"Aku tidak mau jadi lebih gila jika terus berada di sini," ucapku pelan, pada Ayah yang terlihat menatapku dengan emosi penuh saat aku secara terang-terangan meminta lelaki yang Ayah benci, datang menjemput.Pria paruh baya yang masih berdiri kaku di ambang pintu, menatapku dengan wajah sengit dan dadanya yang terlihat naik turun.Tak ingin lagi peduli tentang bagaimana mereka menentang kepergianku, aku nekat menarik koper berukuran sedang yang di dalamnya cuma berisi beberapa potong baju, rok, dan jilbab milikku."Indah, tolong jangan pergi, Indah." Mama menahan tanganku sambil berurai air mata ketika aku mengayunkan langkah menuju pintu kamar.Aku tak peduli. Bersama hati yang remuk, kuhempaskan tangan Mama. Wanita berwajah teduh yang sayangnya tak bisa berlaku adil terhadap dua putrinya. Setidaknya, menurut pandanganku."Untuk apa Indah harus tetap di sini, Ma? Untuk kalian siksa secara fisik dan batin? Begitu?" tanyaku dengan perasaan berkecamuk saat merasa kedua orang tuaku meman
"Maaf. Bukan saya mau ingkar janji, Pak Sony. Tapi kalau sudah begini keadaannya, mana mungkin saya bisa tinggal diam."Ayah menatap sengit lelaki yang selalu terlihat tenang di segala kondisi."Indah sedang mengandung anak saya dan sudah kewajiban saya untuk—."Belum sempat Darren menyambung kata-kata, Ayah terlebih dahulu memotong ucapannya."Tutup mulutmu, Laki-laki Sampah! Aku tidak butuh kata-kata mutiara yang keluar dari mulut Buaya Darat! Karena apa? Karena lelaki sepertimu cuma pandai membual dan bermanis-manis muka, persis seperti sales barang abal-abal!"Kulihat tangan kanan Darren terkepal saat ayahku menghinanya dengan perumpamaan yang terdengar mencubit hati."Sudahi kebodohanmu, Indah! Cepat masuk kamar! Kalau pun bukan dengan Galang, Ayah pastikan akan ada laki-laki lain lebih pantas menjadi pendampingmu, tapi jelas bukan dengan Buaya darat satu ini!"Ayah maju beberapa langkah, lantas memaksaku melepaskan genggaman tangan Darren. Namun, sekuat mana Ayah memaksa, sekuat
Aku keluar rumah hanya dengan baju yang melekat di badan, serta tas selempang kecil berisi ponsel dan dompet.Sungguh, pengalaman menegangkan seperti ini tak pernah terbersit dalam benak bakal terjadi di hidupku."Udah dapat rumahnya?" tanya Darren begitu dirinya duduk di jok belakang—di sampingku, setelah memastikan aku masuk lebih dulu."Udah. Alia nungguin kita di sana," balas Mas Danar sembari menghidupkan mesin mobil.Darren mengangguk-angguk. Ekspresi lega terpancar jelas dari wajahnya.Eh. Tunggu!Bukankah tadi Mas Danar menyebut nama Alia?Dadaku mendadak berdebar hebat dengan telapak tangan yang terasa berkeringat. Ya, gadis berusia sebaya denganku itu bahkan selalu menolak bertemu pasca kejadian naas hari itu. Namun, sekarang?Ah, ada hubungan apa sebenarnya kakak beradik itu dengan semua ini? Apakah Mas Danar juga ikut andil dalam penjebakan hari itu?Dalam diam, hatiku terus menerka-nerka. Pandangan aneh Darren yang terpantul dari kaca spion saat menatapku tak kupedulikan.
"Kamu …. nggak tidur di sini juga, kan?" tanyaku ragu-ragu saat menyadari dia tak juga keluar kamar pasca memastikan aku tahu kamarku di mana.Darren tertawa lepas mendengar pertanyaan yang mungkin terdengar konyol untuknya."Kamu maunya gimana? Kalau kamu mau, ya udah, aku temenin kamu tidur di sini, ya, malam ini," ucapnya dengan tatapan manja menggoda.Aku menggeleng tegas."Belum boleh," balasku cepat.Darren menatapku tanpa kata saat aku menunjukkan tampang serius."Cantik," ucapnya. Jelas, singkat, dan padat, tapi mengena.Hatiku kembali menghangat saat untuk pertama kali mendapat pujian dari lelaki yang seharusnya aku benci ini."Ucapan playboy memang selalu terdengar manis, tapi sayang, tidak bisa dipercaya," balasku dengan nada galak."Tapi, 'kan … kerjanya nyata. Sudah ada hasilnya lagi." Darren terkekeh geli saat menatap perutku.Menyebalkan!"Iih … apaan, sih!""Yuk lah lanjut makan lagi, di sini banyak setannya," ucap Darren ketika sepasang matanya menatap ranjang berukur
Aku buru-buru menutup pintu rapat-rapat. Tak ingin terperdaya oleh ekspresi wajah mereka yang terlihat meyakinkan. Karena bisa saja … itu cuma sebuah jebakan dan akal-akalan mereka bukan?Tak menunggu waktu lama, terdengar pintu diketuk lagi beberapa kali, membuat jantungku sontak berdegup kencang dan rasa panik dalam hati semakin menjadi. Takut juga Ayah nekat mendobrak pintu lalu memaksaku pulang, dan kemudian … memintaku menikah dengan lelaki pilihannya. Oh tidak! Aku tidak mau."Ndah … maafkan Ayah, Nak." Suara Ayah terdengar lagi, membuat pikiran yang sedang melayang jauh entah ke mana, kembali ke pengaturan awal.Tak ingin terpengaruh, aku yang berdiri membelakangi pintu, hanya diam membatu. Tak tertarik untuk menyahut ucapan, apa lagi sampai membuka kembali pintu. Tidak akan.Takut. Ya, aku takut itu cuma siasat untuk membodohi diriku. Itu saja.Untuk beberapa saat pintu diketuk berulang. Dan aku yang masih berdiri di sini, hanya diam sambil berdoa, berharap semoga Darren bisa d
Ayah mengangguk kaku ketika sahabatku memberikan pendapat."Makasih." Dengan mengesampingkan rasa penasaran akan maksud ucapan Resti, aku meraih plastik yang diulurkan Darren."Maafin Ayah, Indah." Ayah mendekat begitu aku bersiap membalikkan badan dan masuk, untuk kemudian sarapan. Aku yang hatinya masih bergejolak, tak menyahut apa pun.Resti berdeham saat mungkin menyadari aku hanya menunjukkan sikap bersahabat pada Darren. Namun, tidak pada ayahku sendiri."Kamu … nggak mau ngijinin kami masuk begitu?" tanya Resti membuatku terjebak oleh rasa canggung.Mendengar pertanyaan dari Resti, aku lantas meminta pendapat Darren melalui tatapan mata."Silakan masuk." Terlihat lelaki berpakaian formal itu menunjukkan sikap ramah pada keluarga dan sahabatku.Mengikuti aku dan Darren yang masuk lebih dulu, Ayah, Lira, dan Resti menyusul di belakang.Untuk beberapa lama, tak ada satu patah kata pun yang terluah dan mampu memecah kesunyian pagi di ruang tamu ini. Sampai akhirnya … kulihat Ayah m
"Woy! Nggak perlu emosi begitu juga, kali, Bro. Serius amat?" Terlihat sepupu Resti seperti berusaha menormalkan situasi saat mungkin menyadari Darren mulai tampak tersulut emosi oleh ucapannya sebelum ini. Ya, ucapan tentang masa depan dan masa lalu yang juga menjadi satu pertanyaan tersendiri untukku."Ada apa, sih, sebenernya?" Aku yang memang belum tahu duduk perkaranya, melempar pandangan secara bergantian pada Arman dan Darren. Mencari jawaban yang mungkin saja bisa menuntaskan rasa penasaranku saat Arman berulang kali menyebutkan tentang masa lalu tak cukup sekali.Masa lalu siapa? Masa lalu yang seperti apa?"Kenapa dengan masa lalumu, Mas?" tanyaku spontan saat tatapan terfokus hanya pada lelaki 25 tahun berdarah China ini.Mendengar pertanyaan dariku, lelaki berkulit putih yang saat ini duduk berhadapan denganku, terlihat enggan bersuara. Membuat Arman melempar seringaian tajam dan penuh teka-teki ketika sepasang matanya melirik sahabat lamanya dengan pandangan penuh misteri
Malam ini, aku tak kunjung dapat memejamkan mata hingga malam hampir larut.Ya Tuhan!Bukankah sebentar lagi aku akan menjadi pengantin?Ya … walaupun dengan cara yang kurang terpuji. Namun, itu lebih baik bukan? Setidaknya, aku masih harus merasa beruntung karena lelaki yang memang merupakan ayah biologis dari janin dalam kandunganku, tidak lari dari tanggung jawab?[Belum tidur?] Sebuah pesan yang masuk ke aplikasi hijau membuat perbedaan situasi.Aku tersentak saat melihatnya mengirimkan pesan hampir tengah malam ini.[Belum ngantuk.]Aku membalas pesannya tanpa menunggu lama.[Sama.]Pesan singkat yang dikirimkan olehnya membuat senyumku terukir tanpa bisa dikendalikan.Benarkah kami memang sehati dan bakal menjadi pasangan yang serasi? Meskipun awalnya sama sekali tak saling mengenal watak dan kepribadian masing-masing?Mungkinkah pernikahan yang diawali dengan sebuah penjebakan bakal berakhir bahagia?Mungkinkah?Hatiku bertanya-tanya.[Aku nggak bisa tidur karena mikirin Indah
"Dan kamu tahu, Indah. Pas pertama kali kita ketemu hari itu, aku benar-benar dibuat takjub melihat penampilan barunya yang … ditemani seorang wanita berjilbab di sampingnya," ucap Aluna, membuat otakku kembali merekam kejadian hari itu. Saat rasa cemburu dan prasangka buruk terus mendominasi ketika untuk pertama kali kami bertemu."Apa lagi waktu dia memperkenalkan kamu sebagai istrinya, jujur, aku ikut seneng liatnya, Ndah. Aku bersyukur banget waktu tahu dia udah bisa berdamai sama masa lalunya," tambahnya terdengar tulus.Aku tersenyum getir mendengar bagaimana dia mengungkapkan isi hatinya."Tapi Mbak Aluna tahu, sebenarnya dia … menjebak dan membuatku menikah dengannya karena aku—." Aku menggantung ucapan saat rasa sesak tiba-tiba menerjang ulu hati.Aluna menyorot mataku tajam. Seperti menuntutku memberikan jawaban."Karena aku sedikit memiliki kemiripan wajah dengan Mbak Aluna." Meski terasa berat, akhirnya, kata-kata itu meluncur juga dari bibirku.Aluna menatapku dengan tata
Aku memang sengaja menyemprotkan parfum khas wanita beraroma manis tapi kalem, sesaat setelah mengenakan pakaian yang sering disebut dengan istilah 'baju haram' ini.Untuk beberapa saat, aku dibuat tak berdaya ketika dia yang sepertinya telah dibakar gairah, terus mencumbu dan menyentuh lembut setiap inci tubuhku."Cantik banget, Sayang," ucapnya sambil menatapku dengan pandangan sayu, sebelum kami kembali terlibat lagi pada sebuah adegan mesra. Saat bibir kami saling bertaut.Seperti yang sudah sering terjadi sebelum-sebelumnya, aku selalu saja tak punya cara untuk menghentikan aksi saat dia menjamah dan membuatku melayang dengan sentuhan-sentuhan yang begitu ampuh membuatku melayang.Untuk yang kesekian kalinya, selama pernikahan kami, aku dan Darren kembali merangkai malam dengan manisnya cinta yang saling tercurah di atas ranjang. Melakukan hubungan suami-istri secara halal sebagai upaya memuaskan batin dan mencari ketenangan."I love you, Mommy." Darren yang masih berbagi selimut
"Jadi … pernikahan Mas Arman otomatis batal?" tanyaku saat ikut merasa prihatin dengan apa yang dialami oleh laki-laki yang selama ini terkenal kocak dan humoris itu."Ya … kemungkinan besar, sih begitu, Ndah." Terdengar Resti menghembuskan napas dengan kasar setelahnya."Kasihan. Padahal dia cowok yang baik dan nggak neko-neko," ujarku lirih."Iya. Pokoknya, doain aja, ya, Ndah, biar dia dapat pengganti yang lebih baik setelah ini." Terdengar ada pengharapan besar dari bagaimana sahabat baikku berucap."Aamiin."Begitu mengakhiri percakapan dengan Resti, aku dibuat sedikit gugup saat menyadari jika ternyata ada dua pasang mata yang menyaksikan obrolanku dengan Resti yang berlangsung belum lama ini."Mama? Lira?"Terlihat Lira menatap sendu saat mungkin telinganya juga bisa mendengar kabar lelaki yang dicintainya batal menikah. Sementara di sisi lain, Mama yang berdiri di samping putrinya, hanya tersenyum sinis mendengar kabar tidak mengenakkan dari Arman. Anak dari lelaki yang menja
Aku yang tengah duduk diam di sofa kamar setelah makan malam usai, dibuat kaget saat Resti tiba-tiba mengirimkan pesan."Gimana? Kamu udah baikan dan maafin dia?"Aku tak langsung membalas.Resti mengirim pesan lagi."Kalau semudah itu memaafkan, ya … pasti bakal bikin dia ketagihan buat main di belakang kamu, dong."Membaca pesan kedua itu, hatiku mendadak terasa panas dengan kepala yang terasa mengepulkan asap.Akhirnya, aku yang tak ingin memendam rasa penasaran itu sendirian, menelepon sahabat baikku dan lantas menceritakan tentang semua kejadian yang berlangsung sore tadi. Tentang kedatangan Aluna bersama suami dan anaknya. Juga tentang bagaimana mereka meyakinkan aku jika Darren tak memiliki hubungan apa pun dengan wanita 25 tahun berwajah teduh itu."Terus sekarang, suamimu ke mana? Kok kamu bebas banget nelpon aku dan bisa secara detail memerinci kejadian sore tadi?" tanya Resti setelah aku mengakhiri cerita."Dia sedang ada meeting penting sama klien, katanya sih, begitu," b
"Maaf, urusan aku di kantor masih banyak tadi, jadi baru sempat datang sekarang." Kudengar pria itu berbicara sambil menatap ke arah suamiku.Darren tersenyum ramah menanggapi."Nggak masalah, Bro. By the way, makasih udah mau menyempatkan waktu datang ke sini."Pria berjambang tipis yang tak juga melepas pegangan tangan anak laki-laki Aluna, terlihat mengangguk pelan sambil tersenyum. Sementara Aluna yang berdiri di sampingnya, tampak menunjukkan sorot mata bahagia entah untuk alasan apa.Apakah dia bahagia karena bisa berjumpa lagi dengan suamiku? Mantan kekasihnya?Aku yang berdiri di sini—di samping suamiku, terdiam mematung menatap para tamu yang masih membuatku tak mengerti dengan maksud kedatangan mereka.Benarkah pria ini memang suami Aluna? Bukan orang suruhan suamiku yang diwajibkan mengaku sebagai suami mantan kekasihnya?"Oh iya, silakan masuk."Tamu-tamu itu mengangguk ramah dan lantas melangkahkan kaki memasuki ruang tamu."Oh iya, sampai lupa. Kenalin ini Indah, istriku
Begitu membuka pintu, terlihat sosok lelaki yang kuakui memiliki paras tampan dengan pakaian kasual yang melekat di badan, tersembul di sana.Dan seketika itu pula, terlihat suamiku memalingkan wajahnya sebentar dengan senyum yang terlihat memudar.Hei! Benarkah dia memang mengharapkan orang lain yang bertandang siang menjelang sore kali ini? Kenapa terlihat kecewa begitu?"Siang, Calon Kakak Ipar." Dengan gayanya yang entah kenapa terlihat menjengkelkan, Fabian menorehkan sebuah senyuman sebelum mengangguk sebentar. Menunjukkan sikap yang terkesan ramah pada suamiku, yang disebut sebagai calon iparnya."Siang." Jelas sekali suamiku membalas kaku sapaan itu. Mungkin hatinya masih berkecamuk saat menyadari jika tamu yang datang tak sesuai dengan apa yang diharapkan."Apa Lira ada di rumah?""Ya, ada. Silakan masuk." Nada bicaranya masih sama seperti sebelumnya. Kaku.Apa dia benar-benar berharap kalau memang Aluna yang datang? Jika iya, kenapa harus ke sini? Tempat ini?Mungkinkah suam
Aku terdiam kaku. Tak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan itu. Ya, harus aku akui, luka dan rasa sakit itu tak akan mungkin cepat sirna meski aku sudah berusaha sekuat tenaga menguburnya dalam-dalam."Bahkan, seandainya kematianku yang kamu inginkan untuk menebus rasa bersalah dan membuktikan rasa cintaku padamu, aku siap, Indah." Aku menepuk pundaknya pelan. Merasa apa yang diucapkannya terlalu mengada-ada."Bisa nggak, sih, kamu ngomongnya jangan ngelantur begitu? Memangnya kamu pikir aku siap membesarkan anak ini seorang diri?" tanyaku saat rasa pilu di hati tiba-tiba menelusup masuk tanpa permisi. Ya, meskipun awalnya benci, nyatanya dia telah menambatkan jauh hatiku padanya. "Kamu … bisa menikah lagi dengan orang lain yang jauh lebih baik dariku, Arman misalnya."Aku merasakan kepalaku mendadak berasap saat mendengar ucapannya yang semakin melantur tak jelas."Hentikan omong kosong ini! Istirahatlah, badanmu masih terlalu lemah."Darren mengangguk pelan lantas kembali meme
"Mas … kamu …." Suaraku lirih. Hampir tak terdengar ketika tangan kananku yang belum lama ini memastikan kondisinya, belum terangkat dari sana."Aku baik-baik saja, Indah," jawabnya pelan dengan mata setengah terpejam.Aku merutuk dalam hati. Bukannya dia jago beladiri? Kenapa baru tidur di lantai semalam saja sudah langsung KO seperti ini?"Mas … ayo." Aku menarik tangannya. Tak mau kondisinya jadi lebih parah jika tetap membiarkannya dalam posisi seperti ini. Tidur di atas lantai granit tanpa alas dan juga tanpa bantal. Seperti apa yang menjadi pintaku sebelumnya.Dia bergeming."Ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit yang kamu alami akibat perbuatanku waktu itu, Indah," ucapnya di sela-sela rintihan yang masih terdengar. Kulihat bibirnya bergetar dengan tangan yang terus menggigil kedinginan."Sudahlah jangan bawel, ayo, masuk kamar sekarang." Aku yang tak ingin berdebat, setengah memaksa saat memintanya bangun.Akhirnya dia menurut juga. Meski terlihat sedik
Untuk sesaat terlihat Resti menatapku dengan pandangan miris sebelum kedua matanya terfokus lagi ke arah jalan di depan kami.Tak ada perbincangan apa pun setelahnya. Kami sama-sama diam dengan jalan pikiran masing-masing.***Sampai di rumah, aku yang tahu Darren mengekor mobil Resti sejak keluar dari area restoran tadi, buru-buru menarik langkah menuju kamar. Tak ingin peduli tentang bagaimana seluruh anggota keluarga melihat ketidakharmonisan pernikahanku dan suamiku yang baru seumur jagung.Aku merasa cukup beruntung saat berhasil mengunci pintu kamar sebelum dia berhasil mengejarku."Indah … tolong dengarkan penjelasan aku dulu, Ndah." Seolah mengesampingkan rasa malu di hadapan kedua mertua dan adik iparnya, Darren mengetuk-ngetuk pintu kamar sambil memohon.Aku yang masih kesal, mencoba abai dan tak peduli padanya yang pasti akan memberikan sejuta alasan andaikan aku melunakkan hatiku sedikit saja.Tidak! Cukup sudah aku berbaik hati dan menaruh pikiran positif padanya yang ter