Mbak Astri mematikan sambungan telepon setelah aku mengatakan dimana Ibu dirawat. Entah apa yang ada dalam pikiran kakak iparku itu, dia memberi tau semua tetangga jika Ibu dirawat di Rumah Sakit. Sah-sah saja, tapi aku tidak habis pikir dengan tujuannya barusan, dia bilang jika uang pesangon dari tetangga untuk uang jajan Tirta, sebegitu tidak mampukah Mas Tomi memenuhi kebutuhan hidup Mbak Astri dan Tirta? "Kepala Ibu pusing, Hal." Suara Ibu membuatku berjingkat dan segera membangunkan Mas Vano yang tertidur di kursi sebelah ranjang Ibu. "Biar Mas panggilkan dokter." Mas Vano bangkit, namun Bapak dengan sigap menahan langkah Mas Vano, dia berjalan cepat memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Ibu. Dokter mengatakan keadaan Ibu sudah
"Ayo, talak aku sekarang juga!" ucap Mbak Astri sembari membalikkan badannya dengan satu tangan yang sudah membuka knop pintu hendak keluar. Mas Tomi membuang muka. Aku tidak tau pasti yang membuat dia begitu kekeuh mempertahankan Mbak Astri. Ada alasan lain atau justru karena perkataan Ibu tadi yang bilang jika ingin kehidupan rumah tangga anak-anaknya bisa langgeng sampai mau memisahkan. Entahlah.... "Makanya, jadi laki-laki itu juga perlu sadar diri. Untung ada uang dari Halimah, jadi tiap bulan aku dan Tirta ngga kekurangan. Kalau kamu cuma bisa nyalahin aku, ngaca! Udah layak nggak kamu disebut Bapak, penghasilan tiap hari nggak lebih dari lima putih ribu, dapat apa uang segitu di jaman sekarang. Mikir!" K
Darahku seketika mendidih. Sudahlah sakit hati dengan perlakuan Mbak Astri tadi, sekarang justru harus bertemu Arini di Cafe. Aku berjalan menuju ke dapur Cafe, aku yakin Adisti ada disana untuk memantau pekerjaan para waitress. Arini dengan sigap mencekal pergelangan tanganku, dia menatapku dengan sorot mata tajam. Mas Vano menepuk pundak Arini membuat wanita itu menoleh dan mencebik, "Suami sama istri kok kelakuannya nggak jauh beda. Udah miskin tapi sok kaya, pake acara mau mecat aku segala. Hello, nyadar diri dong!" Arini menjetikkan jemarinya tepat di wajah Mas Vano. "Oke, cukup. Aku yang akan membuatku sadar diri sekarang," sahut Mas Vano datar. "Adisti!" teriak Mas Vano lantang, membuat para pengunjung menoleh ke arah kami.
Jdor ... Jdor ... Jdor .... "Halimah ... buka pintunya, Hal!" Teriakan wanita di depan rumah membuatku sedikit terkejut. Mas Vano bahkan sampai menghentikan aktifitasnya dan berjalan mendekati pintu. "Siapa, Mas?" tanyaku, Mas Vano hanya mengedikkan bahu. "Halimah ... keluar kamu!" teriaknya lagi. "Kayak suara Mbak Astri, Mas," sahutku. Mas Vano membuka pintu dan benar saja, ada sosok Mbak Astri berdiri dengan berkacak pinggang di depan rumahku.
PoV Author Sepulang dari rumah mertuanya, Astri diliputi rasa kesal yang luar biasa. Pasalnya, setelah dia mengatakan agar Tomi mau menalaknya saat di Rumah Sakit, sore hari tiba-tiba Tomi datang dan benar-benar menjatuhkan talak tiga untuk Astri. Tomi berpamitan pada kedua orang tuanya untuk pergi sebentar, siapa sangka, dia justru pulang dan mengemas semua bajunya lalu menalak Astri sore itu juga. Astri merasa kesal. Niat hati hanya ingin menggertak keluarga Tomi, tapi sial, dia justru benar-benar dibuang sekarang. Astri tahu jika Halimah adalah sosok adik yang begitu menyayangi Tomi, maka dari itu, dia mengancam meminta cerai jika Tomi tidak memiliki banyak harta karena Astri yakin, dengan ancaman begitu, Halimah pasti mau kembali lagi ke kota dan meng
PoV Author Eni berjalan tergesa menuju rumah Halimah. Nafasnya memburu membayangkan anak lelaki yang dia puja-puja sedang direndahkan oleh Halimah. Padahal, nyatanya tidak seperti itu, seseorang di samping Eni sengaja membuat hati wanita paruh baya itu terbakar amarah. "Ayo, cepat! Ah, kamu lelet banget sih!" gerutu Eni pada wanita di sampingnya. "I-iya, Ayo, Bu," sahutnya kikuk. Eni mengumpat sepanjang melewati rumah tetangga. Jarak rumah Eni dan Halimah memang terpisah beberapa rumah dan pekarangan luas, sehingga sedikit membutuhkan waktu ketika hendak kesa
"Mau apa?" "Mau ... pinjam sertifikat sawah Ibu." Mata Eni melotot melihat anak sulungnya. Tanpa sadar, tangannya mencengkram lengan Hesti kuat membuat wanita itu meringis kesakitan. "Aduh, Ibu. Sakit tauk!" Hesti menepis tangan Eni cepat, dia mengusap-usap lengannya dengan lembut. "Pinjam sertifikat sawah Ibu? Bukannya tadi kamu bilang pacar kamu kaya?" selidik Eni. "Ah ... Ibu, Mas Brian itu mau tanam saham, tapi uangnya kurang, apa salahnya sih kita pinjam sertifikat sawah Ibu? Lagipula nanti kalau dapat untung kan kita juga yang ikut ngerasain."
Suasana hutan di kampung yang sepi, membuatku sulit untuk meminta bantuan pada orang di sekitar. Aku merutuki kebodohan, mengapa dengan begitu mudahnya mempercayai Agung dan mengikuti lelaki itu hingga sampai masuk ke tengah hutan, padahal jelas-jelas sawah Bapak jauh dari sini, memang, rutenya bisa dilewati melalu hutan jika sungai tempat menyebrang mendadak airnya tinggi. Tapi jika di musim pancaroba begini, air sungai lebih sering surut daripada pasang, itu sebabnya, aku yakin tidak ada yang melewati hutan ini. Air mataku sudah mengering. Sekarang yang kupikirkan adalah bagaimana caranya aku bisa kabur dari lelaki di belakangku. Siapa dia? Sejak tadi dia tidak membuka suara, hanya tangannya yang sibuk membungkam mulutku dengan memaksa terus berjalan di depannya. Aku sengaja menghentikan langkah. N