"Habis ini … ke mana?" tanyaku dengan ekspresi malas begitu kami keluar dari mall besar yang baru saja kami sambangi."Kamu maunya ke mana? Langsung pulang atau … check in dulu?" Lagi-lagi, Darren tertarik menggoda meski jelas sekali sudah menahan kesal sedari tadi."Iih … nakal!"Darren tertawa lepas saat aku mencubit lengannya dengan perasaan campur aduk. Antara gemas dan kesal yang membaur menjadi satu.Eh, tunggu!Apakah dia terlalu menggemaskan? Bukankah dia seorang pemain cinta yang merangkap menjadi penjahat?Ah … kepalaku tiba-tiba terasa berat saat mengingat dengan orang seperti apa aku jalan sekarang."Sudah jam empat lebih, Mas. Please, antar aku pulang, ya.""Mas?" Darren menajamkan pendengarannya."Maaf, salah sebut lagi." Aku buru-buru meralat kembali panggilan yang tak seharusnya itu.Darren tergelak dan seperti terlihat puas saat ternyata, aku berkali-kali melakukan kesalahan dengan memanggil dirinya dengan sebutan 'Mas'."Mommy kamu lucu, Dek. Gengsian."Darren mengus
"Aku tidak mau jadi lebih gila jika terus berada di sini," ucapku pelan, pada Ayah yang terlihat menatapku dengan emosi penuh saat aku secara terang-terangan meminta lelaki yang Ayah benci, datang menjemput.Pria paruh baya yang masih berdiri kaku di ambang pintu, menatapku dengan wajah sengit dan dadanya yang terlihat naik turun.Tak ingin lagi peduli tentang bagaimana mereka menentang kepergianku, aku nekat menarik koper berukuran sedang yang di dalamnya cuma berisi beberapa potong baju, rok, dan jilbab milikku."Indah, tolong jangan pergi, Indah." Mama menahan tanganku sambil berurai air mata ketika aku mengayunkan langkah menuju pintu kamar.Aku tak peduli. Bersama hati yang remuk, kuhempaskan tangan Mama. Wanita berwajah teduh yang sayangnya tak bisa berlaku adil terhadap dua putrinya. Setidaknya, menurut pandanganku."Untuk apa Indah harus tetap di sini, Ma? Untuk kalian siksa secara fisik dan batin? Begitu?" tanyaku dengan perasaan berkecamuk saat merasa kedua orang tuaku meman
"Maaf. Bukan saya mau ingkar janji, Pak Sony. Tapi kalau sudah begini keadaannya, mana mungkin saya bisa tinggal diam."Ayah menatap sengit lelaki yang selalu terlihat tenang di segala kondisi."Indah sedang mengandung anak saya dan sudah kewajiban saya untuk—."Belum sempat Darren menyambung kata-kata, Ayah terlebih dahulu memotong ucapannya."Tutup mulutmu, Laki-laki Sampah! Aku tidak butuh kata-kata mutiara yang keluar dari mulut Buaya Darat! Karena apa? Karena lelaki sepertimu cuma pandai membual dan bermanis-manis muka, persis seperti sales barang abal-abal!"Kulihat tangan kanan Darren terkepal saat ayahku menghinanya dengan perumpamaan yang terdengar mencubit hati."Sudahi kebodohanmu, Indah! Cepat masuk kamar! Kalau pun bukan dengan Galang, Ayah pastikan akan ada laki-laki lain lebih pantas menjadi pendampingmu, tapi jelas bukan dengan Buaya darat satu ini!"Ayah maju beberapa langkah, lantas memaksaku melepaskan genggaman tangan Darren. Namun, sekuat mana Ayah memaksa, sekuat
Aku keluar rumah hanya dengan baju yang melekat di badan, serta tas selempang kecil berisi ponsel dan dompet.Sungguh, pengalaman menegangkan seperti ini tak pernah terbersit dalam benak bakal terjadi di hidupku."Udah dapat rumahnya?" tanya Darren begitu dirinya duduk di jok belakang—di sampingku, setelah memastikan aku masuk lebih dulu."Udah. Alia nungguin kita di sana," balas Mas Danar sembari menghidupkan mesin mobil.Darren mengangguk-angguk. Ekspresi lega terpancar jelas dari wajahnya.Eh. Tunggu!Bukankah tadi Mas Danar menyebut nama Alia?Dadaku mendadak berdebar hebat dengan telapak tangan yang terasa berkeringat. Ya, gadis berusia sebaya denganku itu bahkan selalu menolak bertemu pasca kejadian naas hari itu. Namun, sekarang?Ah, ada hubungan apa sebenarnya kakak beradik itu dengan semua ini? Apakah Mas Danar juga ikut andil dalam penjebakan hari itu?Dalam diam, hatiku terus menerka-nerka. Pandangan aneh Darren yang terpantul dari kaca spion saat menatapku tak kupedulikan.
"Kamu …. nggak tidur di sini juga, kan?" tanyaku ragu-ragu saat menyadari dia tak juga keluar kamar pasca memastikan aku tahu kamarku di mana.Darren tertawa lepas mendengar pertanyaan yang mungkin terdengar konyol untuknya."Kamu maunya gimana? Kalau kamu mau, ya udah, aku temenin kamu tidur di sini, ya, malam ini," ucapnya dengan tatapan manja menggoda.Aku menggeleng tegas."Belum boleh," balasku cepat.Darren menatapku tanpa kata saat aku menunjukkan tampang serius."Cantik," ucapnya. Jelas, singkat, dan padat, tapi mengena.Hatiku kembali menghangat saat untuk pertama kali mendapat pujian dari lelaki yang seharusnya aku benci ini."Ucapan playboy memang selalu terdengar manis, tapi sayang, tidak bisa dipercaya," balasku dengan nada galak."Tapi, 'kan … kerjanya nyata. Sudah ada hasilnya lagi." Darren terkekeh geli saat menatap perutku.Menyebalkan!"Iih … apaan, sih!""Yuk lah lanjut makan lagi, di sini banyak setannya," ucap Darren ketika sepasang matanya menatap ranjang berukur
Aku buru-buru menutup pintu rapat-rapat. Tak ingin terperdaya oleh ekspresi wajah mereka yang terlihat meyakinkan. Karena bisa saja … itu cuma sebuah jebakan dan akal-akalan mereka bukan?Tak menunggu waktu lama, terdengar pintu diketuk lagi beberapa kali, membuat jantungku sontak berdegup kencang dan rasa panik dalam hati semakin menjadi. Takut juga Ayah nekat mendobrak pintu lalu memaksaku pulang, dan kemudian … memintaku menikah dengan lelaki pilihannya. Oh tidak! Aku tidak mau."Ndah … maafkan Ayah, Nak." Suara Ayah terdengar lagi, membuat pikiran yang sedang melayang jauh entah ke mana, kembali ke pengaturan awal.Tak ingin terpengaruh, aku yang berdiri membelakangi pintu, hanya diam membatu. Tak tertarik untuk menyahut ucapan, apa lagi sampai membuka kembali pintu. Tidak akan.Takut. Ya, aku takut itu cuma siasat untuk membodohi diriku. Itu saja.Untuk beberapa saat pintu diketuk berulang. Dan aku yang masih berdiri di sini, hanya diam sambil berdoa, berharap semoga Darren bisa d
Ayah mengangguk kaku ketika sahabatku memberikan pendapat."Makasih." Dengan mengesampingkan rasa penasaran akan maksud ucapan Resti, aku meraih plastik yang diulurkan Darren."Maafin Ayah, Indah." Ayah mendekat begitu aku bersiap membalikkan badan dan masuk, untuk kemudian sarapan. Aku yang hatinya masih bergejolak, tak menyahut apa pun.Resti berdeham saat mungkin menyadari aku hanya menunjukkan sikap bersahabat pada Darren. Namun, tidak pada ayahku sendiri."Kamu … nggak mau ngijinin kami masuk begitu?" tanya Resti membuatku terjebak oleh rasa canggung.Mendengar pertanyaan dari Resti, aku lantas meminta pendapat Darren melalui tatapan mata."Silakan masuk." Terlihat lelaki berpakaian formal itu menunjukkan sikap ramah pada keluarga dan sahabatku.Mengikuti aku dan Darren yang masuk lebih dulu, Ayah, Lira, dan Resti menyusul di belakang.Untuk beberapa lama, tak ada satu patah kata pun yang terluah dan mampu memecah kesunyian pagi di ruang tamu ini. Sampai akhirnya … kulihat Ayah m
"Woy! Nggak perlu emosi begitu juga, kali, Bro. Serius amat?" Terlihat sepupu Resti seperti berusaha menormalkan situasi saat mungkin menyadari Darren mulai tampak tersulut emosi oleh ucapannya sebelum ini. Ya, ucapan tentang masa depan dan masa lalu yang juga menjadi satu pertanyaan tersendiri untukku."Ada apa, sih, sebenernya?" Aku yang memang belum tahu duduk perkaranya, melempar pandangan secara bergantian pada Arman dan Darren. Mencari jawaban yang mungkin saja bisa menuntaskan rasa penasaranku saat Arman berulang kali menyebutkan tentang masa lalu tak cukup sekali.Masa lalu siapa? Masa lalu yang seperti apa?"Kenapa dengan masa lalumu, Mas?" tanyaku spontan saat tatapan terfokus hanya pada lelaki 25 tahun berdarah China ini.Mendengar pertanyaan dariku, lelaki berkulit putih yang saat ini duduk berhadapan denganku, terlihat enggan bersuara. Membuat Arman melempar seringaian tajam dan penuh teka-teki ketika sepasang matanya melirik sahabat lamanya dengan pandangan penuh misteri