Share

Dikira Miskin Saat Pulang Kampung
Dikira Miskin Saat Pulang Kampung
Penulis: rafanalfa6819

Cibiran Tetangga

Penulis: rafanalfa6819
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-14 10:10:33

 

 

"Wah, ada orang kota datang nih!" celetuk Mbak Gina saat motor yang kutumpangi bersama suami berhenti tepat di depan rumah.

 

 

Sudah menjadi hal lumrah di kampungku, ketika menjelang siang, para ibu-ibu akan duduk bergerombol dan membicarakan banyak hal, termasuk gibah juga.

 

 

Aku tersenyum mendapat sindiran dari Mbak Gina. Pasalnya aku memang menikah dengan Mas Vano yang notabenenya adalah pemuda dari kota. Para tetangga tidak tau siapa suamiku sebenarnya, karena pernikahan kami hanya dilangsungkan secara agama di kampung, dan resepsi di gelar di kota yang hanya dihadiri Bapak juga Ibu saja.

 

 

Kusodorkan tangan untuk bersalaman, tapi respon mereka sungguh di luar dugaan.

 

 

"Duh, Halimah! Kalau nggak sanggup hidup di kota, mending pulang kesini saja. Jauh-jauh ikut suami tapi pulang-pulang malah pake motor butut gitu. Apa nggak capek punggungmu?" sahut Arini, teman sekolahku dulu. 

 

 

"Kebetulan mobil kami ngadat di tengah jalan ...."

 

 

Belum sempat aku melanjutkan ucapan, mereka semua tertawa seolah aku sedang bercanda.

 

 

"Oalah, Halimah ... Halimah! Pakai segala ngomong mobilnya tengah ngadat di tengah jalan. Kalau cuma punya motor butut mah, ngaku aja! Kami semua tau kok kalau suami kamu cuma pelayan cafe!" Bu Eni, mertua Mbak Gina turut berbicara.

 

 

Aku mengerutkan kening, darimana mereka menyimpulkan jika Mas Vano adalah pelayan Cafe? 

 

 

"Kamu pasti kaget kan karena kita tau apa pekerjaan suamimu itu? Iyalah, kami tau. Hesti anak sulungku yang cerita, waktu dia nongkrong di Cafe, dia lihat suami kamu lagi melayani pembeli," jelas Bu Eni lagi. Hanya karena Mas Vano membantu melayani pembeli, lantas mereka mengira jika suamiku hanyalah pelayan Cafe? 

 

 

"Maaf, Bu Eni. Tapi Cafe itu adalah milik ...."

 

 

"Kamu pasti mau bilang kalau Cafe itu milik suami kamu, begitu kan?" Mereka semua tertawa mendengar ucapan yang keluar dari mulut Mbak Gina. Rasa-rasanya mereka seperti sedang bersekongkol menghinaku. Aku paham, dulu, anak bungsu Bu Eni yang bernama Kang Tarjo, datang melamarku setelah aku lulus sekolah. Tapi dengan jelas aku menolak, karena ingin bekerja dan membuat hidup Bapak serta Ibu berkecukupan. Siapa sangka, setahun bekerja di Cafe milik Mas Vano, membuat lelaki itu menyatakan perasaannya dan meminangku ke rumah. Mungkin ini yang membuat Bu Eni begitu membenciku, dia merasa aku telah menghina putranya dengan cara menolak lamaran Kang Tarjo.

 

 

"Dulu aja sok-sokan nggak mau dinikahin Tarjo, sekarang lihat, anakku punya empang banyak. Tapi kamu ... pulang-pulang malah bawa motor butut. Rugi hidup lama di kota tapi nggak kaya-kaya. Ya nggak, Ibu-ibu?" seloroh Bu Eni dengan mulut mencap-mencep.

 

 

"Dek, yuk masuk. Ibu sama Bapak pasti nungguin kita." Mas Vano menggenggam jemariku dan berpamitan pada Ibu-ibu yang duduk bergerombol di depan rumah Arini yang kebetulan bersebelahan dengan rumahku. 

 

 

"Tuh, pangeran miskinnya dah nyamperin. Kalau dibanding Kang Tarjo mah, jauh ya Bu En," kata Arini dengan senyuman sinis ke arahku. 

 

 

"Ya, jelas. Makanya aku pilih kamu jadi calon menantu." Bu Eni mengusap rambut Arini lembut. Jadi, Arini mendekati Kang Tarjo? Aku tau, wanita itu sejak dulu menyukai Kang Tarjo, bahkan dia dengan terang-terangan mengatakan tidak menyukaiku karena Kang Tarjo datang ke rumah untuk melamarku. Ternyata impiannya sebentar lagi menjadi kenyataan. "Mending dapat suami dari kampung tapi kaya, daripada suami orang kota, tapi...."

 

 

"Kismin!" teriak Mbak Gina dan disusul gelak tawa oleh para tetangga yang lain.

 

 

Aku yang hendak menoleh dan membalas ucapan mereka, harus kembali meredam emosi saat suara Mas Vano terdengar di telinga, "Udah biarin aja. Masih penting ya penilaian manusia?" 

 

 

Mau tidak mau aku melanjutkan langkah menuju rumah Ibu. Rumah yang sudah sekian tahun aku tinggalkan demi mengabdi pada suami. Ah, rasa rindu pada Bapak dan Ibu membuat cibiran-cibiran para tetangga menguap begitu rasa.

 

 

"Malu nih ye! Makanya jangan sok-sokan jadi cewek. Anakku yang kaya dia tolak, sekarang malah dapat lelaki yang kendaraannya cuma motor butut. Kalau Tarjo nggak perlu diragukan lagi, kamu mau mobil merk apa, Rin?" Ucapan Bu Eni pada Arini yang terdengar lantang, kurasa memang sengaja agar aku bisa mendengarnya. 

 

 

"Jauh-jauh hidup di kota, eh, pulang-pulang malah nggak bawa apa-apa. Bingkisan kek buat para tetangga!" sahut Mbak Gina.

 

 

"Bingkisan? Orang tiap bulan aja Kakaknya ambil pinjaman di Bank Keliling." Penuturan Bu Diah membuatku harus menghentikan langkah saat pintu rumah tepat di depan wajah.

 

 

"Beruntung ada Tomi dan istrinya, kalau tidak, mungkin Ibu sama Bapaknya udah mati kelaparan. Punya anak gadis tapi lebih milih hidup di kota, padahal ya gitu ... Masih aja miskin meskipun tinggal di kota!" sambung Bu Diah lagi.

 

 

Dadaku terasa nyeri. Lalu kemana uang kirimanku tiap bulan untuk Bapak dan Ibu? Bukankah aku sudah memasrahkan semuanya pada Mas Tomi dan istrinya?

 

 

Mas Vano mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Terbuat dari apa hati lelaki di sampingku ini? Padahal jelas-jelas semua tetangga sedang membicarakanku juga dirinya, tapi dia masih saja tenang tidak terpancing emosi sama sekali.

 

"Halimah?" pekik Ibu kaget, "Tomi bilang kamu habis kecelakaan, sekarang sudah sehat?"

 

Aku dan Mas Vano saling berpandangan. Melihat kebingungan di wajahku dan Mas Vano, ibu meminta kami masuk ke dalam rumah. Kasak-kusuk tetangga masih terdengar, tapi aku memilih untuk meredam emosi lebih dulu. Sepertinya ada hal yang lebih penting daripada cibiran pada tetangga.

Bersambung

 

 

 

    

Komen (22)
goodnovel comment avatar
A Arman Ariyono
penasaran SM
goodnovel comment avatar
Restu Bening
menarik sekali utk di baca
goodnovel comment avatar
Anita Ratna
Heem Tomi ngadiĀ² nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Rahasia dan Kebohongan

    Bapak tertatih menghampiri kami yang sudah duduk di atas kursi tua di rumah mereka. Mas Vano dengan sigap membantu Bapak berjalan dan didudukkannya tubuh Bapak tepat di sebelahku. Aku mencium punggung tangan Bapak takzim. Setiap ingin berbicara dengan Bapak ataupun Ibu saat melakukan panggilan video dengan Mas Tomi, kakak lelakiku itu selalu menolak dengan alasan sedang sibuk di bengkel motor miliknya. Ya, Mas Tomi bekerja di sebuah bengkel motor yang terletak di depan rumahnya. Kebetulan rumah Mas Tomi dan Mbak Astri, istrinya, terletak tepat di samping jalan raya. Membuat usaha mereka terbilang cukup maju, setidaknya itu yang kudengar dari mulut Mas Tomi. "Bapak sakit?" tanyaku hati-hati, melihat raut sedih di wajah Bapak membuat hatiku terasa lebih nyeri daripada cibiran para tetangga.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-14
  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Membungkam Mulut Tetangga

    Menjelang sore hari, mobil Mas Vano diantar ke rumah oleh salah satu pekerja bengkel. Para tetangga datang berkerumun ketika melihat sebuah mobil berwana silver masuk ke halaman rumah Ibu. Decak kagum kudengar keluar dari mulut para Ibu-ibu termasuk Bu Eni. "Bagus sekali, besok Tarjo kusuruh juga beli yang model begini," seloroh Bu Eni. Aku yang berdiri di depan pintu hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman. "Eh, Halimah ... Itu kamu nyewa mobil dimana? Bisa mulus gini ya, kayak paha artis-artis di Tipi," celetuk Bu Diah. Para tetangga mengangguk antusias kemudian disusul gelak tawa. Jadilah depan rumahku seperti tengah mengadakan pameran mobil mewah.  

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-14
  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Menemui Tomi

    "Ibu percaya nggak kalau saya bilang Cafe baru di kota itu milik suami saya?" Bu Eni tergelak dengan memegangi perutnya. Sudah kuduga, dia tidak akan percaya bahkan setelah Mas Vano memberikan hadiah emas logam pada para tetangga. Bukan ingin dianggap kaya, tidak. Hanya saja aku ingin Bu Eni tidak memandang kami sebelah mata lagi hanya karena pulang kampung menggunakan motor. "Halimah ... Halimah ... Mimpi emang nggak boleh tanggung-tanggung, tapi ya nggak harus ngaku punya Cafe baru di kota ini juga kali, Hal ... Hal ...!" "Ya sudah kalau Bu Eni tidak percaya, besok saya pastikan Arini tidak bisa kerja di Cafe milik saya!"  

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-14
  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Mati kutu

    Aku mengangguk, sementara Mbak Astri bangkit dari kursi dan menggebrak meja dengan keras. Brak! "Kamu sengaja kan, Hal, mau buat aku malu? Kamu sengaja membahas ini di depan Ibu dan Bapak agar aku terlihat seperti ipar yang buruk bagimu, begitu kan?!" Air mata Mbak Astri keluar dengan derasnya. Aku membuang muka, disini, seolah-olah aku yang bersalah, padahal nyatanya bukan begitu. Mas Vano menggenggam jemariku dan memintaku untuk lebih tenang. "Duduklah, Mbak. Kita bicarakan ini baik-baik," pinta Mas Vano. "Tidak perlu! Apa lagi yang harus dibicarakan, lagipula Hal

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-14
  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Pertengkaran Sedarah

    "Saya akui, saya dan Halimah tidak bisa mengurus Bapak dan Ibu dengan baik. Itu sebabnya, kami mencoba membantu dengan mengirimkan materi untuk keperluan Bapak dan Ibu selama ini. Tapi ternyata ... Mas Tomi dan Mbak Astri bukan hanya menilap uang untuk mereka, tapi juga tidak peduli dengan kekurangan orang tua kita selama ini. Mas Tomi bahkan tutup mata melihat mereka masih bekerja di sawah." "Hati-hati kalau bicara kamu, Van. Tau darimana kamu kalau kami tidak peduli dengan Bapak dan Ibu? Untung-untungan kita mau ngasih jatah sembako untuk mereka," sahut Mbak Astri sengit. "Lah, kan emang kita ngasih jatah lewat Mas Tomi juga untuk Bapak dan Ibu, kok Mbak Astri bilang begitu?" Aku menyahut, rasanya geram sekali mendengar penuturan Mbak Astri yang seolah-olah enggan membantu orang

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Menantu Kejam

    Mas Tomi terlihat hendak menghampiri kami yang sudah mendekat ke arah dimana mobil berada. Aku tau, kakak lelakiku pasti khawatir dengan keadaan Ibu. Dulu, Mas Tomi adalah sosok yang begitu mencintai orang tua, tapi sekarang ... Entahlah! "Berani kamu meninggalkan rumah ini, kupastikan kami tidak akan bertemu lagi denganku dan Tirta, Mas!" teriak Mbak Astri lantang. "Sekarang kamu pilih ... pergi dengan mereka atau kita bercerai!" sambung Mas Astri berapi-api. Mas Tomi meremas rambutnya kasar. Jika saja Ibu tidak sedang pingsan, sudah kutampar mulutnya yang tidak beretika itu. Bagaimana bisa seorang istri meminta suaminya memili

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Kelicikan Astri

    PoV Author. Astri berjalan masuk ke dalam rumah setelah memastikan mobil Vano berlalu dari halaman rumahnya. Dia duduk di kursi dengan kaki menyilang. Diambilnya camilan di atas meja, yang mana, saat mertuanya datang, camilan-camilan di atas meja tidak dua buka barang satu atau dua toples saja. Tomi mengikuti langkah Astri dan mendaratkan bokongnya di sebelah Sang Istri. Lelaki itu menghela nafas kasar, mengingat betapa tidak begunanya dia sebagai anak sulung Leha dan Karim. "Dek, ijinkan Mas menjenguk Ibu ke Rumah Sakit, bagaimana jika Ibu kenapa-kenapa?" Tomi berusaha membujuk Astri, tapi istrinya itu justru membuang muka dan bangkit dari duduknya.

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-26
  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Keterlaluan

    Mbak Astri mematikan sambungan telepon setelah aku mengatakan dimana Ibu dirawat. Entah apa yang ada dalam pikiran kakak iparku itu, dia memberi tau semua tetangga jika Ibu dirawat di Rumah Sakit. Sah-sah saja, tapi aku tidak habis pikir dengan tujuannya barusan, dia bilang jika uang pesangon dari tetangga untuk uang jajan Tirta, sebegitu tidak mampukah Mas Tomi memenuhi kebutuhan hidup Mbak Astri dan Tirta? "Kepala Ibu pusing, Hal." Suara Ibu membuatku berjingkat dan segera membangunkan Mas Vano yang tertidur di kursi sebelah ranjang Ibu. "Biar Mas panggilkan dokter." Mas Vano bangkit, namun Bapak dengan sigap menahan langkah Mas Vano, dia berjalan cepat memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Ibu. Dokter mengatakan keadaan Ibu sudah

    Terakhir Diperbarui : 2022-01-26

Bab terbaru

  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Extra Part

    Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf

  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā TAMAT

    Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse

  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Menjelang Tamat

    ***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa

  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Kondangan, yuk!

    ***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi

  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Berhasil melewati Batu Terjal

    ***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe

  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Kamu menang, Tirta!

    ***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.

  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Hamka Mundur

    ***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf

  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Pupus Harapan Freya

    ***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani

  • Dikira Miskin Saat Pulang KampungĀ Ā Ā Awal Kehancuran Nayna

    ***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status