Bapak tertatih menghampiri kami yang sudah duduk di atas kursi tua di rumah mereka. Mas Vano dengan sigap membantu Bapak berjalan dan didudukkannya tubuh Bapak tepat di sebelahku. Aku mencium punggung tangan Bapak takzim. Setiap ingin berbicara dengan Bapak ataupun Ibu saat melakukan panggilan video dengan Mas Tomi, kakak lelakiku itu selalu menolak dengan alasan sedang sibuk di bengkel motor miliknya. Ya, Mas Tomi bekerja di sebuah bengkel motor yang terletak di depan rumahnya. Kebetulan rumah Mas Tomi dan Mbak Astri, istrinya, terletak tepat di samping jalan raya. Membuat usaha mereka terbilang cukup maju, setidaknya itu yang kudengar dari mulut Mas Tomi. "Bapak sakit?" tanyaku hati-hati, melihat raut sedih di wajah Bapak membuat hatiku terasa lebih nyeri daripada cibiran para tetangga.
Menjelang sore hari, mobil Mas Vano diantar ke rumah oleh salah satu pekerja bengkel. Para tetangga datang berkerumun ketika melihat sebuah mobil berwana silver masuk ke halaman rumah Ibu. Decak kagum kudengar keluar dari mulut para Ibu-ibu termasuk Bu Eni. "Bagus sekali, besok Tarjo kusuruh juga beli yang model begini," seloroh Bu Eni. Aku yang berdiri di depan pintu hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman. "Eh, Halimah ... Itu kamu nyewa mobil dimana? Bisa mulus gini ya, kayak paha artis-artis di Tipi," celetuk Bu Diah. Para tetangga mengangguk antusias kemudian disusul gelak tawa. Jadilah depan rumahku seperti tengah mengadakan pameran mobil mewah.  
"Ibu percaya nggak kalau saya bilang Cafe baru di kota itu milik suami saya?" Bu Eni tergelak dengan memegangi perutnya. Sudah kuduga, dia tidak akan percaya bahkan setelah Mas Vano memberikan hadiah emas logam pada para tetangga. Bukan ingin dianggap kaya, tidak. Hanya saja aku ingin Bu Eni tidak memandang kami sebelah mata lagi hanya karena pulang kampung menggunakan motor. "Halimah ... Halimah ... Mimpi emang nggak boleh tanggung-tanggung, tapi ya nggak harus ngaku punya Cafe baru di kota ini juga kali, Hal ... Hal ...!" "Ya sudah kalau Bu Eni tidak percaya, besok saya pastikan Arini tidak bisa kerja di Cafe milik saya!"  
Aku mengangguk, sementara Mbak Astri bangkit dari kursi dan menggebrak meja dengan keras. Brak! "Kamu sengaja kan, Hal, mau buat aku malu? Kamu sengaja membahas ini di depan Ibu dan Bapak agar aku terlihat seperti ipar yang buruk bagimu, begitu kan?!" Air mata Mbak Astri keluar dengan derasnya. Aku membuang muka, disini, seolah-olah aku yang bersalah, padahal nyatanya bukan begitu. Mas Vano menggenggam jemariku dan memintaku untuk lebih tenang. "Duduklah, Mbak. Kita bicarakan ini baik-baik," pinta Mas Vano. "Tidak perlu! Apa lagi yang harus dibicarakan, lagipula Hal
"Saya akui, saya dan Halimah tidak bisa mengurus Bapak dan Ibu dengan baik. Itu sebabnya, kami mencoba membantu dengan mengirimkan materi untuk keperluan Bapak dan Ibu selama ini. Tapi ternyata ... Mas Tomi dan Mbak Astri bukan hanya menilap uang untuk mereka, tapi juga tidak peduli dengan kekurangan orang tua kita selama ini. Mas Tomi bahkan tutup mata melihat mereka masih bekerja di sawah." "Hati-hati kalau bicara kamu, Van. Tau darimana kamu kalau kami tidak peduli dengan Bapak dan Ibu? Untung-untungan kita mau ngasih jatah sembako untuk mereka," sahut Mbak Astri sengit. "Lah, kan emang kita ngasih jatah lewat Mas Tomi juga untuk Bapak dan Ibu, kok Mbak Astri bilang begitu?" Aku menyahut, rasanya geram sekali mendengar penuturan Mbak Astri yang seolah-olah enggan membantu orang
Mas Tomi terlihat hendak menghampiri kami yang sudah mendekat ke arah dimana mobil berada. Aku tau, kakak lelakiku pasti khawatir dengan keadaan Ibu. Dulu, Mas Tomi adalah sosok yang begitu mencintai orang tua, tapi sekarang ... Entahlah! "Berani kamu meninggalkan rumah ini, kupastikan kami tidak akan bertemu lagi denganku dan Tirta, Mas!" teriak Mbak Astri lantang. "Sekarang kamu pilih ... pergi dengan mereka atau kita bercerai!" sambung Mas Astri berapi-api. Mas Tomi meremas rambutnya kasar. Jika saja Ibu tidak sedang pingsan, sudah kutampar mulutnya yang tidak beretika itu. Bagaimana bisa seorang istri meminta suaminya memili
PoV Author. Astri berjalan masuk ke dalam rumah setelah memastikan mobil Vano berlalu dari halaman rumahnya. Dia duduk di kursi dengan kaki menyilang. Diambilnya camilan di atas meja, yang mana, saat mertuanya datang, camilan-camilan di atas meja tidak dua buka barang satu atau dua toples saja. Tomi mengikuti langkah Astri dan mendaratkan bokongnya di sebelah Sang Istri. Lelaki itu menghela nafas kasar, mengingat betapa tidak begunanya dia sebagai anak sulung Leha dan Karim. "Dek, ijinkan Mas menjenguk Ibu ke Rumah Sakit, bagaimana jika Ibu kenapa-kenapa?" Tomi berusaha membujuk Astri, tapi istrinya itu justru membuang muka dan bangkit dari duduknya.
Mbak Astri mematikan sambungan telepon setelah aku mengatakan dimana Ibu dirawat. Entah apa yang ada dalam pikiran kakak iparku itu, dia memberi tau semua tetangga jika Ibu dirawat di Rumah Sakit. Sah-sah saja, tapi aku tidak habis pikir dengan tujuannya barusan, dia bilang jika uang pesangon dari tetangga untuk uang jajan Tirta, sebegitu tidak mampukah Mas Tomi memenuhi kebutuhan hidup Mbak Astri dan Tirta? "Kepala Ibu pusing, Hal." Suara Ibu membuatku berjingkat dan segera membangunkan Mas Vano yang tertidur di kursi sebelah ranjang Ibu. "Biar Mas panggilkan dokter." Mas Vano bangkit, namun Bapak dengan sigap menahan langkah Mas Vano, dia berjalan cepat memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Ibu. Dokter mengatakan keadaan Ibu sudah