"Nggak usah repot-repot menyeret dia ke kantor polisi, De. Gue udah telpon polisi soalnya. Tunggu saja, mereka bakal ke sini sebentar lagi."Kedatangan Mas Danar yang secara tiba-tiba, terasa sangat mengejutkan. Membuat suamiku yang semula tengah memfokuskan pandangan ke arah kamar, menoleh sambil tersenyum tipis melihat kepulangan lelaki yang juga merupakan salah satu sahabatnya."Wanita iblis ini memang paling tahu saat yang tepat untuk menganiaya dan mengintimidasi Alia, De," ujar Mas Danar dengan raut wajah yang terlihat sedikit garang ketika sepasang matanya menatap tajam ke satu arah. Ke arah dalam kamar Alia lebih tepatnya.Aku tak tahu bagaimana Tante Melly berekspresi, karena aku sendiri tak melihatnya secara langsung. Namun, yang jelas kutangkap, suaranya terdengar menggelegar saat menanggapi olok-olokan sang keponakan."Tutup mulutmu, Danar! Berani kau macam-macam denganku, sekarang juga tanggung akibatnya!"Jantungku berdegup lebih cepat saat melihat Darren dan Mas Danar t
Seketika air mataku luruh tak terbendung mendengar pertanyaan darinya yang seperti berputus asa dengan keadaan ini."Jangan pernah berpikir seperti itu, Al." Meski aku tahu betapa berat apa yang dialaminya sekarang, aku mencoba menyalurkan energi positif untuknya yang sedang berputus asa."Tapi aku capek, Ndah.""Percayalah, Alia, badai pasti berlalu."Alia tersedu kembali ketika aku mengusap lagi punggungnya.Sejenak kemudian, aku dan Alia kompak menoleh ke arah pintu saat menyadari ada yang mengetuk pintu kamarnya."Si-siapa?" tanya Alia di sela-sela isak tangisnya."Aku." Kudengar suara seorang pria menyahut. Membuat mataku membelalak lebar dengan napas memburu saat menyadari suara siapa orang yang saat ini berdiri di balik pintu.Galang?Mau apa dia?Berani sekali dia tunjuk muka setelah membuat kekacauan ini."Mau apa kamu ke sini, ha?!" balas Alia dengan suara lantang."Aku ingin bicara, Al." Dari balik pintu, Galang membalas pernyataan gadis yang telah diperlakukan sewenang-wen
Aku terus meyakinkan Alia jika dirinya tak perlu merasa bersalah atas apa yang menimpa Tante Melly. Selain itu, aku pun terus menekankan padanya jika semua yang terjadi adalah takdir yang sudah digariskan oleh Sang pemberi kehidupan.Bukankah hidup mati manusia telah dituliskan sejak masih dalam kandungan?Menurut apa yang Darren sampaikan, Tante Melly mengalami kecelakaan saat dia yang melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, tak bisa mengelakkan diri dari tabrakan dengan truk pengangkut barang yang kehilangan kendali saat menghindari insiden crush. Dan naasnya, saat itu, mobil yang dikendarai Tante Melly, tertimpa truk pengangkut barang yang oleng. Membuat wanita itu harus meregang nyawa saat dalam perjalanan menuju rumah sakit.Ah, siapa yang menyangka, wanita yang beberapa jam sebelumnya masih terlihat dalam kondisi bugar dan baik-baik saja, bahkan sempat mengibarkan bendera perang pada polisi setelah membuat huru-hara di rumah sang keponakan, harus menghadapi maut secepat itu.Be
"Ish! Kurang ajar banget, sih!" gerutu Alia seperti ingin menutupi keadaan hatinya yang rasanya dalam kondisi tak aman usai Galang mengecup pipinya."Ya, memang." Galang melepas pelukannya dengan pelan."Selalu jaga kesehatan, ya, Sayang."Sebuah kecupan hangat kembali melayang di kening gadis berambut panjang itu."Bye."Galang berlalu. Meninggalkan Alia yang berdiri kaku setelah mendapatkan dua kecupan hangat di pipi dan kening."Tenang, Al. Aku nggak lihat apa-apa, kok, tadi." Aku buru-buru membuang muka saat merasa gadis itu mungkin tengah merasa malu saat aku menjadi saksi bagaimana seorang Galang berbuat sedikit agresif padanya pagi-pagi seperti ini."Ish, apaan, sih." Kulihat wajah Alia bersemu merah saat aku menggodanya."Menurutku … kalian pasangan yang serasi," ujarku kemudian."Tolong, berhenti membual, Indah!""Enggak. Aku serius.""Ingat, Indah. Dia mantan berondong Tante Melly dan sekaligus penjahat kelamin," ucap Alia tajam, tapi tetap aku tanggapi dengan santai."Tapi
[Share loc, Man.]Kulihat suamiku mengetik pesan demikian sesaat setelah mencoba menenangkan diriku yang sedari tadi belum bisa berpikir jernih setelah mengetahui kabar buruk tentang adikku satu-satunya.[Wait.]Arman membalas singkat pesan yang dikirimkan Darren padanya.Tak berapa lama kemudian, terlihat sepupu Resti membagikan titik lokasi terkini. Membuat suamiku mengangguk-angguk saat mungkin sudah paham betul di mana keberadaan apartemen yang bisa jadi hampir menjadi tempat yang menimbulkan malapetaka untuk Lira, seandainya tak ada satu orang pun yang menolong.Darren pun lantas gerak cepat.Usai memakai pakaian lengkap yang dibalut dengan jaket kulit, suamiku gegas mengeluarkan mobil Pajero sport black edition miliknya menuju ke tempat di mana Arman membagikan keberadaannya saat ini."Kamu nggak usah mikir macam-macam, ya. Tenang, Lira bakal baik-baik saja." Darren mengusap lembut puncak kepalaku sebelum naik dan menyalakan mesin mobil yang belum sampai satu jam berada di garas
"Mungkin … kalau dia sudah menemukan gadis yang tepat, dia juga akan berhenti mendatangi tempat-tempat seperti itu," ujar suamiku sebelum menjatuhkan tubuhnya di bibir ranjang, di sampingku.Aku mengangguk pelan mendengar pendapat yang disampaikan suamiku."Seperti aku contohnya," tambahnya lirih.Aku tersenyum samar."Kamu yakin kalau kamu berhenti mengakhiri hingar-bingar dunia malam karena aku?" tanyaku, yang entah bagaimana ceritanya bisa sukses membuat wajah suamiku menggelap."Bukan karena orang lain?" tambahku yang entah kenapa membuat suamiku terlihat gelagapan saat hendak memberikan jawaban.Ada apa?"Kamu yakin bisa berubah karena aku? Bukan karena orang lain?" ulangku penuh penekanan."Kamu lagi ngomongin apa, sih, Sayang? Please, deh, jangan overthinking, ya, oke?" ucapnya sambil menunjukkan tampang datar usai dirinya menarik napas dengan berat."Kenapa tegang begitu? Aku cuma ingin memastikan, apakah orang lain ini yang membuatmu berubah?" tanyaku sambil mengusap lembut p
"Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku, aku janji, aku nggak akan memaafkan Mommy sampai kapan pun," desis Darren saat membaringkan tubuhku di jok seat kedua mobil Pajero sport black edition kesayangannya. Membuat wajah ibu mertuaku terlihat semakin pucat.Rini—salah satu pembantu rumah tangga di keluarga mertuaku, tampak sigap membantu saat mungkin merasa jika pertolongannya diperlukan saat ini. Bagaimana tidak, bahkan mertuaku terlihat bingung, seperti antara ingin membantuku atau tidak ketika aku hendak dilarikan ke rumah sakit. Entah itu karena gengsi, atau justru takut dimarahi oleh anaknya. Aku tak mengerti."Kamu yang tenang, ya, Sayang. Sebentar lagi kita sampai," ucap Darren terus berusaha menenangkan diriku yang tak bisa menyembunyikan rintihan lirih saat kurasakan remasan di perut semakin menjadi.Nyonya Laura yang akhirnya memutuskan untuk ikut, duduk di jok depan saat mendampingi anaknya yang selama dalam perjalanan tampak mengemudi dengan tak tenang. Terlihat seseka
"Iya. Mommy," balasnya sambil mengangguk berulang kali saat kedua tangannya yang halus, terulur dan menggapai tangan kananku yang bebas dari selang infus."Baik, Mommy, Indah cuma ingin meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah Indah lakukan dulu," ucapku sambil terisak pelan saat merasa sikapku terhadap Darren kala itu sudah sangat keterlaluan. Sehingga sempat membuat Nyonya Laura murka."Kamu nggak perlu meminta maaf, Indah. Justru … Mommy yang harus meminta maaf karena gagal mendidik Darren sampai dia membuat … masa depanmu hancur," ucapnya lantas menangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan sudut matanya yang terlihat mengembun. Membuat hatiku semakin tersentuh.Aku menggeleng pelan saat merasa membahas tentang hal itu, bukan lagi menjadi sesuatu yang pantas untuk diungkit dan diperdebatkan.Nasi sudah menjadi bubur bukan?Bukankah bubur juga masih bisa dinikmati, jika ditambah berbagai toping lezat yang menggugah selera?Lantas, apa salahnya melupakan kesalahan dan masa
"Dan kamu tahu, Indah. Pas pertama kali kita ketemu hari itu, aku benar-benar dibuat takjub melihat penampilan barunya yang … ditemani seorang wanita berjilbab di sampingnya," ucap Aluna, membuat otakku kembali merekam kejadian hari itu. Saat rasa cemburu dan prasangka buruk terus mendominasi ketika untuk pertama kali kami bertemu."Apa lagi waktu dia memperkenalkan kamu sebagai istrinya, jujur, aku ikut seneng liatnya, Ndah. Aku bersyukur banget waktu tahu dia udah bisa berdamai sama masa lalunya," tambahnya terdengar tulus.Aku tersenyum getir mendengar bagaimana dia mengungkapkan isi hatinya."Tapi Mbak Aluna tahu, sebenarnya dia … menjebak dan membuatku menikah dengannya karena aku—." Aku menggantung ucapan saat rasa sesak tiba-tiba menerjang ulu hati.Aluna menyorot mataku tajam. Seperti menuntutku memberikan jawaban."Karena aku sedikit memiliki kemiripan wajah dengan Mbak Aluna." Meski terasa berat, akhirnya, kata-kata itu meluncur juga dari bibirku.Aluna menatapku dengan tata
Aku memang sengaja menyemprotkan parfum khas wanita beraroma manis tapi kalem, sesaat setelah mengenakan pakaian yang sering disebut dengan istilah 'baju haram' ini.Untuk beberapa saat, aku dibuat tak berdaya ketika dia yang sepertinya telah dibakar gairah, terus mencumbu dan menyentuh lembut setiap inci tubuhku."Cantik banget, Sayang," ucapnya sambil menatapku dengan pandangan sayu, sebelum kami kembali terlibat lagi pada sebuah adegan mesra. Saat bibir kami saling bertaut.Seperti yang sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya, aku selalu saja tak punya cara untuk menghentikan aksi saat dia menjamah dan membuatku melayang dengan sentuhan-sentuhan yang begitu ampuh membuatku melayang.Untuk yang kesekian kalinya, selama pernikahan kami, aku dan Darren kembali merangkai malam dengan manisnya cinta yang saling tercurah di atas ranjang. Melakukan hubungan suami-istri secara halal sebagai upaya memuaskan batin dan mencari ketenangan."I love you, Mommy." Darren yang masih berbagi selimut
"Jadi … pernikahan Mas Arman otomatis batal?" tanyaku saat ikut merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh laki-laki yang selama ini terkenal kocak dan humoris itu."Ya … kemungkinan besar, sih begitu, Ndah." Terdengar Resti menghembuskan napas dengan kasar setelahnya."Kasihan. Padahal dia cowok yang baik dan nggak neko-neko," ujarku lirih."Iya. Pokoknya, doain aja, ya, Ndah, biar dia dapat pengganti yang lebih baik setelah ini." Terdengar ada pengharapan besar dari bagaimana sahabat baikku berucap."Aamiin."Begitu mengakhiri percakapan dengan Resti, aku dibuat sedikit gugup saat menyadari jika ternyata ada dua pasang mata yang menyaksikan obrolanku dengan Resti yang berlangsung belum lama ini."Mama? Lira?"Terlihat Lira menatap sendu saat mungkin telinganya juga bisa mendengar kabar lelaki yang dicintainya batal menikah. Sementara di sisi lain, Mama yang berdiri di samping putrinya, hanya tersenyum sinis mendengar kabar tidak mengenakkan dari Arman. Anak dari lelaki yang menja
Aku yang tengah duduk diam di sofa kamar setelah makan malam usai, dibuat kaget saat Resti tiba-tiba mengirimkan pesan."Gimana? Kamu udah baikan dan maafin dia?"Aku tak langsung membalas.Resti mengirim pesan lagi."Kalau semudah itu memaafkan, ya … pasti bakal bikin dia ketagihan buat main di belakang kamu, dong."Membaca pesan kedua itu, hatiku mendadak terasa panas dengan kepala yang terasa mengepulkan asap.Akhirnya, aku yang tak ingin memendam rasa penasaran itu sendirian, menelepon sahabat baikku dan lantas menceritakan tentang semua kejadian yang berlangsung sore tadi. Tentang kedatangan Aluna bersama suami dan anaknya. Juga tentang bagaimana mereka meyakinkan aku jika Darren tak memiliki hubungan apa pun dengan wanita 25 tahun berwajah teduh itu."Terus sekarang, suamimu ke mana? Kok kamu bebas banget nelpon aku dan bisa secara detail memerinci kejadian sore tadi?" tanya Resti setelah aku mengakhiri cerita."Dia sedang ada meeting penting sama klien, katanya sih, begitu," b
"Maaf, urusan aku di kantor masih banyak tadi, jadi baru sempat datang sekarang." Kudengar pria itu berbicara sambil menatap ke arah suamiku.Darren tersenyum ramah menanggapi."Nggak masalah, Bro. By the way, makasih udah mau menyempatkan waktu datang ke sini."Pria berjambang tipis yang tak juga melepas pegangan tangan anak laki-laki Aluna, terlihat mengangguk pelan sambil tersenyum. Sementara Aluna yang berdiri di sampingnya, tampak menunjukkan sorot mata bahagia entah untuk alasan apa.Apakah dia bahagia karena bisa berjumpa lagi dengan suamiku? Mantan kekasihnya?Aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, terdiam mematung menatap para tamu yang masih membuatku tak mengerti dengan maksud kedatangan mereka.Benarkah pria ini memang suami Aluna? Bukan orang suruhan suamiku yang diwajibkan mengaku sebagai suami mantan kekasihnya?"Oh iya, silakan masuk."Tamu-tamu itu mengangguk ramah dan lantas melangkahkan kaki memasuki ruang tamu."Oh iya, sampai lupa. Kenalin ini Indah, istriku
Begitu membuka pintu, terlihat sosok lelaki yang kuakui memiliki paras tampan dengan pakaian kasual yang melekat di badan, tersembul di sana.Dan seketika itu pula, terlihat suamiku memalingkan wajahnya sebentar dengan senyum yang terlihat memudar.Hei! Benarkah dia memang mengharapkan orang lain yang bertandang siang menjelang sore kali ini? Kenapa terlihat kecewa begitu?"Siang, Calon Kakak Ipar." Dengan gayanya yang entah kenapa terlihat menjengkelkan, Fabian menorehkan sebuah senyuman sebelum mengangguk sebentar. Menunjukkan sikap yang terkesan ramah pada suamiku, yang disebut sebagai calon iparnya."Siang." Jelas sekali suamiku membalas kaku sapaan itu. Mungkin hatinya masih berkecamuk saat menyadari jika tamu yang datang tak sesuai dengan apa yang diharapkan."Apa Lira ada di rumah?""Ya, ada. Silakan masuk." Nada bicaranya masih sama seperti sebelumnya. Kaku.Apa dia benar-benar berharap kalau memang Aluna yang datang? Jika iya, kenapa harus ke sini? Tempat ini?Mungkinkah suam
Aku terdiam kaku. Tak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan itu. Ya, harus aku akui, luka dan rasa sakit itu tak akan mungkin cepat sirna meski aku sudah berusaha sekuat tenaga menguburnya dalam-dalam."Bahkan, seandainya kematianku yang kamu inginkan untuk menebus rasa bersalah dan membuktikan rasa cintaku padamu, aku siap, Indah." Aku menepuk pundaknya pelan. Merasa apa yang diucapkannya terlalu mengada-ada."Bisa nggak, sih, kamu ngomongnya jangan ngelantur begitu? Memangnya kamu pikir aku siap membesarkan anak ini seorang diri?" tanyaku saat rasa pilu di hati tiba-tiba menelusup masuk tanpa permisi. Ya, meskipun awalnya benci, nyatanya dia telah menambatkan jauh hatiku padanya. "Kamu … bisa menikah lagi dengan orang lain yang jauh lebih baik dariku, Arman misalnya."Aku merasakan kepalaku mendadak berasap saat mendengar ucapannya yang semakin melantur tak jelas."Hentikan omong kosong ini! Istirahatlah, badanmu masih terlalu lemah."Darren mengangguk pelan lantas kembali meme
"Mas … kamu …." Suaraku lirih. Hampir tak terdengar ketika tangan kananku yang belum lama ini memastikan kondisinya, belum terangkat dari sana."Aku baik-baik saja, Indah," jawabnya pelan dengan mata setengah terpejam.Aku merutuk dalam hati. Bukannya dia jago beladiri? Kenapa baru tidur di lantai semalam saja sudah langsung KO seperti ini?"Mas … ayo." Aku menarik tangannya. Tak mau kondisinya jadi lebih parah jika tetap membiarkannya dalam posisi seperti ini. Tidur di atas lantai granit tanpa alas dan juga tanpa bantal. Seperti apa yang menjadi pintaku sebelumnya.Dia bergeming."Ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit yang kamu alami akibat perbuatanku waktu itu, Indah," ucapnya di sela-sela rintihan yang masih terdengar. Kulihat bibirnya bergetar dengan tangan yang terus menggigil kedinginan."Sudahlah jangan bawel, ayo, masuk kamar sekarang." Aku yang tak ingin berdebat, setengah memaksa saat memintanya bangun.Akhirnya dia menurut juga. Meski terlihat sedik
Untuk sesaat terlihat Resti menatapku dengan pandangan miris sebelum kedua matanya terfokus lagi ke arah jalan di depan kami.Tak ada perbincangan apa pun setelahnya. Kami sama-sama diam dengan jalan pikiran masing-masing.***Sampai di rumah, aku yang tahu Darren mengekor mobil Resti sejak keluar dari area restoran tadi, buru-buru menarik langkah menuju kamar. Tak ingin peduli tentang bagaimana seluruh anggota keluarga melihat ketidakharmonisan pernikahanku dan suamiku yang baru seumur jagung.Aku merasa cukup beruntung saat berhasil mengunci pintu kamar sebelum dia berhasil mengejarku."Indah … tolong dengarkan penjelasan aku dulu, Ndah." Seolah mengesampingkan rasa malu di hadapan kedua mertua dan adik iparnya, Darren mengetuk-ngetuk pintu kamar sambil memohon.Aku yang masih kesal, mencoba abai dan tak peduli padanya yang pasti akan memberikan sejuta alasan andaikan aku melunakkan hatiku sedikit saja.Tidak! Cukup sudah aku berbaik hati dan menaruh pikiran positif padanya yang ter