan membuktikan rasa cintaku padamu, aku siap, Indah." Aku menepuk pundaknya pelan. Merasa apa yang diucapkannya terlalu mengada-ada."Bisa nggak, sih, kamu ngomongnya jangan ngelantur begitu? Memangnya kamu pikir aku siap membesarkan anak ini seorang diri?" tanyaku saat rasa pilu di hati tiba-tiba menelusup masuk tanpa permisi. Ya, meskipun awalnya benci, nyatanya dia telah menambatkan jauh hatiku padanya. "Kamu … bisa menikah lagi dengan orang lain yang jauh lebih baik dariku, Arman misalnya."Aku merasakan kepalaku mendadak berasap saat mendengar ucapannya yang semakin melantur tak jelas."Hentikan omong kosong ini! Istirahatlah, badanmu masih terlalu lemah."Darren mengangguk pelan lantas kembali meme
"Mas … kamu …." Suaraku lirih. Hampir tak terdengar ketika tangan kananku yang belum lama ini memastikan kondisinya, belum terangkat dari sana."Aku baik-baik saja, Indah," jawabnya pelan dengan mata setengah terpejam.Aku merutuk dalam hati. Bukannya dia jago beladiri? Kenapa baru tidur di lantai semalam saja sudah langsung KO seperti ini?"Mas … ayo." Aku menarik tangannya. Tak mau kondisinya jadi lebih parah jika tetap membiarkannya dalam posisi seperti ini. Tidur di atas lantai granit tanpa alas dan juga tanpa bantal. Seperti apa yang menjadi pintaku sebelumnya.Dia bergeming."Ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit yang kamu alami akibat perbuatanku waktu itu, Indah," ucapnya di sela-sela rintihan yang masih terdengar. Kulihat bibirnya bergetar dengan tangan yang terus menggigil kedinginan."Sudahlah jangan bawel, ayo, masuk kamar sekarang." Aku yang tak ingin berdebat, setengah memaksa saat memintanya bangun.Akhirnya dia menurut juga. Meski terlihat sedik
Untuk sesaat terlihat Resti menatapku dengan pandangan miris sebelum kedua matanya terfokus lagi ke arah jalan di depan kami.Tak ada perbincangan apa pun setelahnya. Kami sama-sama diam dengan jalan pikiran masing-masing.***Sampai di rumah, aku yang tahu Darren mengekor mobil Resti sejak keluar dari area restoran tadi, buru-buru menarik langkah menuju kamar. Tak ingin peduli tentang bagaimana seluruh anggota keluarga melihat ketidakharmonisan pernikahanku dan suamiku yang baru seumur jagung.Aku merasa cukup beruntung saat berhasil mengunci pintu kamar sebelum dia berhasil mengejarku."Indah … tolong dengarkan penjelasan aku dulu, Ndah." Seolah mengesampingkan rasa malu di hadapan kedua mertua dan adik iparnya, Darren mengetuk-ngetuk pintu kamar sambil memohon.Aku yang masih kesal, mencoba abai dan tak peduli padanya yang pasti akan memberikan sejuta alasan andaikan aku melunakkan hatiku sedikit saja.Tidak! Cukup sudah aku berbaik hati dan menaruh pikiran positif padanya yang ter