Bukan cuma air mata yang menetes, tapi, tangis pilu pun turut menyertai. Membuatku merasa diriku tak ubahnya manusia bodoh yang dengan mudahnya menaruh rasa simpati terhadap penjahat.Ya, memang benar, kan kalau dia itu penjahat?Lantas, kenapa aku harus merasakan kepedihan ini saat melihatnya hancur?Kenapa?Kuusap dengan kasar air mata yang menetes di pipi. Sambil bertanya pada diri, perlukah aku menangisinya? Lelaki yang telah membuat hidupku hancur.Perlukah?Aku menyesal saat lagi-lagi tanpa diminta, air mataku menetes kembali ketika jari tanganku secara refleks memutar kembali video yang Arman kirimkan belum lama ini.Aku merasakan kepalaku terasa berat ketika dihadapkan dengan situasi yang benar-benar sulit seperti ini.Kenapa semua orang justru memanipulasi diriku?Bukankah di sini aku adalah korban? Lantas, kenapa justru seolah-olah aku yang bersalah? Sisi hatiku yang lain bergejolak saat rasa bersalah itu kembali muncul.Buang pikiran tak jelas ini, Indah!Buang segera!Tak
"Aku dengar, Darren mabuk berat tadi malam," ucap Resti saat meneleponku di jam sarapan. Aku memang sengaja membawa ponsel ketika turun ke meja makan pagi ini."Ya, aku tahu," balasku dingin dan tanpa berniat melihat bagaimana kedua orang tua dan adikku bereaksi."Lalu, apa rencanamu?""Aku akan memenjarakan mereka semua," ucapku tanpa keraguan. Membuat Lira dan Mama yang duduk berdampingan di depan meja makan, terkejut bukan main."Apa kamu serius?" Resti bertanya, seperti tak terlalu yakin dengan apa yang baru saja aku ungkapkan."Ya, aku serius," balasku tanpa ragu. Lagi.Kulihat Ayah menatapku dengan tatapan tak percaya."Oke, apa pun yang menjadi pilihanmu, aku akan mendukungnya. Penjahat-penjahat seperti mereka memang pantas mendapatkan ganjaran, agar tak semudah itu mempermainkan hidup orang lain di masa depan," ucap Resti terdengar tegas.Aku mendesah singkat mendengar hasil pemikirannya."Ya, aku sependapat denganmu, Resti."Percakapan berakhir.Membuat suasana sarapan kali i
Aku membeku tanpa suara.Mendengar bagaimana Nyonya Laura memperolok dan memojokkan diriku, serta foto di tangan yang belum terlepas dari genggaman, membuatku benar-benar terpukul detik ini.Benarkah?Benarkah aku sejahat itu? Menginginkan ayah dari janin dalam kandunganku mati?Aku terkelu dengan hati berkecamuk mendengar bagaimana Nyonya Laura terus-menerus mengkambinghitamkan diriku.Ya Allah.Apakah tuduhan itu memang layak dan pantas dilayangkan padaku? Bukankah aku hanya mengharapkan keadilan? Bukan kematian seperti yang mertuaku tuduhkan?"Satu yang perlu kau tahu, penyesalan terbesarku adalah … memberikan restu dan mengizinkan anakku menikah denganmu, Wanita Tak Tahu Diri!" ucapnya terdengar tajam dan mampu menggores hati yang memang sudah teriris sebelumnya.Aku terkelu dengan jantung berdegup kencang mendengar kejujuran mertua yang sebenarnya sudah bisa kuperkirakan sebelumnya."Berani sekali kau mempermainkan dan menyia-nyiakan anak semata wayang yang butuh waktu bertahun-t
Sore hari.Aku yang tengah menangis sendiri di dalam kamar, dibuat tersentak saat mendengar pintu kamarku diketuk pelan."Nduk." Terdengar suara seorang wanita yang amat kukenali, memenuhi rongga pendengaranku.Aku terkesiap saat menyadari jika si pemilik suara itu adalah ….Mbah Uti? Kapan beliau datang dari kampung?Aku membelalak lebar saat menyadari jika satu-satunya orang tua mama yang masih ada, pasti tengah berdiri di balik pintu kamarku saat ini.Buru-buru kuusap air mata yang sedari tadi menetes. Tak ingin menunjukkan secara terang-terangan jika aku baru saja menangis di depan Mbah Uti."Nduk," ulangnya pelan. Membuatku benar-benar salah tingkah.Gegas aku bangkit dan berniat membukakan pintu untuk nenek yang amat menyayangiku sedari dulu. Bagaimana tidak, aku cucu pertama untuknya. Wajar, kan, kalau beliau sesayang itu padaku? Bahkan, Tante Rina—Tante yang usianya cuma berjarak delapan tahun dariku, yang notabene merupakan anak bungsu Mbah Uti, kerap dibuat kesal sekaligus
Semua terdiam tanpa kata, sampai akhirnya Cecilia bersuara kembali. Membuat perbedaan situasi."Kau tahu, mati-matian aku mencoba ikhlas untuk melepasnya saat dia memutuskanku dan bilang ingin menikahimu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," ujarnya sambil menatapku dan Darren secara bergantian.What?Apa dia bilang barusan? Putus? Rasanya … gadis yang bertemu denganku dan Resti saat di restoran Jepang hari itu … bukan dia, kan? Tapi, orang lain yang bukan seorang wanita Chinese seperti dirinya.Ah, iya. Wajar saja. Bukankah suamiku memang seorang buaya darat sebelum menikah denganku? Bukankah dia playboy yang tak cukup memiliki satu wanita dalam sekali waktu?Dan mirisnya … anakku adalah benih yang berasal darinya? Dan satu lagi, playboy satu itu bahkan sudah menjadikanku pasangannya yang sah di mata agama dan negara. Bukankah ini seperti mimpi buruk?Memandangkan Cecilia yang terlihat masih ingin menyampaikan isi hatinya, aku memilih diam. Ya … meski ingin sekali mengatakan ka
Mendengar seruan itu, aku dan Darren yang sebelumnya tengah larut dalam ciuman tak terencana, sontak menarik bibir dan mengakhiri hal tak terduga ini dengan sangat gugup. Kami saling menjauhkan wajah dengan perasaan campur aduk saat menyadari ada sepasang mata yang memergoki adegan mesra yang terjadi di luar kendali. Adegan mesra pasangan suami istri yang sebenarnya sangat tidak pantas disaksikan oleh seorang wanita bergelar mertua."Hentikan, Darren! Tolong jangan bertindak bodoh lagi! Tolong, jangan menyia-nyiakan berlian hanya demi batu kerikil yang cuma bisa menjadi sandungan dalam hidupmu, Darren!" ucap Nyonya Laura ketus saat sepasang matanya menatapku dengan tatapan nyalang sebelum mengalihkan pandangan pada anak tunggalnya.Deg!Batu kerikil?Ada yang teriris perih mendengar bagaimana wanita paruh baya itu membuat suatu perbandingan atas diriku.Ya, ternyata memang benar, serendah itu mertuaku menganggap diriku.Aku yang tak tahan dengan hinaan dari ibu mertua yang terlampau m
"Pergi sekarang! Pergi!" Aku menghardik sambil menunjuk ke arah pintu tanpa basa-basi. Membuat wajah Galang yang semula terlihat cerah, berubah pias dalam seketika."Nduk …." Mbah Uti yang mungkin merasa aku sudah bersikap sangat tidak sopan saat menyikapi tamu yang datang, berucap pelan. Seperti hendak memperingatkan jika apa yang kulakukan sudah amat keterlaluan."Tolong pergi." Aku terpaksa menurunkan intonasi saat merasa Uti masih mengawasi tindak-tanduk dan caraku berbicara.Galang bergeming, hanya sepasang matanya yang menatapku dengan tatapan mengiba saat aku terang-terangan menunjukkan raut wajah tak suka dengan kedatangannya. Sekaligus mengusir dirinya yang bisa dipastikan belum lama sampai di rumah ini."Jangan gitu, Nduk."Oh, pandai juga Galang mencari simpati nenekku. Bukankah aku sudah memelankan suara, kenapa masih kena komplain juga?Saat mungkin menyadari dirinya mendapatkan pembelaan, Galang yang terlihat masih duduk dengan sedikit kaku di atas kursi rotan, kembali m
"Tapi sejak mengenalmu, perlahan aku bisa melupakannya. Dan yakin, jika kamu, lah jodoh yang telah Allah persiapkan untukku, Indah," ucapnya yang entah kenapa mampu membuat hatiku rasa teriris secara tiba-tiba."Maafkan aku yang sempat kasar padamu, Indah. Maafkan aku yang sempat tak sadar diri dan mengharapkan gadis suci padahal aku sendiri seorang pendosa sejati," ucap Galang dengan suara bergetar saat tangannya ia tangkupkan di depan dada.Mendengar permintaan maafnya yang terdengar bersungguh-sungguh, justru membuat dadaku makin terasa sesak."Berikan padaku kesempatan sekali lagi, Indah," ucapnya dengan tatapan mengiba. Kulihat ada bias kaca dalam matanya."Maaf, aku nggak bisa." Aku buru-buru menolak dengan tegas. Tak ingin dianggap mempertimbangkan untuk memberinya kesempatan. Karena memang tak akan pernah aku lakukan."Kenapa?"Aku diam. Merasa heran karena ternyata dia masih belum sadar diri sampai saat ini."Bukankah kau tak bahagia dengan pernikahanmu?" tebaknya sok tahu."