“Terpaksa? Siapa yang memaksa kamu sampai berbuat sejauh itu, Riana? Kamu lupa, kalau saya pernah meminta kamu dan yang lainnya agar tidak berurusan dengan Syahnaz?” Tanya Galih kembali mengingatkan. Ruangan itu terasa mencekam, seolah waktu berhenti sejenak. Riana kembali menunduk. Galih memang tidak membentak, tapi dari nada suaranya, Bosnya itu terdengar sangat murka. “Apa alasannya, sampai kamu berkhianat seperti itu pada saya, Riana?” Tanya Galih dengan tatapan nyalang. Riana menelan ludah, menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Menetralkan perasaan. “Saya tidak bermaksud mengkhianati Bapak! Saya cuma cemburu karena Bapak menikah sama Bu Aisyah,” Ungkap Riana pada akhirnya, tak punya pilihan lain dan tak bisa mengelak lagi. Galih mengerutkan kening, menatap bingung ke arah Riana. Di tengah rasa kecewa Galih atas keputusan karyawannya itu yang sangat merugikan dirinya dan Aisyah, ia juga tak mengerti mengapa pegawai yang sudah lama bekerja dengannya itu, malah mengeluark
“Naz... Ibu kangen sama bapak. Ayo kita jenguk bapak ya, Nak.” Pinta Rina. Sudah sebulan Herman mendekam di Lapas, tetapi Rina dan Syahnaz tak pernah mengunjungi. Di karenakan tak ada biaya.“Apa sih, Bu? Jangan kayak anak kecil deh! Biarkan saja Bapak di sana sampai waktunya keluar! Salah Bapak sendiri karena sudah ceroboh!” Tanpa perlu berpikir, Syahnaz langsung menolak dengan jelas permintaan Ibunya itu.Rina terkejut mendengar jawaban Syahnaz yang tidak punya hati pada ayahnya sendiri.“Kurang ajar kamu, Syahnaz!!” Umpat Rina kesal.Bukannya kasihan dengan Ayahnya di penjara, Syahnaz malah justru menyalahkan Herman.“Apa, Bu? Memang nyatanya begitu kan?”Rina menggeleng, tak terima. “Pokoknya Ibu mau jenguk bapak kamu!” kekehnya keras kepala.“Memangnya Ibu ada uang? Ke Lapas gak akan cukup kalau bawa uang hanya lima puluh ribu, belum lagi nanti pasti bapak minta makananlah, cemilan lah! Di lapas itu kalau bawa makanan juga harus banyak biar bisa di bagi sama penghuni lainnya. Me
Pukul 07.00 wib_ Aisyah sedang membuat dua cangkir minuman hangat untuk dirinya dan Galih. Gadis itu tersenyum manis menghirup aroma wangi dari cangkir berisi kopi susu panas itu. “Hmmm... Wangi!” Ucapnya sambil memejamkan mata. Galih diam-diam mengamati tingkah Aisyah sembari bersandar di dinding sambil bersidekap. Istrinya itu ternyata sedang memakai dress piyama yang oversize. Terlihat longgar di tubuh langsingnya. Namun tetap menampilkan betis indahnya yang bersih. “Cantik.” Gumamnya. Galih berjalan mendekati Aisyah yang membelakanginya. “Wangi banget aromanya sayang!” bisik Galih di telinga Aisyah sambil memeluk wanita itu dari belakang. Seperti biasa, selalu mengecup tengkuk istrinya yang beraroma cologne bayi. Aisyah sedikit kaget karena suaminya itu tiba-tiba datang memeluknya. “Eh Iya Mas, aku buat untuk kita berdua.” Aisyah tersenyum lembut sambil mengelus pipi Galih dengan sebelah tangannya. “Yuk Mas kita minum di meja makan. Enak nih dingin-dingin begini minum y
“Nah... Ini dia keponakan yang saya ceritakan kemarin, Tuan.” Ucap Herman, saat Aisyah baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang tamu tersebut. Dua lelaki dengan penampilan seperti preman, duduk di ruang tamu sembari menatap Aisyah dari atas sampai bawah dengan intens. Merasa risih dengan tatapan dua pria itu, Aisyah bergegas melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar. Namun, suara teriakan Herman membuat gadis itu mengurungkan niatnya. “Jangan kemana-mana, Aisyah! Duduk di sini!” Titah Herman sembari menunjuk kursi di sampingnya. “Maaf, Paman. Badan Aisyah terasa lengket, Aku mau bersih-bersih dulu.” Tolak Aisyah dengan lembut. “Duduk, Aisyah! Atau_” Ucapan Herman tertahan sesaat. Tampak seorang wanita berjalan dari arah dapur dengan membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat. “Duduklah dulu, Aisyah. Ada hal penting yang harus kami bicarakan sama kamu!” Ucap Rina, istri Herman. Aisyah pun pasrah. Ia duduk dengan rasa penasaran menyelimuti jiwanya. Apa y
Ting! Ting! Ponsel Aisyah berbunyi, pertanda sebuah pesan masuk. Ia raih ponsel tersebut, pesan dari Rian muncul di layar ponselnya. [Aisyah, nanti malam kita ketemu di tempat biasa ya.] Rian, lelaki yang setahun belakangan ini menjalin hubungan dengannya. Aisyah pikir, pria itu menjadi satu-satunya orang yang ia harapkan untuk membantunya. “Oke, Mas. Kebetulan aku juga ingin membicarakan sesuatu yang penting.” Aisyah membalas pesan itu, ia kemudian bangkit dan langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia tak boleh larut dalam kesedihan. Dalam hati gadis itu, ia berharap agar Rian bisa menemukan solusi yang baik. “Semoga saja kamu bisa membantuku, Mas.” Gumam Aisyah lirih. Jelas saja ia berharap bahwa Rian pasti akan membantunya. Ia pikir, Rian pasti tidak akan rela bila Aisyah menikah dengan lelaki lain. °°° Pukul 19.30 wib. Rian dan Aisyah bertemu di sebuah cafe yang berada di dekat rumah gadis itu. Rian memang belum pernah menjemput Aisyah langsung di
Galih menatap ke arah spion motornya yang ia arahkan ke belakang. Rupanya gadis itu berpegangan pada bagian belakang jok motor. Galih tersenyum miring. Seakan merencanakan sesuatu? Tak lama setelah itu, ia melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Aisyah yang duduk di jok belakang, hampir saja terjengkang. Gadis itu terkejut bukan main, ia pun refleks melingkarkan tangannya ke pinggang Galih. Bisa-bisa ia jatuh jika hanya berpegangan di belakang jok motor saja. Kesal, Aisyah merasa Galih sengaja melakukan ini semua, agar gadis itu bisa memeluknya. Modus. Pikirnya. “Dasar preman modus!” Umpat Aisyah. Kesal bukan main. Sepanjang perjalanan. Galih hanya menahan tawa dalam hati karena mendengar Aisyah yang tak henti-hentinya mengoceh di belakang. ‘ Lucu! Gadis ini sangat unik.’ Batinnya. “Pelan-pelan aja jalannya. Kasian tetangga, takutnya mengganggu mereka!” Kali ini Galih menurut, karena sudah masuk area perkampungan. Pria itu pun memelankan laju motornya. Aisyah tak sadar, bahw
Pagi mulai merekah usai semalam di liputi suasana yang menyesakkan. Aisyah sudah bangun pagi-pagi sekali. Gadis itu mencoba menghilangkan segala beban pikirannya sejenak. Ia harus bekerja, ada Fadil yang sudah menjadi tanggung jawabnya. “Kok kamu berangkat kerja, Syah?” Celetuk Rina setelah melihat Aisyah sudah siap dengan seragam kerjanya. “Ya Tante.” Jawab Aisyah sembari menyisir rambutnya. “Kalau kamu nikah sama juragan Bram, kamu gak perlu lagi capek-capek kerja, Syah. Hidup kamu bakalan terjamin. Dari makan, rumah, mobil, bahkan kamu bisa shopping tiap hari. Dari pada jadi penjahit terus, kerja dari pagi hingga sore, tapi tetap aja hidup kamu gini-gini aja!” Ucap Rina. Aisyah menghela napas berat. Lagi-lagi Rina menyuruhnya menikah dengan juragan Bram. Aisya berbalik badan, menatap Rina. “Tante, selama ini Aisyah gak pernah beli ini itu di karenakan uangnya dipakai untuk biaya pendidikan Fadil. Dan juga buat makan kita sehari-hari di rumah ini!” Ucapnya, membela diri. “Hal
“Tenang, juragan. Kita bisa bicara baik-baik.” Ujar Rais. Tak ingin emosi Bram semakin memuncak. “Kamu!” Tunjuk Herman pada Galih, “Pergi kamu dari sini! Saya gak sudi Aisyah menikah dengan kamu! Sampai kapan pun, saya gak akan pernah mau merestui!” Ucap Herman, ikut tersulut emosi. Bagaimana tidak? Selain hutangnya lunas, Bram juga menjanjikannya memberinya modal yang cukup besar untuk di kelola menjadi usaha setelah menikah dengan Aisyah nanti. Herman sudah membuat rencana untuk membuka toko campuran yang besar dengan modal dari Bram. Dengan bantuan Bram yang nantinya akan jadi menantu nya, tentu tak sulit baginya untuk memiliki toko campuran yang besar. “Lagi pula uang dari mana kamu Galih untuk membayar hutang Herman hah?! Gaji kamu sebulan saja, bahkan sangat jauh!” Cetus Bram dengan sinis. Lelaki tua itu yakin, bahwa Galih pasti tak akan bisa membayar utang Herman sebanyak itu. “Tulis rekeningnya di sini!” Jawabnya dengan santai. Galih menyerahkan ponselnya pada Bram. Lela
Pukul 07.00 wib_ Aisyah sedang membuat dua cangkir minuman hangat untuk dirinya dan Galih. Gadis itu tersenyum manis menghirup aroma wangi dari cangkir berisi kopi susu panas itu. “Hmmm... Wangi!” Ucapnya sambil memejamkan mata. Galih diam-diam mengamati tingkah Aisyah sembari bersandar di dinding sambil bersidekap. Istrinya itu ternyata sedang memakai dress piyama yang oversize. Terlihat longgar di tubuh langsingnya. Namun tetap menampilkan betis indahnya yang bersih. “Cantik.” Gumamnya. Galih berjalan mendekati Aisyah yang membelakanginya. “Wangi banget aromanya sayang!” bisik Galih di telinga Aisyah sambil memeluk wanita itu dari belakang. Seperti biasa, selalu mengecup tengkuk istrinya yang beraroma cologne bayi. Aisyah sedikit kaget karena suaminya itu tiba-tiba datang memeluknya. “Eh Iya Mas, aku buat untuk kita berdua.” Aisyah tersenyum lembut sambil mengelus pipi Galih dengan sebelah tangannya. “Yuk Mas kita minum di meja makan. Enak nih dingin-dingin begini minum y
“Naz... Ibu kangen sama bapak. Ayo kita jenguk bapak ya, Nak.” Pinta Rina. Sudah sebulan Herman mendekam di Lapas, tetapi Rina dan Syahnaz tak pernah mengunjungi. Di karenakan tak ada biaya.“Apa sih, Bu? Jangan kayak anak kecil deh! Biarkan saja Bapak di sana sampai waktunya keluar! Salah Bapak sendiri karena sudah ceroboh!” Tanpa perlu berpikir, Syahnaz langsung menolak dengan jelas permintaan Ibunya itu.Rina terkejut mendengar jawaban Syahnaz yang tidak punya hati pada ayahnya sendiri.“Kurang ajar kamu, Syahnaz!!” Umpat Rina kesal.Bukannya kasihan dengan Ayahnya di penjara, Syahnaz malah justru menyalahkan Herman.“Apa, Bu? Memang nyatanya begitu kan?”Rina menggeleng, tak terima. “Pokoknya Ibu mau jenguk bapak kamu!” kekehnya keras kepala.“Memangnya Ibu ada uang? Ke Lapas gak akan cukup kalau bawa uang hanya lima puluh ribu, belum lagi nanti pasti bapak minta makananlah, cemilan lah! Di lapas itu kalau bawa makanan juga harus banyak biar bisa di bagi sama penghuni lainnya. Me
“Terpaksa? Siapa yang memaksa kamu sampai berbuat sejauh itu, Riana? Kamu lupa, kalau saya pernah meminta kamu dan yang lainnya agar tidak berurusan dengan Syahnaz?” Tanya Galih kembali mengingatkan. Ruangan itu terasa mencekam, seolah waktu berhenti sejenak. Riana kembali menunduk. Galih memang tidak membentak, tapi dari nada suaranya, Bosnya itu terdengar sangat murka. “Apa alasannya, sampai kamu berkhianat seperti itu pada saya, Riana?” Tanya Galih dengan tatapan nyalang. Riana menelan ludah, menarik napas dalam-dalam terlebih dahulu. Menetralkan perasaan. “Saya tidak bermaksud mengkhianati Bapak! Saya cuma cemburu karena Bapak menikah sama Bu Aisyah,” Ungkap Riana pada akhirnya, tak punya pilihan lain dan tak bisa mengelak lagi. Galih mengerutkan kening, menatap bingung ke arah Riana. Di tengah rasa kecewa Galih atas keputusan karyawannya itu yang sangat merugikan dirinya dan Aisyah, ia juga tak mengerti mengapa pegawai yang sudah lama bekerja dengannya itu, malah mengeluark
“Ayo kita masuk, Sayang, di sini panas,” ajak Galih, merangkul mesra pinggang sang istri.Aisyah mengangguk, “Ayo, Mas.” Jawabnya.Sepasang suami istri masuk ke dalam rumah dan kompak mengembuskan napas lega. Mereka sangat bersyukur, karena sekarang suara Rina dan Syahnaz tidak lagi terdengar.“Kamu istirahat dulu ya, Sayang... Mas ada urusan sebentar di kedai.” “Iya, Mas. Hati-hati, ya.” Galih mengangguk. Ia kembali ke luar rumah, sementara Aisyah menuju ke kamar akan beristirahat seperti titah suaminya. Tenaga Aisyah langsung terkuras habis, padahal hanya beberapa belas menit saja ia berhadapan dengan Syahnaz dan Rina.Galih punya tujuan pasti mengapa ia sampai harus pergi ke kedai di siang hari seperti ini. Ya, tentu saja mencari tahu siapa dalang yang sudah membocorkan alamat tempat tinggalnya kepada dua wanita matre itu.“Kalau sampai salah satu pegawai kedai yang jadi pelakunya, aku gak akan memaafkan orang itu!” Gumam Galih mengendarai mobilnya menuju Kedai.°°°°“Siang, Pak
“Cukup ya, Tante! Kami ke sini dengan baik-baik, jangan bikin emosi kami naik!” seru Syahnaz merasa sudah punya kekuatan lagi untuk melawan. “Setelah di buang suami, sekarang lagi berusaha cari penopang hidup yang baru ya?” Ucapan Rina dengan senyum mencibir, sukses membuat mata Syahnaz mendelik. “Maksud Tante apa hah?!” Syahnaz tak terima karena di sangkut pautkan dengan Arman. “Saya sudah tau kok kalau kamu di usir kan sama suamimu dan keluarganya? Kenapa? Kamu selingkuh ya katanya? Bahkan anak yang di kandungan kamu itu anak selingkuhanmu? Upsss!” Ucap Renira tertawa pelan sambil menutup mulut, meledek. “Hei... Alien-AIien! Kamu itu ke sini cuma buat permalukan diri kamu sendiri tau gak? Anak saya itu nggak gampang di bodohi kayak si Arman itu!” Ungkap Renita, geram. “Salah lawan kalian ini!” sambung Renita lagi benar-benar membuat dada Syahnaz bergemuruh. Apalagi Renita memanggil Syahnaz dengan sebutan Alien. Sungguh, Syahnaz merasa sangat terhina. “Heh! Diam kamu! Jangan pe
“Kejadian itu sudah menjelaskan kalau kalian akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kalian mau!” Skak Galih.Seketika saja Rina dan Syahnaz terdiam. Ibu dan anak itu tidak bisa lagi membela diri seperti tadi.“Baik saya ataupun Aisyah, akan tetap melanjutkan gugatan terhadap Om Herman. Jangan pernah bermimpi laki-laki itu bisa bebas begitu saja setelah melakukan sesuatu hal di luar batas! Biarkan saja Om Herman mendekam di penjara sampai dia sadar, bahwa kesalahannya sudah sangat fatal dan tidak bisa di maafkan!” Galih berkata tegas dan penuh peringatan.“Syah, tolong jangan seperti ini...” Syahnaz memohon pada Aisyah, sementara Rina sudah bersimpuh memohon pertolongan.“Tante tau selama ini Om dan Tante jahat sama kamu dan Fadil. Tapi kasih kami kesempatan untuk memperbaiki semuanya, Syah...” Pinta Rina dengan tangisan yang semakin deras.Sama seperti tadi, Aisyah tetap diam tak menggubris sama sekali perkataan Rina. Aisyah berusaha menahan hatinya yang mulai goyah,
“Tante selalu mendoakan rumah tangga kamu dan Galih agar senantiasa harmonis, Syah.” ucap Rina seraya menengadahkan tangan, layaknya orang yang tengah berdoa dengan khidmat.Harusnya Galih dan Aisyah mengaminkan doa perempuan paruh baya itu. Namun setelah saling pandang selama beberapa kali, mereka sepakat bahwa Rina tidak tulus mendoakan pernikahan mereka. Tepatnya ada udang di balik batu dari sikapnya yang tiba-tiba sangat baik bak ibu peri itu.“Ada perlu apa Tante dan Syahnaz datang ke sini?” Tanya Galih lebih dulu, mendahului Rina sebelum kembali bertingkah penuh kepalsuan.Muak sekali rasanya jika harus menyaksikan sandiwara dari kedua manusia tidak tahu diri ini.“Aku sama Ibu akan jelaskan semuanya, tapi masa kita ngobrol di sini? Kenapa gak di dalem aja? Di sini panas tau,” keluh Syahnaz mengibaskan tangan di depan wajahnya untuk mengusir rasa panas.Meski di sekelilingnya memang sejuk, tetapi semua pepohonan yang ada di halaman rumah Galih tidak bisa menghalangi panasnya cah
“Ini beneran rumahnya Galih, Syahnaz?” Tanya Rina masih tak percaya dengan apa yang ia lihat di depan matanya itu. Bola mata Rina melebar karena takjub.Syahnaz sendiri sampai mengerjap beberapa kali, juga mengecek kembali alamat yang di berikan wanita tadi padahya.Semuanya benar, tak ada yang salah. Syahnaz semakin menyimpan kedengkian pada Aisyah, karena dari luar saja, rumah tersebut tampak sangat besar dan mewah.Pagar yang tinggi dan kokoh, terkesan angkuh seakan menandakan tidak sembarang orang bisa melewatinya. Syahnaz berkali-kali menelan saliva, membayangkan betapa mewah dan lengkapnya fasilitas yang ada di dalam rumah tersebut.“Bahkan rumah Mas Arman dan keluarganya, masih kalah jauh sama rumah ini, Bu,” Ucap Syahnaz pelan, teringat pada rumah yang di kuasai oleh Tiara.“Itu artinya Galih lebih kaya dari Arman, Naz!” seru Rina setengah memekik.Syahnaz mengangguk, mengakui perkataan ibunya yang memang benar. Kekayaan Arman masih kalah jauh dengan kekayaan yang Galih miliki
“Kita udah banyak ngeluarin biaya buat sampai rumahnya Galuh, Bu. Awas aja kalau nanti kita gak dapat hasil apa-apa,” Ucap Syahnaz ketika berada di dalam angkot.Sungguh, sebenarnya ingin sekali Syahnaz turun dari angkot ini dan memesan taksi online saja, tetapi lagi-lagi uang lah yang menjadi kendalanya.“Iya, kamu jangan terpancing emosi nanti. Kita harus bisa ambil hati Aisyah dulu, terutama Galih. Karena Galih adalah kuncinya. Ibu gak peduli dari mana hartanya itu, mau dari money loundry kek atau hasil ngepet juga. Yang penting Ibu dapat kebagian uang mereka, dan paling pentingnya bapakmu harus bebas, Naz!”Syahnaz mengangguk setuju. “Iya, Bu. Kalau perlu nanti kita nangis-nangis aja di depan Aisyah. Gak apa-apa deh ngerendahin diri dikit, asalkan bisa membuat Aisyah luluh sama kita.” Tambah Syahnaz.Rina tersenyum lebar, kali ini rencananya tak boleh gagal lagi.“Eh, Bu. Tapi kok tadi karyawannya Galih mau ngasih tau kita alamatnya ya? Yang lain aja pada diem,” Tanya Syahnaz terh