Sore hari.Aku yang tengah menangis sendiri di dalam kamar, dibuat tersentak saat mendengar pintu kamarku diketuk pelan."Nduk." Terdengar suara seorang wanita yang amat kukenali, memenuhi rongga pendengaranku.Aku terkesiap saat menyadari jika si pemilik suara itu adalah ….Mbah Uti? Kapan beliau datang dari kampung?Aku membelalak lebar saat menyadari jika satu-satunya orang tua mama yang masih ada, pasti tengah berdiri di balik pintu kamarku saat ini.Buru-buru kuusap air mata yang sedari tadi menetes. Tak ingin menunjukkan secara terang-terangan jika aku baru saja menangis di depan Mbah Uti."Nduk," ulangnya pelan. Membuatku benar-benar salah tingkah.Gegas aku bangkit dan berniat membukakan pintu untuk nenek yang amat menyayangiku sedari dulu. Bagaimana tidak, aku cucu pertama untuknya. Wajar, kan, kalau beliau sesayang itu padaku? Bahkan, Tante Rina—Tante yang usianya cuma berjarak delapan tahun dariku, yang notabene merupakan anak bungsu Mbah Uti, kerap dibuat kesal sekaligus
Semua terdiam tanpa kata, sampai akhirnya Cecilia bersuara kembali. Membuat perbedaan situasi."Kau tahu, mati-matian aku mencoba ikhlas untuk melepasnya saat dia memutuskanku dan bilang ingin menikahimu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," ujarnya sambil menatapku dan Darren secara bergantian.What?Apa dia bilang barusan? Putus? Rasanya … gadis yang bertemu denganku dan Resti saat di restoran Jepang hari itu … bukan dia, kan? Tapi, orang lain yang bukan seorang wanita Chinese seperti dirinya.Ah, iya. Wajar saja. Bukankah suamiku memang seorang buaya darat sebelum menikah denganku? Bukankah dia playboy yang tak cukup memiliki satu wanita dalam sekali waktu?Dan mirisnya … anakku adalah benih yang berasal darinya? Dan satu lagi, playboy satu itu bahkan sudah menjadikanku pasangannya yang sah di mata agama dan negara. Bukankah ini seperti mimpi buruk?Memandangkan Cecilia yang terlihat masih ingin menyampaikan isi hatinya, aku memilih diam. Ya … meski ingin sekali mengatakan ka
Mendengar seruan itu, aku dan Darren yang sebelumnya tengah larut dalam ciuman tak terencana, sontak menarik bibir dan mengakhiri hal tak terduga ini dengan sangat gugup. Kami saling menjauhkan wajah dengan perasaan campur aduk saat menyadari ada sepasang mata yang memergoki adegan mesra yang terjadi di luar kendali. Adegan mesra pasangan suami istri yang sebenarnya sangat tidak pantas disaksikan oleh seorang wanita bergelar mertua."Hentikan, Darren! Tolong jangan bertindak bodoh lagi! Tolong, jangan menyia-nyiakan berlian hanya demi batu kerikil yang cuma bisa menjadi sandungan dalam hidupmu, Darren!" ucap Nyonya Laura ketus saat sepasang matanya menatapku dengan tatapan nyalang sebelum mengalihkan pandangan pada anak tunggalnya.Deg!Batu kerikil?Ada yang teriris perih mendengar bagaimana wanita paruh baya itu membuat suatu perbandingan atas diriku.Ya, ternyata memang benar, serendah itu mertuaku menganggap diriku.Aku yang tak tahan dengan hinaan dari ibu mertua yang terlampau m
"Pergi sekarang! Pergi!" Aku menghardik sambil menunjuk ke arah pintu tanpa basa-basi. Membuat wajah Galang yang semula terlihat cerah, berubah pias dalam seketika."Nduk …." Mbah Uti yang mungkin merasa aku sudah bersikap sangat tidak sopan saat menyikapi tamu yang datang, berucap pelan. Seperti hendak memperingatkan jika apa yang kulakukan sudah amat keterlaluan."Tolong pergi." Aku terpaksa menurunkan intonasi saat merasa Uti masih mengawasi tindak-tanduk dan caraku berbicara.Galang bergeming, hanya sepasang matanya yang menatapku dengan tatapan mengiba saat aku terang-terangan menunjukkan raut wajah tak suka dengan kedatangannya. Sekaligus mengusir dirinya yang bisa dipastikan belum lama sampai di rumah ini."Jangan gitu, Nduk."Oh, pandai juga Galang mencari simpati nenekku. Bukankah aku sudah memelankan suara, kenapa masih kena komplain juga?Saat mungkin menyadari dirinya mendapatkan pembelaan, Galang yang terlihat masih duduk dengan sedikit kaku di atas kursi rotan, kembali m
"Tapi sejak mengenalmu, perlahan aku bisa melupakannya. Dan yakin, jika kamu, lah jodoh yang telah Allah persiapkan untukku, Indah," ucapnya yang entah kenapa mampu membuat hatiku rasa teriris secara tiba-tiba."Maafkan aku yang sempat kasar padamu, Indah. Maafkan aku yang sempat tak sadar diri dan mengharapkan gadis suci padahal aku sendiri seorang pendosa sejati," ucap Galang dengan suara bergetar saat tangannya ia tangkupkan di depan dada.Mendengar permintaan maafnya yang terdengar bersungguh-sungguh, justru membuat dadaku makin terasa sesak."Berikan padaku kesempatan sekali lagi, Indah," ucapnya dengan tatapan mengiba. Kulihat ada bias kaca dalam matanya."Maaf, aku nggak bisa." Aku buru-buru menolak dengan tegas. Tak ingin dianggap mempertimbangkan untuk memberinya kesempatan. Karena memang tak akan pernah aku lakukan."Kenapa?"Aku diam. Merasa heran karena ternyata dia masih belum sadar diri sampai saat ini."Bukankah kau tak bahagia dengan pernikahanmu?" tebaknya sok tahu."
"Tapi masalahnya … gue nggak yakin yang dipeluk bakalan mau, Man," balas suamiku lirih tapi tetap masih kedengaran juga.Mendengar ucapan Darren yang terdengar menggelitik di telinga, Arman memajukan bibirnya sesaat setelah menatapku sekilas."Gue malah nggak yakin dia bakalan nolak, Bro. Orang pas gue bilang elu belum mau ke sini aja, dia uring-uringan setengah mati. Udah kayak kucing mau kawin, tau nggak?" balas sepupu Resti dengan begitu santai saat menatapku sembari menampilkan seringaian menyebalkan. Membuatku membelalak lebar mendengar ocehannya yang semau sendiri.Astaghfirullah!Apa dia bilang tadi?Dia menyamakan aku … dengan kucing mau kawin?Keterlaluan!Tidak ada akhlak!"Hei! Ngomong apa barusan?" tanyaku dengan mata melotot, pada dia yang tampak puas melihatku tersulut emosi.Aku yang masih memegang gembor—penyiram tanaman dengan kapasitas 4 liter, gerak cepat mengayunkan benda berisi air ini ke arah di mana Arman berdiri. Dan tanpa pikir panjang, aku yang geram sekaligu
Tak bertapa lama kemudian, aku dibuat tak berkutik saat hidungnya yang mancung, menyentuh pipiku secara perlahan."Daddy kangen Mommy, Sayang," ucapnya sambil mengusap lembut perutku dari belakang. Membuatku makin tak karuan rasa dibuatnya. Ternyata benar apa yang dikatakan Uti hari itu. Ya, sewajarnya ibu hamil memang ingin dimanja oleh sang suami. Nyatanya, hanya dengan usapan lembut seperti ini saja mampu membuatku merasa diperhatikan.Menyadari aku tak melakukan perlawanan sama sekali, Darren nekat menciumi pipiku dan lantas membuat diriku membalikkan badan dan menatapnya."Kamu … makin cantik," ucapnya sambil melempar senyum yang entah kenapa terlihat berkali-kali lipat lebih manis dari biasanya.Pipiku menghangat mendengar pujiannya. Sebenarnya, ada beberapa banyak gula yang dibawa ke sini? Kenapa semuanya terasa manis seperti ini?Ya ampun! Receh sekali bukan?Bagaimana bisa dipuji cantik begitu saja, sudah membuatku melambung tinggi dan tak berkutik seperti ini?Huh!Apakah in
Sejenak, suasana kaku datang menghampiri. Membuat kami, pasangan suami istri yang telah lama terpisah dan baru kembali bertemu setelah sekian lama, terjebak dalam kesunyian.Sungguh, aku benar-benar tak memiliki ide tentang apa yang harus diperbuat saat ini. Apakah harus memulai dengan percakapan santai atau harus … membahas mengenai hal-hal romantis dengannya? Ah, tidak! Aku benar-benar tidak memiliki ide cemerlang untuk melewati saat-saat canggung seperti sekarang ini.Akhirnya, aku yang terus-menerus yang diserang perasaan canggung, memilih naik lebih dulu ke atas ranjang. Rasanya, menghindari tatapan matanya yang memukau dan semudah itu membuatku terpikat, adalah cara terbaik untuk menormalkan debaran dalam dada yang semakin tak terkontrol semenjak kedatangannya ke rumah Mbah Uti sore ini."Kamu … serius mau tidur pake jilbab begitu?" tanya Darren saat menarik langkah mendekati diriku.Aku yang semula telah berbaring miring, tergemap mendengar pertanyaan darinya.Astaghfirullah!S