"Pergi sekarang! Pergi!" Aku menghardik sambil menunjuk ke arah pintu tanpa basa-basi. Membuat wajah Galang yang semula terlihat cerah, berubah pias dalam seketika."Nduk …." Mbah Uti yang mungkin merasa aku sudah bersikap sangat tidak sopan saat menyikapi tamu yang datang, berucap pelan. Seperti hendak memperingatkan jika apa yang kulakukan sudah amat keterlaluan."Tolong pergi." Aku terpaksa menurunkan intonasi saat merasa Uti masih mengawasi tindak-tanduk dan caraku berbicara.Galang bergeming, hanya sepasang matanya yang menatapku dengan tatapan mengiba saat aku terang-terangan menunjukkan raut wajah tak suka dengan kedatangannya. Sekaligus mengusir dirinya yang bisa dipastikan belum lama sampai di rumah ini."Jangan gitu, Nduk."Oh, pandai juga Galang mencari simpati nenekku. Bukankah aku sudah memelankan suara, kenapa masih kena komplain juga?Saat mungkin menyadari dirinya mendapatkan pembelaan, Galang yang terlihat masih duduk dengan sedikit kaku di atas kursi rotan, kembali m
"Tapi sejak mengenalmu, perlahan aku bisa melupakannya. Dan yakin, jika kamu, lah jodoh yang telah Allah persiapkan untukku, Indah," ucapnya yang entah kenapa mampu membuat hatiku rasa teriris secara tiba-tiba."Maafkan aku yang sempat kasar padamu, Indah. Maafkan aku yang sempat tak sadar diri dan mengharapkan gadis suci padahal aku sendiri seorang pendosa sejati," ucap Galang dengan suara bergetar saat tangannya ia tangkupkan di depan dada.Mendengar permintaan maafnya yang terdengar bersungguh-sungguh, justru membuat dadaku makin terasa sesak."Berikan padaku kesempatan sekali lagi, Indah," ucapnya dengan tatapan mengiba. Kulihat ada bias kaca dalam matanya."Maaf, aku nggak bisa." Aku buru-buru menolak dengan tegas. Tak ingin dianggap mempertimbangkan untuk memberinya kesempatan. Karena memang tak akan pernah aku lakukan."Kenapa?"Aku diam. Merasa heran karena ternyata dia masih belum sadar diri sampai saat ini."Bukankah kau tak bahagia dengan pernikahanmu?" tebaknya sok tahu."
"Tapi masalahnya … gue nggak yakin yang dipeluk bakalan mau, Man," balas suamiku lirih tapi tetap masih kedengaran juga.Mendengar ucapan Darren yang terdengar menggelitik di telinga, Arman memajukan bibirnya sesaat setelah menatapku sekilas."Gue malah nggak yakin dia bakalan nolak, Bro. Orang pas gue bilang elu belum mau ke sini aja, dia uring-uringan setengah mati. Udah kayak kucing mau kawin, tau nggak?" balas sepupu Resti dengan begitu santai saat menatapku sembari menampilkan seringaian menyebalkan. Membuatku membelalak lebar mendengar ocehannya yang semau sendiri.Astaghfirullah!Apa dia bilang tadi?Dia menyamakan aku … dengan kucing mau kawin?Keterlaluan!Tidak ada akhlak!"Hei! Ngomong apa barusan?" tanyaku dengan mata melotot, pada dia yang tampak puas melihatku tersulut emosi.Aku yang masih memegang gembor—penyiram tanaman dengan kapasitas 4 liter, gerak cepat mengayunkan benda berisi air ini ke arah di mana Arman berdiri. Dan tanpa pikir panjang, aku yang geram sekaligu
Tak bertapa lama kemudian, aku dibuat tak berkutik saat hidungnya yang mancung, menyentuh pipiku secara perlahan."Daddy kangen Mommy, Sayang," ucapnya sambil mengusap lembut perutku dari belakang. Membuatku makin tak karuan rasa dibuatnya. Ternyata benar apa yang dikatakan Uti hari itu. Ya, sewajarnya ibu hamil memang ingin dimanja oleh sang suami. Nyatanya, hanya dengan usapan lembut seperti ini saja mampu membuatku merasa diperhatikan.Menyadari aku tak melakukan perlawanan sama sekali, Darren nekat menciumi pipiku dan lantas membuat diriku membalikkan badan dan menatapnya."Kamu … makin cantik," ucapnya sambil melempar senyum yang entah kenapa terlihat berkali-kali lipat lebih manis dari biasanya.Pipiku menghangat mendengar pujiannya. Sebenarnya, ada beberapa banyak gula yang dibawa ke sini? Kenapa semuanya terasa manis seperti ini?Ya ampun! Receh sekali bukan?Bagaimana bisa dipuji cantik begitu saja, sudah membuatku melambung tinggi dan tak berkutik seperti ini?Huh!Apakah in
Sejenak, suasana kaku datang menghampiri. Membuat kami, pasangan suami istri yang telah lama terpisah dan baru kembali bertemu setelah sekian lama, terjebak dalam kesunyian.Sungguh, aku benar-benar tak memiliki ide tentang apa yang harus diperbuat saat ini. Apakah harus memulai dengan percakapan santai atau harus … membahas mengenai hal-hal romantis dengannya? Ah, tidak! Aku benar-benar tidak memiliki ide cemerlang untuk melewati saat-saat canggung seperti sekarang ini.Akhirnya, aku yang terus-menerus yang diserang perasaan canggung, memilih naik lebih dulu ke atas ranjang. Rasanya, menghindari tatapan matanya yang memukau dan semudah itu membuatku terpikat, adalah cara terbaik untuk menormalkan debaran dalam dada yang semakin tak terkontrol semenjak kedatangannya ke rumah Mbah Uti sore ini."Kamu … serius mau tidur pake jilbab begitu?" tanya Darren saat menarik langkah mendekati diriku.Aku yang semula telah berbaring miring, tergemap mendengar pertanyaan darinya.Astaghfirullah!S
Aku kembali merasakan bulu kudukku meremang saat tangan kanannya bergerak membuka ikat rambutku. Membuat rambut panjangku tergerai sempurna di hadapannya."Cantik," ucapnya pelan saat memindai wajahku. Mungkin akan terdengar berlebihan, tapi percayalah, walaupun cuma satu kata, tapi pujian yang terlontar dari bibirnya benar-benar mampu membuat pipiku terasa semakin hangat dan seperti dihipnotis.Aku dibuat semakin salah tingkah saat tanpa aba-aba, kedua tangannya uang lebar, menyibakkan rambutku dengan pelan ke belakang telinga.Bersama jantung yang semakin meningkat ritmenya, aku memejamkan mata saat menyadari saat dia mulai merapatkan wajahnya ke wajahku. Aku pun tak sanggup menolak saat dirinya membuat tubuhku terbaring karena sentuhannya.Hangat napas, serta parfum beraroma woody maskulin yang melekat di tubuhnya, membuat indera penciumanku benar-benar dimanjakan.Cukup lama aku menunggu. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda jika apa yang sedari tadi aku perkirakan, bakal terjadi.Ya
Aku memilin jari jemari dengan kaku, tak bisa membayangkan semerah apa wajahku sekarang. Sungguh, andai mampu ingin rasanya aku menghilang dari muka bumi saja detik ini.Ya malu. Aku benar-benar malu dengan kenyataan jika aku memang seagresif itu ternyata.Menatapku yang mungkin terlihat begitu salah tingkah, membuat Arman tergelak puas. Seolah menganggap jika apa yang terjadi padaku seperti hiburan tersendiri untuknya pagi ini."Udah, ah, ayo buruan, sholat. Udah mau fajar, ini, Mas," ucapku berusaha mengalihkan perhatian. Membuat suamiku mengangguk setuju, sementara Arman terlihat berdeham berkali-kali."Ya … habis sholat, jangan lupa sambung extra part, ya, Gaes, ya. Siapa tahu yang tadi malam masih kurang, kan? HAHAHA." Tawa Arman membahana saat mengucap kalimat yang entah kenapa terdengar sangat menjengkelkan.Darren mengangguk-angguk. Seperti tak keberatan sama sekali dengan saran yang diberikan oleh sahabat yang gemar menyindir dan meledek sejak kemarin. Ah, tidak! Aku baru sad
"Emang, ya, gampang banget bapak-bapak kalau ngomong, anak satu aja belum lahir, udah pengen nambah! Ish, kurang kerjaan banget perasaan!" ucapku dengan nada geram. Membuat Darren terbahak-bahak melihat kekesalanku."Kalau kamu yang ngidam nggak apa-apa, emang dikira ngidam, tuh, enak, apa?" Aku masih tertarik memperolok dirinya yang sewenang-wenang ingin menjadikanku tempat pencetak anak."Ya ampun. Kamu marah, Sayang? Ya udah, minta maaf, deh, kalau gitu. Tapi syaratnya, kita 'main' dulu, ya, sekali lagi?" ujarnya sambil mengerling nakal ke arah ranjang. Tempat yang menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya aktivitas penyatuan cinta dua manusia yang tengah dilanda gelora malam tadi."Ish! Gitu amat perasaan syaratnya, enggak-enggak, aku nggak setuju. Lagian, aku harus masak, bantuin Uti! Enak aja minta jatah terus!" Aku berusaha mengalihkan pembahasan dan memperolok dirinya saat menyadari Mbah Uti pasti sudah sibuk di dapur jam segini."Oh … belum pengen lanjut sekarang yang hot-hotnya?