***"Kenapa mereka lama sekali, Hal. Aku takut Mas Tomi kenapa-kenapa," ungkap Gina cemas. Dia berkali-kali meremas jemarinya sendiri dan mondar-mandir di ruang tamu rumah Astri.Mereka sengaja tidak memberi tahu Leha dan Karim karena merasa tidak ingin membebani kedua orang tua yang selama ini sudah banyak menanggung beban masalah anak-anaknya."Duduklah, Mbak. Mas Tomi akan baik-baik saja, lagipula yang mereka hadapi ini wanita, tiga laki-laki melawan satu wanita harusnya menang kan?" Gina menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Dia tidak bisa duduk dengan tenang sebelum memastikan keadaan Suaminya baik-baik saja. Melihat cinta di mata Gina membuat hati Astri terasa nyeri, dia tidak menyangka jika wanita yang akan mendampingi hidup Tomi ke depan adalah Gina, wanita dari masa lalu yang memiliki kenangan kelam."Halimah benar, Nak. Duduklah, semoga mereka berhasil membujuk Asvia dan melepaskan Tirta," kata Sumi mencoba menenangkan. "Jangan cemas, Ibu yakin mereka pasti selamat. Lagi
***Handoko mengangguk samar sembari melirik takut pada Astri. Dia terpaksa mengatakan kebohongan karena Tirta yang terus mendesak dirinya agar mau kembali rujuk dengan Astri."Apa yang kamu katakan pada Tirta, Mas?" Suara Astri terdengar tajam dan lantang. Kedua matanya memerah serta napasnya memburu. Dia mengira jika Handoko sedang mengambil kesempatan dari keluguan Tirta. "Sampai kapanpun aku tidak sudi kembali hidup dengan laki-laki sepertimu!""Tenangkan dirimu, Mbak," tegur Halimah cemas. Dia bisa melihat wajah kecewa Tirta ketika Ibunya berteriak memaki Handoko. "Jangan ribut di depan Tirta, itu akan mengganggu mentalnya.""Tapi dia sudah keterlaluan, Hal ....""Hentikan, As. Anakmu mendapat masalah dan kamu masih saja ingin cari ribut disini?" sindir Rukun. Dia menarik pergelangan tangan putrinya dan membawanya keluar dari kamar Tirta."Jangan egois, Astri. Harus berapa kali Bapak katakan kalau Tirta butuh sosok Ayah. Jika kamu masih saja memikirkan dirimu sendiri, maka anakmu
***"Keadaan cukup darurat, Pak. Silahkan ke bagia administrasi untuk mengurus semuanya."Tomi mengangguk paham. Saat hendak berbalik, Gina mencekal pergelangan tangan suaminya dan menggeleng pelan. Diam-diam rasa takut merayap di hatinya karena melihat Leha dan Karim yang tidak berani mengambil tindakan."Aku paham bagaimana karakter adik iparku, Dek. Dia akan mengerti keadaan Halimah sehingga harus menjalani Operasi Caesar hari ini, lagipula apa ada yang salah dengan melahirkan secara Caesar? Kecuali jika orang-orang terdekat kita mulai terhasut omongan tetangga."Leha menggenggam jemari Karim seraya menunduk. Bukan rahasia lagi jika di kampung mereka wanita yang melahirkan secara Caesar akan mendapat cibiran sedemikian rupa. Gina melirik keki pada kedua mertuanya. Pasalnya dia yakin sekali jika ucapan Tomi sudah keterlaluan dengan menyindir orang tuanya sendiri."Kalau sampai aku tidak bergerak sekarang dan Halimah kenapa-kenapa, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, Dek. Terla
***"Kita bisa jalan-jalan bertiga jika kamu mau, Nak. Bagaimana?" tawar Astri pada Tirta. Bocah itu menunduk dalam, air matanya menetes satu per satu membuat Astri semakin kebingungan."Ayolah, Tir. Jangan memaksa Mama melakukan hal yang tidak mungkin kita lakukan.""Kenapa tidak mungkin, As?"Astri melengos. "Apa kamu pikir melupakan penghianatan itu mudah, Mas? Kamu sadar betapa sakit yang sudah kamu ciptakan dulu, hah?""Aku tau! Itu sebabnya aku ingin menebus semua rasa bersalahku, Astri!" Suara Handoko meninggi. Dia benar-benar frustasi melihat Astri yang masih saja pada pendiriannya. "Aku tau jika semua luka yang kamu terima adalah salahku, tapi tidakkah ada satu kesempatan saja untukku memperbaiki semuanya, As?" Astri menutup wajahnya. Dia tidak mau pembahasan ini berlanjut apalagi ada Tirta di depan mereka."Kita bicarakan ini lain kali, Mas.""Aku butuh kepastian, As. Katakan iya maka aku akan datang kembali bersama keluargaku, atau katakan tidak maka ....""Ma ... aku moho
***"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?"Dokter keluar dari ruang operasi dan menghampiri keluarga Vano. Mereka terlibat obrolan serius, bahkan sesekali Vano meremas rambutnya frustasi."Tenang, Van. Berdoa agar Halimah bisa segera sadar dan kondisinya semakin stabil.""Betul, Pak. Untuk sementara Ibu Halimah akan kami bawa ke ruang ICU, beliau butuh penanganan ekstra dan bayi Bu Halimah sedang dalam perjalanan ke ruang NICU, ketuban keruh membuatnya harus mendapat penanganan yang sama ketatnya dengan Sang Ibu."Vano hanya mengangguk pasrah. Dia bahagia karena anak dan istrinya selamat meskipun keduanya harus mendapat pengawasan dari Dokter. "Terima kasih, Mas. Kalau saja kamu tidak bertindak cepat ....""Sudahlah! Semua baik-baik saja. Doakan agar anak dan istrimu segera stabil."Vano menghela napas berat. Dia sampai melupakan memberi kabar pada kedua orang tuanya saling paniknya. Dengan meminjam ponsel Tomi, dia mengabarkan pada keluarga jika Halimah sudah melahirkan. Betapa bahagi
*** Setelah kedatangan keluarga Astri dan membagi cerita pilu, hari-hari keluarga Halimah berjalan seperti biasanya. Tidak jarang cibiran tetangga keluar karena mendengar kabar dia yang melahirkan secara Caesar. Halimah tidak ambil pusing, pun Vano ...keduanya terlalu fokus pada bayi yang diberi nama Ahmad Bagaskara. Hingga kelahiran putri kedua Gina membuat perhatian mereka semakin teralihkan. Cucu cantik Leha membuat semua orang di keluarganya merasakan bahagia. Setelah hampir bertahun-tahun menikah dengan Astri dan tidak juga diberi momongan, Tomi sempat berpikir buruk jika dia adalah lelaki mandul, tapi setelah menikahi Gina, pikiran itu terpatahkan dengan kelahiran bayi yang di beri nama Sea Mahalika. Usianya yang hanya terpaut satu tahun dengan Bagas membuat keduanya terlihat menggemaskan. Kebahagiaan menyelimuti keluarga Leha. Bagaimana tidak, dalam dua tahun terakhir dia menerima dua cucu sekaligus. Cantik dan Tampan, lengkap sudah kebahagiaan dia menjadi Nenek. Tirta dan Pa
Dikira Miskin (172) *** Bagas mengangguk mantap. Sejak bertemu dengan Anita, dia merasa jatuh cinta dengan begitu cepat. Wanita yang sehari-hari terlihat sederhana itu mampu menyita semua perhatian Bagas yang memang tidak terlalu banyak gaya. "Tidak perlu khawatir dengan kehidupan Anita setelah menikah, saya berjanji akan bertanggung jawab," kata Bagas tegas. "Saat ini saya hanya butuh restu Bapak dan Ibu selaku orang tua pengganti dia." "Ya ... ya, terserah kamu saja," sahut Tini jengah. "Oh ya, apa pekerjaan kamu, bagaimana bisa Anita yang bekerja sebagai pembantu kompleks bertemu dengan kamu?" Bagas melirik ke arah Anita yang menunduk dalam. Mana mungkin dia mengatakan pertemuannya dengan Anita yang sampai saat ini tidak bisa dia lupakan. "Dimana kalian bertemu, jangan-jangan kamu laki-laki jalanan yang nggak sengaja ketemu Anita waktu belanja ke pasar. Cocok nggak sih, Bu?" cibir Citra tertawa lebar. "Memang aura kalian itu cocok banget, wanita miskin bertemu dengan laki-laki
***"Darimana, Gas?""Rumah Anita, Pakde. Minggu depan aku diminta bawa keluarga buat melamar."Tomi menepuk pundak Bagas dengan tegas. Dia bisa melihat wajah murung keponakannya itu dengan jelas. "Terus kenapa jutek banget wajahmu? Dimintain mahar gede?" goda Tomi seraya terkekeh.Gina yang baru datang dari arah dapur menepuk lengan suaminya gemas. Dia meletakkan dua cangkir kopi di atas meja dan mengusap kepala Bagas yang saat ini usianya sudah beranjak dewasa, sama seperti Sea yang usia keduanya hanya terpaut satu tahun saja."Kenapa? Nggak biasanya pulang apel malah cemberut?""Aku itu kasihan sama Anita, dia seperti tertekan hidup dengan keluarga tirinya, bahkan mereka terang-terangan menghinaku miskin hanya karena datang kesana mengunakan motor. Pemikiran macam apa coba itu?""Belum lagi Ibu tirinya yang asal ceplas-ceplos itu bilang kalau setelah menikah Anita harus ikut aku, mereka nggak mau kalau aku dan Anita jadi beban disana. Padahal itu rumah Anita, Budhe Gina," jelas Bag