Aku kebingungan memberikan jawaban.Belum sempat aku mendebat, terlihat olehku, ponsel milik Darren yang dia letakkan di atas nakas satu lagi, bergetar."HAHA. Iya, nih." Terlihat suamiku mengurai senyuman ketika dirinya sudah tersambung melalui sambungan telepon dengan seseorang.Aku diam, tapi terus menyimak obrolannya."Resepsi?" Ya ... dalam waktu dekat sih paling," ungkapnya terdengar santai.Hah? Resepsi? Apakah dia sedang membual?"Woiya jelas, dong. Gue, 'kan pengen nikahnya juga seumur hidup satu kali, masa iya sih nggak dirayain?" Mataku membelalak lebar mendengar bagaimana suamiku terlihat menikmati obrolannya dengan seseorang yang aku perkirakan adalah teman baiknya.Dadaku berdebar kencang dalam seketika.Bukankah sebelumnya dia sudah sepakat untuk tidak mengadakan resepsi? Lantas, kenapa sekarang dia begitu yakin dengan ucapannya yang secara lugas menjelaskan jika resepsi itu benar akan diadakan?Ya, sebelum ini memang aku sudah membuat kesepakatan dengan Darren jika pe
Lira terkejut setengah mati saat menyadari aku berdiri di belakangnya. Terlihat gadis itu buru-buru mengakhiri panggilan dengan seorang yang kuperkirakan adalah Alia."Kenapa ditutup?" Sambil menyilangkan tangan di depan dada, aku bertanya dengan tatapan menyelidik pada adikku yang terlihat begitu salah tingkah kala tatapan kami beradu."Ng-nggak apa-apa, Mbak," balas adikku terbata-bata. Membuatku gemas setengah mati. Bagaimana tidak, bukankah adikku yang satu ini suka sekali menguji kesabaran melalui sikapnya yang tak terbuka selama ini? Ya, semenjak hari itu, dia memang menjadi sosok yang berbeda dari sosok Lira yang selama ini kukenal. Namun, sayangnya, hanya dia satu-satunya saudara yang kumiliki."Apa yang salah dengan Galang?" Aku yang memang penasaran dengan maksud ucapannya saat tengah bertelepon ria tadi, nekat bertanya meski tak yakin dia bakal menjawabnya secara langsung.Ya, karena orang-orang terdekatku memang suka bermain teka-teki bukan?Aku yang sedang mengintimidasi
"Buat apa nanyain soal dia?" Dia mengulang pertanyaan saat aku tak segera menjawab pertanyaan darinya."Nggak apa-apa." Aku santai sembari meresapi kekesalannya yang entah kenapa menjadi sesuatu yang memuaskan untukku."Kamu kangen sama dia?"Melihat aku dan Darren mulai bersitegang, Bik Minah terlihat menarik diri dari hadapan kami. Mungkin tak enak hati.Aku buru-buru menghabiskan rujak serut dan kemudian berjalan menuju kamar saat kulihat raut wajah marah dari seorang Darren tak juga memudar setelah beberapa menit aku menyebut lagi nama Galang."Kamu kangen sama dia?" Lagi-lagi aku memilih bungkam ketika dia menyusul ke kamar dan mengulang lagi pertanyaan yang tak aku jawab ketika kami sedang berada di dapur tadi."Kayaknya nggak ada salahnya, 'kan kalau aku kangen?" balasku santai. Ya, aku memang sengaja mengatakan itu untuk menyulut emosi. Bukankah ketika melihatnya marah itu bisa menjadi satu pemandangan mengasyikkan untukku?"Apa kau sedang bercanda, Indah?!" Wajah Darren terli
Aku masih berdiri kaku pada posisiku saat hati dan pikiran masih saja sulit untuk percaya dengan pemandangan yang tampak sangat nyata di seberang sana.Astaghfirullah. Aku beristighfar lagi saat prasangka buruk tentang Galang tak dapat disingkirkan dari otakku begitu saja.Bukankah dari gerak tubuh bisa terbaca jika … ada sesuatu yang tak biasa diantara mereka berdua? Tidak! Aku tidak bisa melihat pemandangan itu sebagai bentuk pertemanan atau persaudaraan. Namun, lebih kepada hubungan dua orang dewasa yang saling … mencintai?Ya Allah, benarkah ini?Benarkah selama ini Galang menjadi simpanan wanita berumur? Jika memang begitu adanya, apa yang membuatnya jadi seperti itu?Aku terus menerka-nerka dalam hati sambil terus menatapnya tanpa menoleh ke arah lain. Entah mengapa, kali ini aku tertarik untuk tahu apa yang akan dilakukan oleh wanita yang rasanya tak jauh berbeda usia dengan mamaku."Please, Mel. Jangan keterlaluan!" Sekali lagi, Galang terlihat sangat tidak nyaman dengan apa y
Seperti tak ingin terjadi keributan, dengan cekatan, Galang menarik tangan wanita itu dan membawanya menjauh dari hadapan kami.Sepeninggalnya Galang dari hadapanku, entah kenapa aku merasakan mood-ku mendadak anjlok.Apakah ini yang dimaksud oleh Lira jika sampai aku dan Galang bersatu,maka efeknya akan sangat mengerikan?Apakah ini maksud dari rencana Alia yang sesungguhnya?Karena takut aku mendapatkan masalah jika benar aku jadi menikah dengan Galang?Benarkah mereka sepeduli itu padaku?Berbagai hidangan yang sebenarnya lezat, menjadi benar-benar hambar saat pikiranku terus bercabang ke mana-mana."Mas, bisa kita pulang?" Aku yang merasakan nafsu makanku hilang, memohon pada Darren untuk segera pergi dari tempat yang membuatku tahu sisi lain seorang Galang Wicaksana. Sisi gelap yang selama dua tahun ini tak pernah diungkap olehnya."Oke, kita pulang sekarang."Aku merasa beruntung karena tidak perlu melakukan perdebatan untuk pulang dengan cepat. Ya, ternyata suamiku memang tipe
Aku merasakan dadaku terhimpit secara tiba-tiba detik ini. Terasa sesak dan penuh oleh rasa sakit.Seluruh tubuhku terasa dingin dan kaku ketika hati ini masih juga belum memahami tentang apa maksud tersembunyi dari persekongkolan diantara mereka.Apakah benar mereka punya tujuan yang baik, atau … sebaliknya?Jika memang tujuan mereka untuk melindungiku, kenapa harus melakukannya dengan cara yang kotor? Bahkan, mereka dengan tega membuatku terjerembab ke dalam kubangan dosa yang berujung pada kehamilan yang tak pernah kuinginkan ini.Kepalaku mendadak berdenyut lagi saat mengingat kehamilan yang sebelumnya tak pernah kuharapkan, memang terjadi karena ada campur tangan adik dan sahabatku di dalamnya.Ya Allah, adakah yang lebih sial daripada aku? Seorang yang harus menanggung malu karena ulah tak terpuji adik dan sahabat yang kuanggap sebagai orang-orang terdekat dalam hidupku?Perasaan damai yang selama beberapa hari sempat singgah, seakan mengabur entah ke mana. Rasa bersyukur karena
Menyadari aku tak ini berbicara apa pun, Darren terlihat menarik diri dari dapur."Non Indah, baik-baik saja?""Iya, Bik. Aku baik-baik saja," ujarku meyakinkan ketika Bik Minah seperti mencemaskan keadaanku.Sampai di meja makan, aku memilih tetap diam, tak ingin membahas apa pun dengan suami atau adikku yang dalam pandangan mataku saat ini … tak lebih dari penjahat paling mengerikan yang ada di muka buAh, sungguh, jika bukan karena di perutku sudah terisi oleh janin, aku pasti akan berpikir sepuluh kali untuk menikah dengannya. Seorang penjahat kelamin yang begitu tega merampas kehormatan dengan cara licik dan murahan."Indah ... apa kamu baik-baik saja?" tanya Mama saat mungkin merasa jika aku tak menunjukkan raut wajah menyenangkan selama berada di meja makan."Indah baik-baik aja, kok, Ma. Cuma lagi nggak habis pikir, kenapa ... juga hidup Indah harus sesial ini. Hidup di antara para penjahat," ucapku tajam, membuat suami dan adikku tersedak dalam seketika. Mungkin merasa tersin
Langkahku bagai tak memijak bumi.Pandangan yang mengabur dan kepala yang terasa berat bukan menjadi soal. Yang kuinginkan saat ini cuma satu, secepatnya sampai rumah. Itu saja. Tak ada yang lebih penting dari itu.Meluahkan kesedihan dengan menangis dalam kamar, agaknya bakal bisa menjadi solusi untuk mengurangi beban di hati.Tatapan beberapa mahasiswa yang berpapasan denganku saat berjalan di lobi kampus, bukan menjadi hal berarti saat ini. Sungguh, aku tak ingin ambil peduli tentang bagaimana mereka memandangku. Apakah mencemooh atau bersimpati? Aku tak ingin ambil pusing.Air mata yang menetes tak tahu diri serta isak tangis yang mengiringi, menjadi satu hal yang memalukan, tapi tak kupedulikan. Bahkan, hingga menaiki taksi online, air mataku terus saja mengalir deras tanpa henti. Bagai hujan yang turun di bulan Januari.Dari kaca spion dalam mobil, bisa kulihat dengan jelas saat driver taksi online yang kutumpangi melirik padaku dengan tatapan aneh dan penuh tanya. Namun, aku be