Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
"Wah, ada orang kota datang nih!" celetuk Mbak Gina saat motor yang kutumpangi bersama suami berhenti tepat di depan rumah. Sudah menjadi hal lumrah di kampungku, ketika menjelang siang, para ibu-ibu akan duduk bergerombol dan membicarakan banyak hal, termasuk gibah juga. Aku tersenyum mendapat sindiran dari Mbak Gina. Pasalnya aku memang menikah dengan Mas Vano yang notabenenya adalah pemuda dari kota. Para tetangga tidak tau siapa suamiku sebenarnya, karena pernikahan kami hanya dilangsungkan secara agama di kampung, dan resepsi di gelar di kota yang hanya dihadiri Bapak juga Ibu saja. Kusodorkan tangan untuk bersalaman, tapi respon mereka sungguh di luar dugaan. &
Bapak tertatih menghampiri kami yang sudah duduk di atas kursi tua di rumah mereka. Mas Vano dengan sigap membantu Bapak berjalan dan didudukkannya tubuh Bapak tepat di sebelahku. Aku mencium punggung tangan Bapak takzim. Setiap ingin berbicara dengan Bapak ataupun Ibu saat melakukan panggilan video dengan Mas Tomi, kakak lelakiku itu selalu menolak dengan alasan sedang sibuk di bengkel motor miliknya. Ya, Mas Tomi bekerja di sebuah bengkel motor yang terletak di depan rumahnya. Kebetulan rumah Mas Tomi dan Mbak Astri, istrinya, terletak tepat di samping jalan raya. Membuat usaha mereka terbilang cukup maju, setidaknya itu yang kudengar dari mulut Mas Tomi. "Bapak sakit?" tanyaku hati-hati, melihat raut sedih di wajah Bapak membuat hatiku terasa lebih nyeri daripada cibiran para tetangga.
Menjelang sore hari, mobil Mas Vano diantar ke rumah oleh salah satu pekerja bengkel. Para tetangga datang berkerumun ketika melihat sebuah mobil berwana silver masuk ke halaman rumah Ibu. Decak kagum kudengar keluar dari mulut para Ibu-ibu termasuk Bu Eni. "Bagus sekali, besok Tarjo kusuruh juga beli yang model begini," seloroh Bu Eni. Aku yang berdiri di depan pintu hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman. "Eh, Halimah ... Itu kamu nyewa mobil dimana? Bisa mulus gini ya, kayak paha artis-artis di Tipi," celetuk Bu Diah. Para tetangga mengangguk antusias kemudian disusul gelak tawa. Jadilah depan rumahku seperti tengah mengadakan pameran mobil mewah.  
"Ibu percaya nggak kalau saya bilang Cafe baru di kota itu milik suami saya?" Bu Eni tergelak dengan memegangi perutnya. Sudah kuduga, dia tidak akan percaya bahkan setelah Mas Vano memberikan hadiah emas logam pada para tetangga. Bukan ingin dianggap kaya, tidak. Hanya saja aku ingin Bu Eni tidak memandang kami sebelah mata lagi hanya karena pulang kampung menggunakan motor. "Halimah ... Halimah ... Mimpi emang nggak boleh tanggung-tanggung, tapi ya nggak harus ngaku punya Cafe baru di kota ini juga kali, Hal ... Hal ...!" "Ya sudah kalau Bu Eni tidak percaya, besok saya pastikan Arini tidak bisa kerja di Cafe milik saya!"  
Aku mengangguk, sementara Mbak Astri bangkit dari kursi dan menggebrak meja dengan keras. Brak! "Kamu sengaja kan, Hal, mau buat aku malu? Kamu sengaja membahas ini di depan Ibu dan Bapak agar aku terlihat seperti ipar yang buruk bagimu, begitu kan?!" Air mata Mbak Astri keluar dengan derasnya. Aku membuang muka, disini, seolah-olah aku yang bersalah, padahal nyatanya bukan begitu. Mas Vano menggenggam jemariku dan memintaku untuk lebih tenang. "Duduklah, Mbak. Kita bicarakan ini baik-baik," pinta Mas Vano. "Tidak perlu! Apa lagi yang harus dibicarakan, lagipula Hal
"Saya akui, saya dan Halimah tidak bisa mengurus Bapak dan Ibu dengan baik. Itu sebabnya, kami mencoba membantu dengan mengirimkan materi untuk keperluan Bapak dan Ibu selama ini. Tapi ternyata ... Mas Tomi dan Mbak Astri bukan hanya menilap uang untuk mereka, tapi juga tidak peduli dengan kekurangan orang tua kita selama ini. Mas Tomi bahkan tutup mata melihat mereka masih bekerja di sawah." "Hati-hati kalau bicara kamu, Van. Tau darimana kamu kalau kami tidak peduli dengan Bapak dan Ibu? Untung-untungan kita mau ngasih jatah sembako untuk mereka," sahut Mbak Astri sengit. "Lah, kan emang kita ngasih jatah lewat Mas Tomi juga untuk Bapak dan Ibu, kok Mbak Astri bilang begitu?" Aku menyahut, rasanya geram sekali mendengar penuturan Mbak Astri yang seolah-olah enggan membantu orang