PoV Author Leha mondar-mandir di depan rumahnya menunggu kedatangan Halimah menjemput Karim di sawah. Hingga matahari semakin meninggi, sosok Halimah tidak kunjung terlihat dari ujung jalan. Kedua tangan dia remas seolah memberi pertanda jika hatinya sedang cemas. Dia khawatir. Khawatir pada Karim, Sang suami, juga pada Halimah yang tidak juga datang. Di tengah kebingungan yang melanda, sosok Agung berjalan di depan rumah Leha sambil bersiul dan menghitung banyak uang di tangan. Tidak ingin menyia-nyiakan waktu, Leha menghampiri Agung dan mencekal pergelangan tangan lelaki muda di depannya, "Halimah mana, Gung?" Agung menghentikan langkah dan menyembunyikan uang ke belakang tubuhnya. &
"Kang Tarjo ... dia yang sudah menculik Mbak Halimah!" Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Agung. Lelaki muda itu semakin terduduk lesu setelah mendapat tamparan keras dari Budhenya sendiri yang tak lain adalah Ibu Tarjo, Eni. Nur menarik kasar tangan Eni hingga hampir saja terjerembab jika Gina tidak dengan sigap menangkap tubuh mertuanya. Hadi, suami Nur datang setelah salah satu tetangga memberi kabar jika di rumahnya sedang ada keributan. Tubuh Hadi menyelinap di antara kerumunan orang. Dia menyaksikan anak lelaki satu-satunya terlihat frustasi dalam pelukan Nur.
Mata Tarjo menatap Vano dan Tomi nyalang. Dia membekap lengan yang mengucur darah akibat sabetan kapak dari tangan Tomi. Dilepasnya kaos yang dia gunakan, kemudian diikatkannya pada lengan yang terluka. "Pergi menyelinap lewat pintu belakang, Dek. Panggil para warga kesini, biar Mas dan Mas Tomi yang menghadang Tarjo," bisik Vano pelan. Halimah menggelengkan kepala, dia menggigit bibir bawah dengan kuat hingga tidak sadar sedikit mengeluarkan darah. "Nurut Mas kali ini, demi keselamatan kita." Kedua mata Halimah terpejam, dia menangis sejadi-jadinya dengan men
"Kasihan sekali Mas Tomi. Pinggangnya sampai penuh darah begitu. Ya Allah, ngeri!" ujar salah seorang warga dengan mengedikkan bahunya. Vano memeluk bahu istrinya dengan erat. Getaran di tubuh Halimah semakin kuat saat melihat Leha berlari ke arah mereka. Leha menangis histeris saat mendapati penampilan Halimah yang sudah acak-acakan. "Ya Allah, Nak. Dosa apa Ibu sampai anak-anakku kena musibah seperti ini." Leha memeluk Halimah dengan erat. Para tetangga merasa kasihan dengan apa yang dialami oleh keluarga mereka.
Langkah Leha mendadak berhenti. Dada wanita tua berdegup kencang mendengar teriakan Astri. Dia menoleh, menatap nanar pada calon mantan istri Tomi. Bagaimanapun, talak yang sudah Tomi lontarkan tidak bisa dicabut. Talak tiga. Sulit bagi mereka untuk kembali rujuk. "Aku ... aku hamil, Bu. Anak ini ... buah hati Mas Tomi, calon cucu Ibu." Astri menangis dengan memeluk kaki Leha. Hati Halimah bagai teriris belati melihat betapa pedih cobaan yang menimpa keluarganya. Apalagi melihat Astri yang sebentar lagi menjadi janda tapi justru dalam keadaan hamil. "Jangan berbohong. Kamu tau konsekuensinya jika kamu berb
Nafas Halimah memburu mendengar Astri membicarakan kematian sedangkan Bapak dan Ibunya masih sehat saat ini. Leha yang mendengar keributan, hanya mampu bersembunyi di dalam kamar dengan meremas baju yang menempel di dada. Hatinya sesak. Sakit. Jiwanya terluka karena perilaku Astri yang begitu tidak menghargai hidupnya selama ini. Kedua tangan Halimah terkepal. Entah, sejak kejadian yang menimpanya beberapa jam lalu, emosi wanita itu semakin tidak stabil. Vano, Sang Suami dengan sigap membawa tubuh Halimah dalam pelukan. Bahkan beberapa tetangga ikut berteriak saat Halimah melayangkan tangannya di pipi Astri. &
Arini mengangguk mantap dengan gigi bergemeletuk mendengar saran dari Astri. Setelah memastikan perjanjian mereka nanti malam, Astri pergi menuju Rumah Sakit. Tujuannya saat ini adalah menemui Tomi demi melancarkan aksinya. "Pokoknya aku harus dapatkan warisan jatah Mas Tomi. Enak aja, Halimah mau nguasain semuanya!" gumam Astri. ______________________ Eni menangis di depan rumah Nur, karena adiknya itu tidak mau membantu membebaskan Tarjo. Nur marah, sebab Tarjo sudah melibatkan
"Sudah bercerai kan?" sela istri sah Brian dengan lantang. "Saya sudah hafal dengan semua bualan lelaki mokondo itu pada pasangannya. Dan kebetulan, anak Ibu malah berani-beraninya datang ke rumah saya dan berzina di sana." Penjelasan istri Brian membuat kasak-kusuk tetangga semakin santer terdengar. Wajah Eni memerah menahan malu mendengar wanita di depannya mengatakan jika Hesti sudah berzina. "Bu ...," lirih Hesti memelas. Tidak lama setelah itu, Pak RT datang dan mengkondisikan situasi. Wanita yang mengaku sebagai istri Brian diajaknya masuk ke dalam rumah En
Dikira Miskin (Extra Part) *** Lima bulan kemudian .... "Hai ... lama tidak bertemu, usia berapa kandungan kamu?" Sea menoleh dan mendapati sosok Nando tengah berdiri dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. "Se?" "Ah, maaf, Bang. Aku ... kaget aja tiba-tiba kamu muncul disini," celetuk Sea gugup. "Sendirian, Bang?" "Ya, karena wanita yang hampir menemani masa tuaku ternyata lebih memilih pria lain. Takdir memang selucu itu, Se." Sea membuang muka. Ada perasaan sedih ketika melihat Nando yang masih mengingat dirinya bahkan disaat dia dan Tirta sedang bahagia menanti buah hati mereka lahir. "Maaf, Bang." Nando terkekeh. "Aku baik-baik saja, Sea. Mungkin Tuhan memang melindungi kamu dari pria tua sepertiku." Sea menggeleng samar. Kedua matanya berembun melihat raut putus asa di wajah Nando. "Sudah kukatakan, kamu pasti mendapatkan wanita yang jauh lebih baik, Bang." "Sendirian?" tanya Nando mengalihkan pembicaraan. Sea mengangguk samar, "Mas Tirta sibuk ngurus Caf
Dikira Miskin (TAMAT)***Satu tahun kemudian ...."Pulang dulu, Sayang. Brian pasti nyariin kamu," kata Bagas lembut. Anita mendongak, kedua matanya memerah dengan bekas air mata yang di pipi. "Sebentar lagi ya, Mas. Sebentar saja," rengeknya manja. Jemarinya yang lentik mengusap-usap pusara kedua orang taunya bergantian, lalu beralih pada pusara Haryati yang nampak segar dengan bunga-bunga yang Anita taburkan barusan. "Brian sudah bisa berjalan, Yah. Kalau saja Ayah dan Ibu masih ada ....""Nit ...." Suara Bagas mengambang di udara. Kehilangan adalah hal yang paling menakutkan baginya. "Biarkan mereka semua tenang di alam sana. Ayo pulang!"Anita bergeming. Matanya semakin sembab karena sudah hampir satu jam ia menangis di pusara tiga orang tercintanya. Haryati sengaja di kuburkan tepat di samping anak dan menantunya. "Semua terasa begitu cepat, Mas.""Takdir Tuhan adalah misteri, apalagi kematian ... semua tidak ada yang tahu sampai kapan batas usia mereka, Sayang. Berhenti berse
***"Darimana kamu tahu kalau Bang Nando menaruh hati pada Sea, Sayang?"Anita mengedikkan bahu. Dia bangkit dan berjalan menjauhi Bagas yang saat ini nampak cengo karena keterkejutannya barusan."Anita ...," pekik Bagas tertahan mengingat sekarang dia sedang berada diantara banyak tamu undangan.Anita menghentikan langkah dan bergelayut manja di lengan Halimah. Wanita cantik itu sekarang tidak segan-segan untuk memeluk mertuanya karena selama ini Halimah memang mencurahkan perhatiannya pada Anita."Bawa Anita pulang, Gas. Dia pucat sekali," ucap Halimah panik. Dia mengusap-usap pipi menantunya dengan lembut. "Pulanglah, acaranya mungkin akan selesai agak malam. Kamu istirahat saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Sea nanti."Anita mengangguk patuh. Dia mengikuti langkah Bagas dengan jemari yang saling bertaut. Acara pernikahan Sea memang di adakan di sebuah hotel ternama, perjalanan untuk pulang ke rumah mereka pun menempuh waktu sekitar dua puluh menit."Kamu belum menjawab pertanyaa
***"Nit, kami ...."Anita beralih menatap Tomi dan Gina. Sorot matanya penuh selidik sampai suara Sea membuatnya tiba-tiba terpekik dan berjingkrak bahagia seperti gadis kecil yang mendapat mainan. "Kami ... sebentar lagi akan menikah.""Hah? Serius, kalian ... tidak lagi membohongi aku kan?"Sea menggeleng. Dia merentangkan tangan untuk menyambut tubuh Anita, sahabat yang paling baik yang ia punya selama ini. Sea dan Tirta tertawa ketika Anita jingkrak-jingkrak senang dengan kabar yang ia dengar."Kamu membuatku takut, Se!" Anita mengusap air mata sambil memeluk Sea. "Kalian ... akhirnya. Ya Tuhan!" Anita kembali memekik bahagia. Dia mengurai pelukan dan berlari menuju Gina. Tanpa aba-aba lagi, kedua wanita beda generasi itu saling memeluk dan menangis lirih. Betapa Tomi merasa haru dengan suasana di depan matanya. Siapa sangka, restu yang ia berikan justru memberikan kebahagiaan bagi banyak orang, tidak hanya Sea dan Tirta. "Kami sudah lelah menangis, Nit. Ayolah, kalau kamu masi
***"Brengsek! Berani-beraninya dia ngusir kita, Mas?!" jerit Nayna marah. Bibirnya mengerucut sembari satu tangan mengusap dahi yang mulai berpeluh. "Harusnya kamu bisa tegas sama istrimu itu, Mas! Bagaimanapun kamu adalah kepala keluarga, jangan lembek gini dong!" Suara Nayna semakin membuat kepala Rayan berdenyut nyeri. "Diam, Nay!""Kenapa kamu malah bentak aku? Harusnya kamu bentak saja di Prisa yang kurang ajar itu!""Semua ini salah kamu! Murahan! Kamu bisa kan bersikap baik di depan Prisa bukan malah menyulut pertengkaran seperti ini!""Ya, ya! Salahkan saja aku terus, Mas! Bela wanita mandul yang tidak berguna itu! Aku muak melihat sikapmu yang lemah di depan Prisa!"Plak ....Nayna memegang pipi kanannya yang terasa panas. Tidak ada air mata melainkan hanya kemarahan yang bersarang di dadanya saat ini. "Tampak! Tampar yang banyak kalau perlu bunuh sekalian bayimu ini! Pria miskin! Aku menyesal mau mengakui anak ini sebagai darah dagingmu!"Rayan mengusap wajahnya kasar. Pe
***Tirta dan Sea bergeming. Ucapan Tomi membuat rasa percaya diri Tirta yang sempat tumbuh terasa dihempas begitu saja. Ternyata, setelah bisa mendapatkan kembali hati Sea, ia harus melalui satu jalan lagi yaitu Tomi dan Gina. "Ada banyak pria di luaran sana, Sea! Kamu cantik, mandiri dan ... kamu bisa mencari pria lain tanpa harus terjebak dengan pria yang sama!" ucap Tomi marah. "Kamu lupa ... dia bahkan rela memohon agar wanita yang sudah membuatmu celaka itu bebas. Jangan bodoh!"Sea menunduk. Bodoh! Ya, dia memang sudah bodoh karena setelah berbulan-bulan terlewati, perasaannya pada Tirta terus saja tumbuh tanpa sedikitpun berkurang. Gina mengusap lengan Tomi dengan lembut. Kedua matanya menatap Sea dengan nanar. Putri yang ia anggap sudah melupakan Tirta ternyata masih memiliki perasaan yang begitu besar untuk pria itu."Dia sudah membuatmu terluka, Se. Apa kamu pikir Ayah akan melepaskanmu dengan pria yang sudah pernah membuatmu kecewa?""Yah ....""Tidak!" sahut Tomi tegas.
***Sea dan Tirta terlonjak. Wanita itu mengurai pelukan saat kedua matanya mulai terbuka dan mendapati sosok Freya berdiri di ambang pintu dengan air muka kebingungan."Fre mau ikut peluk," ucapnya polos. Sea merentangkan tangan dan menghambur di pelukan Sea. Bibirnya terus mengukir senyum seolah-olah dua pasangan di depannya bukanlah sebuah ancaman bagi Papanya. "Ini siapa, Tante? Papa ...." Freya memanggil Hamka ketika pertanyaannya tidak kunjung mendapat jawaban dari mulut Sea. "Ayo, sini! Kita pelukan sama-sama!"Brenda membuang muka. Sedikit banyak dia mulai mengerti apa yang sedang terjadi di depan matanya. Melihat Freya yang begitu dekat dengan Sea sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Brenda pada Hamka tadi."Kalian ... di-- dia kenal Sea?" tanya Brenda terbata. "Kalian ... sudah saling mengenal?"Hamka mengangguk sambil tersenyum tipis. Pria itu melangkah mendekati Freya dan meninggalkan Brenda di depan toko dengan rasa cemas yang luar biasa."Hai ...," sapa Hamka. "Maaf
***"Se, tolong dengarkan aku!" pinta Tirta memelas. Dia melangkah mendekati Sea yang memunggunginya sembari menutup telinga dengan dua tangan seakan-akan tidak ada yang ingin dia dengarkan dari mulut Tirta. "Aku datang hanya ingin menjelaskan semuanya. Setelah itu semua keputusan terserah padamu. Aku ... hanya ingin meminta maaf atas semua rasa kecewa yang kamu rasakan.""Untuk apa meminta keputusan dariku, Mas? Bukankah kamu sudah memutuskan semuanya sendiri? Kamu lebih memilih wanita itu daripada aku yang ... aku yang tidak sedang mengandung anakmu!" "Dia bukan anakku, Sea!""Dan aku tidak peduli!" teriak Sea. Air matanya berlomba-lomba untuk meluncur bebas ke pipi. "Anakmu atau bukan, yang jelas kamu sudah memilih Nayna daripada aku! Dan itu ... sudah cukup membuatku paham jika nama Nayna berada di posisi tertinggi dalam hatimu."Tirta menunduk. Langkahnya terhenti ketika Sea sudah berada tepat di depan matanya. "Bahkan setelah melukai hatiku berkali-kali, kamu datang dengan wani
***"Mana sarapan untukku?"Nayna duduk di kursi makan dengan melipat tangan. Persis seperti seorang anak kecil yang sedang menunggu sarapannya tersaji."Coba ulangi lagi!"Nayna mendengus kesal. "Ck! Jangan cari gara-gara ya, Mbak. Ini masih pagi, mood ku juga sedang buruk, kamu nggak mau kan kalau sampai aku ngadu ke Mas ....""Kamu pikir aku takut?""Ouh, jadi nantangin? Kamu mau tau siapa yang akan dipilih oleh suami kamu, begitu?" angkuh Nayna. "Lihat! Di perutku ada kehidupan lain, dia yang bertahun-tahun lamanya sangat diinginkan oleh Mas Rayan, yakin kalau aku merajuk dia bakalan lepas kamu begitu saja?"Wanita yang usianya jauh lebih tua di banding Nayna itu tertawa sumbang. Ya, tidak mengelak jika hadirnya seorang bayi adalah keinginan dia dan Rayan selama bertahun-tahun menjalani biduk rumah tangga. Tapi tidak dengan bayi dalam hubungan yang kotor. Rayan sudah mencurangi pernikahan mereka."Kenapa diam,