Dengan gerakan cepat, Lira menarik tangan Arman menuju ruang tengah. Membuat lelaki 25 tahun itu menjauh dari hadapan kami yang duduk melingkar di atas hamparan permadani ruang tamu.Suasana yang sempat tegang, kembali mencair setelah Arman urung mengungkapkan apa yang mungkin Darren sembunyikan dariku. Hal penting yang mungkin saja merupakan sesuatu yang krusial dan Darren masih ingin menutupnya rapat-rapat.Tidak seperti beberapa kerabatnya yang terlihat santai, dalam pandangan mataku, terlihat Darren masih menunjukkan raut wajah tegang meski Arman tak berada di tengah-tengah kami saat ini."Kenapa, Mas?" tanyaku setengah berbisik dengan tatapan menyelidik. Pada dia yang penuh misteri, tapi sayangnya, hanya dia lelaki yang paling berhak atas diriku dalam waktu dekat.Seperti tak ingin mengungkap apa yang membuatnya tak enak hati, Darren menggeleng pelan sambil mengulas senyum tipis."It's ok, Sayang." Aku dibuat benar-benar salah tingkah, ketika tanpa permisi, Darren mengapit daguku
Aku terdiam kembali. Rasa hati memang sedang tak ingin bergurau karena pikiranku sendiri tengah bercabang ke mana-mana."Mana mungkin aku bosen. Kan tiap hari juga nanti kita bareng-bareng terus, 'kan?"Aku tertegun mendengar pertanyaan darinya yang meski terdengar tak serius, tapi nyatanya hal itu tak bisa dinafikan.Ya Allah, aku bahkan tak pernah memimpikannya. Mendapatkan seorang anak tunggal dari keluarga kaya raya yang diharuskan menikah denganku karena satu kesalahan hari itu.Ya, selama ini, aku hanya yakin jika lelaki yang pantas berjodoh denganku cuma Galang seorang. Akan tetapi, ternyata, takdir berkata lain.Ah, Galang, maafkanlah aku jika selama ini sikapku terlampau menyakitimu yang ternyata tak semudah itu melupakanku."Kamu kenapa?" Pertanyaan dari Darren membuatku tersentak.Aku yang sedang memikirkan pasal Galang, gelagapan ketika hendak memberikan jawaban."Itu … itu—." Aku benar-benar tak punya cadangan kata untuk dikeluarkan saat ini.Ya, tak bisa dipungkiri, aku m
Aku yang dalam keadaan cemas, terus berdoa dan berharap akan ada malaikat penolong yang bisa menggagalkan rencana Galang untuk menculik diriku. Sungguh, ketakutanku atas kehilangan calon bayiku adalah ketakutan paling dominan saat ini."To—."Menyadari aku hampir berteriak, Galang dengan sigap kembali membekap mulutku. Memperlakukanku layaknya tawanan yang tak diperkenankan untuk bersuara walaupun sepatah.Sungguh, aku tak pernah menyangka, kami yang dulu saling mencintai, bakal berakhir seperti ini. Bahkan, seorang Galang di mataku saat ini, terlihat lebih menyeramkan dari monster paling menakutkan sekalipun.Sambil melihat ke kanan dan ke kiri, tangan lebar Galang terus membekapku saat mantan calon suamiku ini membawaku dengan paksa ke parkiran mobil yang terletak di basement mall ini."Jangan banyak bergerak kalau kau ingin nyawa dan calon bayimu selamat, Indah!" desisnya di telingaku. Membuat bulu romaku kembali berdiri mendengar gertakannya.Bukankah ancamannya sangat mengerikan
"Kenapa jadi menghubungkan ke situ, sih, Res?" Aku bersungut-sungut kesal saat merasa sahabatku tak berhenti menatapku dengan pandangan mengejek pasca sukses membuatku meradang dengan ucapannya yang memang mengganggu pendengaran.Resti menghentikan tawa."Iya, maaf, ya, Bumil, aku salah ngomong," ucapnya lirih.Aku bersedekap sambil memalingkan muka ke satu arah di mana mata ini tak menangkap dua orang paling menyebalkan yang pernah ada di muka bumi. Darren Atma Wijaya dan Resti Andriani Purnomo."Jadi, sekarang kamu maunya gimana, nih? Mau pulang bareng aku atau sama sugar Daddy?" tanya Resti memecah kebisuan. Memaksaku menoleh ke arah Darren, ingin tahu bagaimana ekspresinya saat ini. Ketika Resti secara terang-terangan menyebut dirinya dengan sebutan sugar Daddy.Bukankah itu julukan yang amat menggelikan sekaligus menjengkelkan?"Wait! Apa 25 tahun sudah bisa dipanggil sugar Daddy?" Terlihat jelas jika calon suamiku tak terima saat Resti memberikan julukan yang sangat tak beradab
"Udah dulu, ya, Mbak, aku ada tugas, nih." Terdengar adikku seperti ingin mengakhiri pembicaraan dengan lawan bicaranya yang aku yakini adalah Alia. Ya, Alia. Siapa lagi?Bukankah dia sosok yang paling pantas untuk dicurigai saat ini?Aku terus menahan gejolak dalam dada saat memaksa diri untuk terus berdiri di sini sembari menyimak obrolan adikku dengan lawan bicaranya."Hah, apa, Mbak? Oh … soal hubungan aku dengan Galang?"Aku menajamkan pendengaran saat merasa adikku seperti ingin berbagi informasi tentang mantan calon suami yang juga gagal menjadi suami sejati untuk si cantik yang tengah bertelepon ria saat ini."Itu … dia udah mau batalin pernikahan, Mbak, kayaknya, sih, udah ngajuin berkas pembatalan kemaren," ucap Lira tanpa beban.Aku tertegun seketika.Ringan sekali dia mengungkapkan hal itu? Seolah pembatalan nikah itu tak menjadi sesuatu yang membuatnya tertekan apa lagi depresi.Aneh bukan?Bukankah caranya mendapatkan Galang dia lakukan dengan effort yang yang tak main-m
Sampai di depan pintu ruang tamu, aku buru-buru memencet bel. Tak sabar rasanya ingin bertemu dan meminta penjelasan pada dua orang yang rasanya memang bersekongkol membuatku terjebak hari itu.Tak lama setelah aku aku memencet bel rumah bergaya modern klasik ini, kedatanganku disambut oleh Bik Rum, salah satu asisten rumah tangga yang telah aku kenal semenjak aku dan Alia sama-sama duduk di bangku SMA kelas X, sekitar enam tahun yang lalu."Assalamualaikum." Aku sengaja mengucap salam sesaat setelah pintu terbuka."Waalaikumussalam, Non Indah." Bik Rum menyambut kedatanganku dengan raut wajahnya yang terlihat ramah. Sama seperti dulu, saat aku lumayan sering bertandang ke sini."Alia ada, Bik?" tanyaku pelan."Ada," balas Bik Rum lantas mempersilakan aku masuk.Aku merasakan dadaku berdebar saat menyadari diri ini tak lama lagi bakal berjumpa dengan sekutu adikku."Hai." Dari kejauhan, Mas Danar yang terlihat tengah berdiskusi dengan seseorang di sofa ruang tamu, buru-buru bangkit ke
"Aku belum siap." Dengan raut wajah yang pasti terlihat tegang, aku berusaha kuat untuk menarik selimut ketika Darren seperti tertarik memangkas jarak di antara kami.Melihat ekspresi takut yang mungkin terkesan berlebihan, membuat Darren mengacak rambutnya kesal saat membuang muka ke arah lain, tak lama usai sepasang matanya menatap diriku.Bukan main, 'kan lelaki satu ini? Suka-suka saja mau minta jatah! Memang dia pikir aku tidak takut dengan yang namanya malam pertama?Memangnya dia tidak ingat kalau aku melakukannya dalam kondisi setengah sadar hari itu? Aku terus menggerutu dalam hati ketika menatap dia yang seperti masih tertarik untuk menuntutku untuk menunaikan kewajiban malam ini. Padahal sudah jelas-jelas aku menolak."Katanya … kamu bilang mau jadi suami dan ayah yang baik, 'kan?" Meski dengan perasaan takut, aku berusaha mengingatkannya kembali akan janjinya hari itu."Terus?" tanyanya sambil menunjukkan tampang innocent ketika memandangku."Sekarang aku belum siap. Lagia
Aku kebingungan memberikan jawaban.Belum sempat aku mendebat, terlihat olehku, ponsel milik Darren yang dia letakkan di atas nakas satu lagi, bergetar."HAHA. Iya, nih." Terlihat suamiku mengurai senyuman ketika dirinya sudah tersambung melalui sambungan telepon dengan seseorang.Aku diam, tapi terus menyimak obrolannya."Resepsi?" Ya ... dalam waktu dekat sih paling," ungkapnya terdengar santai.Hah? Resepsi? Apakah dia sedang membual?"Woiya jelas, dong. Gue, 'kan pengen nikahnya juga seumur hidup satu kali, masa iya sih nggak dirayain?" Mataku membelalak lebar mendengar bagaimana suamiku terlihat menikmati obrolannya dengan seseorang yang aku perkirakan adalah teman baiknya.Dadaku berdebar kencang dalam seketika.Bukankah sebelumnya dia sudah sepakat untuk tidak mengadakan resepsi? Lantas, kenapa sekarang dia begitu yakin dengan ucapannya yang secara lugas menjelaskan jika resepsi itu benar akan diadakan?Ya, sebelum ini memang aku sudah membuat kesepakatan dengan Darren jika pe
"Dan kamu tahu, Indah. Pas pertama kali kita ketemu hari itu, aku benar-benar dibuat takjub melihat penampilan barunya yang … ditemani seorang wanita berjilbab di sampingnya," ucap Aluna, membuat otakku kembali merekam kejadian hari itu. Saat rasa cemburu dan prasangka buruk terus mendominasi ketika untuk pertama kali kami bertemu."Apa lagi waktu dia memperkenalkan kamu sebagai istrinya, jujur, aku ikut seneng liatnya, Ndah. Aku bersyukur banget waktu tahu dia udah bisa berdamai sama masa lalunya," tambahnya terdengar tulus.Aku tersenyum getir mendengar bagaimana dia mengungkapkan isi hatinya."Tapi Mbak Aluna tahu, sebenarnya dia … menjebak dan membuatku menikah dengannya karena aku—." Aku menggantung ucapan saat rasa sesak tiba-tiba menerjang ulu hati.Aluna menyorot mataku tajam. Seperti menuntutku memberikan jawaban."Karena aku sedikit memiliki kemiripan wajah dengan Mbak Aluna." Meski terasa berat, akhirnya, kata-kata itu meluncur juga dari bibirku.Aluna menatapku dengan tata
Aku memang sengaja menyemprotkan parfum khas wanita beraroma manis tapi kalem, sesaat setelah mengenakan pakaian yang sering disebut dengan istilah 'baju haram' ini.Untuk beberapa saat, aku dibuat tak berdaya ketika dia yang sepertinya telah dibakar gairah, terus mencumbu dan menyentuh lembut setiap inci tubuhku."Cantik banget, Sayang," ucapnya sambil menatapku dengan pandangan sayu, sebelum kami kembali terlibat lagi pada sebuah adegan mesra. Saat bibir kami saling bertaut.Seperti yang sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya, aku selalu saja tak punya cara untuk menghentikan aksi saat dia menjamah dan membuatku melayang dengan sentuhan-sentuhan yang begitu ampuh membuatku melayang.Untuk yang kesekian kalinya, selama pernikahan kami, aku dan Darren kembali merangkai malam dengan manisnya cinta yang saling tercurah di atas ranjang. Melakukan hubungan suami-istri secara halal sebagai upaya memuaskan batin dan mencari ketenangan."I love you, Mommy." Darren yang masih berbagi selimut
"Jadi … pernikahan Mas Arman otomatis batal?" tanyaku saat ikut merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh laki-laki yang selama ini terkenal kocak dan humoris itu."Ya … kemungkinan besar, sih begitu, Ndah." Terdengar Resti menghembuskan napas dengan kasar setelahnya."Kasihan. Padahal dia cowok yang baik dan nggak neko-neko," ujarku lirih."Iya. Pokoknya, doain aja, ya, Ndah, biar dia dapat pengganti yang lebih baik setelah ini." Terdengar ada pengharapan besar dari bagaimana sahabat baikku berucap."Aamiin."Begitu mengakhiri percakapan dengan Resti, aku dibuat sedikit gugup saat menyadari jika ternyata ada dua pasang mata yang menyaksikan obrolanku dengan Resti yang berlangsung belum lama ini."Mama? Lira?"Terlihat Lira menatap sendu saat mungkin telinganya juga bisa mendengar kabar lelaki yang dicintainya batal menikah. Sementara di sisi lain, Mama yang berdiri di samping putrinya, hanya tersenyum sinis mendengar kabar tidak mengenakkan dari Arman. Anak dari lelaki yang menja
Aku yang tengah duduk diam di sofa kamar setelah makan malam usai, dibuat kaget saat Resti tiba-tiba mengirimkan pesan."Gimana? Kamu udah baikan dan maafin dia?"Aku tak langsung membalas.Resti mengirim pesan lagi."Kalau semudah itu memaafkan, ya … pasti bakal bikin dia ketagihan buat main di belakang kamu, dong."Membaca pesan kedua itu, hatiku mendadak terasa panas dengan kepala yang terasa mengepulkan asap.Akhirnya, aku yang tak ingin memendam rasa penasaran itu sendirian, menelepon sahabat baikku dan lantas menceritakan tentang semua kejadian yang berlangsung sore tadi. Tentang kedatangan Aluna bersama suami dan anaknya. Juga tentang bagaimana mereka meyakinkan aku jika Darren tak memiliki hubungan apa pun dengan wanita 25 tahun berwajah teduh itu."Terus sekarang, suamimu ke mana? Kok kamu bebas banget nelpon aku dan bisa secara detail memerinci kejadian sore tadi?" tanya Resti setelah aku mengakhiri cerita."Dia sedang ada meeting penting sama klien, katanya sih, begitu," b
"Maaf, urusan aku di kantor masih banyak tadi, jadi baru sempat datang sekarang." Kudengar pria itu berbicara sambil menatap ke arah suamiku.Darren tersenyum ramah menanggapi."Nggak masalah, Bro. By the way, makasih udah mau menyempatkan waktu datang ke sini."Pria berjambang tipis yang tak juga melepas pegangan tangan anak laki-laki Aluna, terlihat mengangguk pelan sambil tersenyum. Sementara Aluna yang berdiri di sampingnya, tampak menunjukkan sorot mata bahagia entah untuk alasan apa.Apakah dia bahagia karena bisa berjumpa lagi dengan suamiku? Mantan kekasihnya?Aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, terdiam mematung menatap para tamu yang masih membuatku tak mengerti dengan maksud kedatangan mereka.Benarkah pria ini memang suami Aluna? Bukan orang suruhan suamiku yang diwajibkan mengaku sebagai suami mantan kekasihnya?"Oh iya, silakan masuk."Tamu-tamu itu mengangguk ramah dan lantas melangkahkan kaki memasuki ruang tamu."Oh iya, sampai lupa. Kenalin ini Indah, istriku
Begitu membuka pintu, terlihat sosok lelaki yang kuakui memiliki paras tampan dengan pakaian kasual yang melekat di badan, tersembul di sana.Dan seketika itu pula, terlihat suamiku memalingkan wajahnya sebentar dengan senyum yang terlihat memudar.Hei! Benarkah dia memang mengharapkan orang lain yang bertandang siang menjelang sore kali ini? Kenapa terlihat kecewa begitu?"Siang, Calon Kakak Ipar." Dengan gayanya yang entah kenapa terlihat menjengkelkan, Fabian menorehkan sebuah senyuman sebelum mengangguk sebentar. Menunjukkan sikap yang terkesan ramah pada suamiku, yang disebut sebagai calon iparnya."Siang." Jelas sekali suamiku membalas kaku sapaan itu. Mungkin hatinya masih berkecamuk saat menyadari jika tamu yang datang tak sesuai dengan apa yang diharapkan."Apa Lira ada di rumah?""Ya, ada. Silakan masuk." Nada bicaranya masih sama seperti sebelumnya. Kaku.Apa dia benar-benar berharap kalau memang Aluna yang datang? Jika iya, kenapa harus ke sini? Tempat ini?Mungkinkah suam
Aku terdiam kaku. Tak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan itu. Ya, harus aku akui, luka dan rasa sakit itu tak akan mungkin cepat sirna meski aku sudah berusaha sekuat tenaga menguburnya dalam-dalam."Bahkan, seandainya kematianku yang kamu inginkan untuk menebus rasa bersalah dan membuktikan rasa cintaku padamu, aku siap, Indah." Aku menepuk pundaknya pelan. Merasa apa yang diucapkannya terlalu mengada-ada."Bisa nggak, sih, kamu ngomongnya jangan ngelantur begitu? Memangnya kamu pikir aku siap membesarkan anak ini seorang diri?" tanyaku saat rasa pilu di hati tiba-tiba menelusup masuk tanpa permisi. Ya, meskipun awalnya benci, nyatanya dia telah menambatkan jauh hatiku padanya. "Kamu … bisa menikah lagi dengan orang lain yang jauh lebih baik dariku, Arman misalnya."Aku merasakan kepalaku mendadak berasap saat mendengar ucapannya yang semakin melantur tak jelas."Hentikan omong kosong ini! Istirahatlah, badanmu masih terlalu lemah."Darren mengangguk pelan lantas kembali meme
"Mas … kamu …." Suaraku lirih. Hampir tak terdengar ketika tangan kananku yang belum lama ini memastikan kondisinya, belum terangkat dari sana."Aku baik-baik saja, Indah," jawabnya pelan dengan mata setengah terpejam.Aku merutuk dalam hati. Bukannya dia jago beladiri? Kenapa baru tidur di lantai semalam saja sudah langsung KO seperti ini?"Mas … ayo." Aku menarik tangannya. Tak mau kondisinya jadi lebih parah jika tetap membiarkannya dalam posisi seperti ini. Tidur di atas lantai granit tanpa alas dan juga tanpa bantal. Seperti apa yang menjadi pintaku sebelumnya.Dia bergeming."Ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit yang kamu alami akibat perbuatanku waktu itu, Indah," ucapnya di sela-sela rintihan yang masih terdengar. Kulihat bibirnya bergetar dengan tangan yang terus menggigil kedinginan."Sudahlah jangan bawel, ayo, masuk kamar sekarang." Aku yang tak ingin berdebat, setengah memaksa saat memintanya bangun.Akhirnya dia menurut juga. Meski terlihat sedik
Untuk sesaat terlihat Resti menatapku dengan pandangan miris sebelum kedua matanya terfokus lagi ke arah jalan di depan kami.Tak ada perbincangan apa pun setelahnya. Kami sama-sama diam dengan jalan pikiran masing-masing.***Sampai di rumah, aku yang tahu Darren mengekor mobil Resti sejak keluar dari area restoran tadi, buru-buru menarik langkah menuju kamar. Tak ingin peduli tentang bagaimana seluruh anggota keluarga melihat ketidakharmonisan pernikahanku dan suamiku yang baru seumur jagung.Aku merasa cukup beruntung saat berhasil mengunci pintu kamar sebelum dia berhasil mengejarku."Indah … tolong dengarkan penjelasan aku dulu, Ndah." Seolah mengesampingkan rasa malu di hadapan kedua mertua dan adik iparnya, Darren mengetuk-ngetuk pintu kamar sambil memohon.Aku yang masih kesal, mencoba abai dan tak peduli padanya yang pasti akan memberikan sejuta alasan andaikan aku melunakkan hatiku sedikit saja.Tidak! Cukup sudah aku berbaik hati dan menaruh pikiran positif padanya yang ter